Friday, 30 June 2017

Komparasi Biaya Energi (Karena Listrik Murah Butuh Teknologi Tepat) Bagian 2 – Bagaimana Dengan Biaya Modalnya?

Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Tulisan sebelumnya telah membahas terkait biaya bahan bakar dari berbagai moda energi, yakni batubara, gas alam, dan nuklir (uranium). Pada tulisan itu, telah kita ketahui bahwa nuklir memiliki biaya bahan bakar paling murah, sehingga lebih cocok untuk menghasilkan listrik murah tanpa subsidi.

Tapi itu baru dari bahan bakarnya saja. Lantas bagaimana dengan biaya modalnya? Apalagi yang dibahas sebelumnya hanya pembangkit termal yang menggunakan bahan bakar. Padahal, beberapa moda pembangkit listrik tidak menggunakan bahan bakar. Khususnya yang disebut orang-orang sebagai “energi terbarukan”.

(catatan samping: saya tidak senang menggunakan terminologi “terbarukan”, karena tidak ada maknanya. Di sini masih menggunakan terminologi tersebut semata-mata karena lebih familiar saja)

Biaya balik modal (selanjutnya disebut sebagai capital cost recovery/CCR) memiliki porsi berbeda dalam pembiayaan total, tergantung jenis pembangkit. Jika biaya bahan bakar tinggi, maka biasanya porsi CCR lebih rendah. Begitu pula sebaliknya. Namun, hal yang paling besar memengaruhi CCR sebenarnya adalah mekanisme pembiayaan.

Di peradaban kapitalisme seperti saat ini, sistem ekonomi tidak terlepas dari riba. Merebaknya neoliberalisme sejak tahun 1980-an, yang dipopulerkan oleh Ronald Reagan dan Margaret Thatcher, mentransformasikan sektor pelayanan rakyat dari awalnya dikelola oleh negara menjadi dapat dikelola oleh swasta. Negara semata-mata menjadi regulator, sementara sektor-sektor vital dijalankan oleh swasta dengan paradigma bisnis. Termasuk kelistrikan, yang awalnya merupakan sektor monopoli negara, kini bisa dikelola oleh swasta dalam bentuk independent power producer (IPP).

Sistem ekonomi ribawi dan eksistensi IPP berperan dalam membuat harga listrik mahal. Apa pasal? Sekarang pikirkan, dari mana swasta dapat modal untuk membangun infrastruktur pembangkit? Tentu saja dari pinjaman bank, dan pinjaman ini pasti berbunga. Tidak tanggung-tanggung, bunganya bisa mencapai 8-12% per tahun!

Bahkan negara pun tidak terlepas dari utang. Seringkali negara-negara miskin dan malas (misalnya sebuah negara kepulauan di garis khatulistiwa. Tidak perlu disebut namanya, kita sudah tahu) perlu meminjam ke lembaga keuangan luar negeri atau negara lain untuk membiayai proyek pembangunan pembangkit listrik. Pinjaman negara-ke-negara biasanya memiliki tingkat bunga rendah, tapi ke lembaga keuangan ya sama saja tinggi.

Untuk membuktikannya, akan saya bandingkan CCR antara menggunakan uang ribawi dan uang tanpa riba (dengan kata lain, dibiayai oleh uang negara sepenuhnya).

Sekarang ke pembangkit. Kalau sebelumnya hanya mempertimbangkan batubara, gas alam, dan nuklir, sekarang moda pembangkit listrik lain juga ikut dilibatkan. Masing-masing adalah energi bayu (angin), energi surya (matahari), energi panas bumi, dan energi hidro (air). Turbin angin dan panel surya, secara khusus, seringkali didaulat sebagai “energi masa depan” oleh sebagian kalangan. Yang tidak mereka sadari adalah kelemahan fatal pada dua moda energi ini.

Pertanyaannya kemudian, apakah pembangkit listrik tanpa bahan bakar dapat lebih murah daripada yang menggunakan bahan bakar? Belum tentu. Mari kita tinjau satu persatu.

Pertama adalah PLTU batubara. Untuk menghitung CCR, perlu diambil contoh dari unit pembangkitnya. Di sini saya ambil contoh dari ekspansi PLTU Surayala, Banten, yang uangnya dipinjam dari Bank Dunia. 

Untuk ekspansi daya sebesar 1800 MWe, dibutuhkan biaya USD 1,453 milyar. Usia pakainya diasumsikan 40 tahun, standar bagi PLTU batubara yang relatif baru.

Jika pada kalkulasi biaya bahan bakar nilai faktor kapasitas (capacity factor/CF) tidak berpengaruh terhadap harga, maka untuk perhitungan CCR, nilai CF sangat penting. Apa pasal? Untuk mengembalikan modal (plus riba, kalau mengandalkan pinjaman) hanya bisa dilakukan ketika pembangkit menghasilkan listrik. Dengan demikian, semakin rendah CF, semakin besar pula biaya balik modalnya.

Untuk PLTU batubara terbaru, CF-nya bisa mencapai 80%. Namun, karena PLTU Suralaya pada contoh ini datanya tahun 1999 alias teknologi lama, maka CF-nya diatur hanya 60%, setara dengan PLTU pada umumnya.

Untuk model pembiayaan, diasumsikan baik menggunakan uang ribawi dan uang non-riba. Untuk uang ribawi, diasumsikan tingkat ribanya 10%/tahun.

Dari sini, bagaimana menghitung nilai CCR?

Ada beberapa cara untuk menghitung CCR, mulai dari yang paling sederhana menggunakan fitur pada Microsoft Excel hingga metode levelised cost of electricity (LCOE). Penggunaan model LCOE memusingkan dan memerlukan variabel-variabel yang susah didapatkan datanya, walau hasilnya lebih akurat. Oleh karena itu, di sini digunakan model kalkulasi yang lebih sederhana, yaitu menggunakan fitur PMT pada Microsoft Excel. Metode ini digunakan oleh Robert Hargraves dalam bukunya, Thorium Energy Cheaper Than Coal, untuk komparasi biaya berbagai moda energi.

Bagaimana fitur PMT tersebut digunakan?


Perhatikan contoh gambar berikut.



Dengan data sebagaimana di atas, maka rumus PMT yang digunakan adalah:

=-PMT(E13/365/24,E12*365*24,E9/E10)/E14/1000

(catatan: di depan PMT harus ditambahkan tanda minus (-) karena hasil PMT selalu dalam angka negatif)

Baiklah. Jadi berapa CCR untuk batubara? Menggunakan rumus tersebut, maka didapatkan hasil sebagai berikut.


Dengan tingkat bunga sebesar 10% per tahun, perbedaan nilai CCR PLTU batubara bisa mencapai USD 1 sen/kWh! Jelaslah bahwa riba adalah salah satu pengacau sektor kelistrikan, menjadikan biaya produksi listrik jadi mahal.

Pada bagian pertama, telah ditegaskan bahwa biaya listrik ketika keluar dari pembangkit tidak boleh lebih dari USD 2 sen/kWh, dan USD 1 sen/kWh telah dialokasikan untuk biaya O&M. Jadi, menggunakan uang riba 10%/tahun untuk membiayai PLTU batubara secara otomatis tidak memenuhi syarat. Adapun jika tanpa riba, syarat masih terpenuhi, karena CCR hanya sebesar USD 0,38 sen/kWh.

Berikutnya gas alam. PLTG dan PLTGU akan dicari nilai CCR masing-masing. Hanya saja, sulit mencari data tentang biaya modal PLTG dan PLTGU di Indonesia. Untuk itu, digunakan asumsi bahwa biaya modal untuk PLTG 1000 MWe adalah USD 600 juta, sementara untuk PLTGU 1000 MWe adalah USD 800 juta. Itu sudah relatif normal. Usia pakai diasumsikan 40 tahun, dan CF diasumsikan sama dengan PLTU, yakni 60%.

Untuk PLTG, CCR-nya adalah sebagai berikut.

Sementara untuk PLTGU adalah sebagai berikut.


Dengan riba 10%/tahun, PLTG dan PLTGU sama-sama tidak memenuhi syarat. Sementara, jika tanpa riba, keduanya masih dibawah USD 1 sen/kWh. Nilainya tidak begitu jauh dari PLTU, karena jika diperhitungkan overnight cost-nya, nilainya mirip. Pada dasarnya, secara biaya modal, PLTU, PLTG, dan PLTGU memang paling rendah dibanding pembangkit lainnya.

Berikutnya adalah nuklir. Karena teknologi nuklir bervariasi, di sini digunakan contoh PLTN berupa pressurised water reactor (PWR) dan molten salt reactor (MSR). PLTN PWR diambil contoh dari PLTN Shin Kori unit 3 dan 4 di Korea Selatan, yang menggunakan teknologi APR-1400. Biaya modalnya sebesar USD 5 milyar untuk dua unit PLTN berdaya total 2700 MWe. Usia pakai PLTN lebih lama dari PLTU dan PLTG/PLTGU, yaitu 60 tahun. Nilai CF PLTN juga lebih tinggi, mampu mencapai 90%.

PLTN MSR belum ada yang beroperasi. Namun, yang proyeksi pembiayaannya tersedia adalah ThorCon. MSR ini memiliki biaya USD 1,2 milyar untuk daya 1000 MWe. Seperti APR-1400, ThorCon dapat beroperasi hingga 60 tahun dan CF 90%.

Dari sini, didapatkan CCR masing-masing PLTN adalah sebagai berikut.



Menggunakan riba 10%/tahun, CCR PLTN PWR jauh lebih mahal ketimbang PLTU dan PLTG/PLTGU. Bahkan bedanya dengan CCR tanpa riba hampir USD 2 sen/kWh! Dampak penggunaan uang riba sangat terasa pada pembangkit yang memiliki biaya modal tinggi, seperti PLTN. Makin tinggi biaya modal relatif terhadap daya, makin tinggi nilai CCR, membuat listrik tambah mahal.

PLTN MSR memiliki CCR setara dengan PLTU dan PLTGU ketika menggunakan uang riba, walau biaya modal lebih tinggi. Ini disebabkan usia pakai lebih lama dan CF lebih tinggi, sehingga lebih banyak listrik yang dihasilkan, mengurangi biaya per kWh.

Persoalannya, nilai CCR PWR dan MSR menggunakan uang riba masih tetap lebih tinggi ketimbang batas USD 1 sen/kWh. Adapun ketika tidak menggunakan riba, CCR PWR setara dengan PLTU dan PLTGU, sementara CCR MSR adalah yang paling rendah bahkan dibandingkan PLTG sekalipun. Hanya seperempat nilai batas.

Selanjutnya adalah energi bayu. “Energi terbarukan” yang banyak didengung-dengungkan advokat energi bersih ini tidak perlu bahan bakar, karena hanya mengandalkan aliran kinetik angin untuk memutar bilah turbin. Yah, seperti kincir angin, tetapi kincirnya dilengkapi generator untuk menghasilkan listrik.

Di satu sisi, karena PLTB tidak perlu bahan bakar, tidak ada biaya bahan bakar yang perlu dibebankan pada konsumen. Di sisi lain, karena angin tidak berembus tiap saat, waktu operasionalnya juga jauh lebih rendah ketimbang pembangkit listrik termal. Tidak pernah ada ceritanya angin berembus kencang selama 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Kecuali barangkali dalam novel The Wind from Nowhere.

Akibatnya, nilai CF PLTB juga rendah. Kisarannya antara 20-40%. Angka 40% itupun kalau misalnya yang digunakan adalah PLTB lepas pantai. Kalau PLTB diletakkan di daratan, paling-paling sekitar 30%. Lebih buruk lagi di Indonesia, yang anginnya nanggung. Kencang sekali tidak, lambat sekali juga tidak. Oleh karena itu, saya perkirakan nilai CF PLTB di sini hanya sekitar 25%.

Usia pakai turbin angin pun lebih sebentar. Rerata hanya 20-25 tahun, mengasumsikan tidak ada turbin yang rusak di tengah jalan. Di sini, diasumsikan usia pakainya 25 tahun.

Bagaimana soal biaya modal? Proyek PLTB di Jeneponto, Sulawesi Selatan, memakan biaya USD 135 juta untuk daya 62,5 MWe. Dari data-data ini, berikut adalah nilai CCR PLTB.


Terkejut?

Tidak usah. Overnight cost PLTB ini lebih tinggi ketimbang overnight cost PLTN PWR sekalipun. Artinya, biaya untuk memasang 1 kW daya PLTB lebih mahal daripada memasang 1 kW daya PLTN, apalagi PLTU dan PLTG/PLTGU. Ditambah dengan rendahnya CF dan pendeknya usia pakai, wajar kalau CCR-nya mahal.

Karena itulah, ketika menggunakan uang ribawi, beda nilai CCR hampir mencapai USD 7 sen/kWh! Sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada PLTN. Walau begitu, tanpa riba sekalipun, PLTB masih jauh dari memenuhi batasan yang dikehendaki. Bahkan dua kali lebih mahal daripada nilai USD 2 sen/kWh ketika keluar dari pembangkit.

Artinya? PLTB tidak cukup ekonomis. Enough said.

Energi surya bagaimana? Little hint: it’s even worse.

Panel surya mendapatkan energi dari radiasi sinar matahari. Foton yang ditangkap oleh material semikonduktor pada panel kemudian diubah menjadi listrik memanfaatkan efek fotolistrik. Plusnya: tidak perlu biaya bahan bakar. Minusnya: bagaimana caranya memproduksi listrik kalau tidak ada sinar matahari?

Karena ketergantungan mutlak pada sinar matahari inilah, PLTS memiliki CF paling rendah dibanding pembangkit listrik lainnya. Di gurun California sekalipun, PLTS hanya memiliki CF sekitar 24-26%. Bagaimana di Indonesia, yang tidak ada gurunnya? Bisa mencapai 20% saja sudah keajaiban. Perkiraan saya hanya sekitar 17%, dan itulah angka yang digunakan untuk kalkulasi di sini.

Seperti turbin angin, usia pakai panel surya juga pendek, hanya 20-25 tahun. Di sini menggunakan asumsi optimis 25 tahun.

Soal biaya modalnya, di Filipina kebetulan sudah ada proyek PLTS cukup besar, yakni PLTS Cadiz. Untuk daya 132,5 MWe, dibutuhkan modal sebesar USD 200 juta. Nah, dari data-data ini, didapatkan nilai CCR PLTS sebagai berikut.


Tuh, kan, lebih mahal lagi.

Walau overnight cost lebih rendah, kalau CF lebih rendah juga, ya bisa jadi lebih mahal. Terbukti di sini. Beda CCR antara menggunakan uang ribawi dengan uang bebas riba juga jomplaing sekali, sampai USD 7 sen/kWh!

Tapi tetap saja, tanpa riba sekalipun, CCR-nya dua kali lebih mahal dari batas USD 2 sen/kWh...

Jadi, PLTS juga tidak ekonomis.

Bagaimana dengan panas bumi? Indonesia memiliki potensi panas bumi lumayan, kira-kira 28 GWe. Tapi terpencar-pencar dan belum tentu bisa dieksploitasi semua. Bahkan, yang terbaru, ada petisi untuk menutup PLTP Baturaden, karena dianggap merusak ekosistem Gunung Slamet.

PLTP pada dasarnya merupakan pembangkit termal, tapi sumber panasnya menggunakan aliran panas dari dalam kerak bumi alih-alih pembakaran bahan bakar. Omong-omong, panas kerak bumi sebagian besar merupakan hasil dari peluruhan logam radioaktif, yakni uranium dan thorium. Jadi, PLTP sebenarnya merupakan PLTN tidak langsung. Know what you don’t know.

Karena merupakan pembangkit termal, PLTP mampu mencapai CF cukup tinggi, hingga 80%. Untuk usia pakai, panas bumi memiliki keterbatasan pada laju pemulihan panas dari dalam kerak bumi. Jadi, patokan usia pakai tetap diberlakukan di sini, yakni 40 tahun.

Persoalan pada panas bumi adalah biaya eksplorasinya relatif mahal. PLTP Baturaden di atas, misalnya, butuh biaya USD 880 juta untuk daya hanya 220 MWe. Untuk pemodelan, PLTP Baturaden bolehlah dipakai.

Dari sini, nilai CCR PLTP adalah sebagai berikut.


Bisa ditebak, CCR menggunakan uang ribawi selisihnya jomplang ketimbang menggunakan uang tanpa riba, hampir USD 5 sen/kWh. Overnight cost yang tinggi adalah penyebabnya. Beban bunga yang ditanggung jadi ekstra tinggi, lebih mahal daripada biaya modalnya sendiri. Riba memang benar-benar gila.

Walau begitu, tanpa riba sekalipun, PLTP masih berada di atas batasan maksimum. Lagi-lagi karena overnight cost yang tinggi. Berita baiknya, selisihnya tidak terlalu besar dan PLTP tidak perlu bahan bakar.

Terakhir, energi hidro. Ini potensinya lebih besar lagi di Indonesia, mencapai 75 GWe. Tapi lagi-lagi, barangkali tidak semua bisa dieksploitasi. Khususnya PLTA dalam bentuk bendungan, yang dampak ekosistemnya cukup berat dan harus memindahkan orang-orang yang hidup di sekitarnya.

Performa PLTA bergantung pada ketersediaan air untuk memutar turbin, entah itu di sungai maupun di bendungan. Untungnya, ketersediaan air relatif lebih mudah diprediksi daripada angin dan sinar matahari. Biar begitu, umumnya PLTA lebih sering digunakan untuk beban puncak alih-alih beban dasar. Kecuali di negara-negara seperti Norwegia, Brazil, dan Paraguay. Karena itu, nilai CF PLTA relatif kecil, dibawah 50%. Karena negeri ini tidak seperti Norwegia, kita asumsikan PLTA memiliki CF 40%. Usia pakai diasumsikan 60 tahun, karena bendungan umumnya memang tahan lama.

Untuk contoh, diambil PLTA Cisokan, Jawa Barat. PLTA yang sedang dibangun ini berfungsi juga sebagai pump hydro storage, yakni untuk menyimpan daya demi digunakan pada saat beban puncak. Pembangunannya membutuhkan biaya USD 800 juta untuk daya total 1070 MWe. Tidak semua PLTA bisa semurah ini biayanya, tentu saja, khususnya mikro hidro.

Dari data-data di atas, bisa kita dapatkan nilai CCR PLTA sebagai berikut.


Walau overnight cost-nya rendah, tetapi karena CF-nya juga rendah, CCR-nya jadi relatif tinggi. Khususnya ketika menggunakan uang riba, yang bedanya lebih dari USD 1,5 sen/kWh dibanding menggunakan uang tanpa riba. Ketika menggunakan uang ribawi, CCR PLTA lebih mahal ketimbang PLTN MSR dan bahkan PLTU sekalipun. Namun, dengan uang non-riba, PLTA masih memenuhi syarat, sedikit lebih rendah dari PLTU, PLTGU, dan PLTN PWR, walau lebih mahal daripada PLTG dan PLTN MSR.

Kalau dikumpulkan, berikut adalah tabel CCR dari seluruh moda energi tersebut.


Berdasarkan tabel di atas, ada tiga hal yang bisa disimpulkan. Pertama, untuk menjadikan listrik murah, jangan pernah sekali-sekali berurusan dengan riba. Sudah haram, membuat CCR jadi mahal pula. Dampak paling parah ada pada pembangkit yang memiliki overnight cost paling tinggi dan performa paling buruk. Kasihan PLTN dan PLTP. Jadi kurang kompetitif karena CCR tinggi disebabkan riba.

Kedua, dari segi CCR tanpa riba, maka PLTU, PLTG, PLTGU, PLTN (PWR dan MSR), serta PLTA memenuhi syarat. Semua mencatat angka kurang dari USD 0,5 sen/kWh. PLTP lebih tinggi USD 0,5 sen/kWh dari batas maksimum, tapi mengingat PLTP tidak menggunakan bahan bakar, barangkali masih bisa sedikit ditolerir. Sementara, CCR PLTB dan PLTS setidaknya 10 kali lebih mahal daripada CCR paling tinggi di kelompok pertama, yang berarti jauh di atas batas maksimum.

Ketiga,  “energi terbarukan” yang diagung-agungkan advokat energi bersih tidak cukup murah untuk bisa dijangkau seluruh kalangan masyarakat tanpa adanya subsidi. Ini fenomena lumrah di seluruh negara yang menggunakan turbin angin dan panel surya. Tanpa adanya subsidi besar-besaran dari pemerintah, “energi terbarukan” tidak bisa dan tidak akan pernah bisa kompetitif dengan pembangkit listrik lainnya, bahkan sekalipun tidak menggunakan uang riba! Performa yang payah dan usia pakai pendek menjadi masalah utamanya. Not worth considered in large scale.

Dari segi bahan bakar sudah. Begitu pula dari CCR. Sudah lengkap? Belum. Bagaimana dengan dampak lingkungan dari masing-masing moda energi?

(bersambung ke Bagian 3)

0 comments:

Post a Comment