Saturday 24 February 2018

Tentang Apocalypticism

Dari dulu saya tidak pernah tertarik dengan kalangan apocalypticist. Materi-materi yang dipelajari dan disampaikan cuma khabar-khabar ambigu yang tidak jelas kronologinya dan memang tidak bisa diketahui waktu pastinya. Tanpa bermaksud merendahkan figur-figur yang rutin membawakan tema-tema apokaliptik, secara pribadi, saya menganggap terlalu banyak membaca dan memikirkan hal-hal terkait akhir zaman dan apocalypticism cuma buang-buang waktu.

Dalil-dalil apocalypticism sebagian besar (kalau bukan semua) adalah khabar, bukan 'amr. Statusnya pun sebagian besar ahad, yang mutawatir cuma yang berasal dari Quran. Khabar ahad tidak bisa dipastikan kapan terjadinya dan seperti apa bentuknya (kapan dan bagaimana kembalinya Khilafah kedua saja tidak ada yang tahu pastinya!). Padahal, khabar ahad itulah yang banyak dibahas oleh apocalypticist.

Sementara, di sisi lain, persoalan-persoalan umat manusia sudah menuntut di depan mata. Tuntutan untuk menyelesaikannya ditunjukkan oleh dalil-dalil bersifat 'amr (perintah), bukan khabar. Artinya ada taklif syara' di dalamnya. Maka yang di depan mata inilah yang seharusnya lebih diperhatikan dan diselesaikan.

Taklif syara' tidak akan berubah dengan adanya dalil-dalil khabar apokaliptik. Cuma karena dunia ini akan segera berakhir (berdasarkan penafsiran apocalypticist), bukan berarti umat harus disibukkan dengan hal-hal terkait kehancuran bumi yang sebenarnya entah kapan akan terjadi, Allahu a'lam. Yang seperti itu cukup tahu saja. Paling mentok dijadikan inspirasi untuk mempelajari Islam secara kaffah. Tidak lebih. Karena selain menghabiskan waktu, kebanyakan membahas apocalypticism dapat mengalihkan fokus umat dari hal-hal yang lebih krusial untuk ditangani.

Politik masih sekuler. Ideologi masih kapitalistik. Ekonomi masih neoliberal. Utang ribawi masih menggunung. Pergaulan bebas masih menggila. Semua ini problematika manusia yang mesti ditangani dengan penerapan sistem Islam. Hal inilah yang seharusnya lebih banyak dipelajari dan diperjuangkan.

Tidak setuju? Silakan. Tidak ada yang memaksa harus setuju, kok.

0 comments:

Post a Comment