Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)
Apa yang pertama
kali terlintas di benak ketika mendengar kata Chernobyl?
Seandainya
kecelakaan nuklir pada tahun 1986 itu tidak terjadi, barangkali sedikit sekali
yang tahu bahwa itu adalah nama kota di Ukraina, yang dulunya merupakan bagian
dari Uni Soviet. Begitu pula, kalau bukan karena kecelakaan nuklir pada tahun
2011, mungkin sedikit sekali yang tahu eksistensi prefektur Fukushima di
Jepang. Sayangnya, dua kecelakaan nuklir ini benar-benar terjadi. Nama kedua
kota ini pun terpaku di benak publik sebagai justifikasi bahwa “nuklir itu berbahaya!”
Awalnya, saya hampir
beranggapan serupa. Bahwa
energi nuklir dan PLTN berpotensi menghasilkan kecelakaan katastropik dan
mengancam banyak sekali jiwa. Namun, setelah saya kaji data-data yang ada,
sembari mempelajari bagaimana berbagai desain reaktor nuklir bekerja, saya
makin skeptis dengan anggapan ini. Sampai akhirnya saya sampai pada satu
kesimpulan: potensi bahaya nuklir terlalu dilebih-lebihkan, dan kecelakaan
nuklir yang terjadi itu criminally
overrated.
Sebelum saya
menjelaskan lebih jauh, coba kita lihat apa yang terjadi di sekeliling kita
sehari-hari.
Ada yang sering
menonton berita pagi sambil ngopi? Apa kira-kira isi beritanya? Kalau bukan
tindak kriminal, mungkin kecelakaan lalu lintas. Coba, deh, perhatikan, berapa kejadian kecelakaan
kendaraan bermotor selama sebulan? Selama setahun? Waktu arus mudik? Bisa
ribuan bahkan puluhan ribu, bukan begitu? World Health Organisation (WHO) pada tahun 2014 mengklaim bahwa
kecelakaan lalu lintas di Indonesia menelan korban jiwa hingga 44 ribu orang
per tahun! Jalan raya menelan
korban jiwa paling banyak di negeri ini setelah serangan jantung dan stroke.
Pesawat terbang,
sudah berapa kali mengalami kecelakaan? Hilang dari pantauan radar, terjun
bebas ke laut, gagal tinggal landas atau mendarat paksa sampai menghancurkan
rumah-rumah warga, berapa korbannya? Bisa ratusan bahkan ribuan. Masih ingat
soal kecelakaan pesawat Air Asia terakhir, yang membuat menteri memaksa untuk
menghapuskan tarif murah layanan penerbangan itu?
Ada yang kenal
penyakit kanker? Betul, penyakit abnormalitas sel tubuh yang sangat berbahaya,
biasanya diakibatkan gaya hidup tidak sehat. Jutaan orang mengidap kanker di
dunia ini, memakan korban puluhan sampai ratusan ribu orang tiap tahun. Kalau
ada yang ingat karakter Severus Snape dalam franchise
film Harry Potter, pemerannya adalah Alan Rickman. Nah, Rickman meninggal
di akhir 2015 lalu karena kanker. Hingga saat ini, kanker masih menjadi momok
menakutkan bagi umat manusia.
Dan lain sebagainya.
Apa poin dari semua
ini?
Hidup ini penuh
risiko. Kita berkendara, ada risiko ditabrak pengendara ugal-ugalan. Kita jalan
kaki di tepi jalan, masih ada risiko ditabrak juga. Seseorang merokok, itu berisiko terkena kanker
paru-paru. Orang kerja di pertambangan, risikonya terkena penyakit paru-paru. Orang
bekerja di konstruksi, ada risiko jatuh dari rangka bangunan tinggi. Bekerja di
pabrik, ada risiko terhantam mesin yang gagal berfungsi. Tidak ada bagian hidup
yang lepas dari risiko. Lalu, seberapa tinggi risiko energi nuklir?
Secara ringkas,
risiko keselamatan energi nuklir jauh lebih rendah dibandingkan semua yang
telah disebutkan di atas. Bahkan, seseorang lebih mungkin mati diterkam ikan hiu
atau diseruduk banteng rodeo daripada karena kecelakaan nuklir.
Serius.
Kontras dengan
persepsi publik yang menganggap energi nuklir itu berbahaya, tidak selamat,
realita justru menunjukkan sebaliknya. Energi nuklir adalah moda pembangkitan
energi paling selamat yang pernah
ada sampai saat ini. Risiko terjadinya kecelakaan sangat kecil. Dan kalaupun
terjadi kecelakaan, dampaknya tidak seburuk yang didengung-dengungkan. US Bureau of Labour Statistics bahkan
mengklaim bahwa bekerja di PLTN itu lebih selamat daripada bekerja di toko
grosir!
Kalau penasaran
kenapa, mari tengok ‘dalaman’ PLTN, yaitu di reaktor nuklir. Untuk pembahasan
ini, saya mengambil contoh dari reaktor Generasi II/III maupun Generasi IV.
Untuk Generasi II/III, saya ambil contoh Pressurised Water Reactor (PWR), sementara untuk Generasi IV
diambil Molten Salt Reactor (MSR) dan High Temperature Reactor (HTR).
Sistem dasar keselamatan
reaktor nuklir adalah defence-in-depth,
dilakukan baik pada proteksi fisik maupun pada desain, konstruksi dan operasi.
Sistem proteksi
fisik pada PLTN berlapis, yang luar tidak bisa ditembus selama yang di dalam
kokoh. Pertahanan ini dimulai dari bahan bakar sampai containment building. Dari cara kerjanya, sistem keselamatan
reaktor nuklir ada yang bersifat melekat (inherent
safety) maupun bersifat eksternal.
Pada PWR, lapisan
keselamatan pertama dimulai pada bahan bakarnya. Bahan bakar PWR berupa pelet
uranium oksida (UO2). Pelet bahan bakar ini kurang lebih berdiameter
1 cm dan tinggi 1 cm. UO2 merupakan senyawa yang stabil dan tahan
suhu tinggi, hingga 2.800o C. Senyawa ini punya kelemahan pada
konduktivitas termalnya yang rendah, sehingga suhu di tengah pelet jauh lebih
tinggi daripada di tepiannya. Pada operasi normal PWR, suhu maksimum pelet UO2
berada pada kisaran 2.000o C. Marginnya masih cukup lebar.
Namun, jika
terjadi masalah, katakanlah kegagalan sistem pendingin, pelet UO2
dapat memanas sampai mungkin saja meleleh. Saat itu, lapisan keselamatan kedua
bekerja, yaitu kelongsong bahan bakar. Kelongsong ini dibuat dari alloy
zirkonium (Zircaloy) dan akan menahan lelehan bahan bakar dari keluar ke teras.
Lapisan ini bisa
gagal juga dan ikut meleleh. Karenanya, masih ada lapisan ketiga, yakni teras
reaktor. Teras PWR dipenuhi oleh air, yang bisa membantu menurunkan suhu bahan
bakar yang overheat. Bagian dasar bejana
PWR pun dibuat dari beton, sehingga sulit sekali ditembus oleh bahan bakar yang
mencair.
Kalaupun misalnya
masih gagal juga, yang kemungkinannya hampir tidak ada, masih ada containment building tebal yang mencegah
lelehan bahan bakar ini lolos keluar reaktor. Sehingga, bahan bakar akan
sepenuhnya terkungkung di dalam gedung reaktor.
Masalah lain muncul:
ada beberapa material radioaktif yang bersifat volatil, seperti iodin-131 dan
cesium-137. Keduanya bisa lolos melalui udara dan uap air. Lagi-lagi, di sini containment building yang bekerja
menahan kedua unsur radioaktif ini terlepas ke lingkungan.
PWR bekerja
dengan siklus uap tidak langsung. Sehingga, pada perpipaan sekunder, tidak ada
unsur radioaktif sama sekali. Ini keunggulan khusus dibanding BWR yang
menggunakan siklus uap langsung; uap pendinginnya bersifat radioaktif.
Dalam kondisi
sudah shutdown atau mengalami
kecelakaan, masih ada panas sisa dalam reaktor. Seperti mesin motor yang baru saja
dimatikan, tidak mungkin langsung dingin begitu saja. Jadi butuh pendinginan,
yang disuplai oleh sistem khsuus. Jika sistem pendinginan ini gagal, misalnya
karena bangunan reaktor kehilangan suplai listrik sama sekali, ada mesin Diesel
cadangan yang otomatis menyala dan memompa air untuk mendinginkan reaktor.
Masih banyak
skenario kecelakaan lain dan bagaimana mitigasinya, yang tidak akan cukup
dimuat di buku ini. Namun, ini saja setidaknya sudah memberi gambaran betapa
ketatnya sistem keselamatan dalam reaktor nuklir. Dengan tujuan, meminimalisir
risiko kecelakaan hingga sekecil mungkin dan mencegah skenario terburuk, yakni
terlepasnya sejumlah besar material radioaktif ke lingkungan.
Tidak hanya itu,
sistem shutdown berganda, sistem
instrumentasi redundan, pompa air cadangan dan berbagai sistem lain turut
menjamin keselamatan reaktor nuklir berada pada taraf tertinggi di industri
energi.
Tapi bagaimana kalau
misalnya operator yang lalai? Sistem keselamatan PLTN didesain dengan memperhitungkan bahwa operator dapat melakukan kesalahan. Semua itu
sudah dipertimbangkan. Sistem keselamatan diatur agar, sekalipun operator
salah-salah menekan tombol atau menarik tuas, reaktor tetap berada dalam
keadaan selamat.
Sistem
keselamatan ekstra inilah yang membuat biaya konstruksi PWR dan reaktor
Generasi III lainnya lebih mahal ketimbang PLTU dan PLTG. Walau biaya produksi
listrik akhirnya kompetitif bahkan lebih murah dari energi fosil, sejujurnya persoalan
biaya konstruksi ini memang sedikit mengganggu dalam ekspansi penggunaan energi
nuklir.
Karenanya,
pengembangan reaktor maju kemudian menyentuh ke aspek keselamatan yang lebih
alami sehingga mengurangi kebutuhan akan sistem keselamatan rumit. Seperti
telah disebutkan, sistem keselamatan ini disebut inherent safety, atau keselamatan melekat. Pada PWR sendiri,
keselamatan melekat paling dasar adalah yang disebut umpan balik reaktivitas negatif. Apa maksudnya? Tanpa perlu
melibatkan penjelasan fisika, intinya adalah “Ketika suhu naik, reaksi berantai
turun. Ketika reaksi berantai turun, suhu naik.”
Artinya begini.
Ketika operasi reaktor terganggu karena satu atau lain hal yang membuat suhu
operasi naik, maka reaksi nuklir yang terjadi akan turun. Karena reaksi
berantai turun, energi panas yang dilepaskan pun turun, berimbas pada suhu operasi
ikut turun. Sebaliknya, jika suhu operasi turun karena suatu hal, reaksi
berantai akan bertambah banyak, sehingga melepaskan lebih banyak energi panas
yang kemudian kembali menaikkan suhu. Imbas dari reaktivitas negatif ini, operasi
reaktor nuklir jadi sangat stabil.
Pada segi desain,
wujud defence-in-depth diantaranya
dengan menggunakan material yang kompatibel secara kimiawi (tidak menggunakan
grafit dan air dalam reaktor) dan jaminan kualitas pada material yang digunakan
(harus tersertifikasi khusus). Pada operasi, para operator harus melewati
serangkaian pelatihan agar tersertifikasi untuk mengoperasikan PLTN.
Ini gambaran umum
untuk sistem keselamatan PWR. Berikutnya, coba kita tinjau sistem keselamatan
MSR dan HTR, bagian-bagian utamanya saja dulu.
MSR menggunakan
bahan bakar cair berupa senyawa garam. Jadi, tidak ada peluang terjadinya
kecelakaan karena bahan bakar meleleh, mengingat bahan bakarnya sendiri sudah
dalam bentuk lelehan. Ketika bahan bakar overheat,
umpan balik reaktivitas mengambil alih dan mengembalikan suhu bahan bakar ke
suhu semula.
Walau begitu,
masih ada peluang kegagalan ketika sistem aliran pendingin tidak berfungsi.
Bahan bakar jadi macet dan level overheating
terlalu tinggi. Pada MSR, suhu terlalu tinggi itu akan melelehkan katup di
bawah teras reaktor, lalu mengalirkan bahan bakar dalam kompartemen darurat
untuk dibiarkan membeku. Karena teras reaktor kosong dari bahan bakar, otomatis
reaktor pun mati. Begitu pula, jika gedung reaktor mendadak kehilangan suplai
listrik, katup akan meleleh dan bahan bakar jatuh ke kompartemen yang sama.
Pada kondisi itu,
iodin-131 dan cesium-137 tidak bisa lepas ke lingkungan. Pasalnya, dalam MSR,
unsur-unsur itu terikat dalam senyawa fluorida yang stabil. Juga, ketiadaan air
pada gedung reaktor meniscayakan MSR bebas dari kemungkinan steam explosion.
Derajat
keselamatan MSR meniscayakan bahwa, dalam kemungkinan kecelakaan terparah
sekalipun, hal terburuk yang akan terjadi adalah reaktornya hancur. Tanpa
menyebabkan bahaya ada manusia maupun lingkungan.
Pada HTR, partikel
UO2 berukuran 0,9 mm dibungkus dalam lapisan TRISO, dan ribuan
partikel ini dikungkung lagi dalam bola-bola grafit (pebble bed). Ketahanan suhu pebble
bed mencapai 1.600o C, walau suhu operasi maksimalnya hanya
berkisar 1.000o C. Puluhan ribu pebble
bed ditumpuk dalam teras reaktor hingga ketinggian tertentu. Beda
ketinggian memengaruhi reaksi berantai. Semakin tinggi tinggi tumpukan pebble bed, semakin tinggi pula laju reaksi
berantainya, akibat bahan bakar lebih banyak. Untuk menurunkan laju reaksi
berantai, tinggal menjatuhkan pebble bed di
lapisan bawah keluar dari teras. HTR juga tidak bisa mengalami pelelehan.
Fitur umpan balik
reaktivitas negatif tentu dimiliki juga oleh HTR. Tapi fitur keselamatan utama
ada pada mekanisme pembungkusan bahan bakarnya. Kalaupun kecelakaan parah
terjadi, sampai katakanlah pebble bed ini
terlepas ke lingkungan (meski hampir mustahil terjadi), maka bahan bakar dan
limbahnya yang radioaktif akan terkungkung aman di dalamnya. HTR sangat tahan
terhadap kecelakaan.
Jadi, pada
dasarnya, sistem keselamatan pada reaktor maju lebih difokuskan pada sistem
keselamatan pasif. Berbeda dengan
reaktor Generasi III yang sebagian masih mengandalkan sistem keselamatan aktif. Sistem keselamatan pasif
meniscayakan tidak butuh intervensi operator untuk mengaktifkan sistem
keselamatan serta tidak perlu mesin eksternal untuk menyediakan pendinginan
memadai. Ini mampu meminimalisir bahkan mungkin melenyapkan kemungkinan human error.
Dengan berbagai
sistem keselamatan ini, wajarlah jarang sekali terjadi kecelakaan pada PLTN. Kalau
terjadi kecelakaan pun belum tentu ada korban. Kecelakaan PLTN Three Mile
Island di Pennsylvania, Amerika Serikat, mengakibatkan teras reaktor mengalami
kerusakan parah. Namun, tidak ada seorangpun yang tewas karenanya. Jangankan
tewas, korban cedera saja sama sekali tidak ada!
Maka, kalau
dikatakan risiko pada energi nuklir itu kecil sekali, hal itu bisa
dijustifikasi. Lagipula, orang-orang seringkali salah kaprah dalam menilai
risiko. Hakikatnya, risiko bukan faktor yang berdiri sendiri, melainkan dampak x probabilitas. Kalau dampak
kecil tapi probabilitas tinggi, risikonya pun tinggi. Tapi kalau dampak besar
dan probabilitasnya sangat kecil, risikonya tentu saja kecil. Dampak kecelakaan naik motor itu mungkin cuma
1, tapi probabilitasnya bisa 100. Kalau reaktor nuklir, dampak kecelakaannya
barangkali 100, tapi kalau probabilitasnya 0,0000001? Lebih berisiko mana?
Terkait risiko ini,
Dr. Alexander Agung, ketua program studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada,
menjelaskan bahwa, dalam konteks PLTN, probabilitas terjadinya kegagalan
dinyatakan dalam satuan kejadian/reaktor-tahun. Angka sebesar 10-3/tahun
artinya untuk unit tunggal probabilitas kejadiannya adalah sekali dalam 1000
tahun operasi. Atau jika ada 1000 unit, maka probabilitas kejadiannya adalah
sekali dalam setahun. Parameter yang penting adalah core damage frequency
(CDF), yang menyatakan besarnya probabilitas kerusakan reaktor yang dapat
menyebabkan potensi pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan dan large
release frequency (LRF) yang menyatakan besarnya probabilitas pelepasan
bahan radioaktif ke lingkungan.
Dari pengalaman
operasional sekitar 580 reaktor sejak tahun 1954-2011, didapatkan CDF
sebesar 7,6x10-4/reaktor-tahun dan LRF sebesar 10-6/reaktor-tahun.
Di Swedia, untuk PLTN Ringhals di selatan Gothenburg, sebagai contoh, CDF-nya
sebesar 10-6 dan LRF sebesar 10-7, yang artinya
probabilitas pelepasan radioaktif dari 1 unit PLTN Ringhals adalah 1 kejadian
dalam 10 juta tahun! Padahal masa operasinya “hanya” sampai tahun 2040-an.
Nilai CDF dan LRF
yang bisa diterima itu ditentukan oleh badan regulasi nuklir masing-masing
negara (di Indonesia adalah Bapeten). Pihak vendor yang membangun reaktor harus
menyesuaikan kriteria itu. Dengan kemajuan teknologi, reaktor nuklir tipe baru
memiliki CDF dan LRF yang jauh lebih rendah daripada reaktor-reaktor lama yang
saat ini sedang beroperasi. Sebagai contoh, reaktor AP1000 yang sedang dibangun
di Amerika Serikat dan Cina memiliki CDF sebesar 10-7 dan LRF 10-8,
alias sekali dalam 10 juta dan 100 juta tahun.
Artinya, sangat
kecil probabilitas terjadinya kecelakaan pada reaktor nuklir, sehingga membuat
risikonya juga kecil.
Buktinya, sejak
dekade 1960-an hingga sekarang, kecelakaan PLTN hanya terjadi tiga kali dengan
korban sangat minimal. PLTN lain beroperasi dengan baik-baik saja. Sebagian
unit pernah mengalami gangguan dalam operasi, tapi tidak berujung pada
kecelakaan. Gangguan operasi sendiri bukan hal yang tidak umum terjadi dalam
pembangkit listrik manapun.
Bagaimana dengan
Chernobyl? Kalangan-kalangan anti-nuklir ataupun yang kurang informasi sering
menjadikan kasus ini rujukan untuk menganggap PLTN itu berbahaya. Nyatanya,
kesalahan berasumsi di sini fatal sekali.
Kecelakaan
Chernobyl adalah kejadian sangat unik dan tidak
mungkin terjadi kedua kalinya di belahan bumi manapun. Reaktor yang dipakai
di PLTN Chernobyl adalah reaktor yang desainnya cacat darisananya. Tapi bahkan
dengan cacat desain inipun, kecelakaan itu seharusnya tidak perlu terjadi, kalau
saja operatornya tidak bertindak bodoh dengan mematikan seluruh sistem
keselamatan dan mengabaikan pesan peringatan dari sistem reaktor bahwa kondisi
operasi reaktor tidak selamat.
Reaktor Light
Water Graphite Reactor (LWGR) yang dipakai di PLTN Chernobyl hanya ada di
bekas negara Uni Soviet, sekarang tersisa di Rusia dan Ukraina. Unit-unitnya pun
telah mengalami perombakan besar-besaran agar level keselamatannya meningkat. Lalu,
seiring usianya yang makin menua, unit-unit LWGR itu sedikit demi sedikit di-shutdown dan diganti dengan desain lain
yang keselamatannya lebih baik. Kini, tidak ada yang memproduksi LWGR lagi,
bahkan Rusia sekalipun. Regulator nuklir
lain tentunya cukup waras untuk tidak mengizinkan reaktor seperti itu
beroperasi di negaranya.
Tidak ada peluang
reaktor nuklir selain LWGR bisa mengalami kecelakaan seperti di Chernobyl.
Menganggap PLTN berbahaya dengan merujuk pada kecelakaan Chernobyl sama saja
seperti menganggap pesawat terbang itu berbahaya karena kecelakaan Hindenburg
di tahun 1937.
Lantas bagaimana
dengan Fukushima Daiichi? Bukankah desain itu bukan LWGR? Kok masih bisa
kecelakaan juga?
Jelas bukan LWGR.
Fukushima Daiichi menggunakan reaktor tipe Boiling Water Reactor (BWR).
Namun, bentuk kecelakaannya sama sekali
berbeda dengan Chernobyl. Fukushima Daiichi mengalami kegagalan pendinginan
pasca-shutdown. Penyebabnya bukan
gempa, melainkan tsunami. Gelombang
tsunami membuat mesin Diesel cadangan di Fukushima Daiichi mati sehingga
terjadi overheating yang terlalu
sulit ditangani dan mengakibatkan bahan bakar meleleh. Iodin-131 dan cesium-137
pun lepas ke lingkungan. Walau begitu, nyatanya tidak ada korban jiwa sama
sekali! Korban cedera saja tidak ada. Level radiasi di prefektur Fukushima
sudah turun dan aman untuk ditinggali kembali.
Penjelasan singkat di atas
setidaknya menunjukkan bahwa “bahaya” yang digembargemborkan ada pada energi
nuklir itu nyatanya tidak berdampak banyak. Selain kasus Chernobyl yang
menewaskan maksimal 60 orang, tidak ada korban jiwa
lainnya dari operasi PLTN selama ini. Kecelakaan Three Mile Island dan
Fukushima Daiichi tidak menyebabkan satupun korban jiwa.
Rekam jejak ini
tidak bisa disamai oleh industri energi manapun. Total, lebih dari 1 jura orang meninggal tiap tahun akibat penyakit yang
disebabkan partikulat batubara. Tidak hanya itu, kecelakaan tambang batubara
turut menelan korban mencapai ribuan jiwa. Pada tahun 2014, kecelakaan di
tambang batubara Soma, Turki, mengakibatkan 301 orang tewas. Kecelakaan tambang
batubara terparah terjadi di Benxihu Colliery, Cina, menelan korban jiwa 1.549 orang.
Kecelakaan melibatkan gas
alam juga bukan hal yang tidak pernah terjadi. Beberapa yang cukup parah
misalnya ledakan yang diakibatkan kebocoran pipa gas di Ufa, Uni Soviet, pada
tahun 1989. Ledakan itu menghancurkan dua unit kereta dan membunuh setidaknya
575 orang serta 800 lain luka-luka. Lalu, pada tahun 1992, ledakan gas di
Guadalajara, Meksiko, menewaskan 206 orang dan 500 orang lain luka-luka.
Pada tahun 2013,
ledakan gas juga terjadi di kota Rosario, Argentina, menewaskan 22 orang. Lalu,
pada 2014, kebocoran gas di kota Kaohsiung, Taiwan, mengakibatkan serentetan
ledakan yang berujung pada tewasnya 32 orang. Di Amerika Serikat, dari tahun
1994-2013, terjadi setidaknya 1.796 kecelakaan yang melibatkan perpipaan gas,
menyebabkan 682 orang tewas.
Kecelakaan
melibatkan kilang minyak juga pernah terjadi. Salah satunya di Piper Alpha
Platform, Aberdeen, Skotlandia, pada tahun 1988. Ledakan di kilang minyak ini
menyebabkan 167 orang tewas. Kegagalan penyangga di kilang minyak Alexander L.
Kielland di Norwegia membuat kilang itu tenggelam, menewaskan 123 orang.
Energi hidro
tidak lepas dari kecelakaan. Paling
parah adalah kecelakaan Banqiao Dam, Cina, pada tahun 1975. Kecelakaan ini mengakibatkan 171.000 orang
tewas dan 11 juta orang kehilangan rumah. Pada tahun 2009, PLTA
Sayano-Shushenskaya di Rusia mengalami kerusakan turbin parah yang membuat hall
turbin kebanjiran. Total 75 orang tewas dalam kejadian ini.
Energi surya dan
bayu pun bukan moda energi bebas kecelakaan. Korban tewas sering terjadi akibat
jatuh dari atap ketika melakukan perawatan/pemasangan panel surya, dengan
proyeksi angka sekitar 50 orang di Amerika Serikat. Di Inggris Raya, 14 orang
tewas sepanjang tahun 2011 dari 163 kecelakaan kincir angin.
Tiap moda energi
tidak pernah bebas dari rekam jejak kematian, tapi berapa banyak korban tewas
tiap satuan energi tertentu? Jumlah
korban tewas per satuan energi kita sebut saja sebagai death footprint. Berikut adalah grafik death footprint pada berbagai moda energi.
Gambar 1. Death
footprint berbagai moda energi. Tampak bahwa nuklir memiliki death footprint paling rendah (diolah
dari nuceng.ca)
Bagaimana
menafsirkan grafik di atas? Angka-angka tersebut adalah jumlah kematian yang
terjadi tiap terawatt-hour (TWh) listrik yang dibangkitkan. Contoh, angka 0,04
pada nuklir berarti hanya ada 0,04 kematian tiap TWh listrik yang dihasilkan
energi nuklir. Untuk contoh, provinsi Ontario, Kanada, menghasilkan 88 TWh
listrik dari energi nuklir tiap tahunnya. Maka, diproyeksikan bahwa tiap tahun
akan ada 3,5 kematian per tahun. Selama 40 tahun, diproyeksikan akan ada 140
orang meninggal karena energi nuklir.
Nyatanya, di
Ontario sama sekali tidak ada orang yang celaka akibat energi nuklir!
Sebenarnya wajar saja, sebab angka 0,04 dalam grafik didominasi oleh korban
dari Chernobyl yang maksimal hanya 50 orang itu. Dari satu-satunya kecelakaan
nuklir yang menyebabkan korban jiwa.
Tidak ada moda
energi yang 100% selamat. Itu cuma
utopia. Pasti ada saja risiko terjadinya kecelakaan. Namun, sebagian moda
energi punya risiko lebih rendah dibanding sebagian yang lain. Nuklir adalah
salah satu yang risikonya rendah, malah paling rendah. Kecelakaan selevel
Chernobyl pun secara filosofis tidak mungkin terjadi lagi. Begitu pula
Fukushima Daiichi. Sistem keselamatan canggih dalam reaktor nuklir menjamin
sangat rendahnya risiko kecelakaan yang dapat membahayakan publik dapat terjadi.
Kalaupun terjadi kecelakaan parah, konsekuensi yang mungkin terealisasi pun
sebenarnya lebih rendah daripada imajinasi liar publik yang banyak disesatkan
oleh pihak-pihak tertentu.
Tidak percaya dengan
klaim bahwa kecelakaan sejenis Chernobyl tidak mungkin terjadi lagi? Bagus.
Saya menantang siapapun untuk menunjukkan analisisnya bahwa reaktor nuklir
selain LWGR, baik LWR, HWR, AGR atau apapun itu, bisa mengalami kecelakaan
dengan level serupa. Atau tidak usah jauh-jauh, deh, analisis peluang bahwa
unit LWGR tersisa di Rusia dan Ukraina bisa mengalami kecelakaan serupa. Saya
tunggu.
Maka jelaslah, energi
nuklir itu sangat selamat, jauh lebih selamat daripada energi fosil, bahkan
masih lebih selamat dari energi terbarukan. Ekspansi energi nuklir sebagai moda
energi utama di planet ini akan menyelamatkan lebih banyak jiwa dari potensi
mematikan energi fosil. Sebaliknya, penolakan terhadap energi nuklir saat
melakukan ekspansi energi bisa mengakibatkan lebih banyak kematian dengan lebih
banyaknya penggunaan energi fosil.
* Tulisan ini adalah bagian dari buku yang
sedang saya tulis, Think Nuclear
0 comments:
Post a Comment