Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear
engineer)
Karakter manusia itu lebih gampang
ditakut-takuti daripada diiming-imingi sesuatu yang menyenangkan. Karena itulah,
politisi bengkok dan media busuk sering mengatakan dan memberitakan hal-hal
yang bertujuan menakut-nakuti publik. Istilahnya politics of fear. Masyarakat
yang gampang ditakut-takuti biasanya mudah dibuat tunduh dan patuh pada penebar
ketakutan
Politics of fear inipun menyebabkan munculnya
sikap antipati publik pada hal-hal yang dijadikan objek ketakutan. Apalagi jika
publik tidak banyak memahami tentang objek tersebut. Pembingkaian yang
dilakukan pun diusahakan agar seolah-olah objek tersebut tampak menakutkan,
agar masyarakat menolaknya. Misalnya saja, belakangan ini muncul propaganda
hitam untuk menakut-nakuti masyakarat akan konsep Khilafah. Padahal jelas
sekali bahwa Khilafah adalah ajaran Islam.
Nuklir merupakan objek ketakutan paling empuk
dibandingkan moda energi lainnya. Rekam jejak nuklir yang pertama kali digunakan
untuk keperluan militer meninggalkan impresi kurang baik pada sebagian
kalangan. Radiasi nuklir pun seringkali masih dianggap masih misteri (bahkan oleh
orang-orang nuklir sendiri!), sehingga radiasi dianggap sebagai momok
mengerikan.
Ketika terjadi kecelakaan nuklir, yang paling
ditakutkan adalah terlepasnya sejumlah material radioaktif ke lingkungan. Material
radiaoktif memancarkan radiasi nuklir. Radiasi ini dikhawatirkan membawa dampak
negatif pada manusia, mulai dari kanker hingga kematian.
Karena itulah publik mengalami freak out ketika
terjadi kecelakaan pada PLTN Chernobyl dan Fukushima Daiichi. Pemerintah negara-negara
pun bersikap panik dalam penanganannya, sampai-sampai melakukan hal-hal yang
sebenarnya tidak diperlukan. Salah satunya adalah melakukan evakuasi
besar-besaran pada penduduk di sekitar PLTN dalam radius relatif luas. Tidak peduli
penduduknya sedang sakit, lansia atau bagaimana, semua dievakuasi. Padahal daerah
yang dievakuasi tidak benar-benar terdampak. Hasilnya, muncul
persoalan-persoalan psikologis kronis pada evacuee.
Selain evakuasi, dilakukan juga pembuangan
produk susu karena diduga terkontaminasi radioaktif (ketika peristiwa
Chernobyl), aborsi masif di Eropa (juga Chernobyl), pembongkaran lapisan tanah
atas yang sedikit terkontaminasi (pada peristiwa Fukushima Daiichi), penurunan
standar batas radioaktivitas pada produk pertanian dan perikanan (idem),
perintah pembuatan freeze wall di unit Fukushima Daiichi, penurunan
standar nilai batas dosis radiasi dan lain sebagainya.
Tidak ada dari hal-hal tersebut yang
dilandaskan pada sains dan informasi yang akurat. Semuanya dilandasi oleh
kepanikan. Dampaknya malah menurunkan kepercayaan pada energi nuklir. Karena
publik yang tidak tahu apa-apa, ketika melihat tindakan ekstrem yang dilakukan
pemerintah, jadi malah berpikir yang bukan-bukan.
Pihak-pihak anti-nuklir pun mengeksploitasi
ketidaktahuan publik dan kepanikan masyarakat untuk mengamplifikasi ketakutan. Mereka
memainkan politivs of fear menggunakan pembingkaian informasi secara
licik untuk melakukan propaganda hitam terhadap energi nuklir. terkait
kecelakaan Fukushima Daiichi, berita tentang kecelakaan nuklir jauh lebih
bombastis daripada berita soal tsunaminya sendiri. Padahal kecelakaan nuklir
tersebut tidak menyebabkan korban jiwa barang satupun, sementara tsunami Tohoku
menyebabkan korban jiwa tidak kurang dari 19 ribu jiwa dan kerugian materiil
mencapai milyaran Dollar AS.
Ketakutan dan kepanikan disebabkan oleh
ketidaktahuan. Satu=satunya obat terhadap ketidaktahuan adalah dengan belajar. Maka,
cara paling efektif untuk menghilangkan ketakutan terhadap kecelakaan nuklir
adalah dengan mempelajari informasi-informasi fisika radiasi secara rasional dan
dilandasi pada metode berpikir yang lurus. Sebab, jika setelah belajar fisika
radiasi lantas kemudian tambah takut pada radiasi, berarti ada yang salah
dengan materi pembelajarannya.
Pembelajaran terhadap dampak radiasi,
selayaknya dipahami bahwa dampaknya sangat tergantung pada dosis. Selalu ada
ambang batas aman bagi apapun, termasuk radiasi nuklir. Maka, penting untuk
memahami berapa batas dosis radiasi nuklir yang aman, lalu dibandingkan dengan
apa yang tampak di lapangan.
World Nuclear Association (WNA) mengungkapkan bahwa tidak ada dampak yang tampak pada
manusia sebagai efek dari radiasi nuklir
pada dosis dibawah 100 mSv/tahun. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Prof.
Wade Allison, fisikawan Oxford University. Regulasi nuklir menetapkan nilai
batas dosis (NBD) radiasi sebesar 50 mSv/tahun (US NRC) dan 20 mSv/tahun rerata
selama lima tahun (Bapeten). Sementara, masyarakat umum hanya diizinkan
menerima dosis radiasi sebesar 1 mSv/tahun.
Disrepansi antara NBD yang ditetapkan
regulator dengan data hasil penelitian disebabkan penggunaan model linear
no-threshold (LNT) yang obsolete, tidak pernah terbukti dan
cenderung inkonsisten. Jadi, ada masalah fatal dalam landasan berpikir dalam
penentuan regulasi NBD. Termasuk dari produk LNT adalah overestimate terhadap
efek stokastik radiasi.
Pada kecelakaan Chernobyl, kontaminasi hanya
terjadi di sekitar kawasan PLTN. Sekitar 5% isi teras reaktor terhambur ke
sekitar area PLTN. Radiusnya tidak jauh, karena nyatanya ketiga unit PLTN
Chernobyl lainnya masih bisa beroperasi hingga terakhir ditutup pada tahun 2000,
14 tahun setelah kecelakaan. Dampak kontaminasi produk fisi pada kecelakaan
Chernobyl terlokalisir, tidak menyebar ke area-area jauh.
Sebagian produk fisi terbawa abu grafit
reaktor yang terbakar dan menjadi fallout daerah-daerah agak jauh. Namun,
dosisnya tidak signifikan. Produk fisi gas dan abu mengandung produk fisi terbang
ke beberapa wilayah Eropa. Namun, produk fisi yang beterbangan tersebut rerata
memiliki umur paruh pendek, hanya beberapa jam dan hari. Sehingga,
radionuklida-radionuklida tersebut cepat meluruh ke level aman. Sisanya yang
memiliki umur paruh lebih panjang tidak berdampak banyak karena dosis
radiasinya yang kecil.
Kini, wilayah kota Pripyat dan Chernobyl
memiliki dosis radiasi latar setara dengan berbagai kota lain di dunia. Malah jauh
lebih rendah dibandingkan area Kerala di India dan pantai Guarapari di Brazil,
yang dosis radiasi latarnya mencapai puluhan mSv/tahun. Sebagai catatan, tidak
ada dampak kesehatan apapun pada penghuni kedua wilayah tersebut.
Kecelakaan Fukushima Daiichi melepaskan
kontaminasi radioaktiv jauh lebih sedikit dari Chernobyl. Sebagian besar produk
fisi dan bahan bakar terkurung dalam reaktor. Pelepasan produk fisi gas berupa
iodin-131 terbawa oleh angin menuju Samudera Pasifik dan meluruh dengan cepat. Praktis,
tidak ada dampak radioaktif dari produk fisi tersebut pada masyarakat.
Pelepasan lain adalah elemen volatil berupa
isotop cesium, yakni cesium-134 dan cesium-137, serta tritium. Elemen-elemen
ini larut dalam air dan terlepas ke lautan seiring dengan usaha pendinginan
reaktor yang dilakukan oleh operator PLTN. Sebagian kalangan mempersoalkan
pelepasan cesium ke lautan lepas. Namun, mereka melupakan satu hal penting.
Air laut bersifat mengencerkan. Cesium yang
terkonsentrasi dalam aliran air kecil akan mengencer di samudera luas. Rapat aktivitas
per satuan volume air laut jadi jauh mengecil akibat pengenceran. Kadar cesium
di samudera sudah pasti naik berkali lipat dari kondisi awal. Namun, dosis yang
diberikan pada manusia dalam level vesium seperti itu tidak cukup layak untuk
diperhitungkan, saking rendahnya.
Tidak ada masalah untuk memakan ikan-ikan yang
ditangkap di prefektur Fukushima. Kadar radioaktivitas yang terdeteksi dalam
tubuh ikan, sebagaimana dilaporkan dalam berbagai penelitian, nyaris tidak bisa
dibedakan dengan kadar radioaktivitas ikan standar. Dua orang anggota Mothers
for Nuclear mengunjungi area Fukushima Daiichi dan tanpa ragu-ragu memakan ikan
yang dipanen dari laut sekitar Fukushima.
Betul, radiasi nuklir dari cesium tersebut
memang telah terdeteksi pantai Barat Amerika. Tidak ada yang spesial. Perangkat
detektor radiasi memang sangat sensitif,
sehingga perbedaan satu atau dua cacah saja bisa teridentifikasi. Lagipula,
radioaktivitas cesium yang terdeteksi hanya sepersepuluh dari radioaktivitas
cesium alami dalam laut dan jauh lebih rendah dari radioaktivitas alami laut.
Ya, laut memang radioaktif sejak awal. Terima kasih
untuk uranium dan kalium yang terlarut di dalamnya. Tambahan cesium dari
Fukushima Daiichi hanya menambah radioaktivitas laut 1/10.000 kali level
radioaktivitas aslinya.
Tritium merupakan isotop hidrogen dengan nomor
massa 3. Sifatnya radioaktif dengan umur paruh 12,32 tahun. Tritium memancarkan
radiasi beta dan menyebabkan masalah kesehatan jika masuk ke dalam tubuh. Sebagai
isotop hidrogen, tritium larut di dalam air.
Freeze wall yang
dibuat di unit PLTN Fukushima Daiichi hingga saat ini menahan air yang
mengandung tritium dari dilepaskan ke laut. Padahal, kandungan tritiumnya
sangat rendah. Dilepaskan ke laut pun akan dengan mudah terencerkan hingga
mencapai level tidak berbahaya.
Level radiasi di sekitar prefektur Fukushima
sudah sangat normal. Bahkan lebih rendah dari dosis radiasi latar rerata dunia
yang sebesar 2,4 mSv/tahun. Bahkan WHO menjelaskan bahwa, “...untuk populasi
umum di dalam dan di luar Jepang, tidak diantisipasi terjadinya kenaikan tampak
pada laju kanker di atas baseline.” Bahkan para pekerja kedaruratan
pun tidak memiliki risiko kanker lebih tinggi daripada populasi Jepang umumnya.
Ringkasnya, jika mau belajar dan memahami
informasi secara benar dan utuh, maka mudah dipahami bahwa kecelakaan nuklir
itu criminally overrated. Dampak
yang disebabkan tidak sebesar gembar-gembor yang ada. Sebaliknya, kecelakaan
tersebut secara tidak bermoral digunakan sebagai alat propaganda hitam untuk
memuluskan kepentingan kelompok-kelompok tertentu!
Induksi keselamatan
di berbagai fasilitas nuklir selalu menekankan agar jangan panik ketika alarm tanda kedaruratan berbunyi. Jangan panik, lalu ikuti
instruksi petugas keselamatan, yang seharusnya juga tidak boleh panik. Seandainya
terjadi kecelakaan nuklir dalam skala lebih besar, misalnya pada PLTN, maka
selayaknya prinsip pada induksi keselamatan tersebut diterapkan pada kondisi
tidak diharapkan itu.
Tentu saja
kita tidak berharap akan terjadi kecelakaan PLTN lagi, apalagi mencapai INES
Level 7. Namun, seandainya pun terjadi, maka tidak selayaknya sikap kagetan
pada penanggulangan kecelakaan Chernobyl dan Fukushima Daiichi terulang lagi.
Penanggulangan
yang tidak kagetan membutuhkan regulasi yang rasional. Artinya, regulasi NBD
dan keselamatan nuklir harus mengalami penyesuaian ulang dari dasarnya. Tugas para
perumus kebijakan untuk mempertimbangkan ulang tentang standar keselamatan nuklir
dan NBD dengan mempertimbangkan argumen rasional. Tugas para nuclear engineer dan nuclear physicist untuk menjelaskan tentang keselamatan nuklir
dan radiasi secara rasional pada masyarakat. Dan hal terakhir hanya bisa
dilakukan jika dogma keselamatan nuklir dan radiasi yang menjadi landasan
kebijakan nuklir selama ini ditinggalkan.
0 comments:
Post a Comment