Kemarin Chris Cornell, sekarang Chester
Bennington. Mereka kaya, sukses, terkenal, tapi tidak bahagia. Ujung-ujungnya
depresi lalu bunuh diri.
Selaku pendengar setia Linkin Park dari SD
(courtesy to my ol’ sis, yang saban hari memutar kaset album Hybrid Theory dan Meteora), saya cukup mengetahui apa yang dialami Bennington sejak
kecil. Pelecehan seksual, penyalahgunaan obat-obatan, hingga kecanduan alkohol.
Lagu-lagu Linkin Park banyak membahas soal permasalahan Bennington itu. Contoh,
salah satu track Linkin Park
favorit saya dari album Meteora, Easier to Run, sangat relatable dengan masa lalu Bennington.
Setelah sekian tahun, pasca Linkin Park
mengeluarkan album studio ketujuhnya, Bennington akhirnya menyerah dan
mengikuti mentornya, Cornell. Waktu teman facebook memosting pranala berita
soal kematian Bennington, sejujurnya saya terkejut. Saya jadi teringat firasat
aneh yang muncul ketika mengetahui judul album terbaru (dan terakhirnya) itu, One More Light. Seolah itu jadi album
perpisahan Linkin Park. I thought it was
nothing, back then.
Mari lupakan soal sentimen firasat itu, karena
tidak penting-penting amat. Yang jadi masalah adalah apa yang menimpa
Bennington sendiri: bunuh diri.
Kasus ini (dan jutaan lainnya) setidaknya
mengajarkan kita dua hal. Pertama, ukuran kebahagiaan bukanlah kekayaan maupun
kesuksesan. Apa yang kurang dari Bennington? Salah satu vokalis paling
bertalenta di industri musik rock, anggota dari band yang terkenal di seluruh
penjuru dunia dengan penjualan album puluhan juta kopi. Tapi nyatanya, dia
masih merasa depresi juga. Kesuksesan Linkin Park, kekayaan jutaan Dollar
Amerika Serikat, serta berbagai penghargaan dan pengakuan tidak bisa menghilangkannya.
Menurut Dr. Paul Pearsall, sebagaimana dikutip
dalam buku The Model, fenomena seperti itu disebut sebagai Toxic Success. Kesuksesan beracun. Dia sukses, tapi dia tidak
bahagia. Punya banyak uang, tapi tidak pernah senang dengan dirinya sendiri.
Terkenal, tapi stress. Ini yang banyak menimpa orang-orang kaya.Harta dan popularitasnya tidak membawa
kebaikan pada hidupnya. Kekayaan tidak menjamin orang jadi bahagia.
Sebaliknya, kemiskinan belum tentu membuat
orang sengsara. Buktinya, indeks kebahagiaan warga Yogyakarta adalah yang
paling tinggi di Indonesia, walau ketimpangan ekonominya justru yang paling
buruk. Barangkali ini ada kaitannya dengan kultur Yogyakarta yang relatif nrimo, bersyukur, dan senang hidup
hemat.
Kedua, tatanan hidup kapitalisme adalah tatanan
hidup berbasis materi, alias materialisme. Kenikmatan tertinggi adalah dengan
kepemilikan materi berlimpah. Orang bisa dikatakan bahagia kalau memiliki
materi berlimpah. Tapi diri mereka kosong. Jiwanya gusar, gelisah. Seperti
tidak tahu arah hidup. Ini
tidak bisa dipungkiri, karena kapitalisme sendiri dibangun atas dasar
sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Naluri dasar manusia adalah naluri
beragama. Bisa dipahami bahwa memisahkannya dari tatanan kehidupan justru akan
membawa permasalahan. Manusia dibentuk jadi seperti anak ayam yang kehilangan
induk. Hidup tidak tenang, stres, depresi, akhirnya jatuh ke hal-hal terlarang
(obat-obatan, alkohol). Believe me, it's a daily affair in the Western world.
Kasus depresi yang berujung pada bunuh diri bukan
hal yang aneh di dunia Barat dan yang mengikuti Barat. Sampai-sampai di Amerika
Serikat banyak sekali lembaga konsultasi untuk menangani penderita depresi yang
memiliki tendensi bunuh diri. Tahun 2014, terdapat 42.773 kasus bunuh diri di
Amerika Serikat. Itu setara
dengan sekitar 117 kasus per hari atau 4,88 orang per jam! Sekitar 13 dari 100
ribu orang mati karena bunuh diri.
Kapitalisme gagal membentuk tatanan hidup yang membahagiakan. Kesenangan materiil
dianggap sebagai kebahagiaan, padahal bukan itu kebahagiaan sesungguhnya. Kalau
itu bentuk kebahagiaan, maka tidak mungkin orang kaya dan terkenal akan depresi
dan memilih untuk bunuh diri. Nyatanya, mulai dari Elvis Presley, Whitney
Houston, Robin Williams, Chris Cornell, sampai Chester Bennington, depresi yang
dialami membuat mereka memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jimmy “The
Rev” Sullivan barangkali tidak berniat bunuh diri, tapi penyalahgunaan
obat-obatan dan alkohol membuatnya menemui ajal. Pertanyaannya, untuk apa The
Rev menyalahgunakan obat-obatan? Untuk memberikan rasa tenang. Artinya apa? Dia
depresi. Mentalnya tertekan. Kapitalisme
tidak bisa mengatasi hal-hal seperti ini, karena secara falsafah justru
kapitalisme inilah sumber masalahnya.
Islam adalah satu-satunya jalan
hidup yang lurus. Mereka yang meyakininya dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, tidak akan seperti anak ayam
kehilangan induk. Mereka tahu apa itu bahagia, dan mereka akan punya tujuan
hidup. Mereka akan mampu membuka simpul ‘uqdatul kubra, yakni dari mana
mereka berasal, untuk apa mereka hidup di dunia ini, dan mau ke mana setelah
mati?
Mereka akan paham bahwa mereka berasal dari
Allah, hidup mereka adalah untuk beribadah pada Allah, dan setelah mati akan
kembali menghadap Allah. Terbukanya simpul-simpul ini membuat manusia memiliki
arah hidup yang jelas, membuka lebar-lebar pintu kebahagiaan hakiki. Mengenal
Islam dengan kaffah akan membawa manusia dalam kebahagiaan yang tidak bisa
ditemukan dengan mengikuti jalan hidup kapitalisme.
Ah, andai Bennington mengenal Islam. Mungkin
nasibnya tidak akan seperti ini. Tapi dia sudah memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya sendiri, meninggalkan Linkin Park dengan lubang besar yang entah bisa
diisi atau tidak. Nothing we can do about that. Sekarang masalah justru
pada kita, kaum muslimin. Masihkah kita mau mempertahankan tatanan peradaban
kapitalisme yang tidak bisa membawa kebahagiaan ini?
0 comments:
Post a Comment