Thursday 20 February 2020

Kritik Terhadap Argumentasi Halu Greenpeace Indonesia Tentang Limbah Nuklir dan PLTN


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)`

Terdeteksinya paparan radiasi di atas dosis normal di Perumahan Batan Indah, Setu, Tangerang Selatan, beberapa waktu yang lalu, memancing histeria konyol di berbagai lapisan masyarakat. Sebagian memang karena tidak paham tentang aspek-aspek kenukliran termasuk radiasi, dan yang seperti ini patut dimaklumi dan diberi pemahaman. Namun, masalah lebih besar adalah dari kalangan anti-nuklir. Khususnya LSM lingkungan eco-fascist seperti Greenpeace.

Sebagai LSM eco-fascist yang terkenal akan sifat pseudosaintifiknya di seluruh dunia, Greenpeace tidak ketinggalan pasti akan turut mengomentari penemuan radioaktivitas asing di Perumahan Batan Indah. Benar saja, postingan Instagram Greenpeace Indonesia memuat tulisan yang ujung-ujungnya mengkriminalisasi limbah nuklir dan menolak PLTN [1]. Tidak ada yang baru dari “argumentasi” mereka, hanya halusinasi-halusinasi usang yang diulang-ulang seperti radio rusak. Namun, halusinasi Greenpeace harus dihentikan, kalau tidak mau masyarakat terus dibodoh-bodohi oleh LSM eco-fascist pseudosaintifik ini.

Berikut adalah “argumentasi,” kalau bukan halusinasi, Greenpeace dan kritikan terhadapnya.

//Ditemukannya radiasi nuklir oleh Bapeten di sebuah tanah kosong di dalam kawasan Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, dan serpihan radioaktif dengan kandungan Caesium 137 atau Cs-137, membuktikan bahwa penanganan limbah radioaktif di Indonesia dilakukan secara serampangan, tidak dilakukan dengan semestinya sesuai aturan yang ada, dan sangat membahayakan masyarakat//

Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia semua dilakukan oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN. Semua instansi yang menggunakan sumber radioaktif, entah BATAN sendiri, Bapeten, PT Inuki, hingga berbagai industri dan rumah sakit, ketika sudah selesai menggunakannya, semua wajib dilimbahkan ke PTLR. Praktik ini telah berlangsung puluhan tahun dengan sebagaimana mestinya. Mayoritas, kalau bukan semua, dilaksanakan sesuai dengan regulasi perundang-undangan yang berlaku [2].

UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran, Pasal 23 Ayat 1 menyebutkan, “Pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.” [2] Siapa Badan Pelaksana yang dimaksud dalam UU ini? BATAN, melalui salah satu pusatnya yakni PTLR. Pengelolaan limbah radioaktif telah diatur melalui UU, yang merupakan ketetapan hukum tertinggi ketiga dalam konstitusi Indonesia.

Masih di UU yang sama, Pasal 24 ayat (1) mengatakan, “Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan, mengelompokan; atau mengolah dan menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.” [2] Artinya, yang berkewajiban menyerahkan adalah penghasil limbah. BATAN hanya bertugas menerima dan mengelola.

Dasar hukum pengelolaan limbah radioaktif sudah jelas. BATAN telah melakukan tugasnya dengan konsekuen. Tidak ada industri yang pengawasannya lebih ketat daripada industri nuklir; terdapat pengawas pada tingkat nasional (Bapeten) maupun internasional (IAEA). Kemungkinan penyelewengan dalam proses pengelolaan limbah radioaktif, dengan demikian, diminimalisir sampai pada taraf nyaris tidak ada.

Maka, jika ada satu kejadian ditemukannya material radioaktif yang tidak berada di tempat yang seharusnya, lalu kemudian dikatakan pengelolaannya sebagai serampangan, tidak semestinya, tidak sesuai aturan, dan sangat membahayakan masyarakat, pernyataan seperti itu tidak kurang dari penyesatan publik, kebohongan yang nyata, dan kebodohan yang tidak terperi.

Jelas saja bahwa kejadian di Batan Indah merupakan sebuah keteledoran. Namun, jika kejadian itu dijadikan justifikasi untuk mengatakan bahwa pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia dilaksanakan secara serampangan dan tidak sesuai aturan, sembari mengabaikan sekian banyak limbah lain yang dikelola dengan baik oleh PTLR, maka sesungguhnya Greenpeace sedang berhalusinasi. Sebuah halusinasi yang culas, jahat, menyesatkan, dan berlawanan dengan amanat UUD untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

//Harus dilakukan investigasi menyeluruh bagaimana limbah radioaktif tersebut bisa sampai di tengah-tengah perumahan padat penduduk. Selain harus diteliti sejauh apa cemaran radiasi tersebut pada tanah dan tanaman yang ada di lokasi, Cs-137 bersifat mudah teroksidasi dan larut dalam air. Juga apabila Cs-137 berbentuk serbuk, ia akan juga dengan mudah terhirup oleh masyarakat//

BATAN telah melakukan dekontaminasi terhadap petak tanah berukuran 10×10 m (100 m2) di samping lapangan voli depan Blok J. Lokasi tersebut adalah lokasi yang tidak ditinggali manusia, bahkan aktivitas manusia pun tidak. Per 18 Februari 2020, tingkat radioaktivitas tanah terkontaminasi telah turun hingga 90%, menjadi 7 µSv/jam [3]. Padahal, per 15 Februari 2020, paparan radiasi masih sebesar 98,9 µSv/jam [4]. Artinya, sebagian besar kontaminan sudah berhasil dikeruk pada petak tanah yang kecil tersebut. Apa implikasinya? Kawasan yang terkontaminasi sangat sempit. Bahan kontaminan tidak bermigrasi terlalu jauh.

Cs-137 memang bersifat volatil, mudah mencair dan menguap. Namun, mengingat sempitnya daerah terkontaminasi di Batan Indah, bisa dipastikan bahwa migrasi sumber radioaktif tidak jauh. Apalagi tidak terdeteksi adanya radioaktivitas tambahan di sumber air penduduk sekitar [5]. Fakta yang entah kenapa diabaikan oleh Greenpeace.

Jika migrasi bahan tidak jauh, kemungkinan terserap oleh vegetasi di sekitarnya juga rendah. Lagipula, tidak ada juga yang mengonsumsi vegetasi di sekitar petak terkontaminasi. Hal tersebut tidak sulit dipahami jika paham yang namanya risk assessment. Namun, Greenpeace sepertinya tidak peduli soal risk assessment. Mereka hanya peduli bagaimana memberi image buruk pada nuklir.

Cs-137 tidak dijual dalam bentuk serbuk. Biasanya dalam bentuk encapsulated bahkan double-encapsulated. Tidak ada relevansinya dengan kasus penemuan di Batan Indah. Entah apa maksudya Greenpeace mengangkat hal ini, kalau bukan dengan tujuan menakut-nakuti publik akan bahaya yang tidak ada.

//Saat ini tidak ada solusi yang kredibel untuk pembuangan limbah nuklir jangka panjang yang aman. Amerika selama ini menempatkan pembuangan limbah nuklirnya di Carlsbad, New Mexico dengan kedalaman 655 m dibawah permukaan, dan mengajukan Yucca Mountain sebagai tempat penyimpanan berikutnya tetapi mendapatkan begitu banyak tentangan. Tidak hanya reaktor nuklir yang harus benar-benar aman dari kesalahan teknis dan manusia, juga bencana alam; tetapi penyimpanan limbah nuklir juga selalu meninggalkan jejak ketakutan tersendiri//

Para nuclear engineer sudah tahu bagaimana membuang limbah radioaktif dengan selamat. Mereka tahu bagaimana membuat kontainer limbah yang memadai dan lokasi repositori yang cukup baik. Limbah radioaktif dari PLTN, jika ini yang dimaksud, dikonversi menjadi gelas borosilikat yang kemudian dimasukkan dalam kontainer yang terdiri dari berlapis-lapis bahan, mulai dari logam hingga beton. Kemudian, limbah ini disimpan dalam repositori abadi [6].

Setidaknya ada tujuh lapis pertahanan pada repositori abadi limbah PLTN, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Bernard L. Cohen [7]. Pertama, ketiadaan air pada lokasi repositori limbah, sehingga korosi bisa dicegah. Kedua, batuan yang tidak larut oleh air. Ketiga, material penyegel tambahan berupa tanah liat, yang telah terbukti mencegah migrasi produk fisi. Keempat, material casing kontainer limbah yang tahan korosi.

Kelima, limbah radioaktif dalam bentuk gelas borosilikat tidak larut oleh air. Keenam, migrasi air tanah dalam menuju permukaan tanah membutuhkan waktu yang sangat lama. Ketujuh, filtrasi dari bebatuan untuk memerangkap limbah yang somehow lolos dari level-level berikutnya.

Cohen juga mengungkapkan rendahnya probabilitas kebocoran kontainer limbah radioaktif dalam menyebabkan korban jiwa. Disebutkan bahwa kematian yang mungkin diakibatkan oleh kebocoran limbah radioaktif adalah 0,0014 kematian dalam 13 juta tahun pertama setelah pembuangan limbah dan 0,0018 kematian dalam jangka waktu tak terhingga [7]. Ini adalah bahasa statistik. Dalam bahasa awam, secara praktis repositori abadi limbah radioaktif tidak dapat menyebabkan kematian akibat kebocoran limbah.

Reaktor nuklir alam di Oklo, secara praktis menjadi bukti sahih efektivitas pengungkungan limbah radioaktif. Sekitar dua milyar tahun lalu, ketika kadar isotop fisil U-235 masih berkisar 3% (saat ini 0,7% karena peluruhan alami), terbentuk reaktor nuklir alami di daerah yang saat ini merupakan bagian dari negara Gabon, Afrika. Kandungan uranium di Oklo ditemukan lebih rendah daripada yang seharusnya, serta ditemukan adanya produk fisi serta elemen transuranik di dekatnya.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar produk fisi penting dan seluruh elemen transuranik tidak bermigrasi terlalu jauh dari lokasi reaksi fisi terjadi [8,9]. Hal ini luar biasa mengesankan, karena selama dua milyar tahun, pergeseran produk fisi dan transuranik tidak signifikan. Dengan teknologi kontainer abad 21, pengungkungan limbah radioaktif secara praktis lebih kuat dan tidak menjadi persoalan. Khususnya ketika produk fisi sudah lenyap dalam 300 tahun dan elemen transuranik yang tersisa tidak bisa larut oleh air.

Ini belum termasuk insinerasi elemen transuranik di reaktor maju, entah reaktor thorium maupun reaktor cepat. Kedua jenis reaktor tersebut dapat ‘menghabisi’ transuranik penyumbang radiotoksisitas limbah radioaktif sembari menghasilkan energi yang bersih, murah, selamat, andal, dan berkelanjutan [10-15].

Pengelolaan ini jauh lebih baik daripada, katakanlah, pengelolaan limbah panel surya dan turbin angin. Limbah panel surya 300x lebih beracun daripada limbah radioaktif karena kontaminasi kadmium, antimoni, dan timbal [16]. Panel surya sulit didaur ulang, dan diperkirakan pada tahun 2050, jumlah limbah panel surya dapat mencapai 78 juta ton [17]. Tanpa ada rencana jelas bagaimana mendaur ulangnya.

Pengelolaan limbah turbin angin tidak lebih mudah, mengingat bahan fiberglass yang digunakan sebagai bahan kincir angin tidak bisa didaur ulang dan akan menimbulkan masalah di masa depan [18]. Diperkirakan bahwa pada tahun 2050, limbah bilah turbin angin akan mencapai 43 juta ton [19]. Lagi-lagi tanpa ada solusi bagaimana menanganinya, selain ditumpuk begitu saja sembari mengotori lingkungan.

Dibandingkan limbah panel surya dan turbin angin, yang notabene merupakan dua moda pembangkit yang begitu dipuja-puja Greenpeace, pengelolaan limbah nuklir jauh lebih canggih, terstruktur, memiliki rencana yang jelas, dan sebagian langkah telah dilaksanakan dengan sukses.

Masalah pengelolaan limbah radioaktif tidak pernah menjadi masalah teknis. Semua masalah yang ada merupakan masalah politis, yang mana sebagian disumbangkan oleh LSM eco-fascist seperti Greenpeace.

//Nuklir bukanlah pilihan energi masa depan Indonesia. PLTN adalah investasi berbahaya dan juga sangat mahal. Mengacu pada data Lazard 2019, biaya modal pembangunan PLTN adalah yang tertinggi saat ini dimana secara maksimal dapat menyentuh angka $12.250/kW. Sedangkan energi terbarukan, baik itu angin dan surya telah mencapai grid parity (harga yang sama dengan pembangkit konvensional pemasok sistem grid) di banyak negara di dunia//

Paragraf ini merupakan bukti nyata cherry-picking yang dilakukan oleh Greenpeace. Mereka hanya mengutip satu angka yang merupakan anomali bahkan dalam industri nuklir sendiri. Meski memang Greenpeace mengatakan “dapat menyentuh angka,” ketidakjujuran dalam menyampaikan sisi lain dari rentang tersebut menunjukkan bahwa mereka bermain kotor.

PLTN Hinkley Point C (HPC) di Somerset, Inggris Raya, merupakan PLTN termahal di dunia. Nyatanya, overnight cost HPC ‘hanya’ USD 9.070/kW [20]. Angka ini memang tinggi, tetapi tidak sampai USD 12.200 sebagaimana disebutkan dalam laporan Lazard [21]. Sementara, PLTN Vogtle yang kemungkinan menjadi basis angka tertinggi di laporan Lazard, merupakan anomali yang khas hanya terjadi di Amerika Serikat dan desain AP1000 [22].

Greenpeace sama sekali mengabaikan bahwa vendor PLTN lain tidak mengalami hal serupa. KEPCO sukses membangun PLTN Shin Kori unit 3 dan 4 dengan overnight cost USD 2.400/kW [23]. Mengapa bisa rendah? Karena standardisasi desain dan pengalaman pembangunan [24], sehingga KEPCO dapat mereduksi biaya konstruksi dengan baik.

Lagipula, menggunakan overnight cost belaka merupakan penyesatan argumen. Greenpeace sama sekali mengabaikan faktor kapasitas yang menentukan berapa besar harga listrik yang dihasilkan [25]. PLTN mampu mencapai faktor kapasitas 90%, sementara PLTS dan PLTB bisa mencapai 20% di Indonesia saja sudah beruntung. Butuh 4-5x kapasitas terpasang PLTS dan PLTB untuk bisa menyamai luaran listrik dari PLTN.

Greenpeace pun mengabaikan sama sekali akan berapa banyak listrik yang sebenarnya dapat dihasilkan selama usia pakainya. PLTN memiliki usia pakai standar selama 60 tahun, bisa diperpanjang hingga 100 tahun. Sementara, PLTS dan PLTB hanya bisa beroperasi maksimal 30 tahun sebelum harus diganti, itupun kalau tidak rusak duluan. Sehingga, butuh 2-3x pembangunan PLTS dan PLTB untuk menyamai usia pakai PLTN.

Total, PLTS dan PLTB butuh biaya 6-8x dari biaya aslinya untuk bisa menyamai luaran listrik PLTN. Artinya, PLTS dan PLTB tidak semurah yang diklaim Greenpeace. Khususnya bahwa angka tersebut mengabaikan sama sekali energy storage dan grid upgrade yang sangat diperlukan untuk bisa menampung energi bayu dan surya. Artinya, banyak additional cost yang tidak diungkapkan sama sekali dengan Greenpeace. Apakah ini merupakan bentuk kebodohan terhadap ilmu fisika dan rekayasa teknik ataukah memang tujuannya menyesatkan opini publik?

Mengingat mahalnya PLTN merupakan fenomena unik di dunia Barat dan tidak muncul di Asia, tidak ada alasan untuk menganggap fenomena tersebut akan terjadi di Indonesia, jika Indonesia memutuskan untuk go nuclear. Kedatangan PLTN Generasi IV pada dekade 2020-an akan memangkas biaya PLTN lebih rendah dan memastikan halusinasi Greenpeace tidak akan terwujud.

//Sudah seharusnya pemerintah Indonesia mulai berpikir jernih dengan fokus berinvestasi pada energi terbarukan yang lebih aman, murah, bersih, dan bukan PLTU Batubara apalagi PLTN.//

Jika Indonesia ingin menjadi negara industri yang maju, salah satu hal yang wajib dipastikan adalah suplai energi yang murah, melimpah, dan andal. Energi terbarukan tidak bisa memenuhi satupun dari kriteria ini. Ketika full-cost diterapkan, energi terbarukan akan menjadi mahal. Tanpa adanya energy storage dan grid upgrade yang mahal, energi terbarukan tidak bisa menghasilkan listrik yang melimpah dan andal. Apa hal seperti ini yang mau ditawarkan pada Indonesia?

Hanya nuklir yang dapat memenuhi kriteria murah, melimpah, dan andal. Ditambah lagi nuklir itu selamat, bersih, dan berkelanjutan. Untuk memenuhi salah satu syarat sebagai negara maju, Indonesia mau tidak mau harus memanfaatkan energi nuklir semaksimal mungkin. Utopia energi terbarukan hanya halusinasi kalangan eco-fascist yang tidak realistis dalam dunia abad 21.

Referensi:
  1. Greenpeace Indonesia. DIakses dari https://www.instagram.com/p/B8u4qmoBgPi/?igshid=16xoq97szaeen
  2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran
  3.  Paparan Radiasi di Perum Batan Indah Tangsel Turun hingga 90%. Diakses dari https://megapolitan.okezone.com/read/2020/02/18/338/2170242/paparan-radiasi-di-perum-batan-indah-tangsel-turun-hingga-90
  4. BATAN Lakukan Clean Up Daerah Terpapar Radiasi. Diakses dari http://batan.go.id/index.php/id/publikasi-2/pressreleases/6267-batan-lakukan-clean-up-daerah-terpapar-radiasi
  5. Bapeten: Radiasi Nuklir di Serpong Tidak Cemari Air Tanah. Diakses dari https://koran.tempo.co/read/metro/450191/bapeten-radiasi-nuklir-di-serpong-tidak-cemari-air-tanah
  6. R Andika Putra Dwijayanto. Bagaimana Mengelola Limbah Radioaktif PLTN? Diakses dari https://warstek.com/2018/04/10/limbahpltn/
  7. R Andika Putra Dwijayanto. Menguak Mitos Bahaya Limbah Radioaktif. Diakses dari https://warstek.com/2018/01/30/mitoslimbah/
  8. Francois Gauthier-Lafaye. “2 billion year old natural analogs or nuclear waste disposal: the natural nuclear fission reactors in Gabon (Africa),” Applied Physics, vol. 3, pp. 839-849, 2002.
  9. R. Hagemann and E. Roth. “Relevance of the Studies of the OKLO Natural Nuclear Reactors to the Storage of Radioactive Wastes,” Radiochimica Acta, vol. 25, pp. 241-247, 1978.
  10. C. Yu et al., “Minor actinide incineration and Th-U breeding in a small FLiNaK Molten Salt Fast Reactor,” Ann. Nucl. Energy, vol. 99, pp. 335–344, 2017.
  11. T. Takeda, “Minor actinides transmutation performance in a fast reactor,” Ann. Nucl. Energy, vol. 95, pp. 48–53, Sep. 2016.
  12. S. Şahin, Ş. Yalçin, K. Yildiz, H. M. Şahin, A. Acir, and N. Şahin, “CANDU reactor as minor actinide/thorium burner with uniform power density in the fuel bundle,” Ann. Nucl. Energy, vol. 35, no. 4, pp. 690–703, 2008.
  13. B. A. Lindley, F. Franceschini, and G. T. Parks, “The closed thorium–transuranic fuel cycle in reduced-moderation PWRs and BWRs,” Ann. Nucl. Energy, vol. 63, pp. 241–254, 2014.
  14. K. Insulander and V. Fhager, “Comparison of Thorium-Plutonium fuel and MOX fuel for PWRs,” in Proceedings of Global 2009, 2009, p. 9449.
  15. H. N. Tran, Y. Kato, P. H. Liem, V. K. Hoang, and S. M. T. Hoang, “Minor Actinide Transmutation in Supercritical-CO2-Cooled and Sodium-Cooled Fast Reactors with Low Burnup Reactivity Swings,” Nucl. Technol., vol. 205, no. 11, pp. 1460–1473, Nov. 2019.
  16. Jemin Desai and Mark Nelson. Are we headed for solar waste crisis? Diakses dari http://environmentalprogress.org/big-news/2017/6/21/are-we-headed-for-a-solar-waste-crisis
  17. Michael Shellenberger. If Solar Panels Are So Clean, Why Do They Produce So Much Toxic Waste? Diakses dari https://www.forbes.com/sites/michaelshellenberger/2018/05/23/if-solar-panels-are-so-clean-why-do-they-produce-so-much-toxic-waste/#5fd65602121c
  18. Unfurling The Waste Problem Caused By Wind Energy. Diakses dari https://www.npr.org/2019/09/10/759376113/unfurling-the-waste-problem-caused-by-wind-energy
  19. P. Liu and C. Y. Barlow, “Wind turbine blade waste in 2050,” Waste Management, vol. 62, pp. 229-240, 2017.
  20. Hinkley Point C cost rises by nearly 15%. Diakses dari https://world-nuclear-news.org/Articles/Hinkley-Point-C-cost-rises-by-nearly-15
  21. Lazard’s Levelized Cost of Energy Analysis—version 13.0
  22. Vogtle Electric Generating Plant. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Vogtle_Electric_Generating_Plant
  23. R Andika Putra Dwijayanto. Bagaimana Jika Investasi Energi Terbarukan Dialihkan Ke Energi Nuklir? Diakses dari https://warstek.com/2019/09/07/investasi/
  24. M. Berthelemy and L. E. Rangel, ”Nuclear reactors’ construction costs: The role of lead-time, standardization and technological progress,” Energy Policy, vol. 82, pp. 118-130, 2015.
  25. R Andika Putra Dwijayanto. Meluruskan Salah Kaprah Tentang Membaca Kapasitas Terpasang dalam Membangun Pembangkit Listrik. Diakses dari https://warstek.com/2018/05/19/pembangkitlistrik/

Friday 24 January 2020

Islam Selaras atau Bertentangan Dengan Sains?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Kadang ada pertanyaan, "Apakah Islam bertentangan atau selaras dengan sains?"

Mungkin ada yang berpikir di kedua kubu. Yang agak-agak sok oPeN mInDeD mungkin akan melihat fenomena sains modern banyak yang bertentangan dengan sains. Sementara, yang lebih konservatif akan mengatakan bahwa Islam selaras saja dengan sains.

Kedua kubu ini keliru, walau kubu oPeN mInDeD tingkat kekeliruannya lebih tinggi.

Sebenarnya, bagaimana mungkin Islam dikatakan bertentangan atau selaras dengan sains, sementara sumber utama hukum Islam, Al Qur'an dan as sunnah, tidak secara khusus membahas sains dan tidak ditujukan sebagai kitab panduan sains?

Al Qur'an diturunkan sebagai huda wal furqan. Petunjuk bagi umat manusia dan pembeda antara yang haq dan bathil. Sementara sains merupakan pengamatan akan fenomena fisik yang ada pada manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sains sudah ada jauh sebelum Al Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, dan Al Qur'an sama sekali tidak ditujukan untuk menjelaskan fenomena sains.

Al Qur'an sebatas memberi inspirasi bagi manusia untuk memahami sesama manusia, alam semesta, dan kehidupan. Mengamati fenomena-fenomena di sekitar manusia agar menyadari kebesaran Allah dan sangat tidak berartinya manusia. Pengamatan ini juga supaya manusia dapat memanfaatkan fenomena alam dengan baik untuk keperluan hidup manusia, entah sebatas pemanfaatan apa adanya ataupun melalui rekayasa.

Masalah terakhir sudah diindikasikan oleh Rasulullah SAW dalam kasus penyerbukan kurma di Madinah. Beliau bersabda, "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian." Kaitannya adalah dengan masalah sains dan teknologi, yang mana hal tersebut diserahkan pada akal dan pengetahuan manusia.

Al Qur'an juga memberi panduan tentang halal-haram terkait benda serta ahkamul khamsah terkait perbuatan, yang kemudian harus diaplikasikan dalam praktik saintifik. Dengan begini, perkembangan sains di tangan seorang muslim dapat berlangsung tidak sekadar baik, tetapi juga benar.

Dengan demikian, pada hakikatnya, Islam menyerahkan masalah sains pada manusia, Allah menyuruh manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Dari berpikir dan mengamati inilah manusia bisa menemukan dan memahami fenomena fisik tersebut, entah dalam taraf pasti (qath'i) atau dugaan kuat (ghalabatudzh dzhann). Islam juga memberi aturan tentang ahkamul khamsah sebagai panduan bagi manusia dalam proses pengamatan fenomena alam tersebut.

Karena alasan tersebut, tidak bisa dikatakan bahwa Islam selaras atau tidak selaras dengan fenomena sains tertentu. Karena Islam sudah menyerahkannya pada manusia. Jikalau kemudian ada fenomena fisik yang ternyata bersesuaian dengan ayat-ayat Al Qur'an, maka itu semata-mata merupakan bukti kebesaran Allah.

Namun, pada dasarnya, kita tidak perlu merujuk pada Al Qur'an untuk membahas fenomena sains. Jadi, lucu kalau ada yang harus merujuk pada Al Qur'an dan tafsirnya untuk mengetahui bumi ini bulat atau datar, apakah bumi berputar atau statis, apakah matahari mengitari bumi atau bumi mengitari matahari, dan lain-lain. Semua itu sama sekali tidak dipelrukan, karena masalah bentuk bumi, rotasi bumi, serta revolusi bumi, semua adalah fenomena fisik yang dapat diamati oleh indera manusia. Fenomena fisik ini merupakan fenomena fisik statis, kondisinya tetap dari masa ke masa. Pengamatan terhadap contoh-contoh tadi adalah pengamatan yang dapat mencapai derajat qath'i, laa raiba fiih. Sama qath'i-nya dengan kita dapat memahami bahwa panas dari matahari merupakan hasil fusi nuklir bukan pembakaran hidrokarbon.

Islam selalu sesuai dengan realitas, karena Al Qur'an berasal dari sumber yang mustahil salah. Namun, Islam tidak bisa dikatakan bertentangan atau selaras dengan sains, karena Islam tidak mengurusi fenomena sains. Jika kebetulan ada dugaan saintifik yang selaras dengan ayat Al Qur'an, maka kita pandang hal tersebut sebagai bukti ke Maha Kuasa an Allah. Namun, dalam hal ini harus berhati-hati, karena kalau orang yang tidak memahami relasi Islam-sains dengan benar, akan cenderung otak atik gatuk. Menghubung-hubungkan yang tidak ada hubungannya.

Klaim Bombastis Harus Dibuktikan Dengan Publikasi Ilmiah Bereputasi

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Ahli Pertama Teknologi Keselamatan Reaktor Nuklir)
Kalau ada klaim penemuan-penemuan baru di dunia ilmiah, hal pertama yang harus dijaga adalah healthy scepticism. Skeptisisme sehat. Tidak semerta-merta menolaknya mentah-mentah, tapi juga tidak menerimanya begitu saja. Reserve the judgment, setidaknya sampai penemuan tersebut dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Ada alasan kenapa klaim penemuan baru itu harus dipublikasikan di jurnal ilmiah. Karena di jurnal lah hasil penelitian tersebut dapat diperiksa dengan ketat, terkait metode, analisis, pengambilan kesimpulan, kebaruan penelitian, dan lain-lain. Istilahnya peer-review. Pemeriksa juga bukan sembarang orang, tapi harus yang pakar di bidang tersebut, yang artinya mereka menguasai kaidah-kaidah ilmiah yang diperlukan. Kalau tidak memenuhi kriteria, peer reviewer bisa menyuruh penulis makalah untuk melakukan revisi, entah mayor atau minor.
Atau bisa juga DITOLAK.
Bahkan makalah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah saja masih bisa dikritik. Contoh makalah Mark Jacobson et al tentang 100% renewable yang terbit di jurnal milik Elsevier. Dikritik oleh Ben Heard et al dengan makalah lain yang dipublikasikan di jurnal lain tapi milik Elsevier juga. Cook et al (2013) dikritik oleh Tol et al (2014) dan kemudian dijawab lagi oleh Cook et al (2014). Makalah Kharecha dan Hansen (2013) dikritik oleh Sovacool et al (2013) dan dijawab lagi oleh Kharecha (2013). Jadi diterima pun bukan berarti pasti bebas kritik.
Peer-review dan publikasi di jurnal ilmiah inilah yang menjamin bahwa dunia penelitian tidak keluar jalur. Metodologi ilmiah terjaga, pun kualitas penelitian dan argumentasi ilmiah.
Semakin tinggi klaimnya, level jurnal yang harus ditembus juga harus semakin tinggi. Biasanya level jurnal ada kategorisasinya, sekarang entah pakai Scopus, Scimago, atau Web of Science. Di Juknis Peneliti LIPI, ada kategorisasi jurnal nasional dan internasional. Jurnal internasional pun ada yang masuk kategori terindeks global bereputasi tinggi, menengah, sedang, atau lainnya. Penilaiannya berbeda-beda. Scimago pun mengkategorisasikan jurnal dalam empat kuartil, dari Q1-Q4. Q1 paling tinggi, Q4 paling rendah.
Di jurnal internasional inilah penelitian-penelitian ilmiah dengan klaim tinggi seharusnya dipublikasikan. Bukan di jurnal nasional apalagi cuma sekadar prosiding. Mohon maaf, saya tidak yakin dengan iklim jurnal nasional saat ini. Apalagi yang kurang dari SINTA-2. Lah SINTA-2 saja masih banyak yang bermasalah, SINTA-1 juga. Padahal SINTA-1 adalah kategorisasi tertinggi di pangkalan data jurnal nasional Kemenristek.
Iklim penelitian dan publikasi nasional masih kurang baik untuk makalah-makalah dengan klaim tinggi. Sudah berapa kali saya baca makalah yang diterbitkan di jurnal nasional dan saya jadi bertanya-tanya bagaimana ceritanya makalah dengan kualitas ambyar seperti itu bisa nyasar di jurnal nasional terakreditasi. Entah yang kategorinya SINTA-3 kebawah seperti apa kontrol kualitasnya. Barangkali sulit, karena tiap-tiap jurnal berebut makalah. Seperti angkot Sukabumi berebut penumpang saking banyaknya. Terbit tepat waktu saja belum tentu bisa. Kontrol kualitas apalagi.
Jadi, klaim penemuan baru, apalagi yang terdengar bombastis, memang sebaiknya dikirim ke jurnal internasional. Kalau bisa jurnal ilmiah internasional bereputasi tinggi, yang punya proses peer review ketat dan acceptance rate rendah. Kalau diterima dan diterbitkan, baru klaim penemuan tersebut bisa dipertimbangkan.
Ingat, DIPERTIMBANGKAN. Bukan dianggap pasti benar. Karena penemuan baru harus diteliti lebih lanjut dan harus bisa direplikasi. Kalau syarat replikasi itu gagal, maka klaim penemuan baru tersebut bisa dianggap JUNK CLAIM. Bahkan makalahnya bisa diretraksi, seperti makalah Andrew Wakefield yang menyatakan bahwa vaksin dapat menyebabkan autisme. The Lancet meretraksi makalah tersebut karena berbagai pelanggaran ilmiah dan manipulasi data oleh Wakefield, serta ketidakbisaan untuk direplikasi oleh peneliti lain.
Kalau di instansi penelitian bereputasi, nyaris tidak ada klaim bombastis. Pasti menggunakan klaim-klaim yang bersifat dugaan. Kecuali kalau sudah masuk systematic review dan meta-analysis. Tapi yang namanya penemuan baru sih masih jauh dari systematic review. Apalagi meta-analysis.
Maka, kalau ada klaim bahwa radiasi nuklir dosis rendah itu bermanfaat bagi kesehatan (hormesis), atau sebaliknya bahwa radiasi dosis rendah itu berbahaya, atau klaim bahwa merokok bermanfaat bagi kesehatan, santai saja Tunggu sampai terpublikasi di JURNAL ILMIAH INTERNASIONAL BEREPUTASI TINGGI (misalkan Chemico-Biological Interactions atau British Medical Journal) kemudian nantikan kalangan ilmiah membaca, mengomentari, meneliti lebih lanjut, serta berusaha mereplikasi hasil penelitian. Sebelum dipublikasikan, klaim tersebut dapat dikatakan TIDAK PERNAH ADA.
Rumit? Memang. Begitulah dunia ilmiah menjaga kualitasnya. Kalau tidak punya pemahaman dan pengalaman dengan dunia penelitian, tidak disarankan untuk memercayai klaim-klaim bombastis yang tidak pernah dipublikasikan pembuktiannya. Supaya tidak dikata-katai dalam hati oleh mereka yang paham betapa rumitnya dunia penelitian ilmiah.

Thursday 26 September 2019

Thorium, Bahan Bakar Nuklir Masa Depan?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)
Thorium adalah unsur logam dalam deret aktinida dengan nomor atom 90 dan nomor massa 232. Sebagaimana unsur-unsur di atas aktinium, thorium bersifat radioaktif, dengan waktu paruh 14 milyar tahun (lebih panjang dari usia bumi). Unsur ini ditemukan oleh kimiawan Swedia, Jons Jakob Berzelius, pada tahun 1828.
Thorium merupakan bahan bakar nuklir bersifat fertil, dengan tampang lintang tangkapan netron 4x lebih tinggi dari isotop fertil uranium-238 pada spektrum netron termal. Namun, thorium tidak memiliki isotop fisil seperti uranium. Ketiadaan isotop fisil membuat thorium tidak bisa digunakan sendirian dalam reaktor nuklir. Harus ada isotop fisil untuk memicu reaksi tangkapan netron pada thorium, yang kemudian mengonversi thorium menjadi isotop fisil uranium-233. Isotop inilah yang sebenarnya berguna di reaktor nuklir untuk membangkitkan energi.
Konversi thorium menjadi uranium-233 berlangsung melalui persamaan berikut.
Mengingat thorium memiliki tampang lintang tangkapan netron lebih tinggi dari uranium-238, artinya lebih banyak isotop fertil yang dapat dikonversi menjadi isotop fisil uranium-233. Artinya, secara teoretis, reaktor nuklir yang menggunakan bahan bakar thorium dapat beroperasi lebih lama daripada reaktor dengan bahan bakar uranium.
Selain itu, uranium-233 merupakan bahan bakar fisil yang bekerja paling baik dalam spektrum termal. Nilai η dan ν uranium-233 merupakan yang paling tinggi, yang berarti netron yang dihasilkan dari reaksi fisi per netron yang diserap oleh bahan bakar lebih banyak dibandingkan isotop fisil lain seperti uranium-235 dan plutonium-239. Di spektrum termal, angkanya bisa mencapai lebih dari 2,1. Hal ini disebabkan tampang lintang tangkapan netron uranium-233 pada spektrum termal (48 barn) lebih rendah daripada uranium-235 (101 barn) dan plutonium-239 (274 barn). Pemanfaatan bahan bakar jadi lebih efisien, bahkan dimungkinkan untuk breeding/pembiakan. Hanya thorium yang memiliki kemampuan breeding dalam spektrum termal.
Gambar 1. Nilai eta (η) berbagai isotop fisil (sumber: IntechOpen)

Tabel 1. Data termal berbagai isotop fisil (sumber: Lamarsh)

Keunggulan thorium dan uranium-233 di spektrum termal menjadi hal menarik karena sebagian besar reaktor nuklir yang digunakan di dunia adalah reaktor termal, dan ada kecenderungan (walau tidak selalu) bahwa reaktor termal lebih diminati daripada reaktor cepat (mungkin soal kendali reaktivitas lebih mudah dan keterbuktian teknologi). Selain itu, kelimpahan thorium di bumi kira-kira 3–4x lebih besar daripada uranium, membuat ketahanan bahan bakar thorium diekspektasikan lebih panjang dari uranium. Tidak begitu akurat, sebenarnya, karena uranium terlarut di laut dan penambangan uranium dari laut secara praktis membuat ketahanan uranium jauh lebih tinggi dari thorium.
Walau demikian, efisiensi bahan bakar lebih tinggi dan produksi elemen transuranik sangat sedikit tentu saja menjadi poin menarik bagi thorium, baik secara teknologi maupun politis. Di Indonesia, thorium banyak terkandung dalam pasir monasit sisa penambangan timah. Sehingga, konversi thorium menjadi energi dalam reaktor nuklir sangat mendukung program waste-to-energy.
Kemampuan breeding thorium paling optimal dieksploitasi dalam molten salt reactor (MSR). Alasannya, MSR menggunakan bahan bakar cair, yang mudah dikeluarkan dari teras reaktor ketika reaktor beroperasi, alias reprosesing bahan bakar online, untuk mendapatkan uranium-233 murni dan kemudian disuplai ulang dalam teras reaktor sebagai bahan bakar fisil.
Apakah ada kekurangan? Tentu saja. Protaktinium-233, prekursor dari uranium-233, memiliki waktu paruh panjang, sekitar 27,2 hari (lihat persamaan di atas). Bandingkan dengan prekursor plutonium-239, neptunium-239, yang memiliki waktu paruh hanya 2,3 hari. Artinya, butuh waktu sedikit lebih lama untuk transmutasi thorium menjadi uranium-233. Protaktinium-233 merupakan penyerap netron cukup kuat, dan kalau dia menyerap netron, akan bertransmutasi menjadi uranium-234, yang eksistensinya bisa dikatakan tidak berguna dalam reaktor. Jadi, sebagian thorium mungkin hilang menjadi uranium-234 dalam prosesnya. Namun, mengingat performa uranium-233 masih jauh lebih baik dari plutonium-239, hal ini mungkin tidak terlalu signifikan.
Isu kedua ada pada fraksi beta efektif (βeff) uranium-233 yang lebih rendah dari uranium-235. Nilai β uranium-233 sebesar 0,0026, dibandingkan nilai β uranium-235 yang sebesar 0,0065. Fraksi βeff merupakan aspek penting dalam pengendalian reaktor nuklir, dan bisa jadi sedikit lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai β tiap nuklida. Semakin tinggi nilai βeff, semakin mudah reaktor dikendalikan, dan sebaliknya. Mengingat hal ini, kendali reaktor dengan bahan bakar uranium-233 dan thorium mungkin membutuhkan perlakuan berbeda.
Isu ketiga adalah koefisien reaktivitas temperatur yang sedikit lebih positif dibandingkan uranium. Berdasarkan pengamatan saya selama riset tentang fisika reaktor dari thorium, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi tampang lintang tangkapan netron, semakin positif koefisien reaktivitas temperaturnya. Pelebaran Doppler akibat kenaikan temperatur lebih berimbas dampaknya pada thorium, yang menyebabkan tangkapan netron di resonansi berkurang ketika temperatur naik. Akibatnya, relatif dibandingkan uranium-238, lebih banyak netron yang berfisi dan berimbas pada koefisien reaktivitas temperatur total lebih positif.
Gambar 2. Tampang lintang serapan netron uranium-238 dan thorium (sumber: ResearchGate)

Koefisien reaktivitas temperatur terkait dengan keselamatan melekat pada sebuah reaktor nuklir. Reaktivitas negatif berarti ketika somehow daya reaktor naik, reaksi fisi akan berkurang, sehingga daya kembali ke level semula secara otomatis. Semakin negatif semakin bagus. Sementara, jika kurang negatif, margin keselamatannya agak kurang, meski tentu saja masih inherently safe. Secara umum, koefisien reaktivitas temperatur lebih positif pada thorium membuat sistem kendali reaktivitas reaktor harus didesain lebih baik. Bukan berarti thorium itu auto unsafe, sih, cuma butuh sedikit modifikasi saja supaya margin keselamatannya tetap baik.
Isu keempat adalah keberadaan uranium-232. Isotop ini dihasilkan dari reaksi (n,2n) yang melibatkan thorium pada energi netron tinggi, di atas 6 MeV.
Uranium-232 sebenarnya merupakan fitur anti-proliferasi efektif bagi siklus bahan bakar thorium. Isotop ini akan meluruh dengan cepat menjadi thallium-208, yang merupakan pemancar gamma kuat 2,6 MeV. Kontaminasi beberapa ratus uranium-232 pada uranium-233 cukup untuk mempersulit hidup siapapun yang berusaha menyimpangkan uranium-233 menjadi senjata nuklir. Paparan radiasi kuatnya membuat pihak-pihak tidak bertanggungjawab akan sangat luar biasa kesulitan untuk mencuri/menyimpangkan uranium-232 sebagai bahan baku senjata nuklir. Butuh peralatan khusus nan canggih untuk bisa menanganinya dengan selamat.
Namun, hal ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi hal ini menjadi senjata anti-proliferasi ampuh, di sisi lain pengelolaan uranium-233, termasuk olah ulang/reprosesing bahan bakar, membutuhkan perangkat dengan perisai radiasi tebal juga. Jadi agak relatif merepotkan bagi pengguna.
Isu-isu seperti ini bukan tidak bisa diatasi. Karena itulah fungsi nuclear engineering, supaya pemanfaatan teknologi nuklir bisa dilakukan dengan baik dan benar, termasuk thorium.
Baik thorium maupun uranium ada poin plus minusnya. Bagi penulis, thorium lebih menarik daripada uranium di spektrum termal, tetapi kurang menarik di spektrum cepat. Penulis sangat mendukung pemanfaatan thorium untuk reaktor nuklir termal, dengan alasan benefit yang didapatkan lebih banyak daripada loss-nya. Mengingat, benefit thorium merupakan aspek fisika nuklir yang tidak bisa diubah-ubah, sementara loss thorium masih bisa direkayasa dengan nuclear engineering.
Tantangan utama untuk siklus bahan bakar thorium adalah mencari isotop fisil yang tepat untuk mengonversi thorium menjadi uranium-233. Mengingat, uranium-233 tidak tersedia di alam akibat waktu paruhnya jauh lebih pendek dari uranium-235. Opsi yang tersedia adalah uranium-235 berpengayaan rendah (low-enriched uranium/LEU) dan plutonium. Tidak semua negara memiliki akses ke plutonium akibat isu non-proliferasi, jadi kemungkinan LEU yang paling feasible. Hanya saja, penggunaan LEU dalam MSR thorium juga memiliki tantangan dengan terjadinya pembentukan elemen transuranik yang mengganggu kesetimbangan pendingin garam. Opsi-opsi transisi menuju siklus thorium masih diteliti, termasuk menggunakan reaktor cepat untuk breeding uranium-233.
Apakah thorium akan menjadi masa depan energi? Lebih tepat jika dikatakan bahwa thorium dapat menjadi pendamping uranium sebagai bahan bakar nuklir. Sekarang thorium belum dimanfaatkan secara luas, tidak jadi soal. Yang penting kembangkan terus risetnya, sehingga dalam waktu dekat, thorium sudah mulai bisa dipakai secara optimal dan saling melengkapi dengan uranium. Jangan sampai pengembangan thorium dihambat-hambat dengan alasan "belum siap," "belum terbukti," "belum komersial," dan alasan-alasan irasional lainnya. Karena kalau begitu terus alih-alih disiapkan, sampai bencana iklim menghantam bumi akibat reduksi CO2 tidak berhasil dilakukan pun thorium tidak akan termanfaatkan.
Daftar Pustaka
  1. Cui D.Y., Li X.X., Xia S.P., Zhao X.C., Yu C.G., Chen J.G., et al. Possible scenarios for the transition to thorium fuel cycle in molten salt reactor by using enriched uranium. Prog. Nucl. Energy. 2018. 104:75–84.
  2. Hargraves, R. Thorium Energy Cheaper Than Coal. 2012.
  3. Serp J., Allibert M., Beneš O., Delpech S., Feynberg O., Ghetta V., et al. The molten salt reactor (MSR) in generation IV: Overview and perspectives. Prog. Nucl. Energy. 2014. 77:308–19.
  4. Kang J., von Hippel F.N. U‐232 and the proliferation‐resistance of U‐233 in spent fuel. Sci. Glob. Secur. 2001. 9(1):1–32.
  5. Lamarsh, J.R. Introduction to Nuclear Reactor Theory. 1966.
  6. Li X.X., Cai X.Z., Jiang D.Z., Ma Y.W., Huang J.F., Zou C.Y., et al. Analysis of thorium and uranium based nuclear fuel options in Fluoride salt-cooled High-temperature Reactor. Prog. Nucl. Energy. 2015. 78:285–90.
  7. Liem P.H., Sembiring T.M., Tran H. Evaluation on fuel cycle and loading scheme of the Indonesian experimental power reactor (RDE) design. Nucl. Eng. Des. 2018. 340:245–59.
  8. Mirvakili S.M., Kavafshary M.A., Joze Vaziri A. Comparison of neutronic behavior of UO2, (Th-233U)O2and (Th-235U)O2fuels in a typical heavy water reactor. Nucl. Eng. Technol. 2015. 47(3):315–22.
  9. Moir R.W. Recommendations for a restart of molten salt reactor development. Energy Convers. Manag. 2008. 49:1849–58.
  10. Rubbia C. A Future for Thorium Power? in: Thorium Energy for the World. 2016. pp. 9–25.
  11. Wojciechowski A. The U-232 production in thorium cycle. Prog. Nucl. Energy. 2018. 106(March):204–14.
  12. Zou C., Zhu G., Yu C., Zou Y., Chen J. Preliminary study on TRUs utilization in a small modular Th-based molten salt reactor (smTMSR). Nucl. Eng. Des. 2018. 339:75–82.

Thursday 5 September 2019

Menyoal Dogma Keselamatan Radiasi


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Nuclear Engineer)
Sulit untuk menemukan penelitian dalam negeri tentang efek biologi radiasi terhadap makhluk hidup. Selama ini, aspek keselamatan radiasi selalu dilandaskan pada model obsolete dan bermasalah bernama linear-no-threshold (LNT). Model LNT mengatakan bahwa "kenaikan risiko akibat paparan radiasi nuklir linier dengan naiknya dosis," atau seperti itulah maknanya. Sedikit yang mengkritisi model ini, yang ada justru ditelan mentah-mentah seolah itulah kebenaran atau paling mendekati kebenaran.
Dari model inilah lahir konsep-konsep ganjil seperti "efek stokastik radiasi" dan "tidak ada dosis radiasi yang selamat." Model ini sama sekali mengabaikan fakta bahwa manusia memiliki mekanisme self-repair. Kerusakan pada sel/jaringan/DNA dapat diperbaiki dalam taraf tertentu. Tapi menurut LNT, satu pancaran radiasi memiliki potensi merusak sel dan tidak bisa diperbaiki. Permanently damaged. Jadi, muncullah konsep aneh "tidak ada dosis radiasi yang selamat/there is no safe dose."
Dari sana pula muncul hipotesis soal "efek stokastik," yakni efek tertunda dari paparan radiasi nuklir, yang munculnya entah berapa puluh tahun setelah terpapar. Itupun kalau benar sumbernya dari radiasi nuklir. Tingkat ketidakpastiannya? Sangat tinggi sampai-sampai saya akan terkejut kalau ada orang statistik yang menerimanya.
Lucunya, model usang, obsolete, dan scientifically unproven (surprise!) inilah yang dijadikan landasan "ngilmiah" bagi regulator nuklir untuk menentukan standar keselamatan radiasi. Sehingga, kemudian muncul filosofi as low as reasonably achievable (ALARA), yang meniscayakan penerimaan dosis radiasi diwajibkan serendah mungkin sampai mentok sementok-mentoknya. Walau secara teknis pemanfaatan radiasi (sebagaimana semua teknologi lain) membutuhkan justifikasi untuk penggunaannya, prinsip ALARA memperketat standar justifikasi sehingga dosis radiasi yang diizinkan diterima manusia menjadi terlalu rendah dan irasional. Kenapa harus serendah ini?
Model LNT adalah penghambat utama penerimaan teknologi energi nuklir dan salah satu faktor yang membuat energi nuklir, dalam beberapa kondisi, menjadi mahal. LNT membuat standar keselamatan radiasi jadi terlalu ketat. Standar keselamatan ketat membuat masyarakat berasumsi bahwa radiasi itu berbahaya, sehingga energi nuklir itu berbahaya. Karena dianggap berbahaya, berbagai macam safety measurement harus diterapkan pada PLTN untuk mencegah dampak “mematikan” radiasi ke masyarakat, walau sebenarnya perangkat-perangkat itu tidak benar-benar diperlukan. Hasilnya, sistem keselamatan nuklir overdosis ini membuat harga PLTN di beberapa belahan dunia menjadi sangat mahal.
Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi membuat standar keselamatan PLTN di seluruh dunia, secara panik, ditingkatkan setinggi-tingginya, walau realitanya tidak ada seorangpun yang mati karena kecelakaan itu. Atau seperti istilah Prof. Bernard L. Cohen, regulatory ratcheting. Hasilnya, pembangunan PLTN terhambat dan harganya melonjak, dengan kontribusi minim bahkan tidak diperlukan terhadap keselamatan nuklir. Semua gara-gara persepsi bodoh bahwa “radiasi itu berbahaya,” yang mana kebodohan itu asal muasalnya dari model LNT.
Herman Muller adalah orang paling bertanggungjawab dalam semua kebodohan ini. Muller adalah orang yang menelurkan konsep LNT yang dipenuhi kecacatan ilmiah. Data bermasalah, menyembunyikan data, studi yang tidak peer-reviewed, eh malah orangnya dijadikan penerima Nobel tahun 1946 atas penelitian bermasalah itu. Bodohnya lagi, model yang dibuat Muller itulah kemudian diadaptasi dan dijadikan landasan proteksi dan keselamatan radiasi!
Manusia hidup dengan dosis latar berbeda-beda. Orang yang tinggal di Bangka Belitung dan Mamuju menerima dosis radiasi lebih tinggi daripada yang tinggal di Sukabumi dan Serpong. Orang yang tinggal di Karachi menerima dosis radiasi lebih rendah daripada yang tinggal di Kerala. Tiap daerah memiliki laju paparan radiasi berbeda-beda. Nyatanya, tidak tampak bahwa penduduk di daerah dengan dosis radiasi lebih tinggi memiliki tingkat masalah kesehatan lebih tinggi daripada daerah dengan dosis radiasi lebih rendah. Jangan sampai saya kemudian mendengar rekomendasi bodoh untuk memindahkan penduduk Mamuju dan Bangka Belitung karena paparan radiasinya.
Sebagai perspektif, penyintas pemboman Hiroshima dan Nagasaki mayoritas menerima dosis lebih tinggi daripada Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditetapkan oleh berbagai regulator nuklir dunia. Penelitian terhadap mereka dan keturunannya menunjukkan bahwa tidak ditemukan ada defek genetik pada keturunan penyintas. Efek kanker berlebih hanya tampak signifikan pada dosis radiasi > 1 Gy dan sulit dibedakan dari insidensi kanker normal pada dosis dibawah 0,1 Gy.
Studi lain menunjukkan bahwa radiasi dosis rendah pada penyintas pemboman Hiroshima dan Nagasaki justru memperpanjang usia dan menurunkan mortalitas akibat kanker. Sementara, studi efek radiasi terhadap fungsi kognitif penyintas tidak menemukan korelasi sebab-akibat dari paparan radiasi terhadap demensia.
Kecelakaan PLTN Chernobyl merupakan kecelakaan PLTN paling parah yang mungkin terjadi. Kecelakaan ini menyebabkan terlepasnya sebagian material radioaktif dari dalam teras reaktor ke lingkungan. Apakah terjadi masalah terhadap kesehatan masyarakat? Jawabannya tidak. Selain dari ± 60 orang tewas yang dapat diatribusikan pada dampak kecelakaan PLTN Chernobyl (mungkin lebih rendah), tidak terobservasi adanya kenaikan insidensi mortalitas kanker pada penduduk di daerah paling terkontaminasi sekalipun. Prediksi WHO bahwa mungkin terdapat 4000 kematian susulan akibat dampak radiasi ditolak oleh UNSCEAR.
Mengerikan bahwa dogma ini diterima begitu saja tanpa kritik dan evaluasi. Apakah penerimaan buta ini yang membuat penelitian efek biologi radiasi dalam negeri mandeg? Yang ada hanya spouting nonsense tentang ALARA, efek stokastik, there is no safe dose, dan sebangsanya. Alih-alih divalidasi, malah dijadikan landasan untuk memvalidasi.
Seandainya LNT itu benar, maka bisa saja seseorang di luar sana terkena kanker dan mati karena makan sebuah cireng yang dibeli di tukang gorengan pinggir jalan. Atribusi seperti ini sangat menggelikan bagi kalangan ilmiah.
LNT dan turunannya merupakan salah satu penyebab energi nuklir menjadi sulit diterima dan sulit diekspansi, all for nothing. Tidak ada landasan ilmiah yang meyakinkan, tidak meningkatkan keselamatan publik, tidak membuat masyarakat merasa safe, efek positif yang mungkin didapatkan tidak terjustifikasi dengan efek negatif yang malah timbul.
Jika energi nuklir ingin bisa diterima dengan baik dan biaya keselamatannya tidak berlebihan secara sia-sia, LNT dan turunannya adalah salah satu hal yang paling pertama harus dibasmi. Kalau masih tidak yakin untuk membasminya, buat penelitian serius tentang efek biologi radiasi, kali ini wajib bebas dari bias apapun dan semata-mata hanya demi menemukan kebenaran ilmiah (atau yang mendekatinya). Pertanyaan pertama, adakah yang berani mengabolisi LNT? Pertanyaan kedua, siapa yang mau dan bertanggungjawab melakukan penelitiannya?
Daftar Pustaka:
  1. Alexander Vaiserman et al, 2018. Health Impacts of Low-Dose Ionizing Radiation: Current Scientific Debates and Regulatory Issues. Dose-Response, vol. 16, issue 3, pp. 1-27.
  2. Antone L. Brooks, 2019. The impact of dose rate on the linear no threshold hypothesis. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 68-80.
  3. Bertrand R. Jordan, 2016. The Hiroshima/Nagasaki Survivor Studies: Discrepancies Between Results and General Perception, Genetics, vol. 203, issue 4, pp. 1505-1512.
  4. Bobby R. Scott and Sujeenthar Tharmalingam, 2019. The LNT model for cancer induction is not supported by radiobiological data. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 34-53.
  5. David Costantini and Benny Borremans, 2019. The linear no-threshold model is less realistic than threshold or hormesis-based models: An evolutionary perspective. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 26-33.
  6. Edward J. Calabrese, 2015. On the origins of the linear no-threshold (LNT) dogma by means of untruths, artful dodges and blind faith. Environmental Research, vol. 142, pp. 432-442.
  7. Edward J. Calabrese. 2019. Muller's Nobel Prize data: Getting the dose wrong and its significance. Environmental Research, vol. 176, 108528.
  8. Edward J. Calabrese, 2019. The linear No-Threshold (LNT) dose response model: A comprehensive assessment of its historical and scientific foundations. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 6-25.
  9. Kotaro Ozasa, 2016. Epidemiological research on radiation-induced cancer in atomic bomb survivors. Journal of Radiation Research, vol. 57, issue S1, pp. 112-117.
  10. Max W. Carbon, 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Energy 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.
  11. Michiko Yamada et al, 2016. Radiation Effects on Cognitive Function Among Atomic Bomb Survivors Exposed at or After Adolescence. The American Journal of Medicine, vol. 129, issue 6, pp. 586-591.
  12. Paolo F. Ricci, Sujeenthar Tharmalingam, 2019. Ionizing radiations epidemiology does not support the LNT model. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 128-140.
  13. Rebecca A. Clewell et al., 2019. Dose-dependence of chemical carcinogenicity: Biological mechanisms for thresholds and implications for risk assessment. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 112-127.
  14. Robert Hargraves, 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.
  15. Shizuyo Sutou, 2018. Low-dose radiation from A-bombs elongated lifespan and reduced cancer mortality relative to un-irradiated individuals, Genes and Environment, vol. 40, 26.
  16. Sujeenthar Tharmalingam, 2019. Re-evaluation of the linear no-threshold (LNT) model using new paradigms and modern molecular studies. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 54-67.
  17. Syarbaini et al, 2015. Perkiraan dosis radiasi yang diterima publik di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Ekologi Kesehatan, vol. 14, no. 4, pp. 318-333.
  18. United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation, 2011. Sources and Effects of Ionizing Radiation Volume II Annex D. New York: UNSCEAR.
  19. Wade Allison, 2009. Radiation and Reason: The Impact of Science on a Culture of Fear. York: Wade Allison Publishing.
  20. Wade Allison, 2015. Nuclear Is for Life. York: Wade Allison Publishing.
  21. Zbigniew Jaworowski, 2010. Observations on Chernobyl After 25 Years of Radiophobia. 21st Century Science and Technology, Summer 2010, pp. 30-45.
  22. Zbigniew Jaworowski, 2010. Observations on the Chernobyl Disaster and LNT. Dose-Response, vol. 8, issue 2, pp. 148-171.
  23. Zubaidah Alatas et al, 2013. Respon Sitogenik Penduduk Daerah Radiasi Alam Tinggi Di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, vol. 13, no. 1, pp. 13-26.