Oleh:
R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.
Pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900
VA, mau dilihat dari sudut manapun, sama sekali tidak ditujukan demi
kemaslahatan rakyat. Pencabutan subsidi ini tidak lebih dari tanda bahwa negara
ini sedang krisis keuangan, sehingga harus memangkas anggaran subsidi. Selain
itu, pencabutan subsidi ini makin memuluskan amanat IMF untuk meliberalisasi
sektor kelistrikan Indonesia. Ujung-ujungnya, agenda para mafia kapitalisme
global lagi yang dijalankan.
Subsidi listrik saat ini memang dibutuhkan,
karena tidak semua kalangan masyarakat dapat menjangkau biaya listrik dengan
harga komersialnya. Tarif listrik non-subsidi pada harga Rp 1467,28/kWh jelas
terlalu mahal untuk dijangkau kalangan menengah ke bawah apalagi kalangan
miskin. Padahal listrik itu kebutuhan pokok yang seharusnya disediakan oleh
negara. Terlebih, alasan utama pencabutan subsidi listrik ya untuk liberalisasi
kelistrikan itu.
Walau subsidi listrik merupakan keharusan pada
saat ini, tapi ke depannya kita mesti berpikir lebih jauh lagi. Maksudnya bagaimana?
Coba lemparkan pertanyaan ini: kenapa listrik mahal?
Tentu saja ada banyak faktor listrik jadi mahal.
Kelak, faktor-faktor ini mesti dilenyapkan agar negara tidak perlu lagi
menyubsidi listriknya agar mampu terjangkau bagi seluruh rakyatnya.
Dalam syariat Islam, sektor kelistrikan mulai
dari hulu sampai hilir dikelola sepenuhnya oleh negara. Sumber daya energi yang
notabene merupakan kepemilikan umum juga dikelola oleh negara, sebagaimana
hadits Nabi ﷺ.
“Kaum
Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api.”
(HR Abu Dawud)
Termasuk dari api dalam hadits ini adalah
sumber daya energi, baik itu batubara, gas alam, minyak bumi, uranium, thorium,
dan panas bumi. Secara ekonomis, pengelolaan sumber daya energi oleh negara
akan menghilangkan biaya-biaya yang tidak diperlukan. Pembiayaan di mata rantai
industri energi milik umum akan saling menghilangkan satu sama lain.
Hanya saja, walau sektor kelistrikan dan
sumber daya energi dikelola sepenuhnya oleh negara, kalau pemilihan
teknologinya salah, tetap saja listrik akan mahal. Karena itu, negara juga
mesti tahu, sumber daya energi mana yang paling layak secara ekonomis?
Paradigma Islam memang bukan paradigma bisnis, melainkan pelayanan umat. Namun,
bukan berarti lantas tidak perlu memikirkan biaya yang ditimbulkannya sama
sekali.
Pertanyaannya, teknologi energi mana yang
paling murah?
Sebelum kemana-mana, perlu ditentukan dulu,
berapa batasan harga listrik agar bisa terjangkau seluruh masyarakat? Menilik
kurs mata uang saat ini, saya kira harga listrik ketika keluar dari
pembangkit tidak boleh lebih dari USD 2 sen/kWh, atau sekitar Rp 270/kWh.
Dari angka tersebut, sekitar USD 1 sen sudah terpakai untuk keperluan
operasional dan perawatan (O&M), sehingga menyisakan USD 1 sen untuk biaya
balik modal, biaya bahan bakar serta biaya dampak lingkungan.
Lantas, dari opsi-opsi energi yang ada, mana
yang mampu menghasilkan listrik kurang dari USD 2 sen/kWh? Mari kita komparasi.
Pertama yang dibahas yaitu dari segi bahan bakar.
Pembangkit listrik yang menggunakan bahan
bakar ada empat: PLTU batubara, PLTG, PLTD, dan PLTN. Dari keempatnya, PLTD
kita tendang saja, karena sejak awal tidak pernah layak digunakan untuk
pembangkit berskala besar. Jadi yang dikomparasi hanya batubara, gas alam, dan
nuklir.
Batubara yang
banyak terdapat di Indonesia adalah batubara tipe lignite, yang
merupakan batubara dengan kualitas paling rendah dan paling boros. Densitas
energinya berkisar antara 15-25 Mega Joule (MJ)/kg. Lignite di
Australia lebih buruk lagi, ada yang hanya sekitar 8 MJ/kg. Dalam
komparasi ini, diasumsikan rerata densitas energi batubaranya 20 MJ/kg.
Agak kelewat optimis, tapi tidak apalah.
PLTU batubara memiliki efisiensi pembangkit
berkisar 33%. Artinya, dari 100% energi termal yang dibangkitkan dari
pembakaran batubara, hanya 33% yang terkonversi menjadi energi listrik. PLTU
teknologi terbaru memiliki efisiensi termal lebih tinggi, bisa mencapai 44%,
hanya saja unitnya mahal. Di sini, anggaplah PLTU yang digunakan memiliki
efisiensi termal 40%. Dengan demikian, untuk membangkitkan listrik
dengan daya 1000 MWe, dibutuhkan daya termal 2500 MWe.
Harga batubara tergantung kualitasnya. Karena
kualitas lignite paling rendah, harganya juga paling murah. Kisarannya
saat ini antara USD 45-55/ton. Di sini anggap saja harga batubaranya USD
45/ton.
Pembangkit listrik tidak mungkin beroperasi
tanpa henti. Pasti ada waktu kosong untuk perawatan. Jadi, ada perbedaan antara
energi yang bisa dibangkitkan secara riil dengan energi yang bisa dibangkitkan
secara teoretis. Istilahnya adalah faktor kapasitas (capacity factor/CF).
Walau demikian, CF sebenarnya tidak berpengaruh terhadap biaya bahan bakar.
Sebab, semakin rendah CF, semakin sedikit pula bahan bakar yang digunakan. Jadi
saling menghilangkan. Walau demikian, untuk sekadar komparasi kebutuhan bahan
bakar dan memudahkan perhitungan, CF tetap dimasukkan dalam perhitungan ini.
Untuk PLTU batubara, rerata CF-nya adalah 60%.
PLTU batubara teknologi terbaru bisa mencapai CF lebih tinggi, sekitar 80%.
Di sini, mari asumsikan CF-nya 80%.
Dari sini, berapa biaya bahan bakar untuk
batubara?
Per tahun, energi termal yang dibangkitkan
oleh PLTU 1000 MWe adalah (2500*8,766*80%) = 17.532 GWh. Dari sini bisa
dikonversi menjadi massa batubara yang dibutuhkan, yakni (17.532/0,000278/20)
= 3.155.760
ton batubara/tahun. Untuk mendapatkan biaya bahan
bakar per kWh listrik dibangkitkan, maka dari sini dikonversi dengan
perhitungan ([3.155.760*45]/[17.532*1.000.000*40%]) = USD 0,02025/kWh = USD 2,025
sen/kWh.
Artinya,
dengan asumsi optimis sekalipun, biaya bahan bakar batubara jauh melebihi
batasan di awal tadi.
Bagaimana
kalau batubaranya memiliki kualitas lebih tinggi? Bisakah lebih murah? Tidak
juga. Batubara dengan kualitas lebih tinggi jelas lebih mahal dari lignite,
walau densitas energinya juga lebih tinggi.
Berikutnya adalah gas alam. Ada dua opsi utama penggunaan gas
alam dalam pembangkit listrik, yakni PLTG dan PLTGU. Bedanya apa? Kalau PLTG menggunakan
turbin tunggal, yakni turbin gas, maka PLTGU menggunakan turbin ganda, yakni
turbin gas dan turbin uap. Dengan turbin ganda ini, PLTGU memiliki efisiensi
pembangkit lebih tinggi, sehingga mengurangi biaya bahan bakar dan emisi.
Gas alam memiliki densitas energi sebesar 37 MJ/m3,
lebih tinggi daripada batubara. Yang agak menyebalkan, gas alam biasa
menggunakan satuan metric million British thermal unit
(MMBTU) untuk menentukan harganya, alih-alih satuan volume standar seperti m3.
Jadi, nanti terpaksa ada faktor konversi dari m3 gas alam ke MMBTU.
Faktor konversinya sebesar 28,263682 m3/MMBTU.
Berikutnya, berapa harga gas alam? Jawabannya tergantung bentuk dan
distribusinya. Di Amerika Serikat, gas alam biasa ditransfer menggunakan pipa
gas, dari ladang gas ke pembangkit. Di Indonesia, hal itu sulit dilakukan.
Kenapa? Indonesia itu kepulauan. Tidak bisa membangun jaringan perpipaan dari
Papua ke Sumatera, misalnya. Jadi, transportasi gasnya mesti dengan cara
dicairkan terlebih dahulu.
Persoalannya, gas alam sulit dicairkan menjadi liquefied natural gas (LNG), tidak seperti liquefied petroleum gas (LPG). Karena sulit, biayanya mahal. Belum
lagi biaya untuk pengangkutan LNG menggunakan kapal, lalu dicairkan lagi, baru
ditransfer lewat perpipaan. Jatuhnya jadi mahal.
Jadi, berapa harga gas alam ketika sampai di pembangkit? Bisa sangat
bervariasi, rentangnya kira-kira antara USD 3-10/MMBTU. Di Indonesia,
hampir tidak mungkin harga gas alam bisa serendah USD 3/MMBTU. Tapi, for the sake of argument, di sini digunakan angka itu saja.
Seperti dinyatakan sebelumnya, gas alam bisa dimanfaatkan dalam PLTG
maupun PLTGU. Perbedaan jumlah turbin meniscayakan perbedaan efisiensi
pembangkit. PLTG rerata memiliki efisiensi pembangkit berkisar 33%.
Sementara, PLTGU ada yang bisa mencapai 60%. Sehingga, untuk
menghasilkan daya 1000 MWe, PLTG dan PLTGU masing-masing membutuhkan daya
termal sebesar 3.030 MWt dan 1.667 MWt. Nilai CF keduanya tidak
terlalu baik, rerata hanya 60%.
Coba hitung PLTG dulu. Per tahun, daya termal yang dibangkitkan adalah (3.030*8,766*60%)
= 15.938 GWh. Dari sini, gas alam yang dibutukan adalah sebesar ([15.938/0,000278]*1000)/37/28.263682
= 54.866.949,56
MMBTU/tahun. Dengan demikian, untuk biaya bahan bakar per kWh pada PLTG
adalah sebesar ([54.866.949,56*3]/[15.938*1.000.000*33%])
= USD 0,0313 sen/kWh = USD 3,13 sen/kWh.
Jadi,
kontras dengan kepercayaan umum, gas alam realitanya lebih mahal daripada
batubara, dari segi bahan bakar.
Tapi
bagaimana dengan PLTGU? Menggunakan rumus yang sama, didapatkan daya termal
yang dibangkitkan per tahun sebesar (1.667*8,766*60%) = 8.766 GWh. Lalu,
gas alam yang dibutuhkan per tahun sebesar ([8.766/0,000278]*1000)/37/28.263682 = 30.176.822,26
MMBTU/tahun. Kemudian, didapatkan bahwa biaya bahan bakar per kWh pada
PLTGU adalah sebesar ([30.176.822,26*3]/[8.766*1.000.000*60%]) = USD
0,0172/kWh = USD 1,72 sen/kWh.
Menggunakan
PLTGU bisa memangkas biaya bahan bakar gas alam hingga hampir setengahnya. Hanya
saja, itu kalau memang harga gas alamnya USD 3/MMBTU, yang mana hampir
mustahil. Cobalah naikkan sedikit, jadi USD 4/MMBTU. Maka biaya bahan bakar
PLTG dan PLTGU melonjak menjadi masing-masing USD 4,17 sen/kWh dan USD
2,29/kWh.
Dengan
asumsi paling optimis sekalipun, biaya bahan bakar dari gas alam masih di atas
batas yang ditetapkan di awal.
Terakhir, kita
hitung biaya bahan bakar nuklir. Ada tiga opsi bahan bakar nuklir, yakni
uranium-233 (U233), uranium-235 (U235) dan plutonium-239 (Pu239). Dari
ketiganya, hanya U235 yang tersedia secara alami. Dua lainnya mesti disintetis
dalam reaktor nuklir dari thorium dan uranium-238 (U238). Membahas ketiganya
akan jadi panjang sekali dan melelahkan untuk dibaca, jadi saat ini yang saya
kalkulasi hanya U235 saja, yang sudah komersial.
Uranium
alam terdiri utamanya dari dua isotop, yakni U235 dan U238. Yang bisa jadi
bahan bakar langsung hanya U235, sementara U238 akan berubah sebagian menjadi
Pu239 di dalam reaktor nuklir. Kadar U235 di alam kecil sekali, hanya 0,711%.
Untuk bisa digunakan di PLTN, umumnya uranium harus melewati proses pengayaan
dulu. Artinya, konsentrasi U235 terhadap uranium keseluruhan harus
ditingkatkan. Di sini, diasumsikan tingkat pengayaannya 4%. Angka ini
sudah mencukupi, karena PLTN komersial saat ini tidak perlu pengayaan U235
lebih dari 5%.
Berapa
harga U235 4%? Menghitungnya perlu mempertimbangkan harga uranium alam serta
biaya pengayaan bahan bakar. Saat ini harga uranium sedang rendah, sekitar USD
19,25/pound. Namun, bisa saja ke depannya naik lagi. Supaya aman, asumsi harga
uranium alam kita naikkan saja jadi USD 40/pound.
Beruntung,
biaya konversi dan pengayaan juga makin murah seiring berkembangnya teknologi.
Untuk lebih memudahkan, digunakan kalkulator pengayaan uranium daring (https://www.uxc.com/p/tools/FuelCalculator.aspx). Menggunakan kalkulator ini,
diasumsikan harga uranium alam USD 40/pound, tail assay sebesar 0,2% dan
pengayaan 4%. Dari sini, didapatkan harga U235 4% adalah USD 1.104/kg.
Selain ini, uranium juga membutuhkan fabrikasi, yang biayanya berkisar USD
460/kg. Sehingga, totalnya jadi USD 1.564/kg.
Harga di
atas jauh lebih mahal ketimbang batubara dan gas alam dengan massa yang sama.
Hanya saja, densitas energi U235 jauh lebih tinggi, yakni 7,36x107
MJ/kg. Berikutnya, derajat bakar (burnup/BU) uranium diasumsikan 50
GWd/tU. Artinya, 25% energi yang dibangkitkan berasal dari Pu239 yang
dihasilkan dari transmutasi U238 dalam reaktor nuklir.
PLTN
memiliki efisiensi termal cenderung rendah, hanya sekitar 33%. Artinya,
untuk menghasilkan daya 1.000 MWe, butuh daya termal 3.030 MWe. CF PLTN
relatif tinggi, mampu mencapai 90%.
Dari
data-data di atas, dapat dihitung bahwa PLTN membangkitkan daya termal sebesar (3.030*8,766*90%)
= 23.907 GWh. Dengan demikian, U235 4% yang dibutuhkan per tahunnya sebesar
(([23.907/0,000278]*1000)/(7,36e+7)/4%)*75% = 29.219 kg = 29,22 ton.
Sangat sedikit, dibandingkan dengan kebutuhan batubara dan gas alam. Lalu,
untuk biaya bahan bakarnya, didapatkan sebesar ([1.564*29.219*75%])/[23.907*1.000.000*90%)
= USD 0,0043/kWh = USD 0,43 sen/kWh.
Angka di
atas masih kurang dari setengahnya dari batasan yang kita tetapkan di awal.
Kalau disusun, maka berikut
adalah daftar biaya bahan bakar dari ketiga moda energi di atas.
Sudah jelas mana yang memenuhi batasan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Maka, untuk menghasilkan listrik kurang dari USD 2 sen/kWh, dari segi
biaya bahan bakar, nuklir adalah satu-satunya yang memenuhi syarat. Batubara
dan gas alam terlalu mahal untuk bisa menghasilkan listrik yang benar-benar
murah tanpa harus disubsidi.
Tentu saja, standar USD 2 sen/kWh itu bisa sedikit dilonggarkan kalau
kurs Rupiah ke US Dollar menguat, katakanlah menjadi Rp 10.000/US Dollar (walau
saya ragu ini bisa terjadi). Barangkali bisa dilonggarkan jadi USD 3 sen/kWh.
Dengan demikian, PLTGU bisa masuk, walau dengan margin sangat sempit dan
kondisi yang nyaris mustahil.
Dengan demikian, nuklir tetap paling unggul. Jika ingin membangkitkan
listrik yang benar-benar murah tanpa harus disubsidi, maka teknologi yang mesti
digunakan mau tidak mau harus nuklir. Batubara dan gas alam sudah out of competition.
Oke, secara bahan bakar memang nuklir paling murah. Tapi bagaimana
dengan biaya dampak lingkungan dan biaya balik modalnya? Bagaimana
perbandingannya dengan pembangkit listrik yang tidak butuh bahan bakar, yaitu so-called “energi terbarukan”?
(bersambung
ke Bagian 2)
BISMILLAH IJIN TANYA ([15.938/0,000278]*1000)/37/28.263682
ReplyDelete0,000278 ANGKA DARI MANA, TERIMAKAKSIH