Monday 12 June 2017

Apakah Menggunakan Panel Surya Adalah Solusi Kenaikan TDL?


Wacana tentang menggunakan panel surya (selanjutnya disebut PLTS) atau turbin angin (selanjutnya disebut PLTB) untuk mengompensasi harga listrik bukan hal baru. Sejak lama sudah sering didengungkan bahwa PLTS dan PLTB bisa mengatasi masalah kenaikan TDL. Bukan tanpa alasan juga kenapa bisnis panel surya masih cukup berjalan hingga saat ini. Dengan keputusan pemerintah rezim Jokowi untuk menghapus subsidi listrik untuk golongan 900 VA, beberapa pihak kembali mewacanakan penggunaan PLTS dan PLTB untuk  mengompensasi mahalnya listrik dari PLN.

Pertanyaannya, apakah tindakan itu worth it? Apa memang bisa menurunkan pengeluaran biaya listrik?

Saya selalu skeptis dengan segala macam propaganda PLTS dan PLTB. Jadi ini mesti diperhitungkan dulu baik-baik. Di sini, saya memodelkan untuk PLTS saja, karena itu yang lebih banyak wacananya.

PLTS yang digunakan di rumahan adalah solar photovoltaic (Solar PV). Solar PV menggunakan panel semikonduktor yang menangkap radiasi foton yang dipancarkan sinar matahari dan mengonversinya menjadi energi listrik.  Panel ini tidak bisa mengonversi seluruh radiasi foton menjadi listrik. PLTS komersial terbaik saat ini hanya memiliki efisiensi konversi 19%. Jadi efisiensinya memang rendah. Untuk panel surya seluas 1 m2, di Indonesia, daya yang bisa dibangkitkan sebesar 22-44 W, tergantung efisiensi konversi daya dan faktor kapasitas riil.

Mari modelkan untuk PLTS ini. Pertama, biaya listrik PLN dulu. Ini pakai studi kasus. Rumah kakak saya menggunakan listrik 1300 VA, yang mana tarifnya Rp 1.467,28/kWh. Tiap bulan bisa mengeluarkan Rp 400.000 untuk membeli listrik. Jadi, penggunaan listriknya sekitar 9,09 kWh/hari. Nah, dari sini coba dikurangi konsumsi hariannya menggunakan satu unit PLTS.

Untuk harga PLTS, saya menemukan “paket hemat” dengan harga komplit Rp. 15.188.000. Paket ini menggunakan 3 unit panel surya dengan daya puncak masing-masing 100 Wp, sehingga totalnya 300 Wp. Di Indonesia, PLTS hanya bisa beroperasi sekitar 20% waktu, walaupun lokasinya di khatulistiwa. Kenapa? Curah hujan tinggi, tidak ada gurun. Wajar saja.

Sebenarnya angka 20% itu cenderung terlalu optimis. Perkiraan saya malah kurang. Paling mentok sekitar 15-17%. For the sake of argument, anggap saja 20% dulu.

Jadi, listrik yang bisa dibangkitkan tiap harinya adalah (300 Wp*20%*24 jam/hari) = 1,44 kWh.

Dari sini, dikurangi penggunaan listrik dari PLN menggunakan PLTS, menjadi (9,09-1,44) = 7,65 kWh.

Kedua, kita hitung berapa biaya per kWh dari PLTS. Untuk menentukan biaya per kWh PLTS, pertama hitung berapa potensi listrik yang bisa dibangkitkan dari PLTS selama usia pakai. Usia pakai PLTS, mengasumsikan tidak ada kerusakan, sekitar 20 tahun. Mungkin bisa lebih, tapi saat ini kita pakai itu dulu untuk patokan. Apalagi kalau PLTS-nya buatan Cina. Dan sepertinya PLTS Cina itulah yang banyak digunakan di Indonesia.

Dari sini, bisa kita hitung potensi listrik yang bisa dibangkitkan 1 unit PLTS dalam studi kasus ini sebesar (1,44 kWh/hari*365 hari/tahun*20 tahun) = 10.512 kWh.

Kemudian, dari sini harga PLTS tinggal dibagi dengan jumlah kWh. Sehingga, didapatkan hasil (Rp 15.188.000/10.512 kWh) = Rp 1.444,82/kWh. Hanya sedikit lebih murah dari listrik PLN.

Kalau dihitung-hitung, biaya penggunaan listrik kombinasi PLN+PLTS adalah ([7,65 kWh*30 hari*Rp 1.467,28]+[1,44 kWh*30 hari*Rp 1.444,82]) = Rp 399.029,94.

Artinya, cuma ada penghematan sebesar Rp 970,06/bulan.

Itu mengasumsikan panel surya beroperasi dalam waktu optimal, dalam hal ini 20%. Kalau nyatanya lebih rendah, ya malah jadi tambah mahal. Katakanlah kalau nyatanya PLTS beroperasi hanya 17% waktu, maka biaya listriknya jadi Rp 1.699,79/kWh. Malah tekor.

Bagaimana kalau waktu operasinya ternyata lebih lama, bisa 30 tahun? Artinya akan lebih murah dan benar bisa menghemat. Tapi apa ada jaminan panel surya yang digunakan bisa kuat sampai segitu? Analisis ekonomis pembangkit listrik menggunakan ekspektasi waktu operasi normal. Dalam kasus PLTS, ya 20 tahun.

Dengan usia pakai 30 tahun dan waktu operasi 20%, penghematannya sebesar Rp 21.775,54/bulan. Worth it? Tergantung perspektif masing-masing. Buat saya pribadi sih tetap tidak. Saya katakan worth it kalau bisa memotong sampai setengahnya. Tapi tentu saja, itu secara praktis mustahil dilakukan oleh PLTS rumahan maupun PLTS dalam skala besar. Yang ada malah PLTS skala besar lebih sering harus disubsidi.

Jadi, apakah PLTS rumahan bisa digunakan sebagai strategi mengakali mahalnya listrik PLN? Silakan tentukan sendiri. Kalau saya menganggapnya sebagai usaha sia-sia. Bagi saya, yang lebih harus dilakukan adalah melakukan revolusi total kebijakan energi Indonesia yang selama ini berantakan. Itu cara yang lebih jelas untuk membuat listrik jadi benar-benar murah secara absolut.

Apa tidak ada fungsi lain dari PLTS rumahan? Tentu saja ada. Misalnya untuk cadangan ketika mati listrik. Carbon footprint-nya pun lebih rendah ketimbang batubara dan gas alam. Tapi jelas modalnya mahal. Yang pasti, PLTS rumahan bukan solusi ekonomis, jadi tidak usah berharap.

Solusi ekonomis untuk listrik mahal adalah energi nuklir dan sistem politik Islam, yakni Khilafah. Itu.



(catatan: kalkulasi ini belum memperhitungkan biaya penyimpanan listrik di aki/baterai. Kalau dimasukkan, biaya totalnya jadi naik 2x lipat. Tadinya mau saya bahas, tapi nanti malah jadi overkill)

2 comments: