
Komparasi ini lagi-lagi bikin saya prihatin. Hype yang tampak di tengah warganet mengesankan seolah-olah penemuan
Naufal ini benar-benar sebuah breakthrough
hebat serta layak mendapat publikasi jor-joran.
Saya selalu skeptis dengan penemuan semodel ini. Persoalannya, waktu saya mengungkapkan
skeptisme ini, warganet yang rerata awam mengenai rekayasa teknologi energi langsung
mencak-mencak dan ad hominem, sampai menanyakan apa yang sudah saya perbuat dibanding
Naufal. Seolah-olah mereka paham saja seperti apa dunia rekayasa energi bekerja.
Awam boleh, sok bijak jangan.
Kalau ditanya seperti itu, sebenarnya tidak terlalu sulit saya jawab. Saya sedang
berupaya mendesain Molten Chloride Fast
Reactor (MCFR), reaktor nuklir generasi IV yang merupakan subtipe dari Molten Salt Reactor (MSR) yang
menggunakan garam klorida alih-alih fluorida. Tapi masalahnya bukan di sini. Sekalipun
saya tidak sedang merancang apa-apa, kritik dan skeptisme yang saya lontarkan tetap
berlaku. Karena kritik dalam dunia rekayasa itu adalah sangat wajar dan harus dilakukan,
selama didukung alasan-alasan yang kuat.
Tidak, saya tidak sedang berniat meruntuhkan semangat riset DIk Naufal. Hanya
saja, yang perlu diperhatikan, bagian dari sains adalah mengakui bahwa sesuatu tidak akan pernah bisa bekerja. Di dunia
nuklir, misalnya, merancang “mobil nuklir”. Itu ide konyol yang tidak akan
pernah bisa terwujud. Termasuk soal “listrik kedondong”. Kalau sebatas untuk karya
ilmiah tingkat SMP sederajat, ya okelah. Tidak ada masalah. Mirip kasusnya dengan
kulit pisang sebagai pengganti baterai darurat. Persoalannya, apa semua karya ilmiah
ini layak untuk dikembangkan?
Tentu saja tidak.
Dik Naufal semata-mata mengulang percobaan Sel Volta yang sering menjadi bahan
praktikum anak sekolahan. Bedanya, kalau selama ini orang menggunakan jeruk nipis
atau kentang, yang digunakan Dik Naufal adalah pohon kedondong. Kenapa kedondong?
Dugaan saya karena pohonnya terkategori asam, yang mana memenuhi syarat untuk sel
Volta.
Persoalannya, sel Volta tidak pernah dilirik untuk dijadikan pembangkit listrik
sejak ratusan tahun yang lalu untuk alasan yang jelas: It’s simply not good enough.
Potensi listrik dalam pepohonan untuk dimanfaatkan dalam sel Volta itu rendah
sekali. Paling banter dayanya skala miliwatt (mW) alias seperseribu watt. Keasaman
pohon yang lebih tinggi berpotensi meningkatkan daya, tapi tentu saja tidak cukup
signifikan untuk membuat perbedaan berarti.
Ya tentu saja, kalau bukan orang yang berkutat di bidang energi, jarang
yang akan skeptis dengan so-called “penemuan” ini. Langsung dibikin viral
seolah-olah Nikola Tesla baru telah lahir. Giliran diluruskan, langsung balik
marah-marah. Duh...
Sepertinya memang harus disumpal pakai matematika.
Coba ambil studi kasus, berapa pohon kedondong yang dibutuhkan untuk menerangi
sebuah rumah selama sehari? Asumsikan saja rumah itu mengonsumsi 1 kWh listrik per
hari.
Mari kita lihat hasil penelitian BPPT yang dimuat di laman Tempo, 29 Mei
2017. Menurut peneliti BPPT, enam buah pohon kedondong di tempat penelitian Pertamina
EP hanya bisa menyalakan 1 lampu LED 5 Watt selama 20 menit, dengan perkiraan daya
sebesar 1,7 Watt per jam. Terbatasnya waktu pembangkitan listrik disebabkan elektrodanya
yang makin lama makin aus dan mesti diganti.
Katakanlah elektrodanya bisa terus menerus diganti (walau realitanya ini tidak
mungkin dilakukan dalam tataran riil), maka potensi listriknya per 6 pohon adalah
1,7 Watt, atau 0,283 Watt/pohon. Realitanya,
kemampuan pembangkitan daya ini sangat tergantung kondisi keasaman pohon yang
bervariasi selama setahun. Tapi di sini anggap saja keasamannya konstan.
Untuk menghasilkan listrik 1 kWh dalam 24 jam, berarti dibutuhkan pohon kedondong
sebanyak ((1/24)*1000)/0,283 = ± 147 pohon.
Kalau satu pohon butuh lahan sebesar 1 m2, maka kebutuhan lahannya
sebesar ± 147 m2. Kalau satu desa ada 40 rumah, berarti butuh lahan kira-kira
setengah hektar, khusus untuk pohon kedondong, yang elektrodanya harus diganti
20 menit sekali. Hore!
Tentu saja tidak ada yang mau repot-repot mengganti elektroda tiap 20 menit
sekali. Bagaimana kalau penggantiannya seminggu sekali? Berarti lebih banyak pohon
yang dibutuhkan.
Penggantian elektroda seminggu sekali, berarti jumlah pohon yang dibutuhkan
naik dalam faktor (60*24*7)/20 = 504 kali lipat. Artinya, untuk 1 rumah,
butuh pohon kedondong sebanyak (147*504) = 74.118 pohon, memakan lahan seluas
7,4 hektar per rumah. Untuk desa dengan 40 rumah, butuh 2,964 juta pohon kedondong
dan memakan lahan 296,5 hektar. Tiap minggu, hampir 3
juta pohon itu harus diganti elektrodanya dengan yang baru. Yeay! Lapangan
pekerjaan baru buat mengganti elektroda yang aus!
Luas lahannya sendiri masih underestimate. Mana ada kebun pohon kedondong yang tumbuh terus menerus cuma
berjarak 1 meter antar pohon? Bisa saja lahan yang dibutuhkan 2-3 kali lebih
luas. Yuhuuu!
Saya tidak yakin riset lebih lanjut bisa
menaikkan daya secara signifikan. Kalaupun misalnya secara ajaib berhasil
dinaikkan jadi 10 kali lipat, 3 W/pohon, maka untuk menghasilkan 1 kWh per
hari, akan dibutuhkan 14 pohon per rumah untuk penggantian elektroda 20 menit
sekali dan 7000 pohon untuk penggantian elektroda seminggu sekali. Per desa,
berarti butuh 556 pohon untuk penggantian elektroda 20 menit sekali dan 280
ribu pohon untuk penggantian elektroda seminggu sekali.
Sekalian saja bikin hutan kedondong, kalau
begini ceritanya. Lumayan, kan, buah kedondongnya bisa dijual dan menambah
pemasukan desa. Siapa tahu dari pemasukan desa ini bisa membangun pembangkit
listrik mikro hidro tanpa perlu menunggu dana bantuan desa segala.
Jadi, apa kesimpulannya?
Listrik kedondong itu
tidak berguna dalam skala pemakaian wajar.
Kalau cuma untuk praktikum ya bolehlah. Tapi
untuk menerangi rumah? Lebih baik bangun pembangkit listrik mikro hidro saja.
Lebih jelas berguna. Saya bukan penggemar panel surya, tapi kalau harus memilih
antara listrik kedondong atau panel surya, jelas saya memilih panel surya.
Jadi, beginilah masalah di masyarakat dan
pemerintah terkait riset seperti ini. Masyarakat terlalu gampang terpukau tapi
tidak mau diluruskan oleh yang lebih paham. Mudah terjebak delusi akan suatu “penemuan
baru”, padahal riilnya tidak bisa diwujudkan sebagaimana harapan.
Sementara, pemerintah malah meneruskan saja
pengembangan yang tidak berguna dalam tataran riil seperti ini. Pemerintah itu
seperti kasus gajah di dalam ruangan, ada solusi yang lebih jelas dan riil
untuk mengatasi masalah energi (misalnya nuklir) tapi malah fokus pada hal-hal
remeh yang boro-boro bisa membantu. Risetnya salah arah.
Semangat riset Dik Naufal bagus, tinggal diluruskan saja arahnya. Sebab kalau
salah arah, ya wassalam. Tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaiknya matikan
saja riset soal “sumber listrik tidak berguna” yang bertujuan untuk keperluan listrik rumahan ini dan alihkan riset Dik Naufal
ke moda energi yang lebih berguna, misalnya hidro atau energi surya taraf
kecil. Daripada buang-buang waktu, tenaga dan dana untuk sesuatu yang tidak realistis.
Atau kalau mau dilanjutkan, arahnya diubah: Jangan ditujukan untuk menghasilkan listrik rumahan, tapi arahkan untuk membangkitkan listrik demi keperluan teknologi sensor yang butuh daya kecil. Orang-orang Teknik Fisika lebih paham soal ini. Kalau arahnya benar, insya Allah potensi daya gunanya akan jauh lebih luas daripada delusi listrik untuk rumahan dari pohon kedondong.
Intinya, jangan salah arah.
Atau kalau mau dilanjutkan, arahnya diubah: Jangan ditujukan untuk menghasilkan listrik rumahan, tapi arahkan untuk membangkitkan listrik demi keperluan teknologi sensor yang butuh daya kecil. Orang-orang Teknik Fisika lebih paham soal ini. Kalau arahnya benar, insya Allah potensi daya gunanya akan jauh lebih luas daripada delusi listrik untuk rumahan dari pohon kedondong.
Intinya, jangan salah arah.
“Part of science is acknowledging that
something is never going to work.”
“What’s good about science
is that it’s true, whether you believe it or not.”
R. Andika
Putra Dwijayanto, S.T.
(Alumni Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, asisten
penelitan TAHRMoPS bidang proteksi radiasi)
Mantap tulisannya walaupun saya tidak banyak mengerti tentang ilmu energi yang sodara tuliskan, mohon bimbingan kepada generasi muda yang mau berkarya.terima kasih
ReplyDeleteTulisan bagus.. semoga bisa sering2 menulis terkait teknologi terbaru..
ReplyDeleteKomentar miring juga terus dilemparkan ke wartawan yang meliputnya. Di satu sisi, tulisannya membongkar fakta bahwa warga di sana tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara (karena korban kampanye berlebihan). Di satu sisi, si wartawan dituduh mematikan karakter Naufal karena membongkar fakta itu. Pake bawa2 tudingan framing niat jahat media mainstream segala.
ReplyDeletePadahal kami--wartawan di daerah--jarang sekali disuruh-suruh redaksi Jakarta dalam meliput. Sekitar 80% inisiatif sendiri, karena kami bukan karyawan.
Yang miris, "Malah ada kisah warga terkait curhatan Bapak Naufal : Saya Bu sebenarnya tidak enak, tapi terus didesak, dan saya juga tidak enak, karena mereka telah memberikan beasiswa untuk anak saya." Pertamina punya kepentingan tertentu di sini.
Naufal ini bagian dari skenario besar orang-orang dewasa tamak di sekitarnya.
Tulisan yang bagus. Terima kasih sudah menulisnya utk kami yg tdk mengerti.
ReplyDeleteAdalah hal yang miris, ketika halu seperti ini didukung buta oleh awamers, sedangkan solusi macam PLTN dikecam habis² an oleh greenpeace yg ditunggangi mafia batubara 🤦🏿♂️
ReplyDelete