Oleh: R. Andika
Putra Dwijayanto, S.T.
Sejak bulan November kemarin, saya beberapa bolak-balik
Jakarta-Jogja untuk keperluan tertentu. Karena sudah kapok pakai bus, saya
beralih pakai kereta api. Perjalanannya lebih cepat dan lebih aman, walau tiketnya
sedikit lebih mahal. Kalau tidak salah ingat, harga tiket bus Jogja-Cibinong itu
Rp 180 rb, sementara harga tiket kereta Ekonomi non-subsidi Rp 220 rb. Bedanya ya
lumayan.
Sebagian dari mahalnya harga tiket kereta,
bahkan untuk kelas Ekonomi sekalipun, ada pada bahan bakarnya. Kereta api jarak
menengah dan jauh semuanya menggunakan bahan bakar minyak (BBM), yakni
Solar/minyak Diesel. Walau mesin Diesel memiliki efisiensi termal-elektrik relatif
tinggi, bisa mencapai 40%, tetapi konsumsi BBM-nya boros dan harga BBM-nya
sendiri relatif mahal per satuan energinya.
Setelah berselancar di internet, saya menemukan
berita tahun 2016 bahwa ada rencana untuk melakukan konversi bahan bakar kereta,
dari BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG). Yang dimaksud tentu saja gas alam, bukan
LPG. Klaimnya, BBG dapat menghemat biaya bahan bakar dan menurunkan emisi gas
rumah kaca.
Di artikel lain, saya sudah menunjukkan bahwa
gas alam merupakan opsi lebih murah untuk keperluan rumah tangga. Bagaimana untuk
kereta? Apa lebih baik pakai BBG saja?
Untuk perbandingan, coba pakai kereta jarak
jauh rute Jakarta-Jogja. Jaraknya sekitar 528
km dari Stasiun Yogyakarta-Stasiun Gambir. Perjalanan kereta pulang-pergi,
berarti dua trip dalam sehari.
Konsumsi tipikal BBM kereta api sekitar 2,5 liter Solar/km. Angka yang lebih
akurat harusnya liter/menit, tapi sulit mencari data dalam satuan itu. Saya tidak
tahu apa PT KAI pakai Solar subsidi atau non-subsidi untuk keretanya, tapi saat
ini asumsikan saja subsidi. Dan harga Solar subsidi sebesar Rp 5.150/liter.
Berarti, untuk perjalanan PP, biaya BBM kereta
Jakarta-Jogja PP sebesar
(5.150*2,5*528*2) = Rp
13.596.000/hari
Bagaimana dengan BBG?
Untuk digunakan di kereta, gas alam mesti
dikompres/dicairkan (opsi pertama lebih rasional). Berapa harga gas alam
terkompres/CNG? Pastinya lebih mahal dari gas alam biasa. Karena harga gas alam
Indonesia juga tidak jelas berapa pastinya, diasumsikan saja gas alamnya
seharga USD 6/MBTU dan proses
kompresinya USD 1/MBTU. Total jadi USD 7/MBTU. Kurs Rupiah anggap saja Rp 13.500/USD.
Gas alam memiliki densitas energi 37 MJ/m3. Untuk perbandingan,
Solar memiliki densitas energi 35,8
MJ/liter. Dengan asumsi lain yang sama, maka biaya BBG kereta Jakarta-Jogja
sebesar
([7/28.263682]*13.500*2,5*[35,8/37]*528*2)
= Rp 8.540.598/hari
Ada penghematan sekitar Rp 5 juta/hari dari konversi BBM ke BBG.
Seandainya kereta beroperasi 360 hari dalam
setahun, maka penghematannya sebesar Rp
1,8 milyar/tahun. Ada enam jadwal kereta dengan jalur Yogyakarta-Gambir. Maka,
dari enam jadwal ini saja, didapatkan penghematan hampir Rp 11 milyar/tahun.
Kalau mempertimbangkan rute Jakarta-Jogja PP lainnya,
yakni Lempuyangan-Pasar Senen PP dan Yogyakarta-Pasar Senen PP, maka ada sebelas
jadwal tambahan. Total, penghematan yang bisa didapatkan dari konversi BBM ke
BBG pada seluruh rute Jakarta-Jogja PP sebesar Rp 30,9 milyar/tahun.
Lumayan lah.
Tapi apa akan berpengaruh terhadap harga tiket
kereta? Tidak juga, karena penghematannya per hari “hanya” 5 jutaan.
Contoh pada KA Argo Lawu (kelas eksekutif) dan
KA Bogowonto (kelas ekonomi). Penumpang harian KA Argo Lawu sekitar 800 orang,
sementara KA Bogowonto rerata 1.440 orang. Kalau penghematan harian itu dibagi
rata pada tiap penumpang, maka harga tiket KA Argo Lawu hanya akan terpotong Rp
6 ribu, sementara penumpang KA Bogowonto mendapat benefit lebih sedikit, hanya
Rp 3.500 per orang.
Jadi, walau benar konversi BBM ke BBG bisa menghemat
biaya bahan bakar, tapi dampaknya ke penumpang kereta kecil sekali. Bahkan sekalipun
harga CNG hanya USD 5/MBTU, potongan yang didapatkan untuk KA Argo Lawu hanya
Rp 9 ribu dan KA Bogowonto Rp 5 ribu. Tidak beda jauh.
Cost-wise, tidak banyak yang bisa diharapkan
dari konversi BBM ke BBG untuk kereta api. Harga tiketnya tidak akan berubah
secara signifikan. Namun, BBG bisa swasembada dan tidak memerlukan subsidi
(seandainya Solar yang dipakai KAI merupakan Solar subsidi). Selain itu, emisi
gas rumah kaca maupun polutan lainnya juga lebih rendah. Asal gas alamnya tidak
bocor saja.
Katanya, sih, konversi BBM ke BBG untuk kereta
api akan diterapkan mulai tahun 2018 (apa itu alasannya tahun 2017 tidak ada
berita soal ini?). Mengenai apakah akan benar-benar terlaksana dengan baik atau
tidak, rasa-rasanya kita bisa menebak sendiri.
Daftar Pustaka
Goris Panji Pradana, Tony Suryo Utomo. 2014. ESTIMASI KEBUTUHAN BAHAN
BAKAR KERETA API DAOP 4 SEMARANG SAMPAI TAHUN 2030 MENGGUNAKAN SOFTWARE LEAP.
Jurnal Teknik Mesin S-1, Vol. 2, No. 2.
0 comments:
Post a Comment