Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear
engineer)
Sejak pertama kali digunakan untuk keperluan
sipil, energi nuklir tidak pernah lepas dari polemik. Sebagian kalangan
menyuarakan kekhawatiran terhadap satu atau lebih dari aspek melekat pada
energi nuklir. Sebagian lain menentang habis-habisan, bahkan sampai melakukan
berbagai hal untuk mencegah ekspansi energi nuklir lebih lanjut. Yang terakhir
ini dilandasi berbagai alasan, tapi semuanya bermuara pada usaha menghapus
energi nuklir dari muka bumi ini.
Dua hal yang dijadikan sebagai polemik oleh kalangan-kalangan tersebut adalah limbah nuklir dan radiasi nuklir. kalau
dikerucutkan, maka polemik paling utama ada pada radiasi nuklir. Sebab yang
dikhawatirkan dari limbah nuklir adalah sifatnya yang radioaktif, memancarkan
radiasi. Radiasi nuklir inilah yang dijadikan legitimasi untuk mengkhawatirkan
bahkan menolak pemanfaatan energi nuklir.
Perubahan iklim menuntut dunia untuk melakukan
restrukturisasi energi. Sumber energi yang selama ini berasal dari energi fosil
seharusnya dikonversi menuju energi bersih. Dari berbagai opsi energi bersih
yang tersedia, energi nuklir adalah yang paling mampu diaplikasikan dengan
cepat, efektif, murah dan membutuhkan paling sedikit penyesuaian terhadap
infrastruktur pendukung. Energi nuklir adalah kunci mitigasi perubahan iklim.
Penentangan terhadap penerapan energi nuklir sama saja menyetir planet ini pada
kegagalan mencegah bencana iklim.
Terhadap kalangan yang secara gigih menentang
energi nuklir, rasa-rasanya tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi bila
gerakan tersebut dilandasi “ideologi hijau” atau malah climate change denier.
Tidak peduli seberapa banyak data sahih yang ditunjukkan, kecil kemungkinan
mereka akan berubah. Sebab kepentingannya sudah berbeda. Namun, bagi mereka
yang baru sebatas mengalami misinformasi, tidak ada salahnya untuk melakukan
redefinisi terhadap bahaya limbah nuklir dan radiasi nuklir.
Bagaimana maksudnya mendefinisikan ulang? Bila
selama ini publik memahami limbah nuklir dan radiasi nuklir dari sudut pandang
tertentu, maka sekarang waktunya untuk melihat dari sudut pandang lain yang
lebih komprehensif. Karena melihat sesuatu tidak secara utuh hanya membawa
seseorang pada kesimpulan yang keliru.
Mari melakukan redefinisi dari kata “bahaya”
itu sendiri. Bahaya biasanya diasosiasikan dengan risiko. Jika risiko tinggi,
maka sesuatu itu dikatakan berbahaya. Sebaliknya, risiko rendah berarti bahaya
dianggap rendah. Hanya saja, masyarakat selama ini menganggap risiko adalah
sesuatu yang berdiri sendiri. Sebenarnya tidak. Risiko adalah dampak x
probabilitas. Seberapa besar dampak yang mungkin ditimbulkan dan seberapa
sering kemungkinan hal membahayakan tersebut dapat terjadi.
Seandainya suatu peristiwa memiliki dampak
yang tidak terlalu parah, tetapi frekuensinya sangat sering atau peluangnya
sangat besar, maka sudah barang tentu risikonya juga besar. Sebaliknya, sebuah
kejadian yang sangat berbahaya ketika terjadi, tetapi peluang terjadinya sangat
kecil bahkan nyaris tidak ada, maka berarti risikonya kecil.
Pihak-pihak yang menjadikan limbah nuklir dan
radiasi nuklir sebagai polemik keliru dalam memahami konsep risiko. Maka wajar
jika pemahamannya pun ikut keliru.
Redefinisi berikutnya adalah soal bahasa. Selama
ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa kualitatif, bukan kuantitatif. Padahal
bahasa kualitatif rentan disalahgunakan dan lebih berbau politis. Padahal sains
nuklir adalah perkara ilmiah. Bicara soal potensi bahaya dari limbah dan
radiasi nuklir, bahasa yang digunakan harusnya kuantitatif. Menggunakan angka,
bukan kata kerja.
Seberapa besar risiko dari limbah nuklir dan
radiasi nuklir?
Dari sektor energi, limbah nuklir terdiri dari
produk fisi dan, dalam skala lebih kecil, elemen transuranik (neptunium,
plutonium, americium, curium dst). Sebagian limbah ini memiliki umur paruh
panjang, hingga ribuan bahkan jutaan tahun. Artinya, dalam rentang waktu
tersebut, limbah nuklir akan terus memancarkan radiasi, walau intensitasnya
terus berkurang secara eksponensial.
Yang dikhawatirkan dari limbah nuklir adalah
jika limbah ini mengontaminasi lingkungan. Jika entah bagaimana caranya
kontaminasi limbah ini masuk ke dalam tubuh manusia, maka limbah nuklir ini
akan membahayakan manusia. Dalam bentuk apa? Utamanya adalah radiation-induced
cancer yang dapat berujung pada kematian.
Pertanyaannya, seberapa besar probabilitas
kematian akibat radiation-induced cancer itu bisa terjadi?
Prof. Bernard Cohen dari University of
Pittsburgh, dalam buku The Nuclear Energy Option, mengkalkulasi
kemungkinan terjadinya kematian akibat kebocoran limbah nuklir yang dikubur di
Yucca Mountain. Hasilnya, peluang terjadinya kematian akibat kebocoran limbah
tersebut adalah 0,0014 kematian pada 13 juta tahun pertama dan 0,0018
kematian dalam jangka waktu tak terhingga. Dalam bahasa awam, tidak ada
peluang seseorang dapat mengalami kematian karena radiation-induced cancer yang
berasal dari kebocoran limbah radioaktif.
Apa sebabnya? Lapisan pertahanan limbah
radioaktif berlapis. Menurut Prof. Cohen, setidaknya ada tujuh lapis pertahanan
dari sistem penguburan limbah nuklir. Lapisan-lapisan tersebut adalah Lapisan itu
terdiri dari (1) Ketiadaan air tanah pada lokasi repositori limbah; (2) Batuan
yang tidak larut oleh air; (3) Material penyegel berupa tanah liat; (4)
Material casing kontainer limbah yang tahan korosi; (5) Material limbah
dalam bentuk kaca yang tidak larut oleh air; (6) Waktu sangat panjang agar air
tanah bisa mencapai permukaan, dan (7) Filtrasi dari bebatuan.
Seandainya limbah nuklir dikubur di lokasi
lain yang mungkin lapisan pertahanannya tidak sekuat Yucca Mountain, maka orde
kematian yang disebabkannya tidak akan berbeda jauh. Kenaikan orde probabilitas
hingga 100x pun masih menghasilkan angka yang sangat rendah. Bandingkan dengan angka
kematian prematur yang disebabkan polusi PLTU batubara, yang menurut UNESCO mencapai
satu juta orang tiap tahun!
Hingga saat ini, tidak ada satupun orang yang
pernah sakit, terluka, apalagi tewas dalam pengelolaan limbah nuklir. Pengelolaannya
dilakukan dengan profesionalitas melebihi industri energi manapun.
Maka kemudian muncul pertanyaan. Menilik
hal-hal di atas, lantas apa yang menjadi alasan kekhawatiran terhadap limbah
nuklir?
Yang kedua soal radiasi nuklir. Topik tentang
radiasi adalah Tier 1 dari polemik tentang energi nuklir. Radiasi nuklir
(dalam hal ini radiasi gamma) tidak dapat dilihat maupun dirasakan. Namun,
dalam dosis tertentu, radiasi ini dapat menyebabkan kanker bahkan kematian. Inilah
yang kemudian menimbulkan ketakutan di benak masyarakat. Fear of the unknown.
Radiasi nuklir dianggap berbahaya dari
sononya. Karena itulah regulasi terhadap radiasi nuklir diatur secara
ketat. Model linear no-threshold (LNT) pun digunakan untuk
mengkuantifikasi bahaya radiasi nuklir. Walau kenyataannya, model LNT tidak
pernah terbukti di dunia nyata dan melebih-lebihkan potensi bahaya radiasi.
Realitanya, kalau kita berbicara soal risiko dari
radiasi nuklir, maka bahaya ini harus dikuantifikasi. Kuncinya satu: dosis
radiasi. Seberapa besar dosis radiasi yang cukup besar untuk menyebabkan
masalah pada tubuh manusia?
Model LNT tidak mengenal adanya batas dosis
radiasi aman. Hal ini bertentangan dengan sains. Selalu ada batas aman untuk
apapun. Tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan dan pemulihan terhadap ancaman
yang masuk. Radiasi gamma dapat merusak sel tubuh, tetapi tubuh manusia juga
dapat melakukan pemulihan terhadap sel yang rusak. Dari sini jelas bahwa model
LNT tidak layak digunakan untuk mengkuantifikasi bahaya radiasi nuklir.
Kembali pada pertanyaan sebelumnya, dosis
radiasi mana yang cukup besar untuk bisa dilihat dampaknya pada manusia? Prof.
Wade Allison dari University of Oxford menyatakan bahwa tidak ada dampak
radiasi nuklir yang menyebabkan permasalahan tampak dibawah dosis 100
mSv/tahun. Bahkan beliau mengajukan nilai batas dosis hingga 100 mSv/bulan.
Senada dengan Prof. Allison, publikasi World Nuclear Association juga
menyatakan tidak ada dampak radiasi nuklir yang bisa diidentifikasi pada dosis
lebih rendah dari 100 mSv/tahun.
Nilai 100 mSv/tahun itu dua kali lebih tinggi
dari nilai batas dosis yang ditetapkan US Nuclear Regulatory Committee dan lima
kali lebih tinggi dari nilai batas dosis yang ditetapkan Bapeten, keduanya
untuk pekerja radiasi. Untuk masyarakat umum, dosis ini 100 kali lebih tinggi
daripada nilai batas dosis yang ditetapkan kedua badan regulator nuklir
tersebut.
Sebagai catatan, rerata manusia menerima dosis
radiasi 2,4 mSv/tahun. Di beberapa tempat, radiasi ini bisa lebih tinggi atau
lebih rendah. Di Bangka, khususnya di daerah yang mengandung pasir monasit,
dosis radiasinya pasti lebih tinggi daripada di daerah lain. Tapi nyatanya, masyarakat
di sana baik-baik saja. Bahkan, penduduk di Kerala, India, menerima dosis
radiasi hingga 70 mSv/tahun karena pasir pantainya mengandung thorium dalam
jumlah melimpah. Tapi mereka hidup baik-baik saja!
Hal tersebut kalau ditinjau dari segi dampak. Selama
manusia menerima dosis tidak lebih dari 100 mSv/tahun, maka sebenarnya tidak
ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan dosis lebih tinggi dari 100 mSv/tahun pun
belum tentu secara otomatis langsung jadi sangat berbahaya. Acute radiation
sickness pun baru bisa terjadi dalam dosis lebih dari 2000 mSv dalam waktu
paparan singkat.
Pertimbangkan seperti api. Jika api membakar
secara tidak terkendali, maka kerusakan yang ditimbulkannya tidak main-main. Tapi
jika api itu kecil dan dikendalikan, maka api tidak akan membahayakan manusia.
Itu dari segi dampak. Dari segi probabilitas,
bagaimana seseorang dapat mengalami acute radiation sickness karena energi
nuklir?
Probabilitasnya pun kecil sekali. Reaktor daya
nuklir tidak bisa diakses oleh manusia secara langsung. Kendalinya menggunakan
instrumen kendali jarak jauh. Maka, kemungkinan seseorang terkena acutr
radiation sickness adalah ketika reaktor mengalami kerusakan dan melepaskan
radioisotop ke lingkungan.
Seberapa besar potensi pelepasan material
radioaktif dari reaktor daya nuklir ke lingkungan?
Dr. Alexander Agung, ketua program studi
Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa, dalam konteks PLTN,
probabilitas terjadinya kegagalan dinyatakan dalam satuan
kejadian/reaktor-tahun. Angka sebesar 10-3/tahun artinya untuk unit
tunggal probabilitas kejadiannya adalah sekali dalam 1000 tahun operasi. Atau
jika ada 1000 unit, maka probabilitas kejadiannya adalah sekali dalam setahun.
Parameter yang penting adalah core damage frequency (CDF), yang
menyatakan besarnya probabilitas kerusakan reaktor yang dapat menyebabkan
potensi pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan dan large release frequency
(LRF) yang menyatakan besarnya probabilitas pelepasan bahan radioaktif ke
lingkungan.
Dari pengalaman operasional sekitar 580
reaktor sejak tahun 1954-2011, didapatkan CDF sebesar 7,6x10-4/reaktor-tahun
dan LRF sekitar 10-6/reaktor-tahun. Di Swedia, untuk PLTN Ringhals
di selatan Gothenburg, sebagai contoh, CDF-nya sebesar 10-6 dan LRF
sebesar 10-7, yang artinya probabilitas pelepasan radioaktif dari 1
unit PLTN Ringhals adalah 1 kejadian dalam 10 juta tahun! Padahal masa
operasinya “hanya” sampai tahun 2040-an.
Nilai CDF dan LRF yang bisa diterima itu
ditentukan oleh badan regulasi nuklir masing-masing negara (di Indonesia adalah
Bapeten). Pihak vendor yang membangun reaktor harus menyesuaikan kriteria itu.
Dengan kemajuan teknologi, reaktor nuklir tipe baru memiliki CDF dan LRF yang
jauh lebih rendah daripada reaktor-reaktor lama yang saat ini sedang
beroperasi. Sebagai contoh, reaktor AP1000 yang sedang dibangun di Amerika
Serikat dan Cina memiliki CDF sebesar 10-7 dan LRF 10-8,
alias sekali dalam 10 juta dan 100 juta tahun.
Berdasarkan penjelasan Dr. Alexander di atas,
probabilitas terjadinya pelepasan elemen radioaktif dari reaktor ke lingkungan
adalah sangat kecil. Sehingga, kemungkinan twrjadinya acute radiation
sickness, atau bahkan sekadar dosis lebih tinggi dari 100 mSv yang berpotensi
menyebabkan kanker, juga sangat kecil. Setara dengan atau kurang dari nilai
LRF.
Kombinasi dampak dan probabilitas radiasi
nuklir ini memiliki implikasi bahwa radiasi nuklir itu tidak semengerikan
imajinasi publik maupun propaganda kalangan anti-nuklir. Karena data justru
menyatakan sebaliknya.
Redefinisi bahaya nuklir memerlukan pemikiran
terbuka, non-dogmatis, serta kejujuran. Menelaah data dan informasi secara
kritis dan komprehensif. Ketika itu berhasil dilakukan, maka mudah untuk
menemukan bahwa ketakutan terhadap limbah nuklir dan radiasi nuklir itu
mengada-ada. Ketakutan irasional yang lebih disebabkan oleh ketidaktahuan.
Sebagaimana dikatakan oleh Marie
Skodlowska-Curie, ibu dari sains nuklir, “Nothing in life is to be feared,
it is only to be understood. Now is the time to understand more, so that we
fear less.”
0 comments:
Post a Comment