Thursday 14 September 2017

Chronomaly

Karya: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Pusat Penelitian Ruang Waktu – Bantul, 2326 M

Jika ada yang lebih melelahkan bagi Professor Suyuti daripada penelitiannya akan luar angkasa, itu adalah kekhawatiran akan sisa waktunya.

Di ruang kerjanya, Professor Suyuti terduduk lesu. Layar dua puluh inci terproyeksi di depan dan kanan-kirinya, menampilkan berbagai grafik rumit. Pola gelombang sinusoidal yang diamatinya setengah hati menari-nari di depan matanya yang sayu dan lelah. Rambutnya yang sudah sepenuhnya putih dan mulai menipis sedikit terpantul di layar yang mengambang di udara itu.

“Professor Suyuti?” terdengar seseorang memanggilnya. Suara yang sudah sangat akrab di telinganya.

“Masuk saja, Rahmat.” balas Professor Suyuti, suaranya sedikit serak.

Pintu ruang kerja terbuka, dan seorang laki-laki muda masuk. Dia membawa baki berisi poci teh yang masih mengepul dan dua buah cangkir. Ilmuwan muda itu duduk di sebelah Professor Suyuti saat peneliti senior itu melambaikan tangan pada kursi di dekatnya.

“Anda kelihatan lelah, Professor.” kata Rahmat, meletakkan baki di meja di depannya, lalu menuangkan isinya ke masing-masing cangkir. “Anda pasti memaksakan diri lagi.”

Professor Suyuti tersenyum kecil. “Bukankah kau juga begitu, Nak?”

“Yah, mungkin. Sejak Dr. Waludin meninggal, saya harus bekerja dua kali lipat lebih keras.” Rahmat menghela napas pelan. “Beliau orang hebat, tapi memang sudah waktunya.”

Jantung Professor Suyuti berdegup kencang saat mendengarnya. Waktu.

“Professor, tambah gula?” tanya Rahmat.

Butuh beberapa detik agar Professor Suyuti terhenyak dari lamunannya. “Oh, tidak, tidak usah. Aku tidak mau merepotkan orang kalau tiba-tiba insulin di tubuhku tidak cukup mengolahnya.”

Keduanya tertawa kecil. Rahmat menaruh cangkir teh panas di meja di depan sesepuhnya. Professor Suyuti mengamati asap yang mengepul dari permukaan teh, melayang lalu menghilang di udara. Semuanya berlangsung dalam waktu sekian detik.

Sesuatu terngiang di benaknya. Orang-orang berasumsi bahwa waktu adalah progresi linier dari sebab menuju akibat, tapi bagaimana kalau sebenarnya waktu itu tidak linier?

Seandainya aku punya cukup waktu untuk menyelesaikannya... pikirnya, sembari bergidik sendiri. Dia tidak bisa menghindari kata yang membuatnya gemetaran sejak lama itu.

Professor Suyuti menyesap tehnya. Kehangatan perlahan menjalar di tubuhnya yang terasa membeku di ruangan dingin itu. Meski begitu, kegundahannya tidak juga berkurang.

“Sekarang tinggal aku, Professor Dahlan, Professor Nu’man, Dr. Suranto dan Professor Jajang yang tersisa.” ucap Professor Suyuti lirih. “Dahlan juga sakit-sakitan belakangan ini. Sudah berapa hari dia dirawat?”

Rahmat meletakkan teh yang baru disesapnya di tatakan. “Seminggu, Professor.”

“Seminggu? Bukankah baru-baru ini?” Professor Suyuti nyaris terlonjak.                

“Tidak, Professor. Bukankah beliau sudah merasa ada gangguan pada jantungnya sejak minggu kemarin?”

Keringat dingin membasahi tengkuk sang ilmuwan. Benarkah itu? Apa dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai melupakannya? Atau, apakah waktu berjalan terlalu cepat?

Professor Suyuti mengecek jam tangannya. Pukul tiga lewat dua puluh satu sore. Dia menelan ludah. Sudah jam segini? Bukankah tadi baru pukul satu?

“Professor, ada apa?” tanya Rahmat, bingung.

“Ah? Oh, tidak.” Professor Suyuti mengelak. Dia memijit-mijit pelipisnya. “Mungkin aku cuma kelelahan. Data-data ini juga memusingkan saja.” dia membuat gestur menyapu ke atas dengan tangannya, dan layar di depannya membesar menjadi empat puluh inci. Gelombang sinusoidal tetap tampak stabil. “Tidak ada gelombang gravitasi terdeteksi baru-baru ini.”

Rahmat menghela napas. “Mudah-mudahan penelitian jalur warp ini segera selesai, ya, Professor. Planet ini semakin hari semakin berbahaya.”

“Mau mengutuk habis-habisan mereka yang memicu Perang Dunia VI pun percuma. Mereka sudah mati beserta ambisi rakusnya sembari menyeret planet ini dalam bencana yang tidak bisa disembuhkan.” gerutu Professor Suyuti.

“Sayang sekali kita tidak bisa melakukan time travel. Kalaupun bisa, saya khawatir soal butterfly effect yang dihasilkannya. Lagipula,” Rahmat menyesap habis tehnya yang tinggal sedikit. “saya malah hampir berpikir bahwa waktu itu benar-benar linier.”

Degg. Kata itu lagi.

“Linier.” gumam Professor Suyuti. “Lebih banyak waktu.”

Sebuah pemikiran terlintas di benaknya, dan itu membuatnya gelisah.

“Sebaiknya Anda beristirahat saja dulu di Hall Utama, Professor. Biar saya yang mengolah beberapa data ini.” Rahmat menawarkan diri.

“Tidak, tidak usah repot-repot. Aku masih bisa melakukannya.”

“Tidak apa-apa, Professor. Saya tahu Anda kelelahan. Di usia Anda seperti ini, tidak baik terlalu memaksakan diri.”

Sang ilmuwan menghela napas, lalu akhirnya mengangguk dan bangkit dari kursinya.

Sembari berjalan meninggalkan ruangannya, otak Professor Suyuti berputar cepat. Usia. Lebih banyak waktu. Linier. Dr. Waludin. Professor Dahlan. Semua itu memberinya gagasan aneh. Gagasan yang sudah berkelebat di kepalanya sekian lama, terngiang-ngiang untuk diwujudkan. Rekan-rekannya di PPRW tentu tidak akan menyetujuinya, tapi dia tidak membutuhkan mereka. Dia bisa mewujudkannya sendiri.

Professor Suyuti mengecek jam tangannya lagi. Jantungnya kembali berdegup kencang ketika melihat jamnya menunjukkan sudah pukul tiga lewat empat puluh menit. Bukankah dia hanya berbicara beberapa menit saja dengan Rahmat?
***

Hari-hari selanjutnya, Professor Suyuti lebih banyak mengurung diri di Lab Analisis Waktu. Pengamatan gelombang gravitasionalnya dialihkan ke ruangan seluas lapangan sepakbola dan setinggi seratus meter itu, meski dia sendiri tidak terlalu sering melihat layar informasinya. Dia lebih fokus pada membangun alat itu.

Setumpuk kertas besar penuh coretan persamaan fisika rumit terbentang tidak teratur di meja di sudut ruangan. Sesekali Professor Suyuti gemetaran saat memikirkan konsekuensi jika persamaan yang diturunkannya salah, sampai dia harus mengecek ulang berkali-kali untuk memastikan kalkulasinya tepat.

Cetak biru perangkat rancangannya terpampang lebar di layar di salah satu sisi Lab. Tangan-tangan robotik bergerak merangkai ribuan komponen mengikuti cetak biru. Professor Suyuti mengendalikan tangan-tangan robot dengan komputer, menggerakkannya dengan hati-hati. Progresnya lambat—dua minggu berlalu, dan belum sampai dua persen yang selesai.

Rahmat sesekali mengunjunginya, setelah diminta sang ilmuwan untuk membantunya. Rahmat tidak punya gambaran penuh soal proyek seniornya ini, jadi dia tidak berkomentar terlalu banyak.

“Apa Anda benar-benar yakin soal ini, Professor?” tanya Rahmat, hari kedelapanbelas dari pembangunan. Layar yang menampilkan sketsa biru menunjukkan “3%”.

“Tidak ada pilihan lain, Nak.” ucap Professor Suyuti serak. Dia semakin jarang memerhatikan kesehatannya. “Kita butuh lebih banyak waktu untuk menemukan gelombang itu. Berapa level ketinggian air laut saat ini?”

“Naik dua puluh sentimeter dari seminggu yang lalu, Professor.”

Rasa mual memenuhi rongga perut sang ilmuwan. Dua puluh sentimeter. Menurut perkiraannya, tinggal butuh setahun sampai permukaan laut turut menenggelamkan Bantul. Dengan laju pembangunan saat ini, butuh dua tahun untuk menyelesaikan alatnya. Waktunya tidak banyak.

“Rahmat, beritahu aku, tidakkah kau pikir waktu bergerak terlalu cepat?”

“Eh?” Rahmat merengut. “Tidak, Professor. Apa yang membuat Anda berpikir begitu?”

Professor Suyuti menghela napas. Dia bersandar di kursi, mengusap keningnya yang berpeluh. Detak jantungnya belum kembali normal. Kepanikan masih membanjiri benaknya. Apa memang hanya dia yang merasakannya?

“Rotasi bumi memang berubah dalam beberapa puluh tahun belakangan, tapi saya yakin pengaruhnya sangat kecil terhadap waktu, Professor. Dr. Waludin dulu memperkirakan pergeserannya kurang dari seperseratus detik.”

Konfirmasi itu tidak juga mampu menghilangkan kegundahan Professor Suyuti.

Bulan demi bulan berlalu. Para ilmuwan di PPRW beranjak frustrasi karena kegagalan menemukan gelombang gravitasi. Hal ini diperparah dengan Professor Dahlan yang akhirnya menyerah pada penyakit jantungnya. Para ilmuwan senior yang tersisa menurunkan intensitas kerja atau beralih tugas ke yang lebih ringan, khawatir mereka cepat lelah dan terlalu dini menyusul Professor Dahlan. Para ilmuwan muda dengan sukarela menambal kekurangan kerja para seniornya, termasuk Rahmat yang mengambil alih proses konstruksi alat itu.

Mengamati kinerja juniornya, Professor Suyuti menyadari sesuatu. Pemasangan komponen lebih cepat ketika dilakukan oleh Rahmat. Anak muda itu bekerja nyaris tiga kali lebih cepat dari dirinya. Harapan baru membuncah dalam benak ilmuwan tua ini.

Di ruang kerjanya yang lama, Professor Suyuti memerhatikan layar komputer. Matanya terpaku pada desain struktur raksasa berbentuk bola bertopangkan kerangka heksagonal yang dikelilingi cincin lebar seperti cincin Saturnus. Sebuah antena kerucut menjulang tinggi di atas bola itu, ujungnya tersambung sejumlah kabel logam tebal ke permukaan cincin.

Professor Suyuti mencoretkan sebuah nama di layar komputer dengan jarinya.

Chronomaly.
***

“Sudah selesai, ya?” tanya Professor Suyuti tegang.

Dia dan Rahmat berdiri di hadapan alat raksasa setinggi enam puluh meter yang menjulang kokoh. Mengamati sosoknya, Professor Suyuti gemetaran. Tanpa henti dia meremas-remas tangannya. Kesehatannya semakin memburuk belakangan ini, flu dan sakit kepala menderanya tiap saat.

Sisa waktunya tinggal sedikit.

Rahmat mengecek layar di sampingnya. “Ya, saya yakin 100% sudah selesai. Sketsa biru juga mengatakan seperti itu.” dia merengut. “Alat ini mengekstrak energi dari radiasi kosmik, panas matahari, serta mampu menarik energi dari inti bumi. Tidak ada yang benar-benar baru, tapi menggabungkan semua ini sekaligus…” Rahmat menoleh pada seniornya. “Benda ini bisa memperbesar peluang deteksi gelombang gravitasi, meski tampaknya desain keseluruhannya tidak begitu.”

Chronomaly.” ucap Professor Suyuti. “Itulah nama alat ini. Aku sudah memikirkan konsepnya sejak dua puluh tahun yang lalu, tepat setelah Perang Dunia VI berakhir. Ini kurancang saat melihat planet ini tidak bisa lagi ditinggali dan kita perlu pergi ke planet lain. Tapi Dahlan dan Nu’man menolak ide ini, sehingga aku terpaksa menguburnya jauh-jauh.”

Chronomaly. Kesannya seperti bermakna anomali waktu. Tunggu dulu, ini bukan untuk menyebarkan energi deteksi melalui sinar kosmik?”

Professor Suyuti terbatuk-batuk. “Tidak, Nak, tidak. Aku—uhuk! Aku tidak membuatnya seperti itu. Aku butuh energi dari semua sumber tersisa untuk—uhuk! Untuk menciptakan anomali.”

“Menciptakan anomali…” mendadak wajah Rahmat diwarnai horor. “Professor, Anda tidak bermaksud…”

“Ya, Nak. Aku memikirkan apa yang kau sampaikan waktu itu. Kau nyaris menduga bahwa waktu itu linier. Aku tidak bisa membuktikan kau benar, tapi itu membuatku yakin untuk membangun Chronomaly. Kita tidak bisa membuktikan time travel dengan kondisi begini, tapi kita bisa melakukan sedikit di bawahnya. Menghentikan waktu.”

“Tidak, Professor. Bagaimana mungkin…”

“Kau tidak mengerti, Nak!” suara serak Professor Suyuti meninggi. “Kita tidak punya waktu lagi! Aku ketakutan. Waktu berjalan terlalu cepat dan aku makin menua. Tidak! Kau tidak tahu rasanya, kau masih muda.”

Rahmat menelan ludah, bimbang. “Anda… Anda takut terhadap waktu?”

“Perlu kujelaskan lagi, Nak?”

“Tidak, tapi, tidak ada yang berbeda dengan aliran waktu! Semuanya masih—”

“Kau tidak mengerti!” Professor Suyuti lepas kendali dan berteriak. Wajahnya memerah. “Anak muda sepertimu tidak akan merasakannya. Tidak, waktu bergerak cepat. Terlalu cepat. Kita tidak akan sempat pergi dari planet ini. Aku harus menghentikan waktu, itu satu-satunya cara.”

“Tapi, Professor, itu bisa membuat dimensi kolaps! Ruang yang kehilangan kestabilan waktunya akan meluruh dan segera runtuh!”

“Omong kosong. Tidak ada waktu untuk membicarakannya. Ini harus segera dilakukan.”

Professor Suyuti menarik tuas sebelum Rahmat sempat berteriak dan menyambarnya.

Cincin Chronomaly bersinar terang, mengalirkan cahaya putih melalui kabel-kabelnya ke puncak antena. Bola cahaya terbentuk di ujung antena, membesar dalam sekejap, lalu meledak dalam milyaran partikel cahaya, menghantam segala penjuru layaknya hujan meteor. Professor Suyuti tidak bisa mendengar tawa histerisnya maupun teriakan Rahmat. Lebih dari itu, dia tidak bisa merasakan apa-apa. Waktu seolah berhenti.

Penglihatannya memusing. Semua terlihat melengkung, menjadi pusaran yang berpusat pada Chronomaly. Kesadarannya menurun dengan cepat.

Siluet terakhir yang sempat dilihatnya sebelum kehilangan kesadaran adalah Rahmat yang melompat ke perangkat kendali Chronomaly.
***

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Professor Jajang, kekhawatiran mewarnai wajahnya.
Rahmat terduduk lemah di samping sang Kepala PPRW. Sebotol susu sudah dihabiskannya, tapi seluruh ototnya terasa seperti baru mengalami stretching berjam-jam, dan kepalanya masih pusing. Namun, dia tetap menjawab.

“Ruang dan waktu nyaris kolaps. Energi yang diserap Chronomaly terlalu tinggi. Benda ini…” Rahmat menatap ngeri struktur raksasa yang kini tidak lagi bercahaya. “Dia benar-benar menghentikan waktu. Seluruh jam berhenti berdetak selama beberapa saat. Aura di sekelilingku berubah, sama sekali tidak nyaman. Lalu, semuanya memusing…”

Rahmat terdiam. Seseorang menawarinya sekotak susu. Rahmat merenggutnya kasar dan menghabiskan isinya dalam dua teguk.

“Tidak heran, kamu berada dalam jarak paling dekat dengan pusat masalah.” Professor Jajang menghela napas. “Kamu beruntung fisikmu cukup baik untuk menahan impitan dimensi yang hampir kolaps.”

“Iya, alhamdulillah. Untungnya, saya turut memasang reversal system kalau-kalau terjadi hal yang tidak terduga. Saya berhasil mengaktifkannya sebelum semuanya hancur.” Rahmat tertunduk. “Maaf, Professor. Seharusnya saya lebih teliti dalam melihat rancangan itu.”

“Tidak apa-apa, Nak. Suyuti memang sejak lama punya masalah dalam persepsi waktu. Sejak akhir Perang Dunia, tampaknya.” Professor Jajang melirik Chronomaly. “Lagipula, toh, alat ini pada akhirnya membantu juga.”

“Eh?”

“Ya, benar. Reversal system yang kamu pasang berhasil memancarkan energi melalui radiasi kosmik ke berbagai penjuru semesta. Dari sana, kami berhasil mendeteksi gelombang gravitasi di koordinat tidak jauh dari sebelumnya. Ini memvalidasi teori kami, dan dari sana, kita bisa mengembangkan sistem warp dalam waktu dekat!”

Demi mendengarnya, seluruh tubuh Rahmat mendadak rileks. Kelegaan membanjiri benaknya.

“Kondisi Suyuti tidak terlalu buruk, menurut dokter. Dia mengalami tekanan lebih besar karena faktor usia, dan sampai sekarang belum sadar, tapi keadaannya stabil.” Professor Jajang bangkit, lalu mengulaskan senyum tipis. “Terima kasih atas jasamu. Oh, mungkin aku perlu menyampaikannya pada Suyuti juga kalau dia sudah sadar. Setidaknya, yang kamu pasangi reversal system itu, kan, alatnya juga.”

Professor Jajang mengedipkan sebelah matanya, dan dia pun berlalu. Seorang pegawai PPRW menghampiri Rahmat, memberitahu dirinya dipanggil oleh dokter. Rahmat bangkit dengan terhuyung, sampai harus ditahan pegawai itu agar tidak jatuh.

“Terima kasih.” ujarnya pelan.

Saat menuju ruang dokter, Rahmat mengecek jam tangannya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat jarum panjang berdetak tiga kali dalam waktu dua detik.
***

0 comments:

Post a Comment