Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto
Beberapa kali dengar soal yang namanya “Green
Property”. Intinya ya bisnis properti juga, tapi dikasih embel-embel “green”.
Jadi katanya konsep perumahannya “green”, begitu. Namun, sejauh ini, konsep
“green” yang ditawarkan masih belum sepenuhnya jelas. Apa cuma dengan suasana
yang sejuk saja? Atau masih lekat suasana alami? Atau apa?
Penelusuran di internet tentang konsep “Green
Property” di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda jelas, apa standar “green”
yang digunakan. Tapi kalau yang jadi patokan ternyata cuma suasana yang asri
dengan pohon, taman dan barangkali sumber mata air alami, maka itu masih jauh
sekali dari “green”. Karena aspek “green” itu banyak sekali, termasuk yang
jarang sekali diperhatikan sebagian besar orang: carbon footprint.
Saya enggak punya urusan dengan bisnis
properti. Bukan pengusaha properti maupun calon pembelinya. Saya cuma
tergelitik (baca: triggered)
dengan klaim “green”, karena biasanya mereka yang hobi mengklaim sesuatu
sebagai “green”, nyatanya tidak “green”. Cuma sebatas stempel. Ini berlaku baik
dalam dunia properti, energi, kesehatan bahkan sampai pengasuhan anak.
Kalau soal properti, dalam hal ini perumahan,
apa saja yang mesti dilengkapi agar bisa memenuhi klaim “green” dengan kaffah?
Coba kita daftar satu persatu. Kalau ada yang
kurang dari daftar ini, monggo ditambahi.
1.
Optimasi Pencahayaan Alami
Desain rumah dengan pencahayaan alami optimal.
Ketika cuaca cerah, rumah harus bisa mengandalkan sinar matahari sebagai
penerangan utama pada seluruh ruangan. Buat sistem pemantulan cahaya untuk
menerangi tempat-tempat yang sulit terjangkau sinar matahari secara langsung,
misalnya kamar mandi. Jangan sampai ada dark
spot yang tidak terjangkau cahaya matahari pagi-siang.
Sistem pencahayaan alami ini jangan sampai
mengganggu kaidah privasi rumah. Sehingga, walau cahaya matahari dapat
menerangi seluruh ruangan, tapi tidak ada peluang bagi orang luar untuk
mengintip bagian dalam rumah yang tidak diizinkan. Untuk mendesain rumah
seperti ini, perlu desainer yang paham fisika optik, fisika cahaya dan hukum
syariah terkait rumah.
Tujuan dari pencahayaan alami adalah untuk
mengurangi konsumsi energi secara tidak perlu. Mengingat, carbon footprint listrik negeri ini relatif tinggi, mencapai lebih
dari 810 g CO2 ekivalen/kWh.
Mereduksi penggunaan listrik untuk pencahayaan dapat mengurangi konsumsi energi
rumah, sehingga menurunkan carbon
footprint.
Selain dengan mengoptimalkan pencahayaan
alami, reduksi konsumsi energi untuk penerangan dapat dilakukan dengan
menggunakan lampu LED alih-alih lampu neon. Lampu LED memiliki konsumsi energi
jauh lebih rendah dari lampu neon biasa dan usia pakainya lebih panjang.
2.
Pendinginan Pasif
Iklim Indonesia merupakan iklim tropis.
Khususnya di daerah perkotaan, suhu udara relatif panas pada siang bahkan malam
hari. Karena itulah pendingin ruangan, baik kipas angin maupun AC banyak
dipakai. Keduanya membutuhkan energi listrik untuk beroperasi, dan AC adalah
yang paling boros.
Untuk meminimalisir konsumsi listrik sehingga
menurunkan carbon footprint, perlu
dirancang sistem sirkulasi udara alami untuk pendinginan udara dalam rumah.
Istilahnya adalah passive cooling. Buat
sistem ventilasi udara yang bisa diatur buka-tutupnya menggunakan prinsip
konveksi udara. Sehingga, udara panas di dalam rumah akan keluar secara
otomatis, sembari menarik udara dingin ke dalam ruangan.
Optimasi bisa dilakukan menggunakan solar chimney sampai evaporative cooling. Solar chimney menggunakan sejenis cerobong
untuk konveksi udara, dilengkapi material penangkap panas untuk memanaskan
udara di dalamnya. Udara yang lebih panas meningkatkan beda suhu dan massa,
sehingga udara panas lebih cepat keluar dan udara dingin lebih cepat masuk.
Debit udara dingin bertambah dibanding sebelumnya.
Penggunaan sistem passive cooling akan mereduksi konsumsi listrik, sehingga
menurunkan carbon footprint rumah.
Kebutuhan penggunaan kipas angin dan atau AC dapat dikurangi.
3.
Pemilihan Material Rumah
Bahan-bahan penyusun rumah merupakan material
sarat emisi karbon. Sebagai contoh, semen memiliki carbon footprint 0,77 ton CO2
ekivalen/ton semen, batu bata 0,27
ton CO2 ekivalen/ton batu bata dan baja 2,2 ton CO2 ekivalen/ton baja. Untuk mereduksi carbon footprint rumah, penggunaan
material rumah dapat disiasati.
Sulit untuk mencari substitusi baja, karena
itu fokus dialihkan pada semen, batu bata dan lantai. Penggunaan semen dapat
dicampur dengan mineral penyerap karbon, seperti Serpentinite atau Olivine.
Semen sejenis ini akan menyerap CO2 dari udara seiring berjalannya
waktu, selain menurunkan penggunaan semen itu sendiri. Masalahnya? Saya bukan civil engineer, jadi saya tidak tahu apa
penggunaan campuran semen seperti ini bisa sebaik semen biasa.
Batu bata dapat diganti dengan granit, batu
sungai atau mineral penyerap karbon. Namun, eksploitasi batu sungai berlebihan
dapat mengganggu ekosistem sungai, sehingga justru melenyapkan kesan “green”.
Alternatifnya, batu bata dapat dikombinasikan dengan granit. Lagi-lagi, saya
bukan civil engineer, jadi sebaiknya
ini ditinjau dulu sebelumnya.
Alternatif lain bisa dengan kombinasi struktur
bangunan dengan kayu. Kayu memiliki nilai carbon
footprint lebih rendah dari batu bata, semen dan baja. Meningkatkan bauran
kayu dalam bangunan berarti menurunkan carbon
footprint rumah.
Lantai rumah biasanya menggunakan keramik.
Alternatifnya dapat menggunakan granit, yang memiliki carbon footprint rendah. Selain dari segi carbon footprint, granit mengandung sejumlah kecil uranium dan
thorium secara alami, sehingga rumah dengan lantai granit memancarkan radiasi
gamma sedikit lebih besar daripada rumah dengan lantai keramik. Hal ini bagus,
karena radiasi gamma dalam dosis rendah memiliki efek positif bagi kesehatan.
Pemilihan material rumah pun mesti
mempertimbangkan insulasi termal, sehingga tidak mengganggu bahkan kalau bisa
mendukung sistem passive cooling.
4.
Fasilitas carbon sink
Selain menurunkan carbon footprint rumah, mengurangi emisi karbon dapat dilakukan
dengan membangun fasilitas carbon sink.
Maksudnya adalah fasilitas yang menyerap CO2 dari udara, khususnya
dari proses pembangunan rumah. Agar tidak ada energi yang terbuang, fasilitas carbon sink yang digunakan sebaiknya
bersifat pasif.
Carbon
sink pasif yang bisa digunakan adalah pohon dan
mineral magnesium. Pohon dapat ditanam baik di halaman depan rumah, di pinggir
jalan perumahan maupun di taman. Penanaman pohon di halaman rumah dapat
menyerap CO2 dari udara dan menambah kesejukan rumah.
Mineral Olivine dan Serpentine dapat digunakan
dalam bentuk hiasan. Serpentinite sering digunakan sebagai bahan ukiran,
sehingga mineral ini dapat digunakan sebagai penghias taman maupun halaman
rumah. Olivine agak lebih mudah lapuk, sehingga lebih cocok menjadi hiasan
taman maupun halaman rumah dalam potongan-potongan kecil.
Tiap kg mineral magnesium tersebut dapat
menyerap hingga 0,6 kg CO2. Sementara, pohon dapat menyimpan hingga
0,65 kg CO2 dalam tiap kg batang kayunya. Namun, seberapa besar CO2
yang mampu ditampung sebuah pohon selama usia hidupnya bergantung pada jenis
pohon yang ditanam.
5.
Penyediaan Rooftop Solar System
Dalam skala besar, panel surya tidak berguna
untuk menyediakan listrik secara reliabel dan murah. Namun, dalam skala kecil,
panel surya masih memiliki kegunaan, setidaknya selama listrik di negeri ini
masih didominasi energi fosil. Khususnya sebagai penyedia daya cadangan.
Pengelola perumahan dapat menyediakan panel
surya yang terpasang di atap rumah (rooftop
solar system/RSS) plus
baterai untuk penyimpanan listrik. Kapasitas daya panel surya kira-kira 1-2 kW
dan kapasitas baterai 4-6 kWh. RSS dapat digunakan untuk berbagai keperluan,
seperti daya listrik cadangan ketika mati listrik atau sebagai pemikul daya
utama ketika siang maupun malam hari, sesuai keperluan dan keinginan pengguna.
Cost-wise, RSS
tidak mengurangi beban biaya listrik. Pasalnya, tagihan PLN yang berkurang
karena penggunaan RSS dibebankan pada naiknya harga rumah. Namun, RSS
jelas mengurangi carbon footprint karena memiliki emisi spesifik rendah
(48 g CO2 ekivalen/kWh) dan berguna untuk cadangan listrik
ketika suatu waktu jaringan PLN mengalami masalah.
6. Resapan Air dan Drainase
Perumahan yang “green” sudah barang tentu
harus bisa memanfaatkan air dengan sebaik-baiknya. Kaitannya dengan air hujan,
maka daerah resapan air dalam kompleks perumahan harus memadai. Tidak boleh ada
titik-titik genangan air. Pembuatan jalan perumahan harus mempertimbangkan hal
ini.
Kelebihan debit air yang sekiranya melebihi
kebutuhan tanaman yang ada di perumahan harus disalurkan melalui sistem
drainase yang baik, untuk kemudian ditampung atau dibuang ke saluran air luar
perumahan. Di daerah yang suplai airnya tidak begitu baik, dapat dibuat
penampungan air hujan untuk kemudian disalurkan ke rumah-rumah.
7. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Filosofi dasar pengelolaan sampah yang “green”
adalah “reduce, reuse, recycle”. Namun, tetap saja ada limbah rumah
tangga yang dihasilkan, baik itu organik maupun anorganik. Maka perlu
pengelolaan lebih lanjut soal limbah ini, selain semata-mata memisahkannya
dalam kategori limbah organik dan anorganik. Pengelola perumahan harus bisa
mengelola limbah-limbah ini dengan baik.
Sampah anorganik dikelola berdasarkan
jenisnya. Sampah anorganik berbasis hidrokarbon (plastik dan sejenisnya)
dikumpulkan dan diolah menggunakan plastic-to-oil machine. Limbah
plastik diolah menjadi minyak bakar setipe dengan bensin, minyak Diesel dan
kerosin. Minyak hasil olahan ini dapat dikembalikan lagi pada rumah yang
menyediakan sampahnya atau digunakan sendiri, tergantung kesepakatan.
Konversi plastik menjadi minyak tidak
mengurangi emisi CO2 secara langsung, tetapi menambah nilai guna limbah
plastik dan mereduksi penggunaan bensin dan minyak Diesel konvensional.
Sampah anorganik dalam bentuk lembaran logam
(kaleng dsb) dipilah, diolah dan dimanfaatkan ulang jika memungkinkan. Sampah
anorganik dalam bentuk kaca dan keramik dipisahkan sendiri untuk dibuang ke
pembuangan akhir.
Sampah organik diolah dengan didekomposisi
menjadi pupuk, yang bisa digunakan untuk pemeliharaan tanaman di perumahan atau
dijual, terserah kesepakatan. Diolah menjadi biogas tidak begitu disarankan,
karena kebocoran biogas ke lingkungan jauh lebih buruk daripada pelepasan CO2
dengan massa yang sama. Limbah minyak goreng diolah menjadi biodiesel, bisa
digunakan sendiri untuk mesin genset darurat, dikembalikan ke penyedia limbah
atau dijual.
Jika orde sampah organik harian mencapai lebih
dari 1 ton, maka dapat dipertimbangkan untuk mengolahnya menjadi metanol
sintetis. Metanol dapat digunakan di kendaraan bermotor sebagai campuran
bensin. Campuran bensin-metanol akan mengurangi emisi CO2, karena
metanol sintetis ini bersifat netral karbon, serta meningkatkan performa mesin.
Limbah dari sintetis metanol dapat dikonversi menjadi pupuk.
8. Wastewater Treatment
Limbah rumah tangga dapat juga berupa limbah
cair, baik dari dapur maupun kamar mandi. Sifatnya kotor bahkan mungkin toksik.
Sebelum dilepas ke lingkungan, perlu ada perlakuan agar limbah cair ini tidak
membahayakan lingkungan. Sehingga, diperlukan wastewater treatment.
Saluran pembuangan air perumahan tersambung
dengan fasilitas wastewater treatment. Teknologi yang digunakan dapat
berupa elektrolisis untuk mengurai komponen-komponen berbahaya yang terlarut
dalam air, klorinasi, iradiasi gamma maupun metode lain yang tersedia.
Sehingga, ketika air buangan dilepaskan ke lingkungan, sudah tidak lagi
berbahaya. Jika menggunakan elektrolisis, jika memungkinkan, sumber listriknya
dapat menggunakan solar power system dan baterai tersendiri, untuk
menjamin rendahnya emisi karbon.
Jika volume air buangan harian sangat besar,
dapat dipertimbangkan untuk melakukan purifikasi air, sehingga limbah cair
dapat digunakan ulang sebagai air bersih. Hal ini lebih krusial jika daerah
perumahan agak sulit air.
9. Sambungan Gas Alam
Jika tersedia, maka selayaknya perumahan
disambungkan dengan jaringan pipa gas alam. Dari segi kepraktisan, jaringan gas
alam tersedia kapan saja, tidak perlu repot-repot membeli tabung gas serta
tidak ada kekhawatiran gas mendadak habis malam hari. Tidak seperti LPG,
jaringan gas alam tidak mengalami kelangkaan dan harganya lebih murah daripada
LPG subsidi.
Pembakaran gas alam menghasilkan lebih sedikit
emisi CO2 daripada LPG. Pasalnya, kandungan energi per satuan massa
dalam gas alam lebih tinggi daripada LPG. Karena itu, walau tidak berbeda
terlalu jauh, penggunaan gas alam dapat mengurangi carbon footprint.
Namun, yang mesti diperhatikan adalah potensi
kebocoran gas alam yang mungkin terjadi. Sekalipun secara keamanan lebih baik
karena gas alam lebih ringan dari udara, tetapi komponen utama gas alam, yakni
metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang 75x lebih kuat dari CO2.
Walau demikian, jarang sekali ada kejadian kebocoran jaringan pipa gas alam di
negeri ini.
Demikian beberapa langkah penyempurnaan konsep
“Green Property” yang perlu dilakukan agar label “green” yang disematkan
benar-benar kaffah, bukan semata stempel. Disclaimer, daftar ini
tidak saklek. Bisa saja ada aspek lain yang terlewat dari perhatian. Jadi, jika
ada saya lewatkan, monggo ditambahkan.
“Tapi itu susah! Mahal! Repot! Siapa yang mau
beli?”
Ya memang susah. Itu risiko kalau mau jadi
“green” secara kaffah. Kalau enggak dilakukan, berarti label “green” itu
cuma stempel, sementara realitanya nanggung. Lepas saja label “green”-nya, jadi
biar enggak menawarkan konsep yang enggak kaffah pada konsumen.
Betul, mewujudkan konsep “Green Property”
bahkan “Green City” itu lebih mudah kalau ada negara yang memiliki kesadaran
akan pemeliharaan lingkungan, karena menyadari bahwa bumi ini adalah titipan
Allah SWT dan seharusnya dikelola berdasarkan syariatNya. Dan negara itu adalah
Khilafah. Konsep “Green Property” dan “Green City” tidak hanya
berputar-putar di teori dan pelaksanaan yang setengah hati, tapi bisa diterapkan
secara kaffah.
Bukan berarti penerapan konsep “Green
Property” yang kaffah harus menunggu Khilafah. Hanya menegaskan saja
bahwa penerapan itu lebih mudah dilakukan kalau ada negara yang
benar-benar peduli lingkungan, bukan peduli sebatas kedok. Wallahu a’lam
bish shawwab.
0 comments:
Post a Comment