Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear
engineer)
Earth Hour biasa diperingati tiap tanggal 24
Maret. Pada hari itu, diserukan gerakan untuk mematikan lampu-lampu pada malam
hari selama satu jam, yakni sejak pukul 8.30 PM hingga 9.30 PM. Gerakan yang
diinisasi oleh World Wildlife Fund for Nature (WWF) ini memang
dimaksudkan sebagai simbol perlawanan terhadap pemanasan global serta
turunannya, perubahan iklim.
Sebagian penduduk dunia termasuk beberapa
daerah di Indonesia turut merayakan peringatan ini. Surat edaran untuk ikut berpartisipasi
dalam Earth Hour, dengan mematikan lampu selama sejam, dikeluarkan oleh
pemerintah daerah, seperti di Jakarta dan Yogyakarta.
Terlepas dari semua itu, Earth Hour memang
tidak lebih dari simbol saja. Bahkan simbol yang secara filosofis bermasalah.
Peringatan Earth Hour disimbolkan dalam bentuk
penghematan energi, dalam hal ini listrik. Sebagaimana telah diketahui bersama,
mayoritas pembangkit listrik di dunia menggunakan energi fosil sebagai
sumbernya. Tidak terkecuali di Indonesia. Pembakaran energi fosil melepaskan CO2
ke atmosfer, yang kemudian menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim
(selanjutnya akan dinyatakan perubahan iklim saja).
Sekalipun jarang dipedulikan orang, perubahan
iklim nyatanya merupakan permasalahan global yang sangat krusial. Perubahan iklim
akan menyebabkan kekacauan pada planet ini, mulai dari kenaikan permukaan air
laut, cuaca ekstrem, gagal panen, melelehnya glasier di pegunungan bersalju
yang dapat menyebabkan kekeringan massal, hingga pengasaman lautan yang dapat
membunuh 90% spesies yang hidup di laut!
Dampak perubahan iklim tidak terbatas pada daerah-daerah
tertentu, tetapi seluruh dunia. Karena, manusia tinggal dibawah atmosfer yang
sama. Permasalahan pada atmosfer akan berdampak ke seluruh dunia. Inilah mengapa
perubahan iklim tidak bisa diabaikan.
Kembali pada Earth Hour. Listrik yang
dibangkitkan di sebagian besar belahan dunia berasal dari energi fosil. Tiap kWh
listrik yang dipakai, sejumlah CO2 dilepaskan ke udara. Volumenya
bervariasi tergantung wilayah. Di Indonesia, berdasarkan kalkulasi penulis,
tiap kWh listrik yang digunakan melepaskan setidaknya 810 g CO2
ekivalen ke atmosfer. Artinya, semakin besar konsumsi listrik, semakin besar
pelepasan CO2 ke udara. Tingginya angka emisi listrik di Indonesia merupakan
suatu keniscayaan; lebih dari 80% listrik di Indonesia dibangkitkan menggunakan
energi fosil. Lebih dari setengahnya dari batubara, yang merupakan sumber
energi paling kotor yang pernah ada.
Dengan mematikan lampu pada periode Earth
Hour, maka konsumsi listrik dapat dikurangi. Konsekuensinya, emisi CO2 yang dilepaskan ke udara pun berkurang.
Setidaknya, begitulah yang dipikirkan oleh WWF dan para pengikut Earth Hour.
Realitanya, Earth Hour bermasalah sejak dari
filosofi sampai pada tataran teknis.
Masalah filosofis terletak pada bentuk
peringatannya, yakni mematikan lampu. Imbasnya adalah penurunan konsumsi energi
sekaligus penurunan emisi. Pertanyaannya, bukankah persoalan utama ada pada
sumber energi yang digunakan? Seharusnya, pelanggaran industri energi fosil
terhadap sustainabilitas bumi-lah yang dijadikan simbol. Kenapa malah pengguna
energi yang disuruh mengurangi konsumsi energinya?
Jika maksud lebih mendalamnya adalah ingin menyampaikan pesan tentang, “Manusia
menggunakan energi dengan mengorbankan lingkungan. Maka mengurangi konsumsi
energi adalah cara untuk menurunkan kerusakan lingkungan.”, maka bukankah
seruan yang lebih tepat lagi-lagi adalah dengan menyerukan menggunakan energi
bersih? Karena jika menggunakan energi bersih, lingkungan jelas tidak
dikorbankan dalam prosesnya. Minimal dampaknya jauh lebih kecil. Kenapa malah
disimbolkan dengan mengurangi konsumsi energi?
Kenapa pakai energi fosil? Kenapa tidak pakai
energi bersih? Itu yang seharusnya lebih banyak ditonjolkan dalam
simbolismenya. Tapi lucu sekali bahwa WWF sendiri nyaris tidak bersuara
terhadap pelanggaran sustainabilitas lingkungan yang dilakukan oleh industri
energi fosil ini.
Secata teknis, Earth Hour secara praktis tidak
menyebabkan apa-apa terhadap penurunan emisi karbon. Seandainya pun tiap orang
di seluruh dunia berpartisipasi dalam Earth Hour, dan 6 milyar manusia penduduk
bumi masing-masing mematikan sebuah lampu 40 W selama sejam, dengan tingkat
emisi semuanya setara dengan emisi listrik Indonesia, maka emisi CO2
yang bisa dicegah adalah 194.400 ton CO2.
Terdengar besar? Tunggu dulu. Tahun 2017,
seisi planet bumi melepaskan emisi CO2 hingga 33,432 milyar ton
CO2! Artinya, emisi yang dicegah dari Earth Hour hanya sebesar 0,00058%
dari emisi tahun kemarin.
Sangat tidak berarti, bukan? Dan realitanya,
tidak semua penduduk bumi merayakan Earth Hour dan standar emisi di tiap negara
berbeda-beda. Persentase di atas sangat optimistis diluar batas optimisme
rasional. Jadi bisa dibayangkan berapa tidak berartinya Earth Hour.
Karena itulah, Earth Hour bisa dikatakan
sebagai feel-good movement semata. Bahayanya apa? Membuat orang-orang
merasa telah melakukan sesuatu untuk ‘memerangi’ perubahan iklim, padahal sama
sekali tidak ada efeknya! Tidak ada penurunan emisi karbon yang bisa dideteksi.
Tidak signifikan sama sekali.
Lebih buruk lagi kalau feel-good movement
itu disertai dengan mantra “Lakukan dari yang kecil-kecil dulu”, Doktrin
mantra ini nyatanya tidak realistis. Tidak bisa berharap sesuatu yang kecil-kecil
akan menghasilkan perubahan yang besar. Mantra yang lebih tepat adalah, “Jika
kita hanya melakukan yang kecil-kecil saja, maka hasil yang didapatkan pun hasil
yang kecil pula.”
Earth Hour memang hanya sebuah simbol. Bukan tindakan
nyata. Jadi tidak ada yang bisa diharapkan secara riil. Sudah begitu, filosofi simbol dan teknisnya bermasalah
pula.
Lantas bagaimana aksi nyata untuk memitigasi
perubahan iklim?
Maka kalau kita sudah mengetahui bahwa biang
kerok perubahan iklim adalah emisi CO2, bahwa perlu memangkas emisi
CO2 hingga lebih dari 80% untuk mencegah bencana iklim, dan kita
serius dalam melakukan tindakan nyata untuk memitigasi perubahan iklim, maka berhenti
menggunakan energi kotor dan beralih pada energi bersih. Secara lebih
spesifik, stop membakar energi fosil dan beralihlah ke energi nuklir.
Tidak ada jalan lain.
Energi nuklir adalah energi bersih. Tidak ada
emisi CO2 yang dilepaskan energi nuklir ketika digunakan. Energi
nuklir dapat secara langsung menggantikan fungsi batubara dan gas alam sebagai
pembangkit listrik, serta secara tidak langsung dalam sektor transportasi
dengan menyediakan energi bersih dalam produksi BBM sintetis netral karbon. Secara
praktis, nuklir dapat menggantikan lebih dari 80% fungsi energi fosil.
“Tapi kan
masyarakat bukan pemegang kebijakan!”
Maka jadilah seorang pro-nuklir. sadari betapa
krusialnya energi nuklir untuk menyelamatkan planet dari perubahan iklim. Sadari
bahwa nuklir adalah satu-satunya harapan untuk mencegah bencana iklim yang
dapat terjadi seandainya pembakaran energi fosil tidak dihentikan. Sadari bahwa
berbagai propaganda negatif yang didengungkan terhadap energi nuklir hanyalah
mitos yang dibuat oleh industri energi fosil dan kalangan neo-Malthusian untuk
mencegah ekspansi opsi energi paling bersih dan selamat yang kita miliki saat
ini.
Setelah itu, desaklah pemegang kebijakan untuk
menerapkan energi nuklir secara masif. Energi nuklir yang digunakan untuk
menghapuskan penggunaan energi fosil. Bukan semata-mata energi nuklir sebagai “opsi
terakhir”, sebagaimana yang senantiasa didengungkan oleh kalangan yang tunduk
pada kehendak industri energi fosil.
Kalau tidak bisa juga, karena negara tersandera
politik transaksional demokrasi dan jerat mafia kapitalisme global? Maka dukung
dan perjuangkanlah sistem alternatif yang bisa menghentikan pembakaran energi
fosil dan konversi ke energi nuklir tanpa terjerat politik transaksional dan
kekangan kapitalisme global tanpa harus mengirim peradaban ke 1000 tahun yang
lalu. Karena akan jadi sebuah kesalahan fatal jika ngotot menolak perubahan dan
bertahan pada sistem yang ada, sementara sistem yang ada tersebut tidak bisa
menanggulangi perubahan iklim.
Earth Hour tidak berguna apa-apa untuk
memitigasi perubahan iklim. Tindakan yang berguna adalah revolusi energi dari
energi fosil ke energi nuklir. Yang lucu, WWF selaku inisiator Earth Hour
justru bisa dikatakan anti nuklir. Sebuah ironi yang dahsyat. Sebab, mereka yang koar-koar soal climate action tapi mengabaikan nuklir, maka sesungguhnya mereka tidak benar-benar peduli soal perubahan iklim. Kepedulian palsu.
0 comments:
Post a Comment