Sunday, 18 June 2017

Lailatid Diskon (Malam Seribu Diskon)

Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto

Memasuki 10 hari terakhir Ramadhan, normalnya orang-orang mulai lebih sibuk dari biasanya. Kalau di zaman Rasulullah ﷺ dulu, umat Islam pasti disibukkan dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih, bahkan sembari i’tikaf. Hal yang sama juga terus menerus dilakukan selama masa kepemimpinan Islam, Khilafah, masih tegak.

Kala itu, umat Islam masih memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama di tengah-tengah mereka, yaitu Islam. Yang mana, Islamnya dalam semua aspek kehidupan, tidak terbatas di aspek-aspek tertentu saja. Karena itu, ketika membaca ayat-ayat Surat Al Qadr, itu tidak semata-mata dimaknai sebagai ayat belaka. Tapi justru jadi pemicu, motivator untuk beribadah lebih giat lagi daripada hari-hari lainnya.

Dan tentu saja, pemicu umat Islam kala itu untuk beribadah lebih giat pada 10 hari terakhir Ramadhan adalah karena adanya lailatul qadar.

Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Quran) itu pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin RABB-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”

(QS Al Qadr: 1-5)


Saat lailatul qadar, satu ibadah yang dilakukan pada malam itu akan mendapatkan pahala lebih banyak daripada ibadah yang sama yang dilakukan pada malam-malam lain selama 1000 bulan. Kalau dikonversi ke tahun, lebih dari 83 tahun! Padahal rata-rata harapan usia hidup manusia zaman sekarang hanya sekitar 60-70 tahun. Artinya, pahala ibadah yang dilakukan bisa jadi melebihi batasan harapan usia hidup pada umumnya. Satu rakaat shalat sunnah di lailatur qadar sama pahalanya dengan pahala satu rakaat shalat sunnah yang sama selama 1000 bulan nonstop. Belum ditambah ibadah-ibadah yang lainnya. 

Bayangkan sendiri betapa murah hatinya Allah SWT, bagi-bagi pahala sebesar itu.
Soal kenapa di 10 hari terakhir, sebabnya Rasulullah ﷺ mengatakan:

Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan).

(HR Bukhari no. 1878)


Ada juga hadits lain yang mengatakan pada malam 27 atau 29, tapi tepat persisnya kapan, kita tidak akan tahu. Adalah privilese Allah SWT semata untuk menentukan kapan lailatul qadar akan terjadi tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Motivasinya, tentu supaya hambaNya tambah rajin menghidupkan malam-malam terakhir Ramadhan dengan ibadah dan amal shalih. Kalau bisa mendapatkan lailatul qadar, itu sangat jauh lebih dari lumayan buat bekal pahala di akhirat nanti.

Dari Abu Hurairah RA, Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa menghidupkan Lailatul Qadar dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT, maka diampuni dosanya yang terdahulu, dan barangsiapa berpuasa Ramadhan dalam Iman dan mengharap ridho Allah SWT, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”

(HR Bukhari no. 1768)


Namun begitu, rasanya kebanyakan orang zaman sekarang (di negeri ini, misalnya) lebih senang memburu lailatid diskon (malam seribu diskon) dibanding lailatul qadar (malam seribu bulan).

Buktinya?

Oh, lihat saja. Lebih berjubel mana, masjid atau pusat perbelanjaan? Lebih banyak terdengar apa, lantunan ayat Al-Qur’an atau suara sales yang mengumumkan promo harga diskon dobel? Lebih banyak hitung apa, amalan yang sudah dilakukan ketika bulan Ramadhan atau uang untuk membeli kebutuhan Lebaran dari diskon di pasar swalayan?

Apa yang lebih bikin bingung, kenapa diri ini tidak mampu untuk optimal dalam meningkatkan ibadah pas Ramadhan atau yang mana sepatu baru yang harus dibeli? Lebih semangat apa, memborong pahala di lailatul qadar atau memborong belanjaan pas midnight sale? Jawaban-jawaban yang dipilih akan menunjukkan tendensi kita, apakah Ramadhan yang kita lalui selama ini sudah beres atau malah cuma sekadar formalitas angin lalu yang tidak bermakna apa-apa ketika kelak berakhir.

Padahal, diskon pahala di lailatul qadar sebenarnya jauh lebih menggiurkan ketimbang diskon dobel di R*m*y*n* (yang mana itu juga belum tentu lepas dari manipulasi di belakang layar). Allah kurang baik apa, coba? Obral pahala besar-besaran, 83 tahun cukup dalam satu malam! Mana ada pusat perbelanjaan manapun di galaksi ini yang bisa memberi diskon ekivalen dengan yang diberikan Allah? Apalagi, pahala yang diobral habis-habisan pada lailatul qadar jauh lebih berguna sebagai bekal di akhirat kelak, yang notabene merupakan persinggahan abadi spesies makhluk hidup bernama manusia.

Namun, tidak banyak yang benar-benar memahami persoalan itu sepenuh hati, sehingga tawaran terbaik sejagad itu diabaikan begitu saja dan memilih untuk memburu lailatid diskon. Tempat i’tikaf berubah dari masjid jadi pusat perbelanjaan. Amalan ibadah yang barangkali sedikit-sedikit mulai dibentuk di 20 hari awal Ramadhan tiba-tiba berkurang drastis atau bahkan lupa sama sekali. Dzikir malam berganti obrolan mencari diskon, membaca Al-Qur’an berganti membaca harga barang paling murah. Wal ‘iyadzu billah.

Idul Fitri memang satu dari dua hari raya dalam Islam yang tentunya merupakan momen besar. Kalau orang-orang ingin mempersiapkannya, itu juga wajar. Tapi apakah dengan belanja diskon segala rupa sampai-sampai melakukan pemborosan massal dan mengabaikan obral pahala yang secara cuma-cuma diberikan Allah? Tentu tidak begitu. Apalah arti meramaikan Idul Fitri kalau misalnya Ramadhan yang dilalui justru dihabiskan dengan kesia-siaan?

Mari merenung sebentar. Kalau kita lebih semangat memburu lailatid diskon ketimbang lailatul qadar, jangan-jangan Ramadhan kita selama ini memang tidak beres? Ramadhan berlalu tanpa mengubah apa-apa dalam diri kita, tidak berpengaruh untuk mengubah diri menjadi lebih bertakwa. Lebih dari itu, apa jangan-jangan persepsi berpikir kita adalah persepsi berpikir sekuler? Persepsi yang memisahkan agama dari kehidupan, yang membatasi agama hanya sebatas ibadah mahdhah bersifat seremonial belaka tanpa memaknai apa yang ada di dalamnya?

Semoga kita semua dijaga untuk memiliki persepsi Islam secara menyeluruh, yang memiliki visi jauh ke depan sampai setelah kehidupan dunia. Bukan persepsi sekuler yang melenakan tapi justru menyesatkan kita dari jalan Allah.

(direproduksi dari tulisan senada yang pernah dimuat di laman Gaulfresh)

2 comments: