Tuesday, 10 October 2017

"Cari tempat lain untuk menerapkan demokrasi tersayangmu itu!"

...

Kami berdua tertegun dengan kedatangan Harun yang tiba-tiba. Gita malah kelihatan kayak baru lihat Grim Reaper yang siap mencabut rohnya dari tubuhnya dengan sangat menyakitkan. Tahu gimana tampang psikopat Jim Moriarty di Sherlock episode The Reichenbach Fall? Aku berani sumpah Harun lebih mengerikan daripada itu.

Gita tergagap. “Ka... kamu… gimana...”

Harun menunjuk pintu di belakangnya. Berarti dari tadi dia dengerin dari luar sana.

“Sekali lagi kutanya, bisakah kamu mengklarifikasi pada orang yang bersangkutan, apa dia memiliki tendensi untuk menjadi seorang teroris?”

Aku nggak jawab. Gita sendiri malah jadi gemeteran.

Aku percaya bahwa aku sudah memberitahu anak-anak X-1 untuk tidak mengatakan hal ini pada siapapun, dan kalian sudah berjanji soal itu.”

Gita menggeram. “Nggak masalah! Biar mereka tahu kalau kamu emang bahaya!”

“Begitukah?” Harun mengangkat alis. “Boleh aku tanya, selepas kejadian itu, kapan aku pernah melakukan sesuatu yang mengancam nyawa orang lain? Barangkali kamu lupa, aku masuk rumah sakit selama seminggu dan cedera tangan selama dua minggu beberapa waktu yang lalu. Yang membereskan berandalan itu justru Renza, bukan aku.”

Gita menoleh padaku. Aku mengangkat bahu. “Masa’ kamu udah lupa?”

“Tentu kamu baru saja didoktrin oleh berita di Matre TV semalam. Tentu aku tahu. Mungkin kamu perlu kuingatkan bahwa media massa senantiasa memiliki tendensi tertentu, tidak pernah netral dari pihak yang memiliki kepentingan.”

“Kenapa harus nggak percaya? Yang bilangnya aja Professor!” balas Gita sengit.

“University of Berkeley punya banyak profesor, dan mereka mencetak para mafia ekonomi neoliberal yang mengacaukan perekonomian dunia. Musdah Mulia itu profesor, tapi dia menghalalkan homoseksualitas.” timpal Harun dingin.

Gita kayaknya mulai kehabisan kata-kata. “Tetep aja kamu itu bahaya!”

“Seingatku juga, hal itu terjadi jauh sebelum aku masuk ke DKM.”

“Ah, ngomongnya aja di depan kayak gitu, siapa tahu dalam hati beda?”

“Oh, cuma asumsi tidak berdasar?” Harun mengangkat bahu dan menatap Gita sinis. “Kukira aku juga sudah memberitahumu bahwa aku benci dituduh tanpa bukti?”

Gita mulai kelepasan dan mulai teriak. “Sejak kamu masuk DKM, kamu jadi banyak ngomongin masalah negara Islam, pemerintahan Islam, sistem kufur, pemerintah pengkhianat, mau jadi pemberontak? Ini Indonesia! Bukan Arab! Kalau mau bikin negara Islam, pergi aja sana ke Arab! Jangan di sini! Ini negara demokrasi, bukan negara Islam!

Hamni dan Melda yang lagi duduk di pojok kaget denger teriakan Gita. Sementara Harun masih tetap dalam tatapan bekunya.

“Hei, ada apaan, sih? Gita, kamu kenapa teriak-teriak? Kaget, tahu.” tanya Hamni, wajahnya nunjukin kebingungan.

Harun menolah pada Hamni, yang langsung kelihatan ngeri. Gita nggak menjawab. Mukanya masih kelihatan marah.

“Urusan kecil,” lalu Harun menoleh balik ke Gita, “Lama-lama cara berpikirmu seperti Bu Diana. Sudah mulai didoktrin juga olehnya?”

Harun melemparkan tas ke kursinya. “Kalau konsisten dengan pernyataanmu, kenapa kamu masih beragama Islam, bukan animisme? Islam itu aslinya dari Arab, bukan dari Madiun. Yang asli Indonesia itu animisme. Menyembah roh-roh dan kekuatan alam, bukan menyembah Tuhan, apalagi Tuhan Yang Esa.”

Gita terdiam. Hamni kelihatan resah dan mau berdiri. Tapi Melda menahannya, bisikin sesuatu yang bikin Hamni nggak jadi nyamperin.

Kamu bilang negara ini negara demokrasi. Kamu kira demokrasi itu buatan Mpu Gandring? Buatan Plato, dari Yunani Kuno. Bukan dari Indonesia juga. Konsisten?

“Bumi ini diciptakan Allah, semesta ini diciptakan Allah. Artinya, Allah itu ‘Tuan Rumah’ dari alam semesta ini, manusia cuma numpang. Dengan kata lain, cuma aturan ‘Tuan Rumah’ ini yang boleh dipakai. Lantas, kalau tidak mau ikut aturan ‘Tuan Rumah’, kenapa masih tinggal di sini? Kenapa masih tinggal di bumi Allah? Di semesta Allah? Keluar saja dari bumi Allah, cari tempat lain yang tidak diciptakan Allah untuk menerapkan demokrasi tersayangmu itu.”

Jlebbb. Aku nggak tahu reaksiku kalau aku ada di posisi Gita. Speechless? Biasanya orang yang sentimentil selalu punya dalih buat dipake, tapi Gita belum ngomong apa-apa.

“Aku juga yakin, kecuali ingatanku buruk, kalau aku pernah mengatakan bahwa Khilafah, institusi Islam yang menerapkan aturan ‘Tuan Rumah’ ini, untuk menegakkannya tidak bisa melalui jalan kekerasan, apalagi terorisme. Setidaknya, yang Matre TV dan David Cameron sebut sebagai ‘terorisme’. Dakwahnya bersifat fikriyyah, laa madiyyahPemikiran, bukan kekerasan. Oh, tentu, aku menyampaikannya waktu Kuliah Kelas tahun lalu.

Harun diam beberapa saat, nunggu gimana reaksi Gita. Tapi Gita gak ngomong apa-apa, jadi Harun mulai ngomong lagi.

“Aku memang pernah nyaris membunuh anak-anak itu. Begitu pula, Umar bin Khattab pernah mau membunuh Rasulullah yang mulia. Apa itu lantas membuat Umar tidak bisa berubah? Jangan naif. Lalu, kamu mengait-ngaitkan tindakanku di masa lalu dan berita di Matre TV dengan ide yang kubawa? Artinya kamu sudah termakan opini yang ingin digiring oleh mereka. Monsterisasi Khilafah. Menggiring orang-orang supaya menganggap Khilafah itu monster yang menakutkan. Padahal nyatanya, Khilafah-lah yang akan membebaskan umat Islam dari penjajahan, membebaskan bumi Palestina dari kaum Zionis, membebaskan kaum muslim Suriah dari rezim haus darah Bashar Al Assad, menolong orang-orang terbuang dari Rohingya, termasuk membebaskan negeri ini dari neoliberalisme dan neoimperialisme. Bukan demokrasi yang justru adalah alat penjajahan yang dipaksakan Amerika dan sekutunya. Kamu pikir apa prestasi yang pernah dilakukan demokrasi? Membom Irak dan Afganistan untuk mendapat minyak dari sana? Melegalkan prostitusi dan lokalisasi pelacuran?”

Aku jarang denger Harun ngomong dengan begitu sinis. Tapi kalau udah begini, artinya kejengkelannya udah nggak bisa ditahan lagi. Kayaknya masih untung dia nggak ngamuk-ngamuk.

“LIAT AJA NANTI!” teriak Gita sambil menghambur ke luar kelas. Cuma sepintas, tapi kayaknya aku melihat matanya agak berkaca-kaca. Ah, cewek emang susah dimengerti.

Harun menghela nafas dan mulai baca buku. Aku duduk di kursiku.

“Er... jadi...”

“Ya, aku memang melakukan itu. Tapi itu sudah lama, aku tidak ingin mengingatnya lagi.”

“Ng... terus, mereka...”

Selamat, tentu saja. Cuma sungai kecil, Gita terlalu melebih-lebihkannya. Jangan tanya lebih jauh lagi.”

Jadi aku mutusin buat ganti topik.

“Masalah Bu Diana dan si G...”

“Kupikir dia lebih terbawa sentimen pribadi, jadi aku yang jadi subjek omongannya.” lagi-lagi Harun motong pertanyaanku, yang bikin aku agak jengkel, “Mungkin kesal karena aku jadi perantara pacarnya memutuskan dia. Padahal sudah lama. Oh ya, tolong jangan beritahukan peristiwa itu pada siapapun, termasuk ke dua orang ini.”

...

(Cuplikan novel The Story of Renza: Dunia Baru. Tersedia di Penerbit Kaaffah.)

0 comments:

Post a Comment