Oleh:
R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.
Tulisan sebelumnya telah membahas terkait
biaya bahan bakar dari berbagai moda energi, yakni batubara, gas alam, dan
nuklir (uranium). Pada tulisan itu, telah kita ketahui bahwa nuklir memiliki
biaya bahan bakar paling murah, sehingga lebih cocok untuk menghasilkan listrik
murah tanpa subsidi.
Tapi itu baru dari bahan bakarnya saja. Lantas
bagaimana dengan biaya modalnya? Apalagi yang dibahas sebelumnya hanya
pembangkit termal yang menggunakan bahan bakar. Padahal, beberapa moda
pembangkit listrik tidak menggunakan bahan bakar. Khususnya yang disebut
orang-orang sebagai “energi terbarukan”.
(catatan samping: saya tidak senang
menggunakan terminologi “terbarukan”, karena tidak ada maknanya. Di sini masih
menggunakan terminologi tersebut semata-mata karena lebih familiar saja)
Biaya balik modal (selanjutnya disebut sebagai
capital cost recovery/CCR) memiliki porsi berbeda dalam pembiayaan
total, tergantung jenis pembangkit. Jika biaya bahan bakar tinggi, maka
biasanya porsi CCR lebih rendah. Begitu pula sebaliknya. Namun, hal yang paling
besar memengaruhi CCR sebenarnya adalah mekanisme pembiayaan.
Di peradaban kapitalisme seperti saat ini,
sistem ekonomi tidak terlepas dari riba. Merebaknya neoliberalisme sejak tahun
1980-an, yang dipopulerkan oleh Ronald Reagan dan Margaret Thatcher,
mentransformasikan sektor pelayanan rakyat dari awalnya dikelola oleh negara menjadi
dapat dikelola oleh swasta. Negara semata-mata menjadi regulator, sementara
sektor-sektor vital dijalankan oleh swasta dengan paradigma bisnis. Termasuk
kelistrikan, yang awalnya merupakan sektor monopoli negara, kini bisa dikelola
oleh swasta dalam bentuk independent power producer (IPP).
Sistem ekonomi ribawi dan eksistensi IPP
berperan dalam membuat harga listrik mahal. Apa pasal? Sekarang pikirkan, dari
mana swasta dapat modal untuk membangun infrastruktur pembangkit? Tentu saja
dari pinjaman bank, dan pinjaman ini pasti berbunga. Tidak
tanggung-tanggung, bunganya bisa mencapai 8-12% per tahun!
Bahkan negara pun tidak terlepas dari utang.
Seringkali negara-negara miskin dan malas (misalnya sebuah negara kepulauan di
garis khatulistiwa. Tidak perlu disebut namanya, kita sudah tahu) perlu
meminjam ke lembaga keuangan luar negeri atau negara lain untuk membiayai
proyek pembangunan pembangkit listrik. Pinjaman negara-ke-negara biasanya
memiliki tingkat bunga rendah, tapi ke lembaga keuangan ya sama saja tinggi.
Untuk membuktikannya, akan saya bandingkan CCR
antara menggunakan uang ribawi dan uang tanpa riba (dengan kata lain, dibiayai
oleh uang negara sepenuhnya).
Sekarang ke pembangkit. Kalau sebelumnya hanya
mempertimbangkan batubara, gas alam, dan nuklir, sekarang moda pembangkit
listrik lain juga ikut dilibatkan. Masing-masing adalah energi bayu (angin),
energi surya (matahari), energi panas bumi, dan energi hidro (air). Turbin
angin dan panel surya, secara khusus, seringkali didaulat sebagai “energi masa
depan” oleh sebagian kalangan. Yang tidak mereka sadari adalah kelemahan fatal
pada dua moda energi ini.
Pertanyaannya kemudian, apakah pembangkit
listrik tanpa bahan bakar dapat lebih murah daripada yang menggunakan bahan
bakar? Belum tentu. Mari kita tinjau satu persatu.
Pertama adalah PLTU batubara. Untuk menghitung
CCR, perlu diambil contoh dari unit pembangkitnya. Di sini saya ambil contoh
dari ekspansi PLTU Surayala, Banten, yang uangnya dipinjam dari Bank Dunia.
Untuk ekspansi daya sebesar 1800 MWe, dibutuhkan biaya USD 1,453
milyar. Usia pakainya diasumsikan 40 tahun, standar bagi PLTU batubara yang
relatif baru.
Jika pada kalkulasi biaya bahan bakar nilai
faktor kapasitas (capacity factor/CF) tidak berpengaruh terhadap harga,
maka untuk perhitungan CCR, nilai CF sangat penting. Apa pasal? Untuk
mengembalikan modal (plus riba, kalau mengandalkan pinjaman) hanya bisa
dilakukan ketika pembangkit menghasilkan listrik. Dengan demikian, semakin
rendah CF, semakin besar pula biaya balik modalnya.
Untuk PLTU batubara terbaru, CF-nya bisa
mencapai 80%. Namun, karena PLTU Suralaya pada contoh ini datanya tahun
1999 alias teknologi lama, maka CF-nya diatur hanya 60%, setara dengan
PLTU pada umumnya.
Untuk model pembiayaan, diasumsikan baik
menggunakan uang ribawi dan uang non-riba. Untuk uang ribawi, diasumsikan
tingkat ribanya 10%/tahun.
Dari sini, bagaimana menghitung nilai CCR?
Ada beberapa cara untuk menghitung CCR, mulai
dari yang paling sederhana menggunakan fitur pada Microsoft Excel hingga metode
levelised cost of electricity (LCOE). Penggunaan model LCOE memusingkan
dan memerlukan variabel-variabel yang susah didapatkan datanya, walau hasilnya
lebih akurat. Oleh karena itu, di sini digunakan model kalkulasi yang lebih
sederhana, yaitu menggunakan fitur PMT pada Microsoft Excel. Metode ini
digunakan oleh Robert Hargraves dalam bukunya, Thorium Energy Cheaper Than
Coal, untuk komparasi biaya berbagai moda energi.
Bagaimana fitur PMT tersebut digunakan?
Perhatikan contoh gambar berikut.
Dengan data sebagaimana di atas, maka rumus
PMT yang digunakan adalah:
=-PMT(E13/365/24,E12*365*24,E9/E10)/E14/1000
(catatan: di depan PMT harus ditambahkan
tanda minus (-) karena hasil PMT selalu dalam angka negatif)
Baiklah. Jadi berapa CCR untuk batubara?
Menggunakan rumus tersebut, maka didapatkan hasil sebagai berikut.
Dengan tingkat bunga sebesar 10% per tahun, perbedaan nilai CCR PLTU batubara bisa mencapai USD 1 sen/kWh! Jelaslah bahwa riba adalah salah satu pengacau sektor kelistrikan, menjadikan biaya produksi listrik jadi mahal.
Pada bagian pertama, telah ditegaskan bahwa
biaya listrik ketika keluar dari pembangkit tidak boleh lebih dari USD 2
sen/kWh, dan USD 1 sen/kWh telah dialokasikan untuk biaya O&M. Jadi,
menggunakan uang riba 10%/tahun untuk membiayai PLTU batubara secara otomatis
tidak memenuhi syarat. Adapun jika tanpa riba, syarat masih terpenuhi, karena
CCR hanya sebesar USD 0,38 sen/kWh.
Berikutnya gas alam. PLTG dan PLTGU akan
dicari nilai CCR masing-masing. Hanya saja, sulit mencari data tentang biaya
modal PLTG dan PLTGU di Indonesia. Untuk itu, digunakan asumsi bahwa biaya
modal untuk PLTG 1000 MWe adalah USD 600 juta, sementara untuk PLTGU
1000 MWe adalah USD 800 juta. Itu sudah relatif normal. Usia pakai
diasumsikan 40 tahun, dan CF diasumsikan sama dengan PLTU, yakni 60%.
Untuk PLTG, CCR-nya adalah sebagai berikut.
Sementara untuk PLTGU adalah sebagai berikut.
Dengan riba 10%/tahun, PLTG dan PLTGU
sama-sama tidak memenuhi syarat. Sementara, jika tanpa riba, keduanya masih dibawah
USD 1 sen/kWh. Nilainya tidak begitu jauh dari PLTU, karena jika diperhitungkan
overnight cost-nya, nilainya mirip. Pada dasarnya, secara biaya modal,
PLTU, PLTG, dan PLTGU memang paling rendah dibanding pembangkit lainnya.
Berikutnya adalah nuklir. Karena teknologi
nuklir bervariasi, di sini digunakan contoh PLTN berupa pressurised water
reactor (PWR) dan molten salt reactor (MSR). PLTN PWR diambil contoh
dari PLTN Shin Kori unit 3 dan 4 di Korea Selatan, yang menggunakan teknologi
APR-1400. Biaya modalnya sebesar USD 5 milyar untuk dua unit PLTN
berdaya total 2700 MWe. Usia pakai PLTN lebih lama dari PLTU dan
PLTG/PLTGU, yaitu 60 tahun. Nilai CF PLTN juga lebih tinggi, mampu
mencapai 90%.
PLTN MSR belum ada yang beroperasi. Namun,
yang proyeksi pembiayaannya tersedia adalah ThorCon. MSR ini memiliki biaya USD
1,2 milyar untuk daya 1000 MWe. Seperti APR-1400, ThorCon dapat
beroperasi hingga 60 tahun dan CF 90%.
Dari sini, didapatkan CCR masing-masing PLTN
adalah sebagai berikut.
Menggunakan riba 10%/tahun, CCR PLTN PWR jauh
lebih mahal ketimbang PLTU dan PLTG/PLTGU. Bahkan bedanya dengan CCR tanpa riba
hampir USD 2 sen/kWh! Dampak penggunaan uang riba sangat terasa pada pembangkit
yang memiliki biaya modal tinggi, seperti PLTN. Makin tinggi biaya modal
relatif terhadap daya, makin tinggi nilai CCR, membuat listrik tambah mahal.
PLTN MSR memiliki CCR setara dengan PLTU dan
PLTGU ketika menggunakan uang riba, walau biaya modal lebih tinggi. Ini
disebabkan usia pakai lebih lama dan CF lebih tinggi, sehingga lebih banyak
listrik yang dihasilkan, mengurangi biaya per kWh.
Persoalannya, nilai CCR PWR dan MSR
menggunakan uang riba masih tetap lebih tinggi ketimbang batas USD 1 sen/kWh.
Adapun ketika tidak menggunakan riba, CCR PWR setara dengan PLTU dan PLTGU,
sementara CCR MSR adalah yang paling rendah bahkan dibandingkan PLTG sekalipun.
Hanya seperempat nilai batas.
Selanjutnya adalah energi bayu. “Energi
terbarukan” yang banyak didengung-dengungkan advokat energi bersih ini tidak
perlu bahan bakar, karena hanya mengandalkan aliran kinetik angin untuk memutar
bilah turbin. Yah, seperti kincir angin, tetapi kincirnya dilengkapi generator
untuk menghasilkan listrik.
Di satu sisi, karena PLTB tidak perlu bahan
bakar, tidak ada biaya bahan bakar yang perlu dibebankan pada konsumen. Di sisi
lain, karena angin tidak berembus tiap saat, waktu operasionalnya juga jauh
lebih rendah ketimbang pembangkit listrik termal. Tidak pernah ada ceritanya
angin berembus kencang selama 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Kecuali
barangkali dalam novel The Wind from Nowhere.
Akibatnya, nilai CF PLTB juga rendah.
Kisarannya antara 20-40%. Angka 40% itupun kalau misalnya yang digunakan adalah
PLTB lepas pantai. Kalau PLTB diletakkan di daratan, paling-paling sekitar 30%.
Lebih buruk lagi di Indonesia, yang anginnya nanggung. Kencang sekali
tidak, lambat sekali juga tidak. Oleh karena itu, saya perkirakan nilai CF PLTB
di sini hanya sekitar 25%.
Usia pakai turbin angin pun lebih sebentar.
Rerata hanya 20-25 tahun, mengasumsikan tidak ada turbin yang rusak di tengah
jalan. Di sini, diasumsikan usia pakainya 25 tahun.
Bagaimana soal biaya modal? Proyek PLTB di
Jeneponto, Sulawesi Selatan, memakan biaya USD 135 juta untuk daya 62,5
MWe. Dari data-data ini, berikut adalah nilai CCR PLTB.
Terkejut?
Tidak usah. Overnight cost PLTB ini
lebih tinggi ketimbang overnight cost PLTN PWR sekalipun. Artinya, biaya
untuk memasang 1 kW daya PLTB lebih mahal daripada memasang 1 kW daya PLTN,
apalagi PLTU dan PLTG/PLTGU. Ditambah dengan rendahnya CF dan pendeknya usia
pakai, wajar kalau CCR-nya mahal.
Karena itulah, ketika menggunakan uang ribawi,
beda nilai CCR hampir mencapai USD 7 sen/kWh! Sangat tinggi, jauh lebih tinggi
daripada PLTN. Walau begitu, tanpa riba sekalipun, PLTB masih jauh dari
memenuhi batasan yang dikehendaki. Bahkan dua kali lebih mahal daripada nilai
USD 2 sen/kWh ketika keluar dari pembangkit.
Artinya? PLTB tidak cukup ekonomis. Enough
said.
Energi surya bagaimana? Little hint: it’s
even worse.
Panel surya mendapatkan energi dari radiasi
sinar matahari. Foton yang ditangkap oleh material semikonduktor pada panel
kemudian diubah menjadi listrik memanfaatkan efek fotolistrik. Plusnya: tidak
perlu biaya bahan bakar. Minusnya: bagaimana caranya memproduksi listrik kalau
tidak ada sinar matahari?
Karena ketergantungan mutlak pada sinar
matahari inilah, PLTS memiliki CF paling rendah dibanding pembangkit listrik
lainnya. Di gurun California sekalipun, PLTS hanya memiliki CF sekitar 24-26%.
Bagaimana di Indonesia, yang tidak ada gurunnya? Bisa mencapai 20% saja sudah
keajaiban. Perkiraan saya hanya sekitar 17%, dan itulah angka yang
digunakan untuk kalkulasi di sini.
Seperti turbin angin, usia pakai panel surya
juga pendek, hanya 20-25 tahun. Di sini menggunakan asumsi optimis 25 tahun.
Soal biaya modalnya, di Filipina kebetulan sudah
ada proyek PLTS cukup besar, yakni PLTS Cadiz. Untuk daya 132,5 MWe,
dibutuhkan modal sebesar USD 200 juta. Nah, dari data-data ini,
didapatkan nilai CCR PLTS sebagai berikut.
Tuh, kan, lebih mahal lagi.
Walau overnight cost lebih rendah,
kalau CF lebih rendah juga, ya bisa jadi lebih mahal. Terbukti di sini. Beda
CCR antara menggunakan uang ribawi dengan uang bebas riba juga jomplaing
sekali, sampai USD 7 sen/kWh!
Tapi tetap saja, tanpa riba sekalipun, CCR-nya
dua kali lebih mahal dari batas USD 2 sen/kWh...
Jadi, PLTS juga tidak ekonomis.
Bagaimana dengan panas bumi? Indonesia
memiliki potensi panas bumi lumayan, kira-kira 28 GWe. Tapi terpencar-pencar
dan belum tentu bisa dieksploitasi semua. Bahkan, yang terbaru, ada petisi
untuk menutup PLTP Baturaden, karena dianggap merusak ekosistem Gunung Slamet.
PLTP pada dasarnya merupakan pembangkit termal,
tapi sumber panasnya menggunakan aliran panas dari dalam kerak bumi alih-alih
pembakaran bahan bakar. Omong-omong, panas kerak bumi sebagian besar merupakan
hasil dari peluruhan logam radioaktif, yakni uranium dan thorium. Jadi, PLTP
sebenarnya merupakan PLTN tidak langsung. Know what you don’t know.
Karena merupakan pembangkit termal, PLTP mampu
mencapai CF cukup tinggi, hingga 80%. Untuk usia pakai, panas bumi
memiliki keterbatasan pada laju pemulihan panas dari dalam kerak bumi. Jadi,
patokan usia pakai tetap diberlakukan di sini, yakni 40 tahun.
Persoalan pada panas bumi adalah biaya
eksplorasinya relatif mahal. PLTP Baturaden di atas, misalnya, butuh biaya USD
880 juta untuk daya hanya 220 MWe. Untuk pemodelan, PLTP Baturaden
bolehlah dipakai.
Dari sini, nilai CCR PLTP adalah sebagai
berikut.
Bisa ditebak, CCR menggunakan uang ribawi
selisihnya jomplang ketimbang menggunakan uang tanpa riba, hampir USD 5 sen/kWh.
Overnight cost yang tinggi adalah penyebabnya. Beban bunga yang
ditanggung jadi ekstra tinggi, lebih mahal daripada biaya modalnya sendiri. Riba
memang benar-benar gila.
Walau begitu, tanpa riba sekalipun, PLTP masih
berada di atas batasan maksimum. Lagi-lagi karena overnight cost yang
tinggi. Berita baiknya, selisihnya tidak terlalu besar dan PLTP tidak perlu
bahan bakar.
Terakhir, energi hidro. Ini potensinya lebih
besar lagi di Indonesia, mencapai 75 GWe. Tapi lagi-lagi, barangkali
tidak semua bisa dieksploitasi. Khususnya PLTA dalam bentuk bendungan, yang
dampak ekosistemnya cukup berat dan harus memindahkan orang-orang yang hidup di
sekitarnya.
Performa PLTA bergantung pada ketersediaan air
untuk memutar turbin, entah itu di sungai maupun di bendungan. Untungnya,
ketersediaan air relatif lebih mudah diprediksi daripada angin dan sinar
matahari. Biar begitu, umumnya PLTA lebih sering digunakan untuk beban puncak
alih-alih beban dasar. Kecuali di negara-negara seperti Norwegia, Brazil, dan
Paraguay. Karena itu, nilai CF PLTA relatif kecil, dibawah 50%. Karena negeri
ini tidak seperti Norwegia, kita asumsikan PLTA memiliki CF 40%. Usia
pakai diasumsikan 60 tahun, karena bendungan umumnya memang tahan lama.
Untuk contoh, diambil PLTA Cisokan, Jawa
Barat. PLTA yang sedang dibangun ini berfungsi juga sebagai pump hydro
storage, yakni untuk menyimpan daya demi digunakan pada saat beban puncak.
Pembangunannya membutuhkan biaya USD 800 juta untuk daya total 1070
MWe. Tidak semua PLTA bisa semurah ini biayanya, tentu saja, khususnya mikro
hidro.
Dari data-data di atas, bisa kita dapatkan nilai
CCR PLTA sebagai berikut.
Walau overnight cost-nya rendah, tetapi
karena CF-nya juga rendah, CCR-nya jadi relatif tinggi. Khususnya ketika
menggunakan uang riba, yang bedanya lebih dari USD 1,5 sen/kWh dibanding
menggunakan uang tanpa riba. Ketika menggunakan uang ribawi, CCR PLTA lebih
mahal ketimbang PLTN MSR dan bahkan PLTU sekalipun. Namun, dengan uang
non-riba, PLTA masih memenuhi syarat, sedikit lebih rendah dari PLTU, PLTGU,
dan PLTN PWR, walau lebih mahal daripada PLTG dan PLTN MSR.
Kalau dikumpulkan, berikut adalah tabel CCR dari
seluruh moda energi tersebut.
Berdasarkan tabel di atas, ada tiga hal yang
bisa disimpulkan. Pertama, untuk menjadikan listrik murah, jangan pernah
sekali-sekali berurusan dengan riba. Sudah haram, membuat CCR jadi mahal
pula. Dampak paling parah ada pada pembangkit yang memiliki overnight cost paling
tinggi dan performa paling buruk. Kasihan PLTN dan PLTP. Jadi kurang kompetitif
karena CCR tinggi disebabkan riba.
Kedua, dari segi CCR tanpa riba, maka PLTU,
PLTG, PLTGU, PLTN (PWR dan MSR), serta PLTA memenuhi syarat. Semua mencatat
angka kurang dari USD 0,5 sen/kWh. PLTP lebih tinggi USD 0,5 sen/kWh dari batas
maksimum, tapi mengingat PLTP tidak menggunakan bahan bakar, barangkali masih
bisa sedikit ditolerir. Sementara, CCR PLTB dan PLTS setidaknya 10 kali lebih
mahal daripada CCR paling tinggi di kelompok pertama, yang berarti jauh di atas
batas maksimum.
Ketiga, “energi terbarukan” yang diagung-agungkan
advokat energi bersih tidak cukup murah untuk bisa dijangkau seluruh kalangan
masyarakat tanpa adanya subsidi. Ini fenomena lumrah di seluruh negara yang
menggunakan turbin angin dan panel surya. Tanpa adanya subsidi besar-besaran
dari pemerintah, “energi terbarukan” tidak bisa dan tidak akan pernah bisa
kompetitif dengan pembangkit listrik lainnya, bahkan sekalipun tidak
menggunakan uang riba! Performa yang payah dan usia pakai pendek menjadi
masalah utamanya. Not worth considered in large scale.
Dari segi bahan bakar sudah. Begitu pula dari
CCR. Sudah lengkap? Belum. Bagaimana dengan dampak lingkungan dari
masing-masing moda energi?
(bersambung
ke Bagian 3)
0 comments:
Post a Comment