Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.
Keterjangkauan
harga energi masih menjadi isu di negeri ini. Kenaikan tarif listrik dan harga
BBM secara cukup drastis belakangan ini telah memberatkan masyarakat. Walau
resistensi akhir-akhir ini relatif lebih minim dibandingkan beberapa tahun lalu
karena berbagai faktor, the damage has
been done. Hidup masyarakat umum jadi lebih susah.
Tarif listrik
non-subsidi di Indonesia memang “relatif” tidak terlalu tinggi, setidaknya
dibandingkan negara-negara di Amerika Utara dan Eropa Barat. Tapi tentu saja,
dengan nilai pendapatan masyarakat Indonesia yang bagaikan langit dengan sumur
dibandingkan kedua wilayah tersebut, tarif listrik non-subsidi jadi terasa
begitu mahal bagi rakyat. Cukup mahal sehingga masyarakat miskin harus
mendapatkan subsidi agar dapat merasakan listrik, sementara kelas menengah
menjadi yang paling terpukul. Mengingat, mereka dianggap tidak layak
mendapatkan subsidi, sementara pendapatannya tidak tinggi-tinggi amat.
Penyebab
mahalnya tarif listrik tidak tergantung pada satu-dua faktor saja. Penggunaan
batubara dan gas alam di satu sisi turut membuat tarif listrik mahal karena
beban biaya bahan bakar yang realtif tinggi. Namun, penguasaan swasta terhadap
SDA energi juga berpengaruh, karena swasta memiliki motif bisnis dalam
penguasaan dan pengelolaan SDA energi, bukan motif pelayanan publik. Jadi yang
dicari adalah keuntungan, dan itu membuat harga bahan bakar jadi lebih mahal.
Begitu pula,
pembelian bahan bakar dengan kurs US Dollar sementara penjualan listrik dalam
Rupiah ikut menambah masalah. Masih banyaknya penggunaan minyak Diesel/Solar
sebagai bahan bakar menjadi beban berat ketika harga minyak dunia naik.
Tidak ada silver bullet untuk menurunkan tarif
listrik. Liberalisasi kelistrikan harus dihentikan. Negara harus mengelola
sendiri SDA energi. Transaksi pembelian bahan bakar juga mesti disesuaikan.
Itulah beberapa hal yang harus dilakukan agar tarif listrik dapat diturunkan.
Cukup? Tidak.
Karena kita tidak bisa melupakan soal perubahan iklim.
Batubara dan gas
alam merupakan driver utama perubahan
iklim antropogenik. Pembakarannya terus menerus dapat memicu bencana iklim yang
akan melanda planet ini paling lambat akhir abad 21. Potensi bencana yang dapat
disebabkan pembakaran energi fosil ini seharusnya dikompensasi dengan memberi penalti
dampak lingkungan. Dan nilai penalti yang cukup untuk mengompensasi
potensi kerusakannya akan membuat tarif listrik menjadi sangat mahal.
Mungkin masalah
perubahan iklim belum menjadi prioritas penting bagi negara dunia ketiga.
Namun, jika kita serius dalam menjaga kesehatan planet satu-satunya yang dapat
kita diami ini, adalah tindakan amoral untuk mengabaikan isu perubahan iklim.
Apa ada
alternatif pembangkit listrik lain yang bisa membantu menurunkan tarif listrik
tanpa memberikan dampak negatif ke lingkungan?
Tentu saja ada,
dan energi itu adalah nuklir.
Kontras dengan
asumsi sebagian besar orang, nuklir tidak benar-benar mahal, walau dengan
segala kompleksitas teknologinya. Jika dikelola dengan benar, alih-alih menjadi
beban keuangan negara, nuklir justru mampu menurunkan pengeluaran negara untuk
energi. Khususnya terkait bahan bakar.
Kalangan anti
nuklir dan pemilik kepentingan terhadap industri energi fosil senang sekali
mengatakan bahwa energi nuklir itu mahal, utamanya karena biaya pembangunan
yang tinggi. Sebagian kecil lain mengatakan karena biaya dampak kecelakaannya
tidak bisa diprediksi. Bahkan, Wamen ESDM, Arcandra Tahar, ikut termakan
propaganda tersebut.
Realitanya,
nuklir adalah salah satu moda energi paling murah yang tersedia, selain energi
hidro. Di negara-negara Barat, nuklir menjadi mahal karena berbagai faktor yang
sebagian tidak bisa dinisbatkan di Indonesia. Hanya saja, ada satu hal yang
relatif umum terjadi di seluruh dunia, yakni tekanan dari kalangan anti-nuklir
dan industri energi fosil agar negara, melalui regulator nuklir, memperketat
standar keselamatan nuklir untuk menghindari “bencana radiologis” yang tidak
pernah ada.
Berbagai delay yang menimpa pembangunan PLTN di
Amerika Serikat, termasuk PLTN Vogtle di Georgia, disebabkan oleh permasalahan
regulasi ini. Sesuatu yang disebut mendiang Prof. Bernard Cohen sebagai regulatory ratcheting. Yakni regulasi
yang semakin ketat dan ketat tetapi tidak pernah melonggar. Walau realitanya, pengetatan
regulasi itu tidak berdampak signifikan terhadap tingkat keselamatan reaktor.
Menghadapi
tekanan kaum anti-nuklir dan pelaku industri energi fosil ini, negara tidak
boleh kalah. Keputusan seharusnya dilandaskan pada data konkrit dan bukti
ilmiah, bukan politics of unreasonable
fear.
Soal bahan
bakar, benar bahwa uranium memang masih harus diimpor, setidaknya saat ini.
Tapi itu bukan masalah besar. Uranium tersedia di pasar dalam jumlah besar,
seringkali oversuplai. Uranium sangat padat energi, suplai bahan bakar untuk
10-20 tahun ke depan dapat dibeli saat itu juga dan disimpan di dalam kompleks
PLTN.
Harga uranium
pun relatif stabil, dan sekalipun harganya naik dua kali lipat, yang
kemungkinan tidak akan terjadi hingga beberapa dekade ke depan, biaya
pembangkitan listrik hanya akan naik sekitar 11%, berdasarkan penelitan di
Finlandia. Wajar saja, karena bahan bakar merupakan komponen pembiayaan
terkecil dalam PLTN. Bandingkan dengan batubara dan gas alam yang perannya
hingga 70-89%, sehingga jika terjadi kenaikan harga bahan bakar, tarif listrik
dapat naik secara drastis!
PLTN dapat
beroperasi secara reliabel, kira-kira 90% waktu, jauh lebih lama daripada PLTU
batubara dan PLTG. Sehingga, lebih banyak listrik yang mampu dibangkitkan
selama usia pakai PLTN. Hal ini mereduksi beban biaya pembangkitan listrik.
Kelak, ketika
teknologi nuklir Generasi IV sudah komersial, persoalan biaya tidak akan
menjadi isu lagi. Desain yang lebih sederhana dengan keselamatan melekat
menghilangkan banyak komponen yang dibutuhkan di PLTN generasi sebelumnya,
sehingga mengurangi biaya modal yang berimbas pada turunnya biaya pembangkitan.
Kebutuhan bahan bakar lebih rendah lagi dengan kemampuan breeding, sehingga cukup sekali pembelian bahan bakar untuk 60-80
tahun operasi. Potensi thorium domestic pun kelak dapat dieksploitasi dengan
teknologi nuklir Generasi IV.
Energy Innovation Reform Project (EIRP)
mengeluarkan hasil studi terkait biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik dari
teknologi reaktor Generasi IV. Hasilnya, rentang BPP realistis dari teknologi
Generasi IV adalah berkisar USD 3-9 sen/kWh. Angka USD 3 sen/kWh jauh lebih
rendah dari BPP listrik nasional yang berkisar USD 7 sen/kWh. Bahkan,
berdasarkan penelitian BATAN, menggunakan teknologi nuklir kontemporer sekalipun,
BPP listrik masih relatif murah, antara USD 4,8-5,4 sen/kWh.
Jika Indonesia
mampu menguasai mata rantai industri PLTN, sehingga lebih dari 50% komponennya
dapat diproduksi di dalam negeri, pengaruh nilai tukar US Dollar terhadap
Rupiah dapat direduksi, sehingga biaya pembangunan dapat ditekan, menurunkan
BPP lebih lanjut.
Mengandalkan
hanya 1-2 unit PLTN memang tidak akan mereduksi tarif listrik. Apalagi jika
negara tunduk pada tekanan kaum anti-nuklir sehingga regulasi keselamatannya
tidak rasional, tidak bisa dijustifikasi secara ilmiah. Sebaliknya, dengan
regulasi yang sehat, jujur dan bauran energi tinggi, sangat besar peluang BPP
listrik nasional akan turun cukup signifikan sehingga tarif listrik pun bisa
turun. Minimal negara tidak terlalu terbebani subsidinya.
Tentu saja hal
itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Belum ada rencana serius untuk
memasukkan energi nuklir dalam bauran energi nasional secara signifikan. Tidak
ada peluang bahwa dalam 10 tahun ke depan, BPP listrik dapat turun ke angka USD
3-4 sen/kWh. Namun, seandainya negara ini peduli dengan kelayakan hidup
generasi mendatang serta mendukung kekuatan kompetitif industri domestik di
masa depan, nuklir selayaknya diproyeksikan menjadi bauran energi utama. Bukan
pelengkap apalagi diabaikan.
Butuh pemikiran
dan langkah radikal untuk menerapkan nuklir sebagai bauran energi nasional yang
utama. Tapi bukankah perubahan ke arah yang lebih baik itu memang dimulai dari
langkah-langkah radikal?
0 comments:
Post a Comment