Pada artikel sebelumnya, saya sudah menunjukkan bahwa biofuel (dalam hal ini biodiesel dan
bioethanol) tidak berguna dalam mitigasi pemanasan global. Laju pertumbuhannya
terlalu lambat dan kebutuhan lahannya terlalu besar untuk bisa membuat
perbedaan. Biofuel adalah usaha sia-sia, cuma mentok jadi feel-good effort saja.
Kalau bukan
biofuel, lantas apa yang harus digunakan untuk menggantikan energi fosil? Alternatif
yang lebih feasible ada dua, yakni
elektrifikasi dan bahan bakar sintetis netral karbon. Elektrifikasi sendiri
bukan tanpa masalah; ketersediaan lithium dan kobalt yang terbatas menjadi
pengganjal terbesar ekspansi kendaraan listrik. Apalagi lithium sulit sekali
didaur ulang. Karena itu, kendaraan listrik sendiri barangkali tidak akan bisa
sepenuhnya menggantikan kendaraan internal
fuel combustion (IFC).
Maka alternatif
lain ya harus menggunakan bahan bakar sintetis (synfuel) netral karbon. Jadi tetap pakai kendaraan IFC, tapi bahan
bakarnya diganti. Meski sebenarnya biofuel juga bisa disebut sebagai synfuel, tetapi yang dimaksud di sini
bukan biodiesel dan bioethanol, melainkan methanol dan dimetil eter (DME).
Methanol sering
juga disebut “wood alcohol”, karena dulunya
disintetis dari kayu. Methanol merupakan bentuk metil alkohol paling sederhana,
digunakan untuk substitusi bensin. Sifat-sifat methanol relatif unggul
dibandingkan amonia, dengan nilai oktan lebih tinggi dari bensin dan efisiensi
mesin lebih baik. Methanol lebih aman dari bensin, karena memiliki
kecenderungan lebih rendah untuk menyebabkan kebakaran ketika terjadi
kecelakaan. Kekurangannya, methanol bersifat toksik, sehingga penanganannya
harus lebih hati-hati.
Dimetil
eter adalah bentuk eter paling sederhana dan dibuat langsung dari konversi methanol.
Dimetil eter digunakan untuk substitusi minyak Diesel, dengan keunggulan bebas
sulfur dan impuritas lain. Toksisitas dimetil eter relatif rendah, sehingga
tidak berbahaya bagi lingkungan. Selain substitusi minyak Diesel, dimetil eter
dapat digunakan sebagai substitusi langsung untuk LPG.
Sintetis methanol dan
DME hanya membutuhkan komponen mentah hidrogen dan CO2. Methanol
tidak perlu menggunakan biomassa khusus untuk produksinya, pakai limbah
pertanian pun bisa. Jadi, sintetis methanol dan DME sangat tepat dengan
filosofi waste to energy.
Karena komposisi
kimiawinya yang sederhana, komponen mentah untuk produksi methanol tidak
terbatas dari limbah pertanian saja, tetapi juga dari sumber-sumber lain,
misalnya elektrolisis hidrogen dan carbon
capture baik dari atmosfer maupun air laut. Untuk memastikannya netral
karbon, proses elektrolisis dan carbon
capture (yang notabene intensif energi) dilakukan menggunakan energi
bersih, misalnya nuklir atau hidro.
Mana buktinya
methanol dan DME bisa lebih baik daripada bioethanol dan biodiesel?
Oke, mari
kita lihat.
Pertama, methanol
dan DME dari limbah biomassa. Di sini saya gunakan contoh padi dan jagung. Produksi
gabah kering giling tahun 2016 sebesar 79.358.000
ton. Ini setara dengan 114.275.520.000 kg jerami padi. Anggaplah setengah dari limbah jerami ini dikonversi
menjadi methanol.
Berapa yang
bisa dihasilkan? Penelitian di Jepang menunjukkan yield methanol dari jerami padi itu sekitar 48%. Artinya, tiap kg
jerami padi menghasilkan 480 g methanol. Dari yield yang dihasilkan, diasumsikan setengahnya akan dikonversi
menjadi DME. Maka, dari sini, bisa didapatkan methanol sebesar (114.275.520.000*0,5*48%*0,5) = 13.713.062.400
kg. Densitas energi
methanol yakni 19,7 MJ/kg, lebih rendah dari bensin. Maka,
produksi di atas setara dengan (27.426.124.800*19,7)/1.000
= 270.147.329 GJ.
Berdasarkan
artikel sebelumnya, konsumsi bensin Indonesia tahun 2016 setara dengan 1.067.040.000 GJ. Maka, produksi methanol dari limbah jerami padi setara dengan (270.147.329/1.067.040.000)
= 25,32% konsumsi bensin nasional.
Tanpa perlu
menambah lahan khusus untuk menanam biomassa, methanol dari limbah jerami padi sudah
memenuhi seperempat kebutuhan bensin nasional.
Untuk menghasilkan
1 kg DME, butuh 1,391 kg methanol. Maka, jika 50% dari methanol yang diproduksi
(13.713.062.400 kg) dikonversi menjadi DME, maka didapatkan (13.713.062.400/1,391) = 9.858.420.129 kg. Dengan
densitas energi 28,8 MJ/kg, angka
ini setara dengan (9.858.420.129*28,8)/1.000
= 283.922.499 GJ. Konsumsi minyak Diesel Indonesia
tahun 2016 setara dengan 1.095.480.000 GJ. Dengan demikian, DME dari limbah
jerami padi setara dengan (283.922.499/1.095.480.000) = 25,92% konsumsi minyak
Diesel nasional.
Jadi, setengah
limbah jerami padi nasional cukup untuk memenuhi seperempat kebutuhan BBM
nasional. Seandainya 100% jerami diolah menjadi methanol dan DME, setengah
kebutuhan BBM nasional sudah terpenuhi hanya dengan menggunakan konsep waste-to-energy saja. Untuk konservatif,
pemenuhan 25% itu sudah luar biasa. Khususnya dibandingkan biofuel yang cuma…
ah, baca artikel kemarin saja.
Limbah jagung
juga bisa dimanfaatkan, walau yield yang
dihasilkan lebih rendah. Berat tangkai jagung setara dengan berat jagungnya
sendiri, jadi limbah yang dihasilkan sama dengan produksi jagung. Kapasitas produksi
jagung nasional hanya 23.578.293 ton. Dengan pemanfaatan 50% limbah, yield 40% dan sisanya sama dengan limbah padi, dapat dihasilkan 2.357.829.300 kg methanol dan 1.695.060.604
kg DME, masing-masing setara dengan 4,35%
dan 4,46% konsumsi bensin dan
minyak Diesel nasional. Tidak terlalu mengesankan, tetapi kalau dibandingkan biofuel,
sih…
Produksi methanol
dan DME bisa dilakukan menggunakan energi nuklir, khususnya teknologi nuklir
Generasi IV. Komponen hidrogen bisa didapatkan menggunakan elektrolisis suhu
tinggi. Untuk menghasilkan 1 kg hidrogen, dibutuhkan 15-20 kWh listrik. Di sini
diasumsikan konservatif 20 kWh/kg
hidrogen. Sementara, CO2 bisa didapatkan dari air laut maupun
udara. Untuk mengekstrak CO2 dari air laut, butuh listrik setidaknya
1,5 kWh/kg CO2. Sementara,
dari atmosfer, listrik yang dibutuhkan sebesar 0,5 kWh/kg CO2. Karena konsentrasi CO2 di
udara jauh lebih kecil daripada di laut, angka ini terdengar aneh. Sebenarnya
tidak juga. Yang mahal pada ekstraksi CO2 dari udara adalah biaya
modal dan proses termalnya. Biaya modal ekstraksi CO2 dari laut
tidak terlalu mahal dan tidak membutuhkan proses termal tambahan. Menggunakan reaktor
nuklir Generasi IV, proses termal bisa disubstitusi menggunakan panas
buangannya yang bersuhu tinggi, jadi kebutuhan energi termal tidak
diperhitungkan lagi.
Pertama untuk
ekstraksi dari air laut. Reaktor nuklir bisa beroperasi dengan faktor kapasitas
90%. Daya 20.000 MWe cukup untuk membangkitkan listrik sebesar 157.788.000.000 kWh/tahun. Dengan rasio
kebutuhan massa H2/CO2 sebesar 1:7,42 dan rasio kebutuhan listrik 40:3, maka daya sebesar itu dapat menghasilkan hidrogen dan CO2
yang cukup untuk memproduksi methanol sebesar 27.034.695.451 kg. Dibagi dua dengan DME, maka diperoleh methanol dan
DME masing-masing 13.517.347.726 kg
dan 9.717.719.429 kg. Produksi methanol
dari CO2 air laut setara dengan 24,96%
konsumsi bensin nasional dan DME
dari CO2 air laut setara dengan 25,55%
konsumsi minyak Diesel nasional.
Kedua untuk
ekstraksi dari atmosfer. Menggunakan daya 30.000
MWe, listrik yang bisa dibangkitkan sebesar 236.682.000.000 kWh/tahun. Rasio massa H2/CO2
tetap sementara rasio kebutuhan listrik menjadi 40:1. Hasil produksi dibagi dua lagi. Dari sini, dapat diproduksi
hidrogen dan CO2 yang cukup untuk menghasilkan methanol dan
DME masing-masing sebesar 26.620.402.654
kg dan 19.137.600.758 kg. Angka
tersebut setara dengan 49,15% konsumsi bensin
nasional dan 50,31% konsumsi minyak
Diesel nasional.
Kalau ditotal,
dari limbah padi, limbah jagung dan sintetis nuklir, maka produksi methanol setara
dengan 103,77% konsumsi bensin nasional dan
106,23% konsumsi minyak Diesel nasional.
Jadi,
sintetis methanol dan DME jauh lebih mampu untuk menggantikan BBM fosil
daripada biofuel.
“Hei,
tunggu! Lihat dulu, itu, kebutuhan nuklirnya besar sekali!”
Oh ya tentu
saja, sudah risiko. Sama saja dengan alternatif lainnya, tidak ada yang bebas
risiko. Tapi, hei, coba lihat sisi positifnya. Instalasi nuklir tidak butuh
lahan besar!
Daya per
luas area dari PLTN sekitar 1.000 W/m2.
Artinya, 50.000 MWe cuma butuh lahan 50
km2. Tidak lebih luas dari Kecamatan
Cibinong, Bogor (56,2 km2).
Untuk instalasi carbon capture dari
atmosfer, laporan dari American Physical Society pada tahun 2011 memperkirakan
butuh lahan sebesar 1 km2/juta
ton CO2-tahun. Kebutuhan CO2 dari atmosfer sebesar 74
juta ton. Artinya, butuh 74 km2
untuk fasilitas carbon capture. Total
hanya 124 km2. Lebih
kecil dari Jakarta Barat (129,5 km2),
itupun terbagi dalam setidaknya 50 titik berbeda. Sangat bisa ditolerir,
setidaknya dibandingkan lahan biofuel.
Sintetis methanol
dan DME tidak membutuhkan lahan ekstra luas. Produksinya bisa memanfaatkan
setengah limbah pertanian untuk memenuhi seperempat kebutuhan BBM nasional. Sisanya
diproduksi secara bersih dan netral karbon menggunakan energi nuklir, yang notabene
butuh lahan sangat sedikit. Modalnya tentu saja besar, tapi setidaknya bisa
menghasilkan perbedaan yang nyata tanpa mesti mengorbankan alam lebih jauh lagi.
Kesimpulannya,
methanol dan DME dari limbah pertanian dan sintetis nuklir merupakan pilihan
yang jauh lebih baik untuk menggantikan peran BBM fosil untuk sektor
transportasi. Setidaknya, lagi-lagi, ketimbang bioethanol dan biodiesel…
Referensi
Hitoshi
Nakagawa et al. Biomethanol Production
from Forage Grasses, Trees, and Crop Residues, Biofuel's Engineering
Process Technology, InTech, DOI: 10.5772/18168. 2011. Available from: https://www.intechopen.com/books/biofuel-s-engineering-process-technology/biomethanol-production-from-forage-grasses-trees-and-crop-residues
Zhu L.F.
dkk. Process conditions for preparing
methanol from cornstalk gas. Journal of Environmental Science (China),
19(5):628-632. 2007.
0 comments:
Post a Comment