Tuesday, 18 July 2017

Komparasi Biaya Energi (Karena Listrik Murah Butuh Teknologi Tepat) Bagian 4 (Habis) – Jadi, Energi Mana Yang Paling Murah?

Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Tiga artikel sebelumnya telah menganalisis pembiayaan sektor kelistrikan pada tiap-tiap komponen kelistrikan. Masing-masing adalah biaya bahan bakar, biaya balik modal/capital cost recovery (CCR), dan penalti dampak lingkungan. Biaya operasional dan perawatan (termasuk biaya penelitian dan pengembangan) diasumsikan telah memakan USD 1 sen/kWh, sehingga menyisakan USD 1 sen untuk tiga keperluan lain. Berat juga.

Sementara, target yang ditetapkan pada artikel pertama, biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik ketika keluar dari pembangkit adalah tidak boleh lebih dari USD 2 sen/kWh, atau Rp. 270/kWh. Tujuannya, agar ketika sampai ke pelanggan, harga listriknya dapat terjangkau tanpa perlu disubsidi. Tentunya, kondisi ini mengasumsikan kekuatan ekonomi masyarakat dan nilai tukar mata uang yang berlaku saat ini. Seandainya kondisinya berubah ke arah positif, yakni sama-sama menguat, maka standarnya bisa dilonggarkan. Barangkali jadi USD 3-4 sen/kWh. Tapi patokan saat ini biarkan pada USD 2 sen/kWh dulu.

Tidak banyak yang perlu dijelaskan di sini. Saya hanya mengumpulkan data dari tiga artikel sebelumnya saja. Biaya bahan bakar, biaya operasional dan perawatan, CCR, hingga penalti dampak lingkungan, semua dijumlahkan. Supaya, dapat diketahui berapa biaya sesungguhnya dari berbagai pembangkit yang tersedia.

Opsi-opsi yang dibahas di artikel-artikal sebelumnya adalah energi batubara, energi gas alam, energi nuklir, energi bayu, energi surya, energi panas bumi, dan energi hidro. Jika dikategorikan, maka ada tiga kategori yang bisa dibentuk, yakni energi fosil, energi nuklir, dan “energi terbarukan”.

(aside note. sekali lagi, saya tidak senang menggunakan istilah “energi terbarukan”, karena secara praktis tidak ada maknanya. Sumber energinya barangkali tidak habis-habis, tapi tidak dengan material untuk menghimpun energinya. Masih dipakai semata-mata untuk mempermudah pemahaman saja. Ke depannya tidak akan digunakan lagi. end aside)

Dari ketiga opsi itu, mana yang paling memungkinkan untuk bisa murah tanpa perlu subsidi? Untuk catatan, perhitungan CCR diambil tanpa menggunakan skema pembiayaan ribawi.

Pertama, kita lihat energi fosil. Berapa BPP listrik dari energi fosil?

Berikut adalah BPP listrik dari batubara.


Jelas sekali bahwasanya batubara sama sekali tidak memenuhi syarat. Tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan sekalipun, energi batubara sama sekali tidak memenuhi syarat, walau memang tidak mahal-mahal amat dibanding tarif listrik non-subsidi saat ini. Namun, mengingat tidak memasukkan penalti dampak lingkungan dalam skema pembiayaan listrik adalah tindakan amoral, jadi ini harus dimasukkan, dan hasilnya mengerikan.

Batubara bukan energi tepat untuk menghasilkan listrik murah tanpa subsidi.

Berikutnya adalah energi gas alam. Berikut adalah BPP listrik dari gas alam, dalam bentuk PLTG maupun PLTGU.


Penalti dampak lingkungan untuk gas alam tidak sebesar batubara, tapi masih relatif besar, bahkan lebih besar daripada biaya bahan bakarnya. Inipun harga bahan bakarnya menggunakan asumsi yang sangat optimis, yakni USD 3/MMBTU. Realitanya, harga gas alam bisa saja lebih tinggi. Utamanya karena tidak semua pembangkit bisa mendapatkan pasokan gas alam melalui perpipaan, melainkan harus menggunakan LNG.

Gas alam bukan energi tepat untuk menghasilkan listrik murah tanpa subsidi.

Sehingga, bisa dengan mudah dipahami bahwa energi fosil bukanlah energi yang tepat untuk menghasilkan listrik murah tanpa subsidi. Kalau mau listrik murah tanpa perlu membebani anggaran negara, energi fosil harus ditinggalkan jauh-jauh.

Kedua adalah energi nuklir. Berapa BPP listrik dari energi nuklir?

Berikut adalah tabelnya.


Energi nuklir adalah energi nir emisi, sehingga penalti dampak lingkungannya sangat minimal. Nyaris tidak signifikan dalam komponen BPP. Biaya bahan bakar nuklir (uranium) pun sangat murah. Usia pakainya lama dan operabilitasnya tinggi, sehingga CCR jadi rendah, walau biaya modalnya lebih tinggi ketimbang energi fosil. Dampaknya, BPP listrik ketika keluar dari pembangkit pun dapat lebih rendah dari USD 2 sen/kWh.

Nuklir adalah energi tepat untuk menghasilkan listrik murah tanpa subsidi.

Ketiga, yang terakhir, adalah “energi terbarukan”. Berapa BPP listrik dari “energi terbarukan”?

Berikut adalah BPP untuk energi bayu.


Energi bayu tidak butuh bahan bakar, karena semata-mata memanfaatkan energi kinetik angin untuk menggerakkan turbin. Sehingga, biaya bahan bakar bisa dieliminasi. Namun, performa yang payah (angin tidak berembus tiap saat) dan usia pakai yang pendek (normalnya hanya 25 tahun, kadang 20 tahun) membuat angka CCR jadi membengkak. Dampak lingkungannya memang minimal, tapi yang mahal justru dari CCR. Bahkan sekalipun menggunakan skema pembiayaan tanpa riba.

Ini belum mempertimbangkan bahwa energi bayu perlu penyimpanan daya. Karena ada waktu kosong ketika angin tidak berembus (yang notabene lebih lama ketimbang waktu angin berembus), maka energi bayu butuh backup daya atau penyimpanan daya. BPP bisa melonjak hingga dua kali lipatnya.

Energi bayu bukan energi tepat untuk menghasilkan listrik terjangkau tanpa subsidi.

Kemudian adalah BPP untuk energi surya. Again, a little hint: it’s even worse.


Secara modal, energi surya memang lebih murah. Namun, secara performa, energi surya bahkan lebih buruk ketimbang energi bayu. Panel surya hanya menangkap listrik secara optimal beberapa jam saja dalam sehari. Kalau mendung, hujan, atau malam hari, bye bye electricity. Menilik dari hype yang sangat tinggi dari sebagian kalangan terhadap panel surya, saya mendapat kesan bahwa mereka tidak terpikir sampai sejauh ini. Apa dikiranya panel surya beroperasi 24 jam dalam seminggu?

Sama seperti energi bayu, energi surya butuh backup daya atau penyimpanan daya, tidak bisa beroperasi sendiri. Backup daya biasanya pakai gas alam, tapi masa’ iya mau pakai energi fosil untuk komplementer “energi terbarukan”? Bisa juga pakai teknologi nuklir Generasi IV, tapi sejujurnya reaktor nuklir Generasi IV bisa beroperasi sendiri tanpa butuh bantuan panel surya.

Tanpa mempertimbangkan penyimpanan daya sekalipun, yang juga bisa membuat BPP naik dua kali lipat atau lebih, BPP listrik dari energi surya masih jauh di atas target awal.

Energi surya bukan energi yang tepat untuk menghasilkan listrik terjangkau tanpa subsidi.

Selanjutnya energi panas bumi. Berikut adalah BPP listriknya.


Dengan overnight cost yang tinggi, panas bumi jadi cukup mahal di CCR, walaupun skema pembiayaannya tanpa riba dan performanya tidak kalah dari energi nuklir. Sehingga, total BPP energi panas bumi jadi 50% lebih tinggi daripada target. Walau demikian, sebenarnya overnight cost energi panas bumi relatif bervariasi, antara USD 3000-5000/kW. Dengan overnight cost USD 3000/kW, maka BPP listrik jadi hanya sekitar 25% di atas target, sehingga barangkali masih bisa ditolerir.

Energi panas bumi potensial menjadi energi tepat untuk menghasilkan listrik terjangkau tanpa subsidi.

Terakhir adalah energi hidro.


Energi hidro bisa dibangun dengan daya kecil (sekian kW) hingga besar (sekian GW). Di Indonesia, biasanya PLTA dibangun dalam skala puluhan hingga ratusan MW, jarang yang hingga GW. Namun, rentang overnight cost-nya tidak terlalu jauh, kira-kira USD 800-2000/kW. Walau faktor kapasitas tidak terlalu tinggi dan seringkali lebih banyak digunakan untuk peak load, nyatanya BPP listrik hidro masih di bawah target USD 2 sen/kWh, bahkan lebih murah dari nuklir. Nyatanya, di berbagai belahan dunia, energi bersih yang bisa lebih murah dari nuklir ya energi hidro.

Energi hidro adalah energi tepat untuk menghasilkan listrik terjangkau tanpa subsidi.

BPP listrik dari seluruh moda energi di atas disajikan dalam tabel berikut.


Dari seluruh pembahasan ini, apa yang bisa ditarik?
Untuk bisa menghasilkan listrik murah tanpa harus disubsidi oleh negara, maka teknologi yang digunakan pun harus tepat. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa bauran energi ideal agar listrik bisa murah adalah menggunakan energi nuklir, energi panas bumi, dan energi hidro. Kombinasi ketiganya, dalam sistem yang tepat, dapat menyediakan suplai listrik yang murah dan reliabel pada masyarakat bahkan dalam kondisi ekonomi masyarakat seperti sekarang.
Tentu saja, persoalan kelistrikan adalah persoalan yang cukup rumit. Angka pada tabel di atas pun bukan merupakan patokan pasti, melainkan sebatas pendekatan. Angka-angka ini untuk memberi gambaran tentang opsi energi mana yang layak digunakan agar listrik tidak lagi mahal. Mengutip perkataan mendiang Prof. David MacKay, “It may not be very accurate, but it may makes you say ‘hmmm’.

Standar USD 2 sen/kWh bisa saja dilonggarkan jadi lebih tinggi jika kondisi ekonomi membaik dan standar hidup masyarakat lebih tinggi. Sehingga, opsi lain seperti energi bayu dan surya barangkali bisa saja masuk. Tapi sekali lagi, itu tergantung berapa kisaran tarif listrik yang bisa terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Belum lagi jika standar mata uang dikembali ke Dinar dan Dirham, maka perlu ada penyesuaian lagi.

Sistem Islam adalah sistem terbaik untuk seluruh umat manusia. Sistem Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia alih-alih membiarkan orang-orang hidup dalam hukum rimba. Walau demikian, sistem terbaik sekalipun tetap membutuhkan teknologi yang tepat untuk menjamin penyediaan kebutuhan dasar manusia dengan sebaik-baiknya. Untuk sistem kelistrikan, berdasarkan penjabaran-penjabaran sebelumnya, maka teknologi terbaik untuk menyediakan listrik murah tanpa perlu subsidi adalah energi nuklir, energi panas bumi, dan energi hidro. Ketiga moda energi ini layak menjadi prioritas utama Negara Islam dalam penyediaan kelistrikan bagi masyarakat.

Bagi pembaca yang ingin menghitung sendiri BPP listrik dari berbagai moda energi, saya sudah membuat Kalkulator BPP Listrik dalam format Excel. File tersebut dapat diunduh di (http://bit.ly/2uwcExb). Semoga bermanfaat.

Referensi:
Andang Widi Harto, Kebijakan Energi Perspektif Islam - Bagian 2. Yogyakarta, tt.
David MacKay. Sustainable Energy – Without The Hot Air. UIT Cambridge, Cambridge, 2009.
Hafidz Abdurrahman. Diskursus Islam Politik dan Spiritual. Al Azhar Press, Bogor, 2014.
Intergovernmental Panel on Climate Change Working Group III. Mitigation of Climate Change, Annex III: Technology - specific cost and performance parameter. Cambridge University Press, Cambridge, 2014.
John R. Lamarsh, Introduction to Nuclear Reactor Theory. Addison-Wesley Publishing, New York, 1978.
Massachusetts Institute of Technology, Nuclear Energy Economics and Policy Analysis. Cambridge, tt.
Muhammad Ery Wijaya, Bundit Limmeechokchai, The hidden cost of fossil fuel generation in Indonesia: A reduction approach through low carbon society. Songklanakarin Journal of Science and Technology, 32:81-89, 2010.
Robert Hargraves, Thorium Energy Cheaper Than Coal. CreateSpace Independent Publishing Platform, Hanover, 2012.
UXC. UxC Fuel Quantity & Cost Calculator. Diakses dari http://bit.ly/2vehlKi

World Nuclear Association, The Economics of Nuclear Power. Diakses dari http://bit.ly/24fivS5

0 comments:

Post a Comment