Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.
Ada yang merasa
biofuel adalah salah satu solusi untuk penanggulangan krisis energi dan
pemanasan global? Kalau begitu, selamat! Kalian terjebak dalam delusi “energi
bersih” lainnya.
Dengan makin
mendesaknya keharusan untuk melakukan mitigasi pemanasan global, biofuel
menjadi salah satu alternatif yang dilirik. Khususnya untuk keperluan
transportasi, karena tidak ada satupun orang waras yang mau menggunakan biofuel
untuk pembangkit listrik. Biofuel dianggap bisa mengurangi emisi CO2
dari kendaraan bermotor.
Biofuel itu bahan
bakar minyak yang disintetis dari tumbuh-tumbuhan. Selain dari konten bahan
bakarnya yang bebas impuritas seperti sulfur, sifat-sifat biofuel bisa
dikatakan sama dengan bahan bakar fosil, dalam hal ini mesin Diesel. Nyatanya,
mesin Diesel memang bisa menggunakan minyak tumbuhan secara langsung. Argumennya,
penggunaan biofuel bisa mengurangi emisi CO2 karena, sekalipun
melepaskan CO2 ketika dibakar, tetapi CO2 tersebut akan
diserap kembali oleh tumbuhan biofuel itu sendiri. Istilahnya adalah “netral
karbon”. Karena siklus hidup tumbuhan biofuel relatif cepat, argumen “netral
karbon” ini bisalah diterima.
Tapi seberapa besar
hal itu bisa membuat perbedaan?
Tahun 2013 kemarin,
proyeksi produksi biofuel di seluruh dunia mencapai 113 milyar ton. Itu
perkembangan selama 14 tahun. Kedengarannya besar, tapi riilnya seberapa?
Angka itu setara 3%
konsumsi BBM dunia tahun 2013.
Seandainya, nih, laju
pertumbuhannya sama tiap tahunnya, maka untuk bisa menggantikan konsumsi BBM
fosil di seluruh dunia, maka butuh waktu selama (33,33*14) = 466,62 tahun. Kita cuma punya waktu sampai akhir abad
21. Cukup? Ya enggaklah, coy!
Itu baru soal waktu.
Bagaimana dengan lahan yang dibutuhkan?
Masalah terbesar dari
biofuel adalah yield produksi dari
tumbuhan biofuel sangat rendah. Tanaman
biofuel terbaik, kelapa sawit, mampu
memproduksi 5.950 liter/hektar. Biasanya
digunakan menjadi biodiesel. Sementara, tanaman bioethanol, misalnya tebu, bisa menghasilkan maksimal 5.476 liter/hektar. Tidak mengesankan,
serius.
Coba ambil contoh
untuk Indonesia. Konsumsi BBM Indonesia tahun 2015 untuk bensin sebesar 31,2 milyar liter, untuk bensin RON 88
dan 92. Sementara, konsumsi minyak Diesel sebesar 30,6 milyar liter. Anggaplah seluruh bensin diganti dengan
bioethanol tebu dan seluruh minyak Diesel diganti dengan biodiesel kelapa sawit. Berapa lahan
yang dibutuhkan?
Luas sekali.
Untuk kebutuhan
biodiesel, butuh kebun kelapa sawit seluas (30,6E+9/5.950/100)
= 51.423,83 km2. Sementara, untuk kebutuhan bioethanol, butuh lahan seluas (31,2E+9/1.892/100)*1,5 =
85.463,84 km2. Lahan kelapa sawit itu setara luas Provinsi Jambi (50.058 km2) dan lahan tebu hampir seluas Provinsi Riau (87.024 km2). Kenapa bioethanol dikali 1,5? Karena kandungan energi bioethanol lebih rendah daripada bensin biasa, sehingga konsumsi bahan bakarnya jadi lebih banyak. Otomatis, kebutuhan lahan juga lebih luas.
Bayangkan membabat
hutan seluas ini cuma untuk produksi biofuel, yang itu juga cuma bisa mereduksi
emisi paling banter 50% dari BBM
fosil. Reduksi hanya setengahnya karena mempertimbangkan prosesing bahan
bakarnya di fasilitas pengolahan masih menggunakan energi fosil, khususnya
untuk listrik. Dengan kondisi kebun sawit eksisting saja, sudah banyak masalah
dan penentangan dari mana-mana. Apalagi diperluas hingga ratusan ribu km2?
Are you bloody mad?
So, is it worth it? I’ll
say absolute NO.
“Hei, siapa juga yang
bilang mau ganti seluruh BBM pakai biofuel? Jadikan campuran, kan, bisa!”
Hei, memangnya langkah
seperti itu cukup untuk memitigasi pemanasan global? Tidak. Usaha mitigasi pemanasan global cuma bisa menghasilkan
perbedaan dengan melakukannya dalam skala masif. Seluruh sektor energi harus dibuat
nol karbon, yang artinya harus ada pemotongan
emisi hingga 80%!
Produksi biofuel Indonesia
tahun 2016 sebesar 2.503 tonnes of oil equivalent (TOE). Naik
hampir dua kali lipat dari tahun 2015. Namun, itu cuma setara dengan (2.503*42) = 105.126 GJ. Sementara,
konsumsi bensin setara dengan (31,2E+9*34,2)/1.000
= 1.067.040.000 GJ dan minyak Diesel setara dengan (30,6E+9*35,8)/1.000 = 1.095.480.000 GJ. Total 2.162.520.000 GJ. Artinya, produksi biofuel cuma setara (105.126/2.162.520.000) = 0,0049%.
Lihat? Kira-kira butuh ekspansi berapa kali lipat untuk sampai 80%? Atau paling tidak 40%, lah, kira-kira setara emisi dari sektor transportasi? I'll leave the calculation to readers.
Tidak, biofuel tidak
bisa melakukan apa-apa untuk mitigasi pemanasan global. Kontribusi yang bisa
dilakukannya sangat minim, tetapi memakan usaha, waktu dan dana yang luar biasa
besar. Biofuel cuma feel-good
effort, bahkan greenwash.
Itu belum
memperhitungkan dampak negatifnya terhadap lingkungan itu sendiri, seperti pembabatan dan pembakaran hutan. Pembabatan
hutan berarti melenyapkan penampung CO2, bahkan melepaskan CO2
ke atmosfer. Pembakaran hutan membuatnya lebih buruk lagi, karena kayu yang
dibakar terang saja melepaskan CO2 dalam jumlah sangat besar. Malah jadi
kontraproduktif, bukan?
Sekali lagi, dengan lahan
kelapa sawit seperti sekarang saja sudah banyak masalah di Indonesia, apalagi
harus ditingkatkan berkali lipat?
Substitusi BBM fosil untuk
kendaraan bermotor cuma efektif dilakukan dengan elektrifikasi[1]
dan sintetis bahan bakar hidrokarbon menggunakan bahan netral karbon. Alternatif
bahan bakar sintetis itu misalnya methanol dan dimetil eter, yang bisa
disintetis menggunakan CO2 dari udara maupun laut dan H2
dari elektrolisis menggunakan reaktor nuklir. Sintetis bahan bakar lebih mampu mensubstitusi
BBM fosil dengan cepat.
Biofuel bukan solusi
maupun alternatif, dan tidak akan pernah bisa menjadi keduanya. Lupakan saja biofuel.
Waktu kita tinggal sedikit, harus dilakukan sesuatu yang besar dan membuat
perbedaan. Mantera “Lakukan dari yang
kecil-kecil dulu” tidak lagi dan memang tidak pernah relevan untuk membuat perbedaan.
Referensi
British Petroleum. BP Statistical Review of World Energy June
2017. London, BP, 2017.
[1] Bahkan elektrifikasi kendaraan
bermotor pun masih menjadi pertanyaan besar, khususnya dengan keterbatasan
lithium dan kobalt sebagai material utama baterai.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[Pembaruan (25/09): Tampaknya saya keliru mengira jarak pagar digunakan untuk bioethanol. Padahal sama-sama untuk biodiesel. Redaksi diperbaiki untuk menghindari kesalahpahaman.]
[Pembaruan (25/09, 12.47 PM): Data bioethanol dikembalikan menggunakan tanaman tebu sebagai biomassa, menggantikan jarak pagar.]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[Pembaruan (25/09): Tampaknya saya keliru mengira jarak pagar digunakan untuk bioethanol. Padahal sama-sama untuk biodiesel. Redaksi diperbaiki untuk menghindari kesalahpahaman.]
[Pembaruan (25/09, 12.47 PM): Data bioethanol dikembalikan menggunakan tanaman tebu sebagai biomassa, menggantikan jarak pagar.]
0 comments:
Post a Comment