Sunday, 16 July 2017

Komparasi Biaya Energi (Karena Listrik Murah Butuh Teknologi Tepat) Bagian 3 – Bagaimana Soal Dampak Lingkungannya?

Oleh. R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Manusia tidak hidup sendirian di planet ini. Manusia hidup bersama-sama dengan hewan, tumbuhan, hingga mikroorganisme semi-hidup di biosfer yang sama dan berada di bawah atmosfer yang sama. Sustainabilitas kehidupan manusia bergantung pada interaksinya dengan alam tempatnya hidup. Ketika ada kesetimbangan yang terganggu, semua kena imbasnya.

Dibandingkan makhluk hidup lain, manusia diberi potensi khusus berupa akal. Tidak ada makhluk selain manusia yang memiliki akal. Potensi ini kelak dimanfaatkan manusia sebagai alat untuk menentukan baik dan buruk, terpuji dan tercela. Akal membuat manusia bisa hidup secara lebih terhormat daripada hewan. Masalahnya, akal ini bisa juga digunakan manusia untuk berbuat kerusakan. Salah satunya merusak kesetimbangan alam.

Sejak Revolusi Industri dimulai di Inggris pada abad 19, penggunaan energi fosil di seluruh dunia melonjak drastis. Hingga saat ini, lebih dari 90% suplai energi dunia dihasilkan oleh energi fosil, baik itu dalam bentuk batubara, minyak bumi, maupun gas alam. Di satu sisi, eksploitasi energi fosil mampu membawa kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidup. Di sisi lain, laju konsumsi energi fosil seperti sekarang sangat berpotensi membawa bencana bagi planet ini secara keseluruhan.

Mengapa bisa begitu? Konsumsi energi fosil mengganggu kesetimbangan alam, akibat terlepasnya sejumlah besar polutan berupa CO2 ke atmosfer. Sebagaimana sudah diajarkan sejak SMA dan cukup bisa dipahami menggunakan fisika sederhana, CO2 adalah gas rumah kaca, yang dampaknya adalah pemanasan global di permukaan bumi. Pemanasan global ini kemudian akan memicu perubahan iklim. Dampaknya tidak ringan; kekacauan sosio-politik, kelaparan, perebutan sumber daya, cuaca ekstrem, dan lain sebagainya sangat berpotensi untuk terjadi.

Hewan dan tumbuhan tidak mungkin merupakan penyebab pemanasan global, karena bukan mereka yang mengganggu kesetimbangan dengan melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer. Hewan dan tumbuhan tidak punya akal. Manusia lah yang memiliki akal dan menggunakannya untuk mengeksploitasi energi fosil secara rakus. Dengan kata lain, pemanasan global yang terjadi adalah antropogenik, disebabkan oleh manusia.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Allah menghendaki mereka merasakan sebaian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
(QS Ar Rum: 41)


Yang terbaru, gunung es di Antartika, yang berukuran 9x Jakarta, retak dan patah, terpisah dari badan es utama. Pemanasan global rerata di permukaan bumi adalah sekitar 0,86o C, tetapi di Antartika mencapai ~5o C. Jika tren ini dibiarkan, maka pada pertengahan abad ini, ribuan pulau kecil akan tenggelam. Negara Maladewa akan lenyap, begitu pula sebagian pulau kecil di Indonesia.

Walau emisi gas rumah kaca di atmosfer berasal dari berbagai sumber, tetapi lebih dari 2/3 berasal dari sektor energi. Masalah pemanasan global adalah masalah energi, dan masalah energi secara khusus adalah energi fosil. Akhirnya kembali ke sana-sana juga. Energi fosil adalah pedang bermata dua. Menghasilkan kesejahteraan, tapi juga merusak planet. Harus dilakukan sesuatu pada energi fosil ini agar tidak makin menghancurkan bumi.

Masalah bukan hanya di pemanasan global, tetapi juga kesehatan. Pembakaran batubara menyebabkan hingga 30 ribu kematian prematur di Amerika Serikat, lebih dari 500 ribu kematian di Cina, dan lebih dari 1 juta orang di seluruh dunia. OECD memproyeksikan, dengan kondisi business as usual, angka kematian ini akan meningkat menjadi 3,6 juta per tahun pada tahun 2060, mayoritas di Cina dan India.

Ketika awal Revolusi Industri, masalah dampak kesehatan memang tidak begitu diperhatikan oleh rezim Ratu Victoria kala itu. Walau London, Manchester, dan kota industri lain tertutup kabut asap akibat pembakaran batubara, walau anak-anak pekerja menderita paru-paru hitam, walau tingkat penyakit dan kematian akibat batubara bertambah, eksploitasi batubara tetap berlangsung hingga tahun 1918, ketika produksi batubara Inggris mencapai puncaknya kemudian menurun. Namun, sekarang, persoalan dampak kesehatan tidak bisa diabaikan lagi. “Victorian value” yang tidak menghargai kesehatan manusia sama sekali tidak layak diberlakukan, itu sama sekali tidak menghargai nyawa manusia. Sesuatu harus dilakukan.

Jika manusia mau terus menggunakan energi fosil, maka manusia harus membayar dampak lingkungan dan kesehatan yang diakibatkan penggunaan energi fosil itu. Penggunaan energi fosil harus mendapat penalti, untuk menjaga sustainabilitas planet dan menyelamatkan nyawa manusia. Penalti itu harus digunakan untuk membangun infrastruktur penanggulangan CO2 dan dana kesehatan masyarakat.

Dalam sektor kelistrikan, komponen penalti dampak lingkungan mau tidak mau harus dimasukkan. Walau sialnya, itu hampir tidak pernah dipertimbangkan oleh negara manapun di dunia ini.

Saat ini, idak ada satupun moda energi yang lepas dari energi fosil dalam prosesnya, bahkan sekalipun itu nuklir dan so-called “energi terbarukan”. Maka dampak lingkungan dari semua moda energi harus diperhitungkan.

Seberapa besar penalti yang harus dibayar?

Mari kita bagi komponen dampak lingkungan menjadi tiga: penalti CO2, penalti kesehatan, dan biaya pengelolaan limbah. Barangkali masih ada yang lainnya, tapi di sini tiga itu saja dulu yang diperhitungkan.

Pertama, mari hitung penalti untuk batubara. Dari seluruh moda energi yang ada, bauran konsumsi batubara adalah yang kedua terbesar, tetapi polusinya paling tinggi. Untuk penalti CO2, digunakan konsep “pajak karbon”. Dalam konsep ini, tiap ton CO2 yang dilepaskan ke atmosfer, harus ada biaya yang dibayarkan. Konsep ini tidak buruk, secara teoretis. Sayangnya, di era kapitalisme ini, pajak karbon malah menjadi komoditas transaksi antar negara, dengan sistem jual beli kuota karbon.

Terlepas dari realitas sirkus yang terjadi dalam dunia kapitalistik, konsep pajak karbon tetap digunakan dalam kalkulasi penalti CO2.

Seberapa besar penalti CO batubara? Pertama, mesti diketahui berapa nilai pajak karbon yang diterapkan. Climate scientist veteran NASA, James Hansen, mengusulkan agar penalti CO2 itu sebesar USD 1000/ton CO2. Sangat tinggi. Beberapa sumber lain memberlakukan angka antara USD 40-100/ton CO2. Di sini, saya mengambil angka USD 60/ton CO2.

Berikutnya, mesti diketahui berapa emisi CO2 yang dilepaskan batubara. Untuk keseluruhan tulisan ini, saya menggunakan referensi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Data dari IPCC, batubara melepaskan emisi CO2 ekivalen (termasuk efek albedo) rerata sebesar 820 g/kWh.

Maka, dari sini didapatkan penalti CO2 batubara sebesar ([60/1000]*[820/1000]) = USD 4,92 sen/kWh.

Tidak sepakat dengan angka USD 60/ton? Kurang besar? Tidak apa-apa. Silakan dihitung sendiri maunya berapa.

Selanjutnya penalti kesehatan. Penalti ini terbagi menjadi penalti SO2, NOX, dan partikulat mikro-10 (PM10). Untuk kalkulasi penalti kesehatan, saya mengambil referensi dari (Wijaya dan Limmeechokchai, 2010). Dari referensi ini, berapa emisi masing-masing polutan kesehatan? Didapatkan bahwa emisi SO2 batubara sebesar 4,36 g/kWh, NOX sebesar 4,39 g/kWh, dan PM10 sebesar 0,67 g/kWh. Penalti kesehatan untuk SO2, dari referensi sama, diambil dulu angka paling rendah, yakni USD 4,2/kg. Untuk NOX, diambil angka USD 5,4/kg dan PM10 sebesar USD 25/kg. Kenapa PM10 paling mahal? Karena itulah yang menyebabkan orang kena penyakit pernapasan, hingga kanker dan kematian. Biaya perawatannya mahal.

Berdasarkan angka-angka tersebut, didapatkan penalti SO2 sebesar ([4,2/1000)*4.36) = USD 1,83/kWh. Sementara, penalti NOX sebesar ([5,4/1000]*4,39) = USD 2,37/kWh dan penalti PM10 sebesar ([25/1000]*0,67) = USD 1,68/kWh.

Terakhir, biaya pengelolaan limbah batubara. Diolah dari data US National Renewable Energy Laboratory (NREL), PLTU batubara berdaya menghasilkan 90,4 g abu/kWh. Artinya, PLTU 1000 MWe dengan faktor kapasitas 60% menghasilkan limbah setidaknya 475 ribu ton abu/tahun, memakan lahan setidaknya 63 hektar. Sebagian dari abu ini bisa digunakan di industri beton dan konstruksi, tapi sebagian lagi mau tidak mau mesti ditangani.

Seberapa biaya pengelolaan limbah? Sejujurnya saya tidak menemukan angka pasti. Di sini, saya mengasumsikan saja biaya pengelolaan limbah batubara itu USD 0,5 sen/kWh. Kalau ada yang bisa memberikan angka lebih riil, saya akan sangat berterimakasih.

Dari angka-angka di atas, didapatkan bahwa penalti dampak lingkungan dari batubara adalah (4,92+1,83+2,37+1,68+0,5) = USD 11,3/kWh.

Dengan kata lain, penalti untuk batubara lebih dari 4 kali lebih tinggi daripada biaya bahan bakarnya sendiri.

Mau bagaimana lagi? Batubara itu memang kotor sekali, kok.

Yang kedua gas alam. Keperluan gas alam bisa untuk macam-macam, tidak hanya untuk listrik. Ketika digunakan untuk menghasilkan listrik, dibandingkan batubara, gas alam masih lebih bersih, walau tetap saja emisinya signifikan. Gas alam sendiri bentuknya metana (CH4), yang merupakan gas rumah kaca yang efek rumah kacanya 68x lebih kuat daripada CO2. Kalau gas alam bocor ke atmosfer, bisa bahaya juga.

Berapa penalti untuk gas alam?

Emisi rerata CO2 dari gas alam di PLTGU, menurut IPCC, adalah sebesar 490 g CO2/kWh, termasuk efek albedo. Tidak ada keterangan untuk PLTG, tapi dari angka PLTGU, bisa diekstrapolasi menjadi kira-kira 700 g CO2/kWh. Lebih rendah dari batubara, walau tidak terlalu banyak bedanya.

Menggunakan pajak karbon yang sama, yakni USD 60/ton, maka penalti CO2 untuk PLTGU adalah ([60/1000]*[490/1000]) = USD 2,94 sen/kWh, sementara PLTG adalah ([60/1000]*[700/1000]) = USD 4,2 sen/kWh.

Berikutnya penalti kesehatan. Berdasarkan referensi, gas alam tidak melepaskan SO2 dan PM10 dalam jumlah signifikan, sehingga bisa diabaikan. Karena itu, yang dipertimbangkan hanya NOX saja. Emisi NOX dari PLTGU sebesar 1,79 g/kWh, sementara dari PLTG sebesar 2,67 g/kWh. Menggunakan angka penalti NOX sebesar USD 5,4/kg, maka penalti kesehatan gas alam dalam PLTGU adalah sebesar USD 0,97 sen/kWh dan PLTG sebesar USD 1,44 sen/kWh.

Terkait pengelolaan limbah, maka pembakaran gas alam tidak menghasilkan limbah selain CO2. Yang ada ketika penambangan gas alam yang berpotensi mencemari lingkungan di sekitarnya. Untuk itu, diberlakukan kompensasi sebesar USD 0,1/kWh untuk PLTG dan USD 0,05/kWh untuk PLTGU. Lagi-lagi angka ini tidak pasti, sehingga masih memungkinkan untuk dikoreksi.

Berdasarkan angka-angka ini, maka penalti lingkungan dari gas alam adalah sebesar (2,94+0,97+0,05) = USD 3,96 sen/kWh untuk PLTGU dan (4,2+1,44+0,1) = USD 5,74 sen/kWh untuk PLTG.

Berbeda jauh dengan batubara, tapi masih lebih besar daripada biaya bahan bakarnya sendiri.

Yang ketiga adalah nuklir. Karena bukan energi fosil, maka pada hakikatnya nuklir tidak melepaskan CO2 secara langsung ke udara. Walau demikian, dalam proses pembangunan dan siklus bahan bakarnya, energi nuklir masih melibatkan energi fosil. Tidak bisa dipungkiri, mengingat peradaban sekarang belum mengalami dekarbonisasi total. Sehingga, energi nuklir tetap melepaskan CO2 ke atmosfer, walau secara tidak langsung. Dengan demikian, penalti CO2 tetap diberlakukan.

Seberapa besar penaltinya? Emisi CO2 ekivalen dari energi nuklir, menurut IPCC, rerata sebesar 12 g/kWh. Rendah sekali,, bahkan bisa dibilang yang paling rendah. Dengan pajak karbon USD 60/ton, penalti CO2 nuklir adalah ([60/1000]*[12/1000]) = USD 0,07 sen/kWh. Kecil sekali, nyaris tidak signifikan, tetapi tetap dimasukkan ke komponen pembiayaan.

Karena energi nuklir tidak melepaskan emisi, maka penalti kesehatan ditiadakan. Langsung lompat ke pengelolaan limbah. Untuk pengelolaan limbah, industri nuklir biasa memberlakukan angka USD 0,1 sen/kWh. Di Prancis sebesar USD 0,17/kWh, mengingat PLTN mereka beroperasi dengan faktor kapasitas lebih rendah (sekitar 70%) dan menerapkan reprosesing bahan bakar. Untuk umumnya, diberlakukan angka yang pertama.

Maka, penalti lingkungan untuk energi nuklir adalah sebesar (0,07+0,1) = USD 0,17 sen/kWh. Sangat rendah.

Bagaimana jika terjadi kecelakaan nuklir? Bukankah itu harus diperhitungkan dampakya? Saya kira tidak. Pertama: kecelakaan parah nuklir itu terjadi sangat jarang sekali. Kedua, ketika terjadi, dampak lingkungannya minimal. Ketiga, tidak pernah ada industri yang menginternalisasikan potensi kerugian akibat kecelakaan parah dalam pembiayaannya, jadi kenapa nuklir harus menginternalisasikannya?

Terakhir adalah so-called “energi terbarukan”, yakni bayu, surya, panas bumi, dan hidro. Supaya tidak terlalu panjang, saya gabungkan saja keempatnya dalam satu kategori. Sama seperti nuklir, “energi terbarukan” juga tidak melepaskan CO2 secara langsung (kecuali panas bumi), tetapi karena pembangunannya membutuhkan kontribusi energi fosil (dan hidro tipe bendungan berpotensi melepaskan metana), emisi tidak langsung ini mesti diberi penalti juga.

Emisi CO2 ekivalen untuk energi bayu, surya, panas bumi, dan hidro, berdasarkan data IPCC, masing-masing adalah 12 g/kWh, 48 g/kWh, 24 g/kWh, dan 24 g/kWh. Dengan pajak karbon USD 60/ton, maka didapatkan penalti CO2 sebesar ([60/1000]*[12/1000]) = USD 0,07/kWh untuk bayu, ([60/1000]*[48/1000]) = USD 0,29 sen/kWh untuk surya, dan ([60/1000]*[24/1000]) = USD 0,14 sen/kWh untuk panas bumi dan hidro. Tidak begitu signifikan.

Karena bisa dikatakan nol emisi, maka penalti kesehatan juga ditiadakan pada “energi terbarukan”. Sementara, untuk pengelolaan limbah, yang dikenakan adalah energi bayu, surya, dan panas bumi. Pengelolaan limbah turbin angin dan panel surya tidak lebih sulit dari mengelola limbah nuklir, sehingga secara teoretis bisa disamakan. Hanya saja, dalam rentang waktu dan daya yang sama, keduanya tidak membangkitkan energi listrik sebesar nuklir. Karena itu, biaya pengelolaan limbah mesti dikalikan dengan perbandingan faktor kapasitas (tipikal nuklir 90%, sementara bayu 30% dan surya 20%). Jadi, biaya pengelolaan limbah energi bayu adalah (0,1*[90%/30%]) = USD 0,3 sen/kWh. Untuk energi surya sebesar (0,1*[90%/20%]) = USD 0,45 sen/kWh.

Untuk panas bumi, masalah yang mungkin ditimbulkan adalah pencemaran terhadap sumber air di sekitar pembangkit. Itu pula salah satu penyebab penentangan terhadap PLTP Baturaden. Untuk itu, mesti ada penalti untuk mengompensasinya. Seberapa besar? Estimasi saya kira-kira USD 0,5 sen/kWh. Angka ini sangat terbuka untuk dikoreksi.

Untuk energi hidro, tidak ada limbah yang dihasilkan, sementara potensi pelepasan metana sudah tercakup dalam penalti CO2. Jadi, tidak ada komponen biaya pengelolaan limbah di sini.

Kalau ditotal, maka penalti dampak lingkungan energi bayu adalah (0,07+0,3) = USD 0,37 sen/kWh, energi surya sebesar (0,29+0,45) = USD 0,74 sen/kWh, energi panas bumi sebesar (0,14+0,5) = USD 0,64 sen/kWh, dan energi hidro sebesar USD 0,14 sen/kWh.

Penalti untuk “energi terbarukan” rerata rendah, tidak sampai USD 1/kWh. Wajar saja, dampak lingkungannya memang minim dibandingkan energi fosil.

Disusun dalam tabel, maka jadi seperti ini.


Apa yang bisa ditarik dari sini?

Seandainya pemanfaatan energi fosil turut memperhitungkan dampak lingkungan yang disebabkannya, niscaya energi fosil akan menjadi moda energi termahal. Mulai dari penalti CO2, penalti kesehatan, hingga pengelolaan limbah, kalau ditotal, maka penaltinya saja lebih mahal ketimbang biaya listrik minus penalti. Itu konsekuensi yang seharusnya dibayar oleh pengguna energi fosil.

Namun sayangnya, peradaban kapitalisme bukanlah peradaban yang peduli tentang lingkungan. Sebaliknya, kapitalisme-lah penyebab kerusakan lingkungan. Kapitalisme-lah penyebab pemanasan global. Kapitalisme-lah penyebab perubahan iklim. Kapitalisme tidak akan pernah mau bertanggungjawab atas hilangnya kesetimbangan alam yang diakibatkan perbuatan tangan-tangan mereka. Kapitalisme adalah ideologi paling amoral. Jadi, saya tidak berharap sama sekali bahwa penalti dampak lingkungan seperti ini akan diterapkan.

Di sisi lain, penalti yang tinggi ini juga memberi pelajaran. Seandainya kita ingin membangun sebuah sistem kelistrikan yang murah dan konsekuen terhadap dampak lingkungan, maka tinggalkan energi fosil. Tinggalkan batubara dan gas alam. Mengabaikan dampak lingkungan dalam komponen pembiayaan listrik adalah ketidaksopanan luar biasa terhadap planet bumi dan pelanggaran terhadap peringatan Rasulullah .

”Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.”
(HR Ahmad dan Ibnu Majah)


Seandainya masih ngotot ingin menggunakan energi fosil, dengan alasan sumber dayanya masih “banyak” tersedia, maka mau tidak mau harus bayar penalti sebesar angka-angka tadi. Penalti yang harus digunakan untuk memitigasi dampak negatif yang ditimbulkan energi fosil. Tapi, dengan penalti semahal itu, apa kita mau membayarnya? Padahal ada opsi energi lain yang memiliki penalti dampak lingkungan minim. Kenapa tidak pakai saja yang dampaknya minim itu?

Demikian mengenai penalti dampak lingkungan. Pertanyaan terakhir, bagaimana komponen pembiayaan secara keseluruhan?

(bersambung)

0 comments:

Post a Comment