Fisika dan rekayasa nuklir adalah ilmu
yang kompleks. Tidak banyak orang, khususnya di Indonesia, yang tertarik dengan
kompleksitas ilmu nuklir. Kalaupun ada, hampir pasti
mereka adalah orang-orang yang siap dicap aneh-aneh. Apalagi ditengah iklim
politik Indonesia yang tidak begitu ramah nuklir.
Tapi sebenarnya tidak perlu menjadi pakar nuklir terlebih dahulu
untuk menjadi seorang pro-nuklir. Tidak perlu paham seluruh aspek mulai dari interaksi netron dengan materi
hingga fault-tree analysis keselamatan reaktor. Tidak usah.
Cukup paham matematika untuk menjadi seorang
pro-nuklir.
Para praktisi energi dan analis energi
pasti mendukung penerapan energi fosil dan nuklir. Karena mereka tahu perlunya
penggunaan energi yang murah dan reliabel. Dan praktisi serta analis yang paham
dampak lingkungan energi fosil yang mengerikan pasti mendukung energi nuklir.
Karena hanya nuklir saja yang mampu beroperasi secara reliabel dan murah tetapi
tetap bersih, bebas emisi gas rumah kaca.
Yang terakhir ini termasuk krusial, karena
planet bumi sedang terancam bencana perubahan iklim seandainya penggunaan
energi fosil tidak dihentikan.
Sementara, mereka yang kemampuan matematikanya
payah pasti akan menentang nuklir habis-habisan dan mendukung "energi
terbarukan" mati-matian. Baik itu di kalangan masyarakat maupun
penguasanya. Mereka didukung oleh kaum yang paham matematika tetapi tidak jujur
dengan dirinya sendiri.
Kenapa bisa mengklaim seperti itu? Karena
matematika bisa membuktikan bahwa energi nuklir memang energi terbaik untuk
umat manusia. Ini bisa ditinjau dari segi biaya, emisi, reliabilitas, risiko
keselamatan dan pemanfaatan lahan.
Dari segi biaya, matematika membuktikan
bahwa nuklir adalah moda energi paling murah. Betul, biaya awal nuklir memang
terkategori sangat mahal untuk saat ini. Hal tersebut disebabkan regulasi
irasional yang lagi-lagi tidak dilandaskan pada matematika dan fisika,
melainkan politik. Akibatnya, peraturan keselamatan energi nuklir jadi terlalu
ketat untuk mencegah bahaya yang risiko matematisnya sangat kecil.
Tapi bahkan dengan biaya awal sangat
tinggi pun, nuklir masih lebih murah dari, katakanlah, energi bayu, energi
surya dan energi laut (ombak, pasang surut, OTEC). Merujuk pada estimasi US
EIA, biaya awal nuklir berkisar USD 5000/kW. Namun, harga listrik
finalnya "hanya" USD 8-10 sen/kWh. Sementara,"energi
terbarukan" menghasilkan harga listrik antara USD 11-24 sen/kWh bahkan
lebih!
Apa alasannya? Reliabilitas "energi
terbarukan" itu rendah. Nuklir beroperasi 3-6x lebih lama dalam setahun
ketimbang energi bayu dan energi surya, menghasilkan lebih banyak listrik
sehingga beban biaya per kWh lebih rendah.
Vendor PLTN yang lebih terstandardisasi,
seperti milik Korea Selatan dan Cina, bisa lebih murah lagi. Biaya awalnya bisa
hanya USD 1500-4000/kW, menghasilkan listrik dengan harga berkisar USD
3-7 sen/kWh.
Angka untuk "energi terbarukan"
belum memperhitungkan moda penyimpanan energi, yang mutlak dibutuhkan kalau mau
menerapkan "energi terbarukan" secara besar-besaran. Harga listriknya
dapat naik dua kali lipat.
Dibandingkan energi fosil, energi nuklir
memang terkesan lebih mahal. Namun, itu karena energi fosil tidak diberi
penalti atas dampak lingkungannya. Padahal, energi fosil adalah driver
utama dari perubahan iklim yang dapat memicu bencana iklim. Jika diberi penalti
dengan selayaknya, sebagaimana nuklir diberi "penalti" untuk
pengelolaan limbahnya, maka harga energi fosil bisa mencapai USD 11-20
sen/kWh. Sangat mahal, tapi adil.
Jelas, secara matematis, nuklir adalah
yang paling murah.
(Kalkulator biaya listrik dapat diakses di sini)
Dari segi emisi, nuklir termasuk yang
paling rendah. Lifecycle assessment terkait tapak karbon (carbon
footprint) yang dikeluarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa emisi spesifik energi nuklir
sebesar 12 g CO2 ekivalen/kWh. Semuanya dari sumber tidak
langsung, yakni proses konstruksi, siklus bahan bakar dan dekomisioning. Ketika
beroperasi, tidak ada emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.
"Energi terbarukan" tentu saja
memiliki emisi spesifik yang rendah. Energi bayu 12 g CO2 ekivalen/kWh
(sama seperti nuklir) dan energi surya sebesar 48 g CO2 ekivalen/kWh.
Sementara, dibandingkan energi fosil, jelas saja nuklir jauh lebih bersih.
Sebagai perbandingan, emisi spesifik gas alam dalam PLTGU adalah 490 g CO2
ekivalen/kWh. Batubara tipe pulverised coal memiliki emisi spesifik 820
g CO2 ekivalen/kWh, sementara batubara rerata dunia 1,1 kg CO2
ekivalen/kWh. Berkali lipat lebih tinggi, berkontribusi positif dalam
menyebabkan perubahan iklim.
Kenapa emisi spesifik nuklir sangat
rendah? Karena nuklir tidak melepaskan CO2 ke lingkungan ketika
beroperasi. CO2 hanya dilepaskan pada proses pembangunan, siklus
bahan bakar dan dekomisioning. Dibandingkan listrik yang dibangkitkan selama
usia pakainya, emisi CO2 yang dihasilkan kecil sekali.
Gambar 1. Emisi spesifik berbagai moda energi per kWh (diolah dari IPCC)
Matematika membuktikan bahwa nuklir adalah
energi paling bersih.
Biaya listrik dari berbagai moda energi
terkait dengan reliabilitas operasional. Jika dalam setahun sebuah pembangkit
listrik mampu beroperasi hampir sepanjang waktu, maka listrik yang dibangkitkan
akan lebih banyak. Hasilnya, beban biaya listrik per
kWh pun turun. Sebaliknya, operasi yang tidak reliabel, putus-putus, beban
biaya listrik per kWh otomatis naik. Sebab listrik yang dibangkitkan lebih
sedikit.
Energi nuklir merupakan energi paling reliabel. Unit-unit PLTN mampu meraih faktor
kapasitas hingga lebih dari 90%. Rerata di seluruh dunia, berdasarkan data World Nuclear Association,
energi nuklir memiliki faktor kapasitas ~80%. Bahkan beberapa PLTN,
seperti PLTN Bruce di Kanada dan PLTN Heysham 2 di Inggris pernah mencapai
rekor beroperasi lebih dari 700 hari tanpa shutdown untuk perawatan. Bagi PLTN yang memiliki biaya awal tinggi, reliabilitas operasi ini
dapat membantu mengurangi beban biaya listrik.
Sebagai perbandingan, energi batubara dan
gas alam biasanya memiliki faktor kapasitas 60%. Beberapa PLTU dan PLTGU
baru bisa mencapai faktor kapasitas hingga 80%, secara teoretis. Umumnya
tetap berkisar 60-70%. Sementara,"energi terbarukan" memiliki
performa paling rendah. Energi bayu memiliki tipikal faktor kapasitas 15-30%,
sementara energi surya 10-24%. Sangat rendahnya faktor kapasitas itu
menyebabkan "energi terbarukan" berbiaya tinggi, walau biaya modalnya
tidak terlampau tinggi.
Rendahnya faktor kapasitas "energi
terbarukan" menyebabkan moda energi ini membutuhkan penyimpanan energi
atau backup daya. Tidak ada yang mau mati listrik ketika matahari tidak
bersinar atau angin tidak berembus, bukan?
Energi nuklir selalu tersedia 24 jam dalam
seminggu, tidak peduli berbagai kondisi cuaca, siklus siang malam, bahkan badai
sekalipun.
Tabel 1. Faktor kapasitas berbagai moda energi
Matematika kembali membuktikan bahwa
nuklir adalah yang paling reliabel.
Risiko keselamatan adalah sebuah
keniscayaan dalam industri manapun. Termasuk industri energi. Tidak ada moda
energi yang 100% selamat. Selalu ada risiko terhadap kesehatan maupun
keselamatan jiwa seseorang dalam operasi pembangkit listrik.
Energi nuklir memiliki stigma buruk
terkait keselamatan. Kalangan anti-nuklir sering sekali mencatut kecelakaan
Chernobyl dan Fukushima sebagai argumen untuk menggugat keselamatan reaktor
nuklir. Sayangnya, argumen ini keliru sejak dari landasan berpikir. Maka
pemikiran selanjutnya jadi keliru.
Risiko keselamatan energi dapat dinyatakan
dalam jumlah kematian per satuan energi dibangkitkan. Di sini digunakan kematian
per TWh energi. Laman Next Big Future mengumpulkan data kematian per
TWh energi dari berbagai moda energi yang tersedia. Hasilnya sama sekali
bertentangan dengan persepsi publik. Nuklir adalah moda energi paling selamat.
Energi nuklir memilikit ingkat risiko
keselamatan sebesar 0,04 kematian per TWh. Itu berbasis data UNSCEAR
yang sekarang sudah diperbarui. Jika menggunakan angka
diperbarui, maka tingkat kematian per TWh energi nuklir turun menjadi 0,0013
kematian per TWh. Artimya, dibandingkan dengan energi yang dibangkitkan,
dampak kematian yang disebabkannya sangat sedikit.
Satu-satunya kecelakaan nuklir yang menyebabkan korban jiwa adalah
kecelakaan Chernobyl. Hingga saat ini, korban jiwa yang bisa diatributkan pada
kecelakaan Chernobyl berkisar 60 orang, dan kecil kemungkinan akan ada tambahan
lagi di masa depan. Terlepas dari segala bombastisasi, kecelakaan Fukushima
Daiichi tidak menyebabkan satupun korban jiwa.
Sebagai perbandingan, energi batubara menyebabkan 161 kematian
per TWh dan gas alam 4 kematian per TWh. Sementara, "energi
terbarukan" seperti energi surya dan energi bayu menyebabkan 0,44
kematian per TWh dan 0,15 kematian per TWh. Masih lebih tinggi dari
energi nuklir.
Kontras dengan kepercayaan publik, energi
nuklir adalah energi yang memiliki risiko keselamatan paling rendah. Energi nuklir
adalah yang paling selamat. Statistik dan matematika telah membuktikannya.
Gambar 2. Kematian per TWh energi dibangkitkan (diolah dari Next Big Future)
George Monbiot, kolumnis The Guardian yang berubah dari anti-nuklir
menjadi pro-nuklir pasca kecelakaan Fukushima Daiichi, mengungkapkan, "While
nuclear causes calamities when it goes wrong, coal causes calamities when it
goes right, and coal goes right a lot more often than nuclear goes wrong."
Bahkan "calamities" yang disebabkan nuklir pun sebenarnya criminally
overrated. Mayoritas masalah seputar kecelakaan nuklir terjadi bukan karena
radiasi nuklir, tapi karena orang-orang panik.
Rapat daya pembangkit menentukan luas lahan yang diperlukan untuk
keperluan pembangkitan daya. Idealnya, penggunaan lahan untuk keperluan
pembangkitan energi itu sesedikit mungkin. Supaya, lahan kosong lainnya dapat
digunakan untuk keperluan lain, misalnya pertanian, konservasi dan sebagainya. Rapat
daya pembangkit di sini dinyatakan dalam satuan W/m2.
Energi nuklir memiliki rapat daya pembangkit sangat tinggi. Sebuah
PLTN berdaya 1000 MWe hanya membutuhkan lahan sekitar 1 km2.
PLTN Generasi IV dicanangkan untuk membutuhkan lahan lebih kecil lagi. Dengan faktor kapasitas sekitar 90%, maka
energi nuklir memiliki rapat daya 900 W/m2.
Energi fosil membutuhkan lahan yang tidak
berbeda jauh, bahkan mungkin lebih kecil. Namun, faktor kapasitasnya lebih
rendah dari nuklir. Sehingga, diestimasikan rapat daya pembangkit energi fosil
berkisar 600-700 W/m2.
“Energi terbarukan” memiliki rapat daya paling rendah.
Tidak lain karena sifatnya paling diffuse. Energi surya dan energi bayu,
dengan faktor kapasitas 20% dan 30%, memiliki rapat daya hanya 22 W/m2
dan 2,5 W/m2. Imbasnya, untuk menghasilkan listrik setara
dengan nuklir, butuh lahan berkali lipat lebih luas. Bayangkan ribuan hektar
lahan jadi tidak bisa digunakan karena ‘ditanami’ panel surya dan turbin angin,
apa tidak sayang?
Tabel 2. Rapat daya berbagai moda energi
Matematika menunjukkan bahwa nuklir adalah
yang paling superior dalam pemanfaatan lahan.
Apa yang bisa disimpulkan?
Matematika membuktikan bahwa nuklir
merupakan opsi energi terbaik. Bahkan matematikanya juga tidak rumit-rumit
amat. Tidak seperti soal-soal olimpiade matematika nasional atau integral
rangkap tiga. Matematika statistik saja sudah memadai.
Nuklir merupakan energi paling murah,
dengan asumsi perlakuan yang diberikan adil (selama ini tidak). Nuklir juga
bersih, karena emisi spesifiknya sangat rendah. Nukli memiliki reliabilitas
tinggi, mampu membangkitkan listrik selama 80-90% waktu. Nuklir juga paling
selamat, karena tingkat kematian per TWh energi yang dibangkitkan juga sangat
rendah. Demikian pula lahan yang digunakan untuk membangkitkan energinya sangat
sedikit. Semuanya jelas sekali, statistik dan matematika menunjukkannya dengan
mudah.
Tapi kenapa masyarakat banyak yang keliru
dalam memahami energi nuklir, khususnya di Indonesia? Masalahnya orang-orang
Indonesia banyak yang sangat malas membaca (makanya hoax banyak bertebaran) dan
matematikanya sangat payah (makanya Matematika dan Fisika banyak dibenci
anak-anak sekolah). No offence, tapi itu realita.
Bahan Bacaan
David J.C. MacKay. 2009. Sustainable Energy - Without the Hot Air. Cambridge: UIT Cambridge.
R. Andika Putra Dwijayanto. 2016. Let's Run The Numbers: Menguji Klaim Antara Energi Nuklir dan "Energi Terbarukan". Yogyakarta.
Brian Wang. Deaths per TWh by energy source. Pranala akses: https://www.nextbigfuture.com/2011/03/deaths-per-twh-by-energy-source.html
World Nuclear Association. World Nuclear Performance 2017. London: WNA.
Intergovernmental
Panel on Climate Change Working Group III. 2014. Mitigation of Climate Change,
Annex III: Technology - specific cost and performance parameter. Cambridge: Cambridge
University Press.
US EIA. Electric Monthly Table 6.7.A. Pranala akses: https://www.eia.gov/electricity/monthly/epm_table_grapher.php?t=epmt_6_07_a
US EIA. Electric Monthly Table 6.7.B. Pranala akses: https://www.eia.gov/electricity/monthly/epm_table_grapher.php?t=epmt_6_07_b
Tulisan bg dhika emng selalu ditungu2 :)
ReplyDeleteSalam dari kommun kaltim bg