Oleh. R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.
Manusia tidak hidup sendirian di planet ini. Manusia
hidup bersama-sama dengan hewan, tumbuhan, hingga mikroorganisme semi-hidup di
biosfer yang sama dan berada di bawah atmosfer yang sama. Sustainabilitas kehidupan
manusia bergantung pada interaksinya dengan alam tempatnya hidup. Ketika ada
kesetimbangan yang terganggu, semua kena imbasnya.
Dibandingkan makhluk hidup lain, manusia
diberi potensi khusus berupa akal. Tidak ada makhluk selain manusia yang
memiliki akal. Potensi ini kelak dimanfaatkan manusia sebagai alat untuk
menentukan baik dan buruk, terpuji dan tercela. Akal membuat manusia bisa hidup
secara lebih terhormat daripada hewan. Masalahnya, akal ini bisa juga digunakan
manusia untuk berbuat kerusakan. Salah satunya merusak kesetimbangan alam.
Sejak Revolusi Industri dimulai di Inggris
pada abad 19, penggunaan energi fosil di
seluruh dunia melonjak drastis. Hingga saat ini, lebih dari 90% suplai energi
dunia dihasilkan oleh energi fosil, baik itu dalam bentuk batubara, minyak
bumi, maupun gas alam. Di satu sisi, eksploitasi energi fosil mampu membawa
kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidup. Di sisi lain, laju konsumsi energi
fosil seperti sekarang sangat berpotensi membawa bencana bagi planet ini secara
keseluruhan.
Mengapa bisa begitu? Konsumsi energi fosil
mengganggu kesetimbangan alam, akibat terlepasnya sejumlah besar polutan berupa
CO2 ke atmosfer. Sebagaimana sudah diajarkan sejak SMA dan cukup
bisa dipahami menggunakan fisika sederhana, CO2 adalah gas rumah
kaca, yang dampaknya adalah pemanasan global di permukaan bumi. Pemanasan
global ini kemudian akan memicu perubahan iklim. Dampaknya tidak ringan;
kekacauan sosio-politik, kelaparan, perebutan sumber daya, cuaca ekstrem, dan
lain sebagainya sangat berpotensi untuk terjadi.
Hewan dan tumbuhan tidak mungkin merupakan
penyebab pemanasan global, karena bukan mereka yang mengganggu kesetimbangan
dengan melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer. Hewan dan
tumbuhan tidak punya akal. Manusia lah yang memiliki akal dan menggunakannya
untuk mengeksploitasi energi fosil secara rakus. Dengan kata lain, pemanasan
global yang terjadi adalah antropogenik, disebabkan oleh manusia.
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan
manusia, agar Allah menghendaki mereka merasakan sebaian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS Ar Rum: 41)
Yang terbaru, gunung es di Antartika, yang
berukuran 9x Jakarta, retak dan patah, terpisah dari badan es utama. Pemanasan
global rerata di permukaan bumi adalah sekitar 0,86o C, tetapi di Antartika
mencapai ~5o C. Jika tren ini dibiarkan, maka pada pertengahan abad
ini, ribuan pulau kecil akan tenggelam. Negara Maladewa akan lenyap, begitu
pula sebagian pulau kecil di Indonesia.
Walau emisi gas rumah kaca di atmosfer berasal
dari berbagai sumber, tetapi lebih dari 2/3 berasal dari sektor energi. Masalah
pemanasan global adalah masalah energi, dan masalah energi secara khusus
adalah energi fosil. Akhirnya kembali ke sana-sana juga. Energi fosil adalah
pedang bermata dua. Menghasilkan kesejahteraan, tapi juga merusak planet. Harus
dilakukan sesuatu pada energi fosil ini agar tidak makin menghancurkan bumi.
Masalah bukan hanya di pemanasan global,
tetapi juga kesehatan. Pembakaran batubara menyebabkan hingga 30 ribu kematian
prematur di Amerika Serikat, lebih dari 500 ribu kematian di Cina, dan lebih
dari 1 juta orang di seluruh dunia. OECD memproyeksikan, dengan kondisi business
as usual, angka kematian ini akan meningkat menjadi 3,6 juta per tahun pada
tahun 2060, mayoritas di Cina dan India.
Ketika awal Revolusi Industri, masalah dampak kesehatan
memang tidak begitu diperhatikan oleh rezim Ratu Victoria kala itu. Walau London,
Manchester, dan kota industri lain tertutup kabut asap akibat pembakaran
batubara, walau anak-anak pekerja menderita paru-paru hitam, walau tingkat
penyakit dan kematian akibat batubara bertambah, eksploitasi batubara tetap
berlangsung hingga tahun 1918, ketika produksi batubara Inggris mencapai
puncaknya kemudian menurun. Namun, sekarang, persoalan dampak kesehatan tidak
bisa diabaikan lagi. “Victorian value” yang tidak menghargai kesehatan manusia
sama sekali tidak layak diberlakukan, itu sama sekali tidak menghargai nyawa
manusia. Sesuatu harus dilakukan.
Jika manusia mau terus menggunakan energi
fosil, maka manusia harus membayar dampak lingkungan dan kesehatan yang
diakibatkan penggunaan energi fosil itu. Penggunaan energi fosil harus mendapat
penalti, untuk menjaga sustainabilitas planet dan menyelamatkan nyawa manusia. Penalti
itu harus digunakan untuk membangun infrastruktur penanggulangan CO2
dan dana kesehatan masyarakat.
Dalam sektor kelistrikan, komponen penalti dampak
lingkungan mau tidak mau harus dimasukkan. Walau sialnya, itu hampir tidak
pernah dipertimbangkan oleh negara manapun di dunia ini.
Saat ini, idak ada satupun moda energi yang
lepas dari energi fosil dalam prosesnya, bahkan sekalipun itu nuklir dan so-called
“energi terbarukan”. Maka dampak lingkungan dari semua moda energi harus
diperhitungkan.
Seberapa besar penalti yang harus dibayar?
Mari kita bagi komponen dampak lingkungan
menjadi tiga: penalti CO2, penalti kesehatan, dan biaya pengelolaan
limbah. Barangkali masih ada yang lainnya, tapi di sini tiga itu saja dulu yang
diperhitungkan.
Pertama, mari hitung penalti untuk batubara. Dari
seluruh moda energi yang ada, bauran konsumsi batubara adalah yang kedua
terbesar, tetapi polusinya paling tinggi. Untuk penalti CO2,
digunakan konsep “pajak karbon”. Dalam konsep ini, tiap ton CO2 yang
dilepaskan ke atmosfer, harus ada biaya yang dibayarkan. Konsep ini tidak
buruk, secara teoretis. Sayangnya, di era kapitalisme ini, pajak karbon malah menjadi
komoditas transaksi antar negara, dengan sistem jual beli kuota karbon.
Terlepas dari realitas sirkus yang terjadi
dalam dunia kapitalistik, konsep pajak karbon tetap digunakan dalam kalkulasi
penalti CO2.
Seberapa besar penalti CO2
batubara? Pertama, mesti diketahui berapa nilai pajak karbon yang diterapkan. Climate
scientist veteran NASA, James Hansen, mengusulkan agar penalti CO2
itu sebesar USD 1000/ton CO2. Sangat tinggi. Beberapa sumber lain
memberlakukan angka antara USD 40-100/ton CO2. Di sini, saya
mengambil angka USD 60/ton CO2.
Berikutnya, mesti diketahui berapa emisi CO2
yang dilepaskan batubara. Untuk keseluruhan tulisan ini, saya menggunakan
referensi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Data dari
IPCC, batubara melepaskan emisi CO2 ekivalen (termasuk efek albedo) rerata
sebesar 820 g/kWh.
Maka, dari sini didapatkan penalti CO2
batubara sebesar ([60/1000]*[820/1000]) = USD 4,92 sen/kWh.
Tidak sepakat dengan angka USD 60/ton? Kurang besar?
Tidak apa-apa. Silakan dihitung sendiri maunya berapa.
Selanjutnya penalti kesehatan. Penalti ini
terbagi menjadi penalti SO2, NOX, dan partikulat mikro-10 (PM10). Untuk
kalkulasi penalti kesehatan, saya mengambil referensi dari (Wijaya dan Limmeechokchai,
2010). Dari referensi ini, berapa emisi masing-masing polutan kesehatan? Didapatkan
bahwa emisi SO2 batubara sebesar 4,36 g/kWh, NOX sebesar 4,39
g/kWh, dan PM10 sebesar 0,67 g/kWh. Penalti kesehatan untuk SO2,
dari referensi sama, diambil dulu angka paling rendah, yakni USD 4,2/kg.
Untuk NOX, diambil angka USD 5,4/kg dan PM10 sebesar USD 25/kg. Kenapa
PM10 paling mahal? Karena itulah yang menyebabkan orang kena penyakit
pernapasan, hingga kanker dan kematian. Biaya perawatannya mahal.
Berdasarkan angka-angka tersebut, didapatkan penalti
SO2 sebesar ([4,2/1000)*4.36) = USD 1,83/kWh. Sementara, penalti
NOX sebesar ([5,4/1000]*4,39) = USD 2,37/kWh dan penalti PM10
sebesar ([25/1000]*0,67) = USD 1,68/kWh.
Terakhir, biaya pengelolaan limbah batubara. Diolah
dari data US National Renewable Energy Laboratory (NREL), PLTU
batubara berdaya menghasilkan 90,4 g abu/kWh. Artinya, PLTU 1000 MWe dengan
faktor kapasitas 60% menghasilkan limbah setidaknya 475 ribu ton abu/tahun,
memakan lahan setidaknya 63 hektar. Sebagian dari abu ini bisa digunakan
di industri beton dan konstruksi, tapi sebagian lagi mau tidak mau mesti
ditangani.
Seberapa biaya pengelolaan limbah? Sejujurnya saya
tidak menemukan angka pasti. Di sini, saya mengasumsikan saja biaya pengelolaan
limbah batubara itu USD 0,5 sen/kWh. Kalau ada yang bisa memberikan
angka lebih riil, saya akan sangat berterimakasih.
Dari angka-angka di atas, didapatkan bahwa
penalti dampak lingkungan dari batubara adalah (4,92+1,83+2,37+1,68+0,5) =
USD 11,3/kWh.
Dengan kata lain, penalti untuk batubara lebih
dari 4 kali lebih tinggi daripada biaya bahan bakarnya sendiri.
Mau bagaimana lagi? Batubara itu memang kotor
sekali, kok.
Yang kedua gas alam. Keperluan gas alam bisa
untuk macam-macam, tidak hanya untuk listrik. Ketika digunakan untuk
menghasilkan listrik, dibandingkan batubara, gas alam masih lebih bersih, walau
tetap saja emisinya signifikan. Gas alam sendiri bentuknya metana (CH4),
yang merupakan gas rumah kaca yang efek rumah kacanya 68x lebih kuat daripada
CO2. Kalau gas alam bocor ke atmosfer, bisa bahaya juga.
Berapa penalti untuk gas alam?
Emisi rerata CO2 dari gas alam di
PLTGU, menurut IPCC, adalah sebesar 490 g CO2/kWh, termasuk
efek albedo. Tidak ada keterangan untuk PLTG, tapi dari angka PLTGU, bisa
diekstrapolasi menjadi kira-kira 700 g CO2/kWh. Lebih rendah
dari batubara, walau tidak terlalu banyak bedanya.
Menggunakan pajak karbon yang sama, yakni USD
60/ton, maka penalti CO2 untuk PLTGU adalah ([60/1000]*[490/1000])
= USD 2,94 sen/kWh, sementara PLTG adalah ([60/1000]*[700/1000]) = USD
4,2 sen/kWh.
Berikutnya penalti kesehatan. Berdasarkan
referensi, gas alam tidak melepaskan SO2 dan PM10 dalam jumlah
signifikan, sehingga bisa diabaikan. Karena itu, yang dipertimbangkan hanya NOX
saja. Emisi NOX dari PLTGU sebesar 1,79 g/kWh, sementara dari PLTG
sebesar 2,67 g/kWh. Menggunakan angka penalti NOX sebesar USD 5,4/kg,
maka penalti kesehatan gas alam dalam PLTGU adalah sebesar USD 0,97 sen/kWh
dan PLTG sebesar USD 1,44 sen/kWh.
Terkait pengelolaan limbah, maka pembakaran
gas alam tidak menghasilkan limbah selain CO2. Yang ada ketika
penambangan gas alam yang berpotensi mencemari lingkungan di sekitarnya. Untuk itu,
diberlakukan kompensasi sebesar USD 0,1/kWh untuk PLTG dan USD
0,05/kWh untuk PLTGU. Lagi-lagi angka ini tidak pasti, sehingga masih
memungkinkan untuk dikoreksi.
Berdasarkan angka-angka ini, maka penalti
lingkungan dari gas alam adalah sebesar (2,94+0,97+0,05) = USD 3,96 sen/kWh
untuk PLTGU dan (4,2+1,44+0,1) = USD 5,74 sen/kWh untuk PLTG.
Berbeda jauh dengan batubara, tapi masih lebih
besar daripada biaya bahan bakarnya sendiri.
Yang ketiga adalah nuklir. Karena bukan energi
fosil, maka pada hakikatnya nuklir tidak melepaskan CO2 secara
langsung ke udara. Walau demikian, dalam proses pembangunan dan siklus bahan
bakarnya, energi nuklir masih melibatkan energi fosil. Tidak bisa dipungkiri,
mengingat peradaban sekarang belum mengalami dekarbonisasi total. Sehingga, energi
nuklir tetap melepaskan CO2 ke atmosfer, walau secara tidak
langsung. Dengan demikian, penalti CO2 tetap diberlakukan.
Seberapa besar penaltinya? Emisi CO2
ekivalen dari energi nuklir, menurut IPCC, rerata sebesar 12 g/kWh. Rendah
sekali,, bahkan bisa dibilang yang paling rendah. Dengan pajak karbon USD
60/ton, penalti CO2 nuklir adalah ([60/1000]*[12/1000]) = USD
0,07 sen/kWh. Kecil sekali, nyaris tidak signifikan, tetapi tetap
dimasukkan ke komponen pembiayaan.
Karena energi nuklir tidak melepaskan emisi,
maka penalti kesehatan ditiadakan. Langsung lompat ke pengelolaan limbah. Untuk
pengelolaan limbah, industri nuklir biasa memberlakukan angka USD 0,1
sen/kWh. Di Prancis sebesar USD 0,17/kWh, mengingat PLTN mereka
beroperasi dengan faktor kapasitas lebih rendah (sekitar 70%) dan menerapkan
reprosesing bahan bakar. Untuk umumnya, diberlakukan angka yang pertama.
Maka, penalti lingkungan untuk energi nuklir
adalah sebesar (0,07+0,1) = USD 0,17 sen/kWh. Sangat rendah.
Bagaimana jika terjadi kecelakaan nuklir? Bukankah
itu harus diperhitungkan dampakya? Saya kira tidak. Pertama: kecelakaan parah
nuklir itu terjadi sangat jarang sekali. Kedua, ketika terjadi, dampak
lingkungannya minimal. Ketiga, tidak pernah ada industri yang menginternalisasikan
potensi kerugian akibat kecelakaan parah dalam pembiayaannya, jadi kenapa
nuklir harus menginternalisasikannya?
Terakhir adalah so-called “energi
terbarukan”, yakni bayu, surya, panas bumi, dan hidro. Supaya tidak terlalu
panjang, saya gabungkan saja keempatnya dalam satu kategori. Sama seperti
nuklir, “energi terbarukan” juga tidak melepaskan CO2 secara
langsung (kecuali panas bumi), tetapi karena pembangunannya membutuhkan kontribusi
energi fosil (dan hidro tipe bendungan berpotensi melepaskan metana), emisi
tidak langsung ini mesti diberi penalti juga.
Emisi CO2 ekivalen untuk energi
bayu, surya, panas bumi, dan hidro, berdasarkan data IPCC, masing-masing adalah
12 g/kWh, 48 g/kWh, 24 g/kWh, dan 24 g/kWh. Dengan pajak karbon USD
60/ton, maka didapatkan penalti CO2 sebesar ([60/1000]*[12/1000])
= USD 0,07/kWh untuk bayu, ([60/1000]*[48/1000]) = USD 0,29 sen/kWh
untuk surya, dan ([60/1000]*[24/1000]) = USD 0,14 sen/kWh untuk panas
bumi dan hidro. Tidak begitu signifikan.
Karena bisa dikatakan nol emisi, maka penalti
kesehatan juga ditiadakan pada “energi terbarukan”. Sementara, untuk
pengelolaan limbah, yang dikenakan adalah energi bayu, surya, dan panas bumi. Pengelolaan
limbah turbin angin dan panel surya tidak lebih sulit dari mengelola limbah
nuklir, sehingga secara teoretis bisa disamakan. Hanya saja, dalam rentang
waktu dan daya yang sama, keduanya tidak membangkitkan energi listrik sebesar
nuklir. Karena itu, biaya pengelolaan limbah mesti dikalikan dengan perbandingan
faktor kapasitas (tipikal nuklir 90%, sementara bayu 30% dan surya 20%). Jadi,
biaya pengelolaan limbah energi bayu adalah (0,1*[90%/30%]) = USD 0,3
sen/kWh. Untuk energi surya sebesar (0,1*[90%/20%]) = USD 0,45 sen/kWh.
Untuk panas bumi, masalah yang mungkin
ditimbulkan adalah pencemaran terhadap sumber air di sekitar pembangkit. Itu pula
salah satu penyebab penentangan terhadap PLTP Baturaden. Untuk itu, mesti ada
penalti untuk mengompensasinya. Seberapa besar? Estimasi saya kira-kira USD
0,5 sen/kWh. Angka ini sangat terbuka untuk dikoreksi.
Untuk energi hidro, tidak ada limbah yang
dihasilkan, sementara potensi pelepasan metana sudah tercakup dalam penalti CO2.
Jadi, tidak ada komponen biaya pengelolaan limbah di sini.
Kalau ditotal, maka penalti dampak lingkungan
energi bayu adalah (0,07+0,3) = USD 0,37 sen/kWh, energi surya
sebesar (0,29+0,45) = USD 0,74 sen/kWh, energi panas bumi sebesar
(0,14+0,5) = USD 0,64 sen/kWh, dan energi hidro sebesar USD
0,14 sen/kWh.
Penalti untuk “energi terbarukan” rerata
rendah, tidak sampai USD 1/kWh. Wajar saja, dampak lingkungannya memang minim
dibandingkan energi fosil.
Disusun dalam tabel, maka jadi seperti ini.
Apa yang bisa ditarik dari sini?
Seandainya pemanfaatan energi fosil turut
memperhitungkan dampak lingkungan yang disebabkannya, niscaya energi fosil akan
menjadi moda energi termahal. Mulai dari penalti CO2, penalti kesehatan,
hingga pengelolaan limbah, kalau ditotal, maka penaltinya saja lebih mahal
ketimbang biaya listrik minus penalti. Itu konsekuensi yang seharusnya
dibayar oleh pengguna energi fosil.
Namun sayangnya, peradaban kapitalisme bukanlah
peradaban yang peduli tentang lingkungan. Sebaliknya, kapitalisme-lah penyebab
kerusakan lingkungan. Kapitalisme-lah penyebab pemanasan global. Kapitalisme-lah
penyebab perubahan iklim. Kapitalisme tidak akan pernah mau bertanggungjawab
atas hilangnya kesetimbangan alam yang diakibatkan perbuatan tangan-tangan
mereka. Kapitalisme adalah ideologi paling amoral. Jadi, saya tidak
berharap sama sekali bahwa penalti dampak lingkungan seperti ini akan
diterapkan.
Di sisi lain, penalti yang tinggi ini juga
memberi pelajaran. Seandainya kita ingin membangun sebuah sistem kelistrikan
yang murah dan konsekuen terhadap dampak lingkungan, maka tinggalkan energi
fosil. Tinggalkan batubara dan gas alam. Mengabaikan dampak lingkungan
dalam komponen pembiayaan listrik adalah ketidaksopanan luar biasa terhadap
planet bumi dan pelanggaran terhadap peringatan Rasulullah ﷺ.
”Tidak boleh membahayakan diri sendiri
maupun membahayakan orang lain.”
(HR Ahmad dan
Ibnu Majah)
Seandainya
masih ngotot ingin menggunakan energi fosil, dengan alasan sumber dayanya masih
“banyak” tersedia, maka mau tidak mau harus bayar penalti sebesar angka-angka
tadi. Penalti yang harus digunakan untuk memitigasi dampak negatif yang ditimbulkan
energi fosil. Tapi, dengan penalti semahal itu, apa kita mau membayarnya? Padahal
ada opsi energi lain yang memiliki penalti dampak lingkungan minim. Kenapa tidak
pakai saja yang dampaknya minim itu?
Demikian
mengenai penalti dampak lingkungan. Pertanyaan terakhir, bagaimana komponen
pembiayaan secara keseluruhan?
(bersambung)
0 comments:
Post a Comment