Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T. *
1. Pendahuluan
Pemanasan global dan
perubahan iklim merupakan masalah yang menuntut penyelesaian yang tepat dan
segera. Bencana iklim, yang dapat menimpa planet ini pada akhir abad 21
seandainya usaha yang dilakukan tidak berhasil, akan berdampak besar bagi
kondisi sosio-politik dunia. Selain tentu saja dampaknya pada lingkungan di
permukaan bumi yang tidak ringan.
Persoalan terbesar
dalam penanganan pemanasan global ada pada sektor energi. Mengingat, sekitar
80℅ emisi gas rumah kaca antropogenik disumbangkan dari sektor energi. Baik itu
listrik, transportasi, maupun industri. Mengingat porsinya yang besar,
penanggulangan pemanasan global yang paling utama harus dilakukan pada sektor
energi. Dengan cara apa? Mengeliminasi penggunaan energi fosil dan beralih
menuju energi bersih.
Di berbagai forum,
mulai dari tingkat mahasiswa hingga tingkat dunia, strategi konversi dari
energi fosil menuju energi bersih sudah sering dibahas. Hanya ada dua opsi
energi alternatif, yakni energi nuklir dan energi terbarukan. Yang kemudian
menjadi persoalan, opsi pertama seringkali dianaktirikan dalam diskusi-diskusi
energi bersih. Bahkan Conference of Parties tahun 2016 di Maroko sama
sekali tidak menyinggung energi nuklir. Padahal, dilihat secara teknis,
teknologi energi nuklir. Realitanya, energi nuklir justru merupakan opsi
terbaik untuk mencegah dampak katastropik pemanasan global.
Kalau benar-benar
serius ingin melawan pemanasan global, maka seharusnya energi nuklir mendapat
porsi lebih dalam bauran energi dunia, bukan malah diabaikan. Khususnya
teknologi energi nuklir generasi terbaru, atau Generasi IV (GenIV). Ekspansi
reaktor nuklir GenIV akan mampu mengeliminasi penggunaan energi fosil dengan
cepat
Dengan potensinya ini,
seberapa jauh perkembangan reaktor GenIV hingga sekarang?
2. Reaktor Nuklir
GenIV
Sebelum beranjak lebih
jauh, pertanyaan yang mesti muncul adalah, kenapa GenIV? Ada apa dengan
generasi sebelumnya?
Secara umum,
sebenarnya reaktor nuklir Generasi II dan III itu baik-baik saja. Tidak ada
masalah berarti secara saintifik maupun engineering yang menghalanginya untuk
dibangun dan dioperasikan secara lebih masif dari ada yang sekarang. Kecuali
mungkin tipe Light Water Graphite Reactor (LWGR), yang memiliki cacat
desain alamiah karena kombinasi moderator dan pendinginnya yang cukup
mengundang masalah. Namun, mengingat LWGR tidak lagi diproduksi, seharusnya
yang ini tidak perlu diperhatikan.
Hanya saja, teknologi
selalu menuntut penyempurnaan. Apalagi reaktor nuklir Generasi II dan III masih
memiliki beberapa kekurangan yang masih bisa diperbaiki. Walau itu artinya
harus merancang desain yang berbeda secara radikal.
Apa saja kekurangan
yang mesti disempurnakan dari generasi II dan III? Diantaranya adalah
pemanfaatan bahan bakar yang masih sangat minim, sistem keselamatan yang bisa
dibuat pasif, produksi unit yang bisa dibuat modular, suhu operasi terlalu
rendah, serta biaya pembangunan bisa dibuat lebih rendah.
Karena itulah, pada
tahun 2001, Generation IV Forum (GIF) memasukkan enam desain reaktor nuklir
sebagai reaktor GenIV, atau sering disebut juga reaktor maju. Keenamnya
berbeda cukup signifikan dengan Generasi III, masing-masing dengan kelebihan
sendiri untuk menyempurnakan aspek-aspek pada reaktor nuklir konvensional.
Keenam desain itu adalah Molten Salt Reactor (MSR), Very High
Temperature Reactor (VHTR), Supercritical Water Reactor (SCWR), Lead-cooled
Fast Reactor (LFR), Sodium-cooled Fast Reactor (SFR) dan Gas-cooled
Fast Reactor (GFR).
Dari keenam desain
ini, apa saja fiturnya? Lalu, sudah sejauh mana perkembangannya?
2.1. MSR
MSR adalah desain
reaktor nuklir yang menggunakan moderator grafit dan bahan bakar sekaligus
pendingin berupa senyawa garam dalam bentuk cair. Berbeda dengan reaktor nuklir
konvensional yang menggunakan bahan bakar padat. MSR sebenarnya konsep lama,
diajukan oleh Oak Ridge National Laboratory pada tahun 1960-an. Namun,
risetnya terhenti karena politik Perang Dingin Amerika Serikat pada tahun 1976,
dan baru mencuat lagi pada awal abad 21.
MSR umumnya menggunakan garam fluorida sebagai pelarut, walau versi lain dengan spektrum netron cepat ada yang menggunakan garam klorida. Bahan bakar dalam bentuk senyawa garam, seperti UF4 dan ThF4, dicampur dalam garam pelarut, misalnya LiF dan BeF2. Karena menggunakan garam cair, MSR beroperasi pada suhu tinggi, antara 700-1100 C. Efeknya, MSR memiliki efisiensi termal tinggi, antara 44-56%. MSR sendiri fleksibel bahan bakar, bisa menggunakan uranium, thorium maupun plutonium. Yang menarik, MSR memiliki kemampuan pembiakan/breeding[1].
Saat ini, ada beberapa
perusahaan yang mendesain MSR, seperti Flibe Energy, Martingale Inc.,
Terrestrial Energy, Transatomic Power, Moltex Energy dan Seaborg Technologies.
Selain itu, Cina dan Uni Eropa pun serius dalam mengembangkan MSR. Cina
melakukan riset TMSR yang dilakukan di SINAP, sementara negara-negara seperti
Prancis, Swiss, Belanda, Jerman, Swedia, dan Inggris terlibat dalam proyek
SAMOFAR.
Dari sekian banyak
pihak yang terlibat dalam pengembangan MSR, baru Martingale Inc. dan
Terrestrial Energy yang sudah benar-benar serius dalam melisensi desainnya.
Martingale Inc. merencanakan untuk membangun MSR mereka, ThorCon, di Indonesia
pada awal dekade 2020. Sementara, Terrestrial Energy mengajukan lisensi di
Amerika Serikat, untuk bisa mulai beroperasi juga pada awal 2020-an.
2.1. VHTR
VHTR adalah reaktor
GenIV yang menggunakan moderator grafit dan pendingin gas, umumnya gas helium.
Seperti MSR, VHTR bukan desain yang benar-benar baru. Komersialisasinya
tertunda karena teknologi LWR pada generasi II dan III sudah lebih dulu matang
di pasaran.
Bahan bakar VHTR
menggunakan bentuk tri-isotropic (TRISO). Partikel uranium dalam bentuk
UO2 berukuran 0,9 mm dibungkus dalam tiga lapisan karbida, yang berfungsi
sebagai moderator netron sekaligus pengungkung produk fisi. Ada dua opsi
fabrikasi bahan bakar TRISO dalam VHTR, yaitu dimasukkan entah dalam blok
prismatik ataupun bola-bola grafit (pebble bed). Satu pebble bed seukuran
bola golf dapat berisi ribuan partikel TRISO. Dalam VHTR yang menggunakan pebble
bed, satu unit reaktor membutuhkan hingga ratusan ribu pebble.
Sesuai namanya, VHTR
beroperasi dengan suhu tinggi, mencapai 900-1000 C. Efeknya, VHTR mampu meraih
efisiensi termal jauh lebih tinggi dari LWR (hingga 50% bahkan lebih) dan bisa
digunakan untuk memproduksi hidrogen melalui radiolisis suhu tinggi. VHTR
fleksibel dalam menggunakan bahan bakar, dapat menggunakan uranium, plutonium
maupun thorium. Hanya saja, struktur bahan bakar VHTR sangat sulit untuk
dilakukan reprosesing, sehingga kemungknan besar VHTR tidak mampu breeding,
tetapi high conversion.
Beberapa prototip VHTR
dengan suhu operasi lebih rendah telah beroperasi, misalnya HTR-10 di Tsinghua
University, Cina, dan HTTR di Jepang. Tahun 1970-an, Jerman pernah
mengoperasikan HTR berbahan bakar thorium selama 10 tahun. Saat ini, Cina
sedang membangun 6 unit VHTR komersial untuk tahap awal. Reaktor Daya
Eksperimental yang diajukan BATAN untuk dibangun juga menggunakan teknologi
VHTR. Diperkirakan, medio 2020-an VHTR sudah bisa dikomersialkan.
2.3. SCWR
SCWR secara struktur
mirip dengan reaktor generasi II dan III, yakni LWR dan CANDU. SCWR menggunakan
bahan bakar padat (biasanya dalam bentuk oksida) dan pendingin air, baik air
berat maupun air ringan. Namun, bejana SCWR memiliki tekanan jauh lebih tinggi
dari PWR, yakni 247 atm, dengan suhu operasi mencapai 550 C. Ini di atas titik
kritis termodinamik air pada suhu 374 C dan tekanan 217 atm. Artinya, pendingin
SCWR berada pada kondisi superkritis.
Apa maksudnya? Pada
kondisi superkritis, air memiliki dua fasa, yakni cair dan gas sekaligus.
Artinya, air berada dalam kondisi air dan uap air dalam waktu bersamaan serta
memiliki sifat keduanya sekaligus. Dampaknya, siklus uap SCWR menggunakan
siklus uap langsung. Air superkritis dialirkan langsung ke turbin tanpa harus
melalui steam generator dan menghasilkan efisiensi termal lebih tinggi
dari Light Water Reactor (LWR) dan Pressurised Heavy Water Reactor (PHWR).
Opsi bahan bakar SCWR
fleksibel antara uranium dan plutonium, serta bisa digunakan dalam spektrum
netron cepat maupun termal. Jepang, Kanada dan Eropa merancang desain SCWR dan
kemungkinan prototipnya akan dibangun medio 2020-an.
2.4. SFR
SFR adalah desain
reaktor maju yang paling banyak mendapat dukungan riset di berbagai negara. SFR
menggunakan bahan bakar padat (dalam bentuk oksida atau metal) dan pendingin
berupa logam natrium cair. Karena didesain untuk beroperasi pada spektrum
netron cepat, SFR tidak menggunakan moderator. Konsekuensinya, bahan bakar
fisil yang diperlukan agar mampu mencapai kekritisan lebih banyak. Mengingat,
tampang lintang fisi di spektrum netron cepat jauh lebih kecil ketimbang di
spektrum termal. SFR difokuskan untuk menggunakan bahan bakar uranium dan
plutonium, walau ada juga yang mengajukan untuk menggunakan thorium (misalnya
India).
Penggunaan natrium
cair pada suhu operasi 510 C meniscayakan SFR beroperasi dengan tekanan
atmosfer, sehingga tidak butuh bejana bertekanan tinggi seperti LWR. Kombinasi
spektrum netron cepat dan siklus uranium meniscayakan SFR memiliki kemampuan
pembiakan.
Dua unit SFR, yakni
BN-600 dan BN-800, telah beroperasi dengan sukses di Rusia. Sementara satu unit
prototip SFR di India hampir selesai dibangun. Cina memesan dua unit SFR pada
Rusia. Travelling Wave Reactor (TWR), salah satu varian SFR yang
didesain oleh TerraPower, diproyeksikan untuk dibangun prototipnya di Cina pada
tahun 2020.
2.5. LFR
LFR mirip dengan SFR,
yaitu sama-sama beroperasi dengan spektrum netron cepat. Bedanya, LFR
menggunakan pendingin timbal atau timbal-bismuth cair alih-alih natrium cair.
Karena menggunakan timbal, secara teoretis LFR bisa beroperasi dengan suhu
lebih tinggi dari SFR, yakni mencapai 800 C. Efeknya, LFR berpotensi untuk
digunakan memproduksi hidrogen. Hanya saja, masalah korosi pada suhu tinggi
masih menjadi ganjalan. Sementara, suhu operasi konservatif 550 C sudah bisa
dicapai.
LFR bisa menggunakan
uranium maupun thorium untuk bahan bakar, serta memiliki kemampuan pembiakan.
Karena timbal cair tidak mendidih pada suhu tinggi, operasi LFR pun pada
tekanan rendah, hampir tekanan atmosfer. Hanya saja, harga timbal lebih mahal
daripada natrium.
Riset LFR telah
dilakukan di Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Eropa. Rusia sendiri relatif
unggul dalam riset LFR, dengan pengalaman lebih dahulu tentang LFR untuk
propulsi kapal selam militer. Rencana operasional LFR adalah mulai 2025 untuk
LFR dengan suhu operasi lebih rendah dan 2040 untuk LFR suhu tinggi.
Karena sama-sama
menggunakan pendingin logam cair, SFR dan LFR dapat dimasukkan dalam kategori
lebih umum yaitu Liquid Metal Fast Breeder Reactor (LMFBR).
2.6. GFR
Terakhir adalah GFR.
Prinsip GFR hampir mirip dengan VHTR, menggunakan bahan bakar padat dan pendingin
gas. Hanya saja, bahan bakarnya dalam bentuk keramik, sementara moderatornya
dihilangkan. Jadi, GFR beroperasi dengan spektrum netron cepat.
Suhu operasi GFR mampu
mencapai 850 C, sehingga layak digunakan untuk produksi hidrogen. GFR mampu
membiakkan bahan bakar. Karena menggunakan spektrum cepat, GFR lebih optimal
menggunakan siklus uranium-plutonium.
Dibandingkan lima
desain lainnya, GFR adalah satu-satunya desain reaktor GenIV yang belum pernah
dibangun prototipnya. Diperkirakan, prototip GFR baru akan beroperasi lewat
dari tahun 2022. Walau begitu, Euratom berencana membangun prototip GFR pada
tahun 2018. Prancis, Euratom, Jepang dan Swiss bekerjasama dalam riset GFR.
3. Keunggulan
Reaktor GenIV
Keenam desain reaktor
maju yang dijelaskan di atas memiliki fitur-fitur yang menyempurnakan
kekurangan yang ada pada reaktor nuklir Generasi III. Suhu operasi tinggi
meniscayakan efisiensi termal lebih tinggi sehingga lebih hemat bahan bakar dan
sebagian bisa digunakan untuk produksi hidrogen. Di masa depan, hidrogen sangat
esensial untuk substitusi bahan bakar minyak, baik dipakai langsung dalam hydrogen
fuel cell maupun digunakan dalam produksi bahan bakar sintetis.
Kemampuan pembiakan
bahan bakar meniscayakan pemanfaatan bahan bakar jauh lebih tinggi dan efisien,
sehingga meningkatkan sustainabilitas hingga 60-100 kali lebih lama. Karena
pemanfaatan bahan bakar lebih baik, limbah yang dihasilkan pun lebih sedikit
dan lebih mudah dikelola. Menggunakan reaktor GenIV, cadangan uranium dan
thorium terbukti dunia saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dunia
hingga ribuan tahun ke depan.
Sistem keselamatannya
lebih baik lagi, sebagian dengan menggunakan tekanan operasi rendah, sebagian
lain dengan mekanisme pendinginan alami tanpa perlu bantuan mesin. Secara
keamanan, peluang bahan bakarnya disalahgunakan menjadi senjata nuklir turut
berkurang juga. Sementara secara biaya, desain yang lebih sederhana dan
pemanfaatan bahan bakar yang sangat baik mampu mengurangi biaya konstruksi. Ini
bisa mengurangi beban modal PLTN yang memang relatif lebih mahal daripada
pembangkit listrik lainnya.
4. Penutup
Tentu saja tiap-tiap
desain ini masih memiliki tantangan sendiri untuk diatasi sebelum bisa
dioperasikan komersial. Itu alasannya kenapa kemungkinan besar sampai medio
2020-2030 reaktor Generasi III/III+ masih akan mendominasi pembangunan PLTN.
Biar begitu, beberapa reaktor maju seperti MSR dan TWR sudah bisa segera
dikomersialkan pada awal 2020-an, dengan penekanan pada biaya konstruksi lebih
murah dan sistem keselamatan lebih baik.
Namun, dengan
teknologi Generasi III sekalipun, energi nuklir masih merupakan opsi terbaik
untuk menjadi substitusi energi fosil. Kelak kemudian, sebelum pertengahan abad
ini, reaktor maju akan menjaga sustainabilitas energi dalam rentang waktu
sangat lama dan mampu mensubstitusi energi fosil sepenuhnya dengan cepat, demi
mencegah dampak katastropik perubahan iklim.
Referensi
Andang Widi Harto,
Kusnanto. Advanced Reactor Technology. Yogyakarta, Departemen Teknik
Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada, 2013.
Energy Process
Development, Ltd. MSR Review: Feasibility of Developing a Pilot Scale Molten
Salt Reactor in the UK. London, EPD, 2015.
World Nuclear
Association. Generation IV Nuclear Reactors. Diakses dari http://www.world-nuclear.org/information-library/nuclear-fuel-cycle/nuclear-power-reactors/generation-iv-nuclear-reactors.aspx
* Penulis adalah
alumni program studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada dan anggota
Komunitas Muda Nuklir Nasional. Kini menjadi asisten penelitian Mini Thorium
Reactor Project.
* Materi
disampaikan pada Talkshow Nuklir Online Komunitas Muda Nuklir Nasional, Sabtu 8
Juli 2017
Catatan kaki:
[1] Kapabilitas
reaktor nuklir untuk menghasilkan bahan bakar sendiri dalam reaktor, seringkali
lebih banyak dari yang dikonsumsinya. Bahan bakar dihasilkan dari reaksi
transmutasi material fertil menjadi material fisil.
0 comments:
Post a Comment