Wednesday, 28 February 2018

Melenyapkan Ketakutan Terhadap Kecelakaan Nuklir

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)

Karakter manusia itu lebih gampang ditakut-takuti daripada diiming-imingi sesuatu yang menyenangkan. Karena itulah, politisi bengkok dan media busuk sering mengatakan dan memberitakan hal-hal yang bertujuan menakut-nakuti publik. Istilahnya politics of fear. Masyarakat yang gampang ditakut-takuti biasanya mudah dibuat tunduh dan patuh pada penebar ketakutan

Politics of fear inipun menyebabkan munculnya sikap antipati publik pada hal-hal yang dijadikan objek ketakutan. Apalagi jika publik tidak banyak memahami tentang objek tersebut. Pembingkaian yang dilakukan pun diusahakan agar seolah-olah objek tersebut tampak menakutkan, agar masyarakat menolaknya. Misalnya saja, belakangan ini muncul propaganda hitam untuk menakut-nakuti masyakarat akan konsep Khilafah. Padahal jelas sekali bahwa Khilafah adalah ajaran Islam.

Nuklir merupakan objek ketakutan paling empuk dibandingkan moda energi lainnya. Rekam jejak nuklir yang pertama kali digunakan untuk keperluan militer meninggalkan impresi kurang baik pada sebagian kalangan. Radiasi nuklir pun seringkali masih dianggap masih misteri (bahkan oleh orang-orang nuklir sendiri!), sehingga radiasi dianggap sebagai momok mengerikan.

Ketika terjadi kecelakaan nuklir, yang paling ditakutkan adalah terlepasnya sejumlah material radioaktif ke lingkungan. Material radiaoktif memancarkan radiasi nuklir. Radiasi ini dikhawatirkan membawa dampak negatif pada manusia, mulai dari kanker hingga kematian.

Karena itulah publik mengalami freak out ketika terjadi kecelakaan pada PLTN Chernobyl dan Fukushima Daiichi. Pemerintah negara-negara pun bersikap panik dalam penanganannya, sampai-sampai melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan. Salah satunya adalah melakukan evakuasi besar-besaran pada penduduk di sekitar PLTN dalam radius relatif luas. Tidak peduli penduduknya sedang sakit, lansia atau bagaimana, semua dievakuasi. Padahal daerah yang dievakuasi tidak benar-benar terdampak. Hasilnya, muncul persoalan-persoalan psikologis kronis pada evacuee.

Selain evakuasi, dilakukan juga pembuangan produk susu karena diduga terkontaminasi radioaktif (ketika peristiwa Chernobyl), aborsi masif di Eropa (juga Chernobyl), pembongkaran lapisan tanah atas yang sedikit terkontaminasi (pada peristiwa Fukushima Daiichi), penurunan standar batas radioaktivitas pada produk pertanian dan perikanan (idem), perintah pembuatan freeze wall di unit Fukushima Daiichi, penurunan standar nilai batas dosis radiasi dan lain sebagainya.

Tidak ada dari hal-hal tersebut yang dilandaskan pada sains dan informasi yang akurat. Semuanya dilandasi oleh kepanikan. Dampaknya malah menurunkan kepercayaan pada energi nuklir. Karena publik yang tidak tahu apa-apa, ketika melihat tindakan ekstrem yang dilakukan pemerintah, jadi malah berpikir yang bukan-bukan.

Pihak-pihak anti-nuklir pun mengeksploitasi ketidaktahuan publik dan kepanikan masyarakat untuk mengamplifikasi ketakutan. Mereka memainkan politivs of fear menggunakan pembingkaian informasi secara licik untuk melakukan propaganda hitam terhadap energi nuklir. terkait kecelakaan Fukushima Daiichi, berita tentang kecelakaan nuklir jauh lebih bombastis daripada berita soal tsunaminya sendiri. Padahal kecelakaan nuklir tersebut tidak menyebabkan korban jiwa barang satupun, sementara tsunami Tohoku menyebabkan korban jiwa tidak kurang dari 19 ribu jiwa dan kerugian materiil mencapai milyaran Dollar AS.

Ketakutan dan kepanikan disebabkan oleh ketidaktahuan. Satu=satunya obat terhadap ketidaktahuan adalah dengan belajar. Maka, cara paling efektif untuk menghilangkan ketakutan terhadap kecelakaan nuklir adalah dengan mempelajari informasi-informasi fisika radiasi secara rasional dan dilandasi pada metode berpikir yang lurus. Sebab, jika setelah belajar fisika radiasi lantas kemudian tambah takut pada radiasi, berarti ada yang salah dengan materi pembelajarannya.

Pembelajaran terhadap dampak radiasi, selayaknya dipahami bahwa dampaknya sangat tergantung pada dosis. Selalu ada ambang batas aman bagi apapun, termasuk radiasi nuklir. Maka, penting untuk memahami berapa batas dosis radiasi nuklir yang aman, lalu dibandingkan dengan apa yang tampak di lapangan.

World Nuclear Association (WNA) mengungkapkan bahwa tidak ada dampak yang tampak pada manusia  sebagai efek dari radiasi nuklir pada dosis dibawah 100 mSv/tahun. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Prof. Wade Allison, fisikawan Oxford University. Regulasi nuklir menetapkan nilai batas dosis (NBD) radiasi sebesar 50 mSv/tahun (US NRC) dan 20 mSv/tahun rerata selama lima tahun (Bapeten). Sementara, masyarakat umum hanya diizinkan menerima dosis radiasi sebesar 1 mSv/tahun.

Disrepansi antara NBD yang ditetapkan regulator dengan data hasil penelitian disebabkan penggunaan model linear no-threshold (LNT) yang obsolete, tidak pernah terbukti dan cenderung inkonsisten. Jadi, ada masalah fatal dalam landasan berpikir dalam penentuan regulasi NBD. Termasuk dari produk LNT adalah overestimate terhadap efek stokastik radiasi.

Pada kecelakaan Chernobyl, kontaminasi hanya terjadi di sekitar kawasan PLTN. Sekitar 5% isi teras reaktor terhambur ke sekitar area PLTN. Radiusnya tidak jauh, karena nyatanya ketiga unit PLTN Chernobyl lainnya masih bisa beroperasi hingga terakhir ditutup pada tahun 2000, 14 tahun setelah kecelakaan. Dampak kontaminasi produk fisi pada kecelakaan Chernobyl terlokalisir, tidak menyebar ke area-area jauh.

Sebagian produk fisi terbawa abu grafit reaktor yang terbakar dan menjadi fallout daerah-daerah agak jauh. Namun, dosisnya tidak signifikan. Produk fisi gas dan abu mengandung produk fisi terbang ke beberapa wilayah Eropa. Namun, produk fisi yang beterbangan tersebut rerata memiliki umur paruh pendek, hanya beberapa jam dan hari. Sehingga, radionuklida-radionuklida tersebut cepat meluruh ke level aman. Sisanya yang memiliki umur paruh lebih panjang tidak berdampak banyak karena dosis radiasinya yang kecil.

Kini, wilayah kota Pripyat dan Chernobyl memiliki dosis radiasi latar setara dengan berbagai kota lain di dunia. Malah jauh lebih rendah dibandingkan area Kerala di India dan pantai Guarapari di Brazil, yang dosis radiasi latarnya mencapai puluhan mSv/tahun. Sebagai catatan, tidak ada dampak kesehatan apapun pada penghuni kedua wilayah tersebut.

Kecelakaan Fukushima Daiichi melepaskan kontaminasi radioaktiv jauh lebih sedikit dari Chernobyl. Sebagian besar produk fisi dan bahan bakar terkurung dalam reaktor. Pelepasan produk fisi gas berupa iodin-131 terbawa oleh angin menuju Samudera Pasifik dan meluruh dengan cepat. Praktis, tidak ada dampak radioaktif dari produk fisi tersebut pada masyarakat.

Pelepasan lain adalah elemen volatil berupa isotop cesium, yakni cesium-134 dan cesium-137, serta tritium. Elemen-elemen ini larut dalam air dan terlepas ke lautan seiring dengan usaha pendinginan reaktor yang dilakukan oleh operator PLTN. Sebagian kalangan mempersoalkan pelepasan cesium ke lautan lepas. Namun, mereka melupakan satu hal penting.

Air laut bersifat mengencerkan. Cesium yang terkonsentrasi dalam aliran air kecil akan mengencer di samudera luas. Rapat aktivitas per satuan volume air laut jadi jauh mengecil akibat pengenceran. Kadar cesium di samudera sudah pasti naik berkali lipat dari kondisi awal. Namun, dosis yang diberikan pada manusia dalam level vesium seperti itu tidak cukup layak untuk diperhitungkan, saking rendahnya.

Tidak ada masalah untuk memakan ikan-ikan yang ditangkap di prefektur Fukushima. Kadar radioaktivitas yang terdeteksi dalam tubuh ikan, sebagaimana dilaporkan dalam berbagai penelitian, nyaris tidak bisa dibedakan dengan kadar radioaktivitas ikan standar. Dua orang anggota Mothers for Nuclear mengunjungi area Fukushima Daiichi dan tanpa ragu-ragu memakan ikan yang dipanen dari laut sekitar Fukushima.

Betul, radiasi nuklir dari cesium tersebut memang telah terdeteksi pantai Barat Amerika. Tidak ada yang spesial. Perangkat  detektor radiasi memang sangat sensitif, sehingga perbedaan satu atau dua cacah saja bisa teridentifikasi. Lagipula, radioaktivitas cesium yang terdeteksi hanya sepersepuluh dari radioaktivitas cesium alami dalam laut dan jauh lebih rendah dari radioaktivitas alami laut.

Ya, laut memang radioaktif sejak awal. Terima kasih untuk uranium dan kalium yang terlarut di dalamnya. Tambahan cesium dari Fukushima Daiichi hanya menambah radioaktivitas laut 1/10.000 kali level radioaktivitas aslinya.

Tritium merupakan isotop hidrogen dengan nomor massa 3. Sifatnya radioaktif dengan umur paruh 12,32 tahun. Tritium memancarkan radiasi beta dan menyebabkan masalah kesehatan jika masuk ke dalam tubuh. Sebagai isotop hidrogen, tritium larut di dalam air.

Freeze wall yang dibuat di unit PLTN Fukushima Daiichi hingga saat ini menahan air yang mengandung tritium dari dilepaskan ke laut. Padahal, kandungan tritiumnya sangat rendah. Dilepaskan ke laut pun akan dengan mudah terencerkan hingga mencapai level tidak berbahaya.

Level radiasi di sekitar prefektur Fukushima sudah sangat normal. Bahkan lebih rendah dari dosis radiasi latar rerata dunia yang sebesar 2,4 mSv/tahun. Bahkan WHO menjelaskan bahwa, “...untuk populasi umum di dalam dan di luar Jepang, tidak diantisipasi terjadinya kenaikan tampak pada laju kanker di atas baseline. Bahkan para pekerja kedaruratan pun tidak memiliki risiko kanker lebih tinggi daripada populasi Jepang umumnya.

Ringkasnya, jika mau belajar dan memahami informasi secara benar dan utuh, maka mudah dipahami bahwa kecelakaan nuklir itu criminally overrated. Dampak yang disebabkan tidak sebesar gembar-gembor yang ada. Sebaliknya, kecelakaan tersebut secara tidak bermoral digunakan sebagai alat propaganda hitam untuk memuluskan kepentingan kelompok-kelompok tertentu!

Induksi keselamatan di berbagai fasilitas nuklir selalu menekankan agar jangan panik ketika alarm tanda kedaruratan berbunyi. Jangan panik, lalu ikuti instruksi petugas keselamatan, yang seharusnya juga tidak boleh panik. Seandainya terjadi kecelakaan nuklir dalam skala lebih besar, misalnya pada PLTN, maka selayaknya prinsip pada induksi keselamatan tersebut diterapkan pada kondisi tidak diharapkan itu.

Tentu saja kita tidak berharap akan terjadi kecelakaan PLTN lagi, apalagi mencapai INES Level 7. Namun, seandainya pun terjadi, maka tidak selayaknya sikap kagetan pada penanggulangan kecelakaan Chernobyl dan Fukushima Daiichi terulang lagi.


Penanggulangan yang tidak kagetan membutuhkan regulasi yang rasional. Artinya, regulasi NBD dan keselamatan nuklir harus mengalami penyesuaian ulang dari dasarnya. Tugas para perumus kebijakan untuk mempertimbangkan ulang tentang standar keselamatan nuklir dan NBD dengan mempertimbangkan argumen rasional. Tugas para nuclear engineer dan nuclear physicist untuk menjelaskan tentang keselamatan nuklir dan radiasi secara rasional pada masyarakat. Dan hal terakhir hanya bisa dilakukan jika dogma keselamatan nuklir dan radiasi yang menjadi landasan kebijakan nuklir selama ini ditinggalkan.

0 comments:

Post a Comment