Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.
Baru-baru ini (5-6 tahun belakangan), thorium
menjadi hype baru dalam kebangkitan energi
nuklir. Dalam dunia di mana apapun yang berbau nuklir secara konstan
dicitraburukkan oleh politik anti-sains, kesalahpahaman total terhadap konsep risiko
dan ketakutan irasional terhadap radiasi level rendah, thorium seolah memberi
udara segar bagi pelaku industri nuklir. Banyak start-up nuklir dan advokat
nuklir mempromosikan thorium sebagai “era nuklir baru”.
Pada dasarnya, nuklir manapun lebih baik daripada bukan nuklir. Mau itu uranium maupun
thorium. Apalagi kalau dibandingkan dengan, katakanlah, batubara dan gas alam. Walau
demikian, thorium memang memiliki beberapa keunggulan ketimbang uranium. Keunggulan-keunggulan
ini patut diakui cukup membuat thorium tampak lebih menjanjikan.
1. Thorium itu melimpah
Secara praktis, uranium itu tidak langka. “Red
Book” keluaran OECD-NEA memproyeksikan bahwa cadangan uranium terbukti di dunia
sekitar 5,7 juta ton. Hampir sepertiganya dapat ditemukan di Australia, dengan
cadangan substansial lain ada di Kazakhstan, Kanada, Rusia, Namibia dan
beberapa negara lain. Jadi sulit untuk mengatakan bahwa akan terjadi kelangkaan
uranium, utamanya menilik fakta bahwa konsumsi uranium dalam reaktor nuklir itu
sedikit dibandingkan penggunaan energi fosil.
Menggunakan thorium, energi nuklir akan semakin
jauh dari yang namanya ‘kelangkaan’. Thorium terdapat di kerak bumi kira-kira
3-4 kali lebih banyak daripada uranium (10 ppm berbanding 2,5 ppm). Pada tahun
2015, sekitar 6,3 juta ton thorium sudah terbukti cadangannya. Ini saja sudah
lebih berlimpah dari cadangan uranium saat ini. Mengingat sekarang thorium
belum punya kegunaan khusus yang benar-benar berarti, eksplorasi dan
penambangan thorium tambahan belum diperlukan, sehingga cadangan aktual thorium
masih belum bisa dipastikan. Pemanfaatan thorium secara komersial di reaktor
nuklir akan meningkatkan angka cadangan setidaknya tiga kali angka sekarang.
![]() |
Estimasi deposit thorium dunia (sumber: OECD-NEA) |
Cadangan thorium yang sudah terbukti saat ini
saja sudah cukup untuk membangkitkan listrik dua kali lipat konsumsi listrik
dunia saat ini untuk lebih dari 1000 tahun, menggunakan reaktor Generasi IV
seperti Molten Salt Reactor (MSR).
(aside
note: selain di daratan, uranium juga terdapat di laut dengan konsentrasi 3
ppb. Mengingat lautan sangat luas, diperkirakan ada 4,5 milyar ton uranium
dalam air laut. Jumlah ini juga terjaga dengan siklus kesetimbangan dari
uranium yang ada dalam batuan, sehingga ketika uranium dalam air laut berkurang
konsentrasinya, uranium dari batuan laut akan terlepas ke lautan. Thorium tidak
terlarut dalam air, jadi tidak bisa ditemukan di lautan. Sehingga, kalau mempertimbangkan
mana yang lebih banyak jumlahnya, yang secara praktis bisa ditambang manusia,
uranium jelas lebih banyak. Sekarang belum ada penambangan uranium dari air
laut secara komersil, tetapi metodenya sudah dikembangkan dan bisa bekerja
cukup baik.)
2. Thorium menghasilkan lebih sedikit limbah umur
panjang
Salah satu hal yang dipersoalkan dari siklus
uranium adalah dihasilkannya limbah berumur panjang, umumnya dikenal dengan
nama transuranik. Sesuai namanya, transuranik terdiri dari isotop-isotop unsur
dengan nomor atom lebih tinggi dari uranium, seperti neptunium, plutonium, americium,
curium dan seterusnya. Sebagian elemen transuranik memiliki waktu paruh
panjang, hingga ratusan bahkan ribuan tahun. Dalam satu dan lain hal,
karakteristik ini menimbulkan kekhawatiran soal manajemen limbahnya.
Tetapi sebenarnya menangani transuranik tidak sesulit yang dibayangkan. Para insinyur
nuklir tahu bagaimana cara mengisolasi dan membuang limbah tersebut tanpa
banyak ngoceh. Soal transuranik ini lebih banyak urusan politik ketimbang
urusan teknis.
Dengan thorium, isu seperti ini secara praktis
tidak ada lagi.
Thorium memiliki nomor massa 232, lebih kecil lima
angka dari neptunium-237, unsur transuranik umur panjang pertama. Karena itu,
butuh rute yang sangat dari thorium menuju transuranik, dan lebih sulit. Ketika
atom thorium menangkap netron, thorium akan bertransmutasi menjadi protaktinium-233
dan kemudian meluruh menjadi uranium-233, bahan bakar fisil yang sangat baik. Sekitar
91% uranium-233 akan berfisi ketika menangkap netron, hanya 9% yang akan
bertransmutasi menjadi uranium-234. Isotop terakhir ini akan bertransmutasi
menjadi uranium-235, bahan bakar fisil lain yang memiliki peluang fisi 85%. Maka,
dapat dipahami dengan mudah kenapa rute dari thorium menjadi transuranik itu
sulit sekali. Untuk perbandingan, uranium-238 cuma butuh sekali menangkap
netron untuk bertransmutasi menjadi plutonium-239, unsur transuranik.
![]() |
Perbandingan limbah uranium di LWR dan thorium di MSR (Sumber: Hargraves dan Moir, 2010) |
Untuk perbandingan, sebuah reaktor nuklir
konvensional berdaya 1 GWe menghasilkan sekitar 300 kg transuranik (termasuk
plutonium) tiap tahunnya. Menggunakan thorium, sebuah MSR berdaya sama menghasilkan
kurang dari 1 kg transuranik. ‘Isu’ terkait pembuangan limbah transuranik
jangka panjang sama skelai bukan sesuatu yang mesti dipedulikan untuk thorium.
3. Thorium dapat dimanfaatkan optimal di spektrum
netron termal
Ketika atom uranium-238 menangkap netron, unsur
ini akan bertransmutasi menjadi plutonium-239, sebuah bahan bakar fisil. Hanya saja,
plutonium-239 tidak sebaik uranium-235 dalam spektrum netron termal. Plutonium-239
tidak bisa menghasilkan netron dalam jumlah cukup untuk bisa self-sustain dalam spektrum termal,
mengingat tampang lintang tangkapan plutonium-239 di spektrum termal cukup
tinggi. Itulah kenapa reaktor nuklir konvensional tidak bisa membiakkan bahan
bakarnya sendiri dalam jumlah memadai, tetap perlu bahan bakar tambahan.
Plutonium lebih baik digunakan dalam reaktor cepat.
Hanya saja, reaktor cepat memiliki beberapa kendala material. Ketahanan materialnya
lebih rendah daripada reaktor termal, karena hantaman konstan dari netron energi
tinggi. Kendala ini berpotensi menurunkan faktor kapasitas dari reaktor cepat
dibandingkan reaktor termal. Sebagai tambahan, beberapa karakteristik
keselamatan reaktor cepat agak-agak sedikit kurang meyakinkan ketimbang reaktor
termal, meski tidak selalu begitu. Reaktor cepat yang terkendala masalah ini membutuhkan
sistem keselamatan yang lebih kompleks dan lebih mahal untuk dibangun. Karena itu,
agak bisa dipahami kenapa reaktor termal lebih disukai daripada reaktor cepat,
walau tentu saja para insinyur nuklir memiliki bias teknologi masing-masing.
Thorium adalah satu-satunya material fertil
yang bisa digunakan secara optimal di spektrum netron termal. Thorium bertransmutasi
menjadi uranium-233, yang memiliki performa lebih baik daripada uranium-235 dan
plutonium-239 sekaligus. Tampang lintang tangkapan netronnya rendah, sehingga
uranium-233 bisa menghasilkan netron yang cukup untuk self-sustain, tidak butuh asupan bahan bakar fisil eksternal. Karakteristik
ini menjamin thorium sangat sustainabel tanpa terkendala masalah keselamatan
reaktor, kesulitan dalam handling dan
biaya lebih tinggi.
(aside
note: tidak semua reaktor cepat memiliki masalah serupa. Subtipe MSR yang
beroperasi di spektrum cepat tidak memiliki masalah keselamatan berarti, walau
mungkin untuk kendala material memang agak sedikit menyulitkan.)
4. Thorium lebih resisten proliferasi
Pemanfaatan uranium dalam reaktor nuklir
menghasilkan plutonium, bahan bakar fisil yang berguna tapi seringkali dianggap
sebagai “ciptaan setan”. Stereotip ini muncul karena fakta bahwa plutonium
pernah dipakai dalam senjata nuklir untuk meluluhlantakkan Nagasaki pada tahun
1945. Walau sebenarnya plutonium pada bahan bakar bekas tidak cukup murni untuk
keperluan senjata nuklir, kebanyakan orang masih menganggapnya sebagai masalah
proliferasi, bahkan bagi orang-orang yang bekerja di bidang nuklir sekalipun. Jadi,
diterapkan safeguard terhadap plutonium yang mempersulit persoalan secara tidak
perlu.
Thorium tidak memiliki risiko proliferasi
terlalu besar. Seperti disebutkan sebelumnya, thorium menghasilkan sangat
sedikit plutonium dengan kemurnian luar biasa rendah. Tidak ada dan tidak akan pernah ada ceritanya thorium bisa digunakan
untuk memproduksi plutonium untuk keperluan senjata nuklir.
Bagaimana dengan uranium-233? Sebenarnya ini
merupakan bahan senjata nuklir yang bagus. Barangkali lebih bagus dari
uranium-235. Tapi masalahnya, handling-nya
lebih sulit, bahkan lebih sulit daripada plutonium sekalipun. Produksi uranium-233
seringkali didampingi produksi uranium-232 dalam jumlah kecil. Uranium-232 ini
akan meluruh menjadi thallium-208, pemancar gamma kuat 2,6 MeV. Kontaminasi 50
ppm uranium-232 meniscayakan perakitan senjata nuklir jauh lebih sulit dan
mahal ketimbang menggunakan metode konvensional. Radiasi gamma dari
thallium-208 juga cukup untuk merusak perangkat elektronik dalam senjata
nuklir, membuatnya tidak bisa digunakan.
Karenanya, thorium agak-agak tidak menarik
untuk manufaktur senjata nuklir. Main logika saja, kalau ada cara yang lebih
mudah dan murah, yakni menggunakan pengayaan uranium atau reaktor produksi
plutonium, kenapa harus repot-repot pakai thorium?
5. Thorium lebih ramah lingkungan
Karena kebutuhan uranium tidak begitu besar,
penambangannya pun jauh lebih selamat daripada penambangan elemen lain seperti,
katakanlah, batubara. Kebutuhan uranium puluhan ribu kali lebih sedikit
daripada batubara. Penambangan batubara sendiri cukup sukses membuat lanskap permukaan
bumi yang dijadikan tambang jadi seperti bulan (baca: rusak). Karena itu,
dampak lingkungan dari penambangan uranium sangat kecil ketimbang penambangan
batubara.
Thorium bisa lebih ramah lagi pada lingkungan. Thorium
banyak terdapat pada pasir monasit dan diekstrak sebagai byproduct. Penambangannya lebih sering dilakukan pada tambang
terbuka, sehingga tidak butuh ventilasi khusus. Kebutuhan bahan bakarnya
sedikit lebih rendah dari uranium, sehingga penambangan yang diperlukan juga
semakin sedikit.
Berdasarkan keunggulan-keunggulan ini, tanpa
berniat menihilkan peran uranium, cukup adil untuk mengatakan bahwa thorium merupakan
pilihan menarik untuk era kebangkitan energi nuklir.
0 comments:
Post a Comment