Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.
Kemacetan di
kota-kota besar sudah menjadi pemandangan umum. Khususnya di jam-jam pergi dan
pulang kantor, kendaraan bermotor memenuhi jalan dan berjalan dengan kecepatan
siput bercangkang beton. Secara psikologis, paparan terhadap kemacetan terus
menerus dapat menimbulkan stres pada pengguna jalan. Efeknya nanti pada
kestabilan emosi dan perilaku ketika berkendara, serta performa di tempat
kerja. Sementara, dari segi energi, kemacetan menyebabkan pemborosan yang luar
biasa.
Penyebab
kemacetan jalan raya di kota-kota besar itu banyak. Dua diantaranya adalah gaya
hidup dan transportasi umum kurang representatif. Masalah pertama agak sulit
diatasi, karena urusannya dengan pola pikir dan pola sikap manusia. Masalah
kedua lebih mudah diatasi, karena bersifat teknis. Tapi sayangnya, masalah
teknis inipun tidak kunjung selesai.
Padahal, jika
orang-orang mau beralih dari kendaraan pribadi, masalah kemacetan akan (sedikit) lebih
mudah diatasi dan pemborosan bahan bakar minyak pun dapat dikurangi. Yang
terakhir ini krusial, karena negeri ini sejak tahun 2004 menjadi net importir
minyak bumi, ditambah persoalan perubahan iklim akibat penggunaan bahan bakar
fosil yang jor-joran.
Sebagai contoh,
kalau seseorang menggunakan mobil pribadi dan hanya mengendarainya sendiri
saja, maka untuk tiap km jarak yang ditempuh dari rumah ke tempat kerja, dengan
asumsi konsumsi BBM 1 liter untuk 12 km, akan mengonsumsi energi hingga 0,8
kWh/orang-km. Seandainya jarak rumah-kantor itu 30 km, maka konsumsi
energinya menjadi 23,75 kWh/orang. Pulang pergi, jadinya 47,5
kWh/orang.
Kalau yang naik
mobil lebih dari seorang, konsumsi energi spesifiknya jelas berkurang. Katakanlah
yang naik mobil itu 3 orang. Maka, konsumsi energi spesifiknya turun menjadi 0,264
kWh/orang-km. Dengan jarak yang sama, pulang pergi, maka konsumsi energi
spesifiknya 15,83 kWh/orang. Turun cukup jauh, tapi masih cukup boros.
Sepeda motor jadi
alternatif bagi yang butuh moda transportasi lebih cepat dan gesit (serta
berkantong lebih cekak). Dibanding mobil, jelas saja sepeda motor lebih hemat
energi. Jika seseorang mengendarai sepeda motor dengan konsumsi BBM kira-kira
45 km/liter, maka energi spesifik yang dikonsumsi pengemudi sepeda motor
tersebut adalah 0,211 kWh/orang-km. Kira-kira seperempat konsumsi energi
spesifik pengendara mobil. Kalau dipakai PP rumah-kantor dengan jarak tempuh
total 60 km, maka konsumsi energinya jadi 12,67 kWh/orang. Seandainya
pergi ke kantor boncengan, maka konsumsi energinya turun jadi 6,33 kWh/orang.
Lumayan hemat.
Sayangnya tidak
semua orang senang pakai sepeda motor. Apalagi dengan kondisi kota besar yang
penuh sesak dan polutif. Sebagian orang merasa lebih nyaman pakai mobil
pribadi, walau itu harus didapatkan dengan kredit.
Opsi angkot
seharusnya bisa menjadi alternatif dari mobil, seandainya lebih nyaman dan
tertata. Juga lebih hemat energi. Tipikal angkot biasanya muat untuk 8 orang
penumpang (1 depan, 4 kursi kanan dan 3 kursi kiri). Banyaknya orang yang
diangkut normalnya berdampak pada lebih borosnya konsumsi BBM. Mungkin tinggal
1 liter untuk 10 km.
Mengasumsikan
angkot dalam kondisi penuh, konsumsi energi spesifik pengguna angkot jadi 0,0125
kWh/orang-km. Dipakai PP dengan jarak tempuh 60 km, konsumsi energinya jadi
7,125 kWh/orang. Sedikit lebih boros daripada naik sepeda motor berdua,
tapi kira-kira setengah dari naik sepeda motor sendirian.
Jadi, untuk
sementara ini, naik ojek tampaknya masih sedikit lebih hemat energi dari naik
angkot. Tapi ini relatif, karena bedanya juga tipis. Seandainya konsumsi BBM
riilnya berbeda, maka keunggulan sepeda motor bisa jadi berubah.
Yang paling hemat
sebenarnya adalah bus kota. Walau konsumsi BBM bus kota relatif boros, keluaran
baru kira-kira 1 liter untuk 3 km (keluaran lama, apalagi yang asapnya sudah
mengepul dari knalpot, lebih boros). Kalau bus kota itu memiliki 48 kursi dan
semuanya penuh terisi, maka konsumsi energi spesifiknya menjadi 0,07
kWh/orang-km. Kira-kira sepersepuluh dari menggunakan mobil pribadi.
Dengan jarak
tempuh PP rumah-kantor sama, maka konsumsi energinya hanya 4,14 kWh/orang.
Lebih unggul dari naik sepeda motor/ojek maupun angkot. Tinggal bagaimana
membuat bus kota menjadi nyaman dan jumlahnya representatif agar orang-orang
mau beralih ke sini.
Kereta Rel
Listrik (KRL) tentunya tidak bisa dilupakan. Walau tidak menggunakan BBM, tapi
KRL mengonsumsi energi dalam bentuk berbeda, yakni listrik. Sementara,
pembangkit listrik di Indonesia didominasi oleh energi fosil. Jadi, menggunakan
KRL sebenarnya tidak menghilangkan emisi gas buang, hanya memindahkan lokasinya
saja.
Namun, tidak bisa
dipungkiri bahwa naik KRL juga lebih hemat energi ketimbang naik kendaraan
pribadi.
Motor listrik KRL
kira-kira memiliki daya total 2400 kW tiap rangkaian. Tiap gerbong diasumsikan
diisi oleh 80 orang dan ada 10 gerbong tiap rangkaian kereta. Kecepatan KRL
normalnya antara 50-80 km/jam, reratanya mungkin 60 km/jam. Dengan kondisi
seperti itu, maka konsumsi energi spesifik KRL adalah 0,05 kWh/km.
Sedikit lebih rendah daripada bus kota dan terang saja jauh lebih rendah dari
mobil pribadi.
Jika
diterjemahkan untuk PP rumah kantor berjarak 60 km, maka konsumsi energi
spesifiknya hanya 3 kWh/orang. Lebih rendah dari bus kota. Tapi tentu
saja, KRL hanya berhenti di stasiun, dan seringkali harus disambung lagi dengan
angkot/ojek/bus kota. Jadi 11-12 lah dengan bus kota.
Lebih enak lagi
bahwa KRL memiliki jalur khusus, sehingga tidak terjebak kemacetan di jalan.
Berdasarkan penjelasan
di atas, berikut tabel konsumsi energi dan energi spesifik dari berbagai moda
kendaraan di atas.
Bagaimana soal
biaya energinya?
Jelas saja
menggunakan kendaraan umum jauh lebih murah ditinjau dari segi pengeluaran
untuk energi. Namun, tarif angkot/ojek/bus kota seringkali lebih mahal daripada
biaya energinya. Wajarlah, biaya bahan bakar hanya satu dari sekian aspek
pembiayaan transportasi. Tapi kalau dianggap, “Ah, mending naik kendaraan
pribadi, kalau begitu. Lebih jelas cuma bayar biaya energinya”, itu juga tidak
tepat. Tetap saja pengguna membayar untuk mendapakan kendaraannya, dan ada
skema perhitungan biaya balik modal dan ongkos perawatan di sana.
Namun, untuk
sekadar gambaran, tidak ada salahnya dicek perbandingan biaya energinya.
Di sini
diasumsikan BBM yang digunakan semua non-subsidi. Bukan karena saya
anti-subsidi, tapi sebatas untuk menyetarakan kondisi. Angkot/sepeda
motor/mobil pribadi menggunakan Pertamax, yang harganya per Maret 2018 adalah Rp
8900/liter. Sementara, bus kota menggunakan Pertamina DEX yang harganya Rp
10.000/liter. Untuk KRL, tarif listriknya diasumsikan juga non subsidi,
yakni Rp 1.467,28/kWh.
Berikut adalah
tabel biaya bahan bakar dan biaya bahan bakar spesifik masing-masing moda
kendaraan.
Walau konsumsi
energinya lebih sedikit, tampak bahwa biaya energi dan energi spesifik KRL
sedikit di atas bus kota. Hal ini disebabkan tarif listrik non-subsidi per satuan
energi lebih mahal daripada harga BBM non-subsidi. Walau begitu, bedanya tidak
jauh.
Menyediakan
transportasi umum yang representatif dalam jumlah memadai dan jangkauan rute
lebih komplit seharusnya menjadi tugas negara. Karena salah satu penyebab enggannya orang-orang berpindah ke kendaraan umum adalah kondisi infrastruktur kendaraan umum yang menyedihkan dan rutenya tidak menjangkau semua tempat. Termasuk merombak sistem dan
tata perundang-undangan terkait transportasi umum. Supaya, skema operasional
dan pembiayaannya bisa diubah sehingga lebih menjamin kesejahteraan pengemudi dan keterjangkauan tarif di satu sisi, serta keteraturan kota di sisi lain.
Jelas saja
mengajak orang-orang yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi untuk beralih
menggunakan kendaraan umum butuh usaha, khususnya dalam mengubah pola pikir dan
pola sikap. Itupun belum tentu semuanya bersedia. Tapi seandainya 80% saja
pengguna kendaraan pribadi mau beralih ke kendaraan umum, itu sudah sangat
membantu sekali dalam mengurai kemacetan.
Tidak ada
salahnya untuk mengenalkan konsep efisiensi energi (sebagaimana di atas) pada
penduduk perkotaan, khususnya pengguna kendaraan pribadi, lebih khusus lagi
mobil pribadi. Karena sejujurnya, yang terjadi di kota-kota memang pemborosan.
Sehingga, konsumsi energi seharusnya diturunkan ke level yang lebih rasional.
Tidak banyak membantu dalam mitigasi perubahan iklim, tentu saja. Minimal tidak
ada lagi pemborosan bahan bakar minyak.
Mengurai masalah
transportasi dan energi memang butuh berpikir. Sayangnya, rezim penguasa lebih
senang dengan slogan “Kerja, kerja, kerja!” tapi tanpa disertai berpikir.
Jadilah masalah tidak usai-usai.
0 comments:
Post a Comment