Oleh: R. Andika Putra
Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)
Ketika ada kasus
pertentangan antara sebuah industri dengan masyarakat di sekitarnya, masalahnya
seringkali berputar pada pengkavlingan sumber daya alam oleh industri, bentrok
kepentingan penggunaan lahan, atau urusan limbah. Yang terakhir seringkali jadi
sorotan dan sumber konflik, karena industri lebih sering masa bodoh dengan limbah yang diproduksinya.
Diakui atau tidak,
industri-industri saat ini dibangun atas landasan kapitalis. Mau dapat untung
banyak dengan modal sesedikit mungkin. Biaya produksi ditekan serendah mungkin
sehingga mendapat untung lebih besar. Walau sebenarnya prinsip ini tidak
salah-salah amat, jadi masalah ketika yang dikorbankan adalah penanganan (treatment) terhadap limbah. Model
industri seperti ini, peduli apa soal dampak lingkungan? Akhirnya,
limbah-limbah industri yang beracun dan berbahaya pun dibuang begitu saja ke
lingkungan. Yang kena dampak? Ya masyarakat.
Untung sekali, industri
nuklir bukanlah industri kurang ajar seperti ini.
Apa pasal? Industri
nuklir adalah satu-satunya industri energi yang bertanggungjawab penuh terhadap pengelolaan limbahnya. Bahkan,
biaya pengelolaan limbah radioaktif PLTN dimasukkan ke dalam biaya produksi
listrik (walau kecil sekali, sehingga tidak menambah mahal harga listriknya).
Ya, benar. Limbah radioaktif
itu bisa dikelola. Seandainya benar
tidak bisa dikelola, maka teknologi nuklir kemungkinan besar tidak akan pernah
berkembang sejak awal ditemukannya reaktor fisi nuklir oleh Enrico Fermi dan
Leo Szilard. Nyatanya, metode pengelolaan limbah yang dikembangkan sebagian
besar sudah diterapkan dan berjalan baik-baik saja. Yang belum sepenuhnya
diterapkan bukan karena persoalan teknologi, melainkan politik.
Jadi, bagaimana limbah
radioaktif dikelola?
Sebelumnya, perlu
dipahami dulu kategorisasi terhadap limbah radioaktif. Secara umum, limbah
radioaktif dibagi dalam tiga kategori, meski ada yang menggolongkannya dalam
empat kategori. Di sini saya mengambil yang empat kategori, yaitu Very Low Level Waste (VLLW), Low Level Waste (LLW), Intermediate Level Waste (ILW) dan High Level Waste (HLW). Tiap kategori
memiliki metode pengelolaan masing-masing, sebagian besar sudah digunakan.
VLLW memiliki kadar
radiasi sangat rendah dan
tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. Biasanya terdiri dari material
seperti beton, semen, batu bata, logam dan sebagainya, dari industri umum,
seperti industri besi, industri kimia, dsb. Sebabnya adalah beberapa jenis
mineral yang digunakan dalam industri-industri tersebut secara alami bersifat
radioaktif. Bisa juga berasal dari bangunan industri nuklir yang entah
mengalami rehabilitasi atau dismantling.
Karena rendahnya kadar
radiasi VLLW, limbah ini bisa dikelola sebagaimana limbah domestik lain. Tidak
perlu perlakuan khusus. Apalagi pakai pakaian pelindung radiasi tebal untuk
sekadar mendekati perangkat pengolahannya. Berlebihan sekali.
LLW memiliki kadar
radiasi rendah, biasanya mengandung sedikit unsur radioaktif dengan
waktu paruh pendek. LLW berasal dari rumah sakit dan industri nuklir, termasuk
siklus bahan bakar nuklir, seperti kertas, pakaian, filter, serta alat-alat sejenis. Sama seperti VLLW, penanganannya
tidak perlu menggunakan perisai radiasi. Limbahnya sendiri bisa dikubur di tanah
dangkal.
Untuk mengurangi volume,
limbah ini bisa juga dikompaksi atau insinerasi/dibakar. LLW memiliki volume
mencapai 90% limbah radioaktif, tapi hanya mewakili 1% radioaktivitas total.
ILW memiliki kadar
radiasi sedang. Sebagian limbahnya membutuhkan perisai radiasi dalam
pengelolaan. Asalnya dari resin, limbah kimiawi dan kelongsong bahan bakar,
juga material yang terkontaminasi unsur radioaktif dari dekomisioning reaktor.
Limbah-limbah yang berukuran
kecil atau cair dapat dipadatkan dalam beton atau bitumen sebelum dikubur di
tanah dangkal seperti LLW. ILW mewakili 7% volume limbah dan 4% radioaktivitas
total.
Pengelolaan limbah dengan
tiga level radioaktivitas di atas sudah dipraktikkan di banyak negara selama
puluhan tahun tanpa ada masalah terhadap manusia maupun lingkungan. Tidak ada
ceritanya orang jadi kena kanker atau mengalami mutasi genetik karena berurusan
dengan VLLW, LLW dan ILW. Dan tidak, limbahnya bukan limbah cair berwarna hijau,
menggelegak dan bisa hidup. Yang seperti itu cuma ada di dunia Pokemon.
Di Indonesia, VLW dan ILW
dari industri dan rumah sakit dikelola oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
(PTLR) BATAN. Setidaknya sudah 800 ton limbah yang dikelola PTLR BATAN. Untuk
komparasi, limbah rumah tangga harian di Jakarta mencapai 9000 ton. Tidak
signifikan dan tidak penting untuk dikhawatirkan.
Terakhir adalah HLW.
Limbah ini memiliki kadar radiasi sangat tinggi dan merupakan sisa dari pembakaran uranium di dalam teras reaktor
nuklir. Kontennya terdiri dari produk fisi dan elemen transuranik yang
dihasilkan dari reaksi fisi nuklir. HLW juga sangat panas, sehingga perlu didinginkan terlebih dahulu sebelum
dikelola. Mengelolanya sendiri mesti menggunakan perisai radiasi tebal dan
perangkat robotik. Volume HLW hanya 3% dari limbah radioaktif, tapi mewakili
95% radioaktivitas total. Dengan kata lain, limbah paling berbahaya memiliki volume paling sedikit.
Ketika dikeluarkan dari
teras reaktor, bundel bahan bakar bekas masih sangat panas dan luar biasa
radioaktif. Jadi, kelongsong ini disimpan dulu di kolam penampungan limbah
sementara untuk didinginkan. Kolam ini berada di dalam bangunan reaktor, dibuat
dari beton tebal dan dilapisi besi. Air yang digunakan mesti bebas mineral,
untuk mencegah korosi.
Selain untuk pendinginan,
air juga berfungsi sebagai perisai radiasi. Radiasi gamma dan netron yang
terlepas dari bahan bakar bekas tidak bisa bergerak terlalu jauh dalam air. Sehingga,
orang-orang yang berada di sekitar kolam terhindar dari dosis radiasi tinggi.
Bahan bakar bekas memancarkan radiasi beta, yang dalam air bergerak lebih cepat
daripada kecepatan cahaya. Sifat itu menghasilkan efek bahan bakar bekas
memancarkan cahaya biru, yang dikenal sebagai radiasi Cherenkov.
Gambar 1. Contoh kolam penampungan limbah sementara (credit: ANS Nuclear
Cafe)
Bahan bakar bekas
didinginkan dalam kolam selama setidaknya lima tahun. Setelah sekitar lima
tahun, radioaktivitas limbah tinggal 5% dari radioaktivitas awal ketika
dikeluarkan dari teras reaktor. Lalu, bahan bakar bekas ini bisa dikeluarkan
dan disimpan dalam kontainer penyimpanan kering yang terbuat dari beton. Bahan
bakar bekas ini didinginkan dengan udara.
Gambar 2. Contoh kontainer limbah kering (credit: Connecticut Yankee)
Untuk beberapa dekade
atau mungkin abad, metode penyimpanan interim ini cukup memadai. Apalagi,
setelah 40 tahun, radioaktivitas makin turun lagi sampai tinggal seperseribu
radioaktivitas ketika dikeluarkan dari teras reaktor.
Apakah kontainer ini
membahayakan orang-orang? Tidak sama sekali. It’s just sitting there. Kontainer ini ditata di dalam kompleks PLTN,
para pekerja bisa mendekatinya tanpa harus pakai pakaian pelindung radiasi. Mau
membahayakan masyarakat bagaimana?
Setelah ini, ada dua
pilihan pengelolaan: didaur ulang atau langsung dibuang. Kalau didaur ulang,
maka tidak perlu berpikir dulu soal pembuangan akhir. Tapi, kalau mau langsung
dibuang (yang sebenarnya sayang sekali), maka opsi pembuangan limbah lestari mesti dipertimbangkan.
Ada beberapa opsi
bagaimana pengelolaan HLW untuk dibuang secara permanen. Kalau mau gampang,
tinggal proses saja limbah ini menjadi gelas borosilikat dan buang ke
titik-titik acak di laut. Tidak ada yang bisa mengklaim cara ini tidak bisa
dilakukan! Bahkan kalaupun seluruh HLW dari seluruh PLTN yang sedang dan pernah
beroperasi di dunia ini semuanya dibuang ke laut, tidak akan ada masalah
apa-apa. Radioaktivitas laut tidak akan naik barang 1% pun.
Sayangnya birokrasi dan
politik tidak mau menggunakan cara ini. Akhirnya, metode yang kemudian
disepakati adalah dengan menyimpan HLW dalam repositori berupa formasi tanah
dalam stabil. Beberapa tempat sudah diajukan untuk repositori abadi, seperti di
Finlandia, Swedia, Prancis maupun Amerika Serikat. Di Swiss, ada sejenis
formasi batuan alam di bawah tanah yang dianggap potensial untuk dijadikan
repositori abadi.
Hanya saja, belum ada
satupun dari repositori abadi itu yang digunakan. Repositori di Pegunungan
Yucca, Amerika Serikat sendiri progresnya macet, gara-gara pemerintah federal
Nevada menolak mengizinkan tempat itu menjadi repositori HLW.
Tapi sebenarnya,
kebutuhan akan repositori limbah abadi ini belum terlalu mendesak. Toh, seperti
saya sebutkan di awal, sebenarnya “limbah” ini masih bisa dimanfaatkan lagi. Amerika
Serikat, yang sampai saat ini mengambil kebijakan untuk tidak mendaur ulang
bahan bakar, masih ada kemungkinan di masa depan untuk beralih mendaur ulang
bahan bakar bekasnya. Selama masih disimpan di kontainer kering, bahan bakar
bekas gampang untuk diambil lagi.
Dalam repositori abadi,
limbah divitrifikasi dalam bentuk gelas borosilikat dan dikapsulasi dalam dalam
silinder stainless steel setinggi 1,3
meter. Dr. Yudiutomo Imardjoko, ilmuwan nuklir Indonesia (dan dosen saya ketika
kuliah), merancang desain kontainer limbah abadi yang mendapat pengakuan dari
ilmuwan internasional.
Jadi, apa poin yang bisa
diambil?
Salah besar kalau menduga
teknologi nuklir tidak memiliki solusi mengenai limbah. Apalagi kalau menuduh
seperti itu sembari mengimplikasikan bahwa teknologi industri lain tidak
mengalami masalah dengan limbahnya. Padahal, pengelolaan limbah industri selain
PLTN justru sangat buruk dan jauh tertinggal. Lebih mudah mengelola limbah
nuklir daripada limbah kimia.
HLW yang sering digunakan
kaum anti-nuklir untuk menakut-nakuti masyarakat awam pun nyatanya overhyped. HLW berbentuk padatan
terkonsentrasi dengan volume limbah tahunan cuma setara dua Kijang Innova. Professor
Bernard L. Cohen dalam bukunya Nuclear
Energy Option menjelaskan panjang lebar soal HLW, yang pada intinya adalah
secara praktis tidak ada peluang HLW
ini membahayakan masyarakat dalam bentuk apapun. Peluang kematian yang mungkin
disebabkan HLW yang dikubur dalam repositori abadi, dalam rentang jutaan tahun,
adalah 0,6 kematian. Itupun kalau
misal benar-benar ada yang mati.
Untuk semua jenis limbah,
teknologi nuklir memiliki metode pengelolaan yang jelas, terstruktur dan
sebagian besar sudah dilaksanakan selama puluhan tahun dengan sukses. Tidak ada
industri lain yang bisa menyamai prestasi pengelolaan limbah industri nuklir.
Tidak pernah ada pula ceritanya limbah nuklir meracuni sungai atau sumber air
masyarakat di sekitarnya. It’s simply
impossible.
Keputusan mengenai HLW
sendiri bukan masalah teknologi, melainkan urusan politik. Utamanya resistansi nimby[1]
dan politik anti-nuklir, politics of
unreasonable fear. Sementara, urusan politik sedikit sekali, kalau bukan
sama sekali tidak terkait dengan persoalan-persoalan saintifik.
Persoalan bagaimana
mengelola limbah radioaktif sudah selesai dari dulu. Yang belum selesai adalah
keputusan politik soal daur ulang bahan bakar bekas. Itu saja. Sekali lagi, bukan masalah teknologi, tapi masalah politik.
Referensi
Bahman Zohuri, Patrick McDaniel. 2015. Thermodynamics In Nuclear Power Plant
Systems. Swiss: Springer International Publishing.
Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh:
Plenum Press.
Max Carbon. 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of
Electricity, 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.
World Nuclear Association. Radioactive Waste Management. Diakses
dari http://www.world-nuclear.org/information-library/nuclear-fuel-cycle/nuclear-wastes/radioactive-waste-management.aspx
0 comments:
Post a Comment