Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.
Tiga artikel sebelumnya telah menganalisis
pembiayaan sektor kelistrikan pada tiap-tiap komponen kelistrikan.
Masing-masing adalah biaya bahan bakar, biaya balik modal/capital cost
recovery (CCR), dan penalti dampak lingkungan. Biaya operasional dan
perawatan (termasuk biaya penelitian dan pengembangan) diasumsikan telah
memakan USD 1 sen/kWh, sehingga menyisakan USD 1 sen untuk tiga keperluan lain.
Berat juga.
Sementara, target yang ditetapkan pada artikel
pertama, biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik ketika keluar dari
pembangkit adalah tidak boleh lebih
dari USD 2 sen/kWh, atau Rp. 270/kWh. Tujuannya,
agar ketika sampai ke pelanggan, harga listriknya dapat terjangkau tanpa perlu
disubsidi. Tentunya, kondisi ini mengasumsikan kekuatan ekonomi masyarakat dan
nilai tukar mata uang yang berlaku saat
ini. Seandainya kondisinya berubah
ke arah positif, yakni sama-sama menguat, maka standarnya bisa dilonggarkan.
Barangkali jadi USD 3-4 sen/kWh. Tapi patokan saat ini biarkan pada USD 2
sen/kWh dulu.
Tidak banyak
yang perlu dijelaskan di sini. Saya hanya mengumpulkan data dari tiga artikel
sebelumnya saja. Biaya bahan bakar, biaya operasional dan perawatan, CCR,
hingga penalti dampak lingkungan, semua dijumlahkan. Supaya, dapat diketahui
berapa biaya sesungguhnya dari berbagai pembangkit yang tersedia.
Opsi-opsi
yang dibahas di artikel-artikal sebelumnya adalah energi batubara, energi gas alam, energi nuklir, energi
bayu, energi surya, energi panas bumi, dan energi hidro. Jika dikategorikan, maka ada tiga kategori yang bisa dibentuk, yakni energi fosil, energi nuklir, dan “energi
terbarukan”.
(aside note. sekali lagi, saya tidak senang
menggunakan istilah “energi terbarukan”, karena secara praktis tidak ada
maknanya. Sumber energinya barangkali tidak habis-habis, tapi tidak dengan
material untuk menghimpun energinya. Masih dipakai semata-mata untuk mempermudah
pemahaman saja. Ke depannya tidak akan digunakan lagi. end aside)
Dari ketiga
opsi itu, mana yang paling memungkinkan untuk bisa murah tanpa perlu subsidi?
Untuk catatan, perhitungan CCR diambil tanpa menggunakan skema pembiayaan
ribawi.
Pertama,
kita lihat energi fosil. Berapa BPP listrik dari energi fosil?
Berikut adalah BPP
listrik dari batubara.
Jelas sekali
bahwasanya batubara sama sekali tidak memenuhi syarat. Tanpa mempertimbangkan
dampak lingkungan sekalipun, energi batubara sama sekali tidak memenuhi syarat,
walau memang tidak mahal-mahal amat dibanding tarif listrik non-subsidi saat
ini. Namun, mengingat tidak memasukkan penalti dampak lingkungan dalam skema
pembiayaan listrik adalah tindakan amoral, jadi ini harus dimasukkan, dan
hasilnya mengerikan.
Batubara
bukan energi tepat untuk menghasilkan listrik murah tanpa subsidi.
Berikutnya adalah
energi gas alam. Berikut adalah BPP listrik dari gas alam, dalam bentuk PLTG
maupun PLTGU.
Penalti
dampak lingkungan untuk gas alam tidak sebesar batubara, tapi masih relatif
besar, bahkan lebih besar daripada biaya bahan bakarnya. Inipun harga bahan
bakarnya menggunakan asumsi yang sangat optimis, yakni USD 3/MMBTU. Realitanya,
harga gas alam bisa saja lebih tinggi. Utamanya karena tidak semua pembangkit
bisa mendapatkan pasokan gas alam melalui perpipaan, melainkan harus
menggunakan LNG.
Gas
alam bukan energi tepat untuk menghasilkan listrik murah tanpa subsidi.
Sehingga,
bisa dengan mudah dipahami bahwa energi fosil bukanlah energi yang tepat untuk menghasilkan listrik
murah tanpa subsidi.
Kalau mau listrik murah tanpa perlu membebani anggaran negara, energi fosil
harus ditinggalkan jauh-jauh.
Kedua adalah
energi nuklir. Berapa BPP listrik dari energi nuklir?
Berikut adalah
tabelnya.
Energi nuklir adalah energi nir emisi,
sehingga penalti dampak lingkungannya sangat minimal. Nyaris tidak signifikan
dalam komponen BPP. Biaya bahan bakar nuklir (uranium) pun sangat murah. Usia
pakainya lama dan operabilitasnya tinggi, sehingga CCR jadi rendah, walau biaya
modalnya lebih tinggi ketimbang energi fosil. Dampaknya, BPP listrik ketika
keluar dari pembangkit pun dapat lebih rendah dari USD 2 sen/kWh.
Nuklir adalah energi tepat untuk menghasilkan listrik
murah tanpa subsidi.
Ketiga, yang terakhir, adalah “energi terbarukan”. Berapa BPP listrik
dari “energi terbarukan”?
Berikut adalah BPP
untuk energi bayu.
Energi bayu tidak butuh bahan bakar, karena semata-mata memanfaatkan
energi kinetik angin untuk menggerakkan turbin. Sehingga, biaya bahan bakar
bisa dieliminasi. Namun, performa yang payah (angin tidak berembus tiap saat)
dan usia pakai yang pendek (normalnya hanya 25 tahun, kadang 20 tahun) membuat
angka CCR jadi membengkak. Dampak lingkungannya memang minimal, tapi yang mahal
justru dari CCR. Bahkan
sekalipun menggunakan skema pembiayaan tanpa riba.
Ini belum mempertimbangkan bahwa energi bayu perlu penyimpanan daya.
Karena ada waktu kosong ketika angin tidak berembus (yang notabene lebih lama
ketimbang waktu angin berembus), maka energi bayu butuh backup daya atau
penyimpanan daya. BPP bisa melonjak hingga dua kali lipatnya.
Energi bayu bukan energi tepat untuk menghasilkan listrik
terjangkau tanpa subsidi.
Kemudian adalah BPP
untuk energi surya. Again, a little hint: it’s even worse.
Secara modal, energi surya memang lebih murah. Namun, secara performa,
energi surya bahkan lebih buruk ketimbang energi bayu. Panel surya hanya
menangkap listrik secara optimal beberapa jam saja dalam sehari. Kalau mendung,
hujan, atau malam hari, bye bye electricity. Menilik dari hype yang sangat tinggi dari sebagian kalangan
terhadap panel surya, saya mendapat kesan bahwa mereka tidak terpikir sampai
sejauh ini. Apa dikiranya panel surya beroperasi 24 jam dalam seminggu?
Sama seperti energi bayu, energi surya butuh backup daya atau penyimpanan daya, tidak bisa beroperasi
sendiri. Backup daya biasanya
pakai gas alam, tapi masa’ iya mau pakai energi fosil untuk komplementer
“energi terbarukan”? Bisa juga pakai teknologi nuklir Generasi IV, tapi
sejujurnya reaktor nuklir Generasi IV bisa beroperasi sendiri tanpa butuh
bantuan panel surya.
Tanpa mempertimbangkan penyimpanan daya
sekalipun, yang juga bisa membuat BPP naik dua kali lipat atau lebih, BPP
listrik dari energi surya masih jauh di atas target awal.
Energi surya bukan
energi yang tepat untuk menghasilkan listrik terjangkau tanpa subsidi.
Selanjutnya energi panas bumi. Berikut adalah BPP listriknya.
Dengan overnight cost yang tinggi, panas
bumi jadi cukup mahal di CCR, walaupun skema pembiayaannya tanpa riba dan
performanya tidak kalah dari energi nuklir. Sehingga,
total BPP energi panas bumi jadi 50% lebih tinggi daripada target. Walau
demikian, sebenarnya overnight cost energi
panas bumi relatif bervariasi, antara USD 3000-5000/kW. Dengan overnight cost USD 3000/kW, maka BPP listrik jadi hanya sekitar
25% di atas target, sehingga barangkali masih bisa ditolerir.
Energi panas bumi
potensial menjadi energi tepat untuk menghasilkan listrik terjangkau tanpa
subsidi.
Terakhir adalah energi hidro.
Energi hidro bisa dibangun dengan daya kecil
(sekian kW) hingga besar (sekian GW). Di Indonesia, biasanya PLTA dibangun
dalam skala puluhan hingga ratusan MW, jarang yang hingga GW. Namun, rentang overnight
cost-nya tidak terlalu jauh, kira-kira USD 800-2000/kW. Walau faktor
kapasitas tidak terlalu tinggi dan seringkali lebih banyak digunakan untuk peak
load, nyatanya BPP listrik hidro masih di bawah target USD 2 sen/kWh,
bahkan lebih murah dari nuklir. Nyatanya, di berbagai belahan dunia, energi
bersih yang bisa lebih murah dari nuklir ya energi hidro.
Energi hidro adalah energi tepat untuk menghasilkan
listrik terjangkau tanpa subsidi.
BPP listrik dari
seluruh moda energi di atas disajikan dalam tabel berikut.
Dari seluruh pembahasan ini, apa yang bisa
ditarik?
Untuk bisa menghasilkan listrik murah tanpa harus disubsidi oleh negara,
maka teknologi yang digunakan pun harus tepat. Dari tabel di atas, dapat
dilihat bahwa bauran energi ideal agar listrik bisa murah adalah menggunakan energi nuklir, energi panas
bumi, dan energi hidro. Kombinasi ketiganya, dalam sistem
yang tepat, dapat menyediakan suplai listrik yang murah dan reliabel pada
masyarakat bahkan dalam kondisi ekonomi masyarakat seperti sekarang.
Tentu saja, persoalan kelistrikan adalah persoalan yang cukup rumit.
Angka pada tabel di atas pun bukan merupakan patokan pasti, melainkan sebatas pendekatan.
Angka-angka ini untuk memberi gambaran tentang opsi energi mana yang layak
digunakan agar listrik tidak lagi mahal. Mengutip perkataan mendiang Prof.
David MacKay, “It may not be very accurate, but it may makes you say ‘hmmm’.”
Standar USD 2 sen/kWh bisa saja dilonggarkan jadi lebih tinggi jika
kondisi ekonomi membaik dan standar hidup masyarakat lebih tinggi. Sehingga, opsi
lain seperti energi bayu dan surya barangkali bisa saja masuk. Tapi
sekali lagi, itu tergantung berapa kisaran tarif listrik yang bisa terjangkau
seluruh lapisan masyarakat. Belum lagi jika standar mata uang dikembali ke
Dinar dan Dirham, maka perlu ada penyesuaian lagi.
Sistem Islam adalah sistem terbaik untuk seluruh umat manusia. Sistem
Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia alih-alih membiarkan
orang-orang hidup dalam hukum rimba. Walau demikian, sistem terbaik sekalipun
tetap membutuhkan teknologi yang tepat untuk menjamin penyediaan kebutuhan
dasar manusia dengan sebaik-baiknya. Untuk sistem kelistrikan, berdasarkan
penjabaran-penjabaran sebelumnya, maka teknologi terbaik untuk menyediakan
listrik murah tanpa perlu subsidi adalah energi nuklir, energi panas
bumi, dan energi hidro. Ketiga moda energi ini layak
menjadi prioritas utama Negara Islam dalam penyediaan kelistrikan bagi
masyarakat.
Bagi pembaca yang ingin menghitung sendiri BPP listrik dari berbagai moda
energi, saya sudah membuat Kalkulator BPP Listrik dalam format Excel. File
tersebut dapat diunduh di (http://bit.ly/2uwcExb).
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Andang Widi Harto, Kebijakan Energi
Perspektif Islam - Bagian 2. Yogyakarta,
tt.
David MacKay. Sustainable
Energy – Without The Hot Air. UIT Cambridge, Cambridge, 2009.
Hafidz
Abdurrahman. Diskursus Islam Politik dan Spiritual. Al Azhar Press,
Bogor, 2014.
Intergovernmental
Panel on Climate Change Working Group III. Mitigation of Climate Change,
Annex III: Technology - specific cost and performance parameter. Cambridge
University Press, Cambridge, 2014.
John R. Lamarsh, Introduction to Nuclear Reactor Theory. Addison-Wesley Publishing, New York, 1978.
Massachusetts Institute of
Technology, Nuclear Energy Economics and Policy
Analysis. Cambridge, tt.
Muhammad Ery Wijaya, Bundit
Limmeechokchai, The hidden cost of fossil fuel generation in Indonesia: A
reduction approach through low carbon society. Songklanakarin Journal of
Science and Technology, 32:81-89, 2010.
Robert Hargraves, Thorium Energy Cheaper Than Coal. CreateSpace Independent Publishing Platform, Hanover,
2012.
UXC. UxC Fuel
Quantity & Cost Calculator. Diakses dari http://bit.ly/2vehlKi
World Nuclear
Association, The Economics of Nuclear Power. Diakses dari http://bit.ly/24fivS5
0 comments:
Post a Comment