Barusan baca artikel dari katadata, soal
substitusi LPG dengan jaringan gas kota. Dengan kata lain, LPG (propana-butana)
diganti dengan gas alam (natural gas/metana). Nantinya, gas alam disalurkan ke
rumah-rumah menggunakan jaringan perpipaan. Menurut Direktur Eksekutif
Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, negara bisa menghemat anggaran hingga
Rp 47,27 trilyun dari substitusi LPG menjadi gas alam (mengasumsikan konsumsi
LPG sepenuhnya disubstitusi). Jadi, subsidi juga bisa dikurangi.
Saya kurang senang dengan bagian mengurangi
subsidi, tapi saya sepakat bahwa masyarakat selayaknya disediakan opsi yang
lebih terjangkau untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dalam hal ini untuk
memasak. Apalagi selama ini LPG lebih banyak dipenuhi melalui impor, sementara
gas alam dapat diproduksi sendiri.
Pertanyaannya, apa klaim penghematan itu
benar?
Coba dibandingkan, berapa uang yang mesti
dikeluarkan rumah tangga antara menggunakan LPG dan gas alam. Karena saya
sedang malas, saya bandingkan dalam satuan Rupiah per kWh energi yang digunakan
saja.
Pertama gas alam. Harga gas alam di
Indonesia tergantung metode distribusinya. Kalau pakai pipa gas, bisa saja
harganya sekitar USD 3/MBTU. Tapi,
kalau di tempat yang tidak terjangkau perpipaan, mau tidak mau mesti disimpan di
tabung. Masalahnya, gas alam lebih sulit dikompres dan dicairkan ketimbang LPG,
sehingga biaya pengemasannya jadi lebih mahal daripada LPG. Barangkali bisa
naik jadi USD 4-5/MBTU.
Persoalannya, berapa harga jual yang akan
ditetapkan ke masyarakat, kalau ke Krakatau Steel saja gas alamnya dijual
dengan harga sampai USD 7-9/MBTU?
Sementara yang diekspor ke Cina dijual cuma sekitar USD 3/MBTU? Yah, kita
anggap saja harga jual ke masyarakat sekitar USD 6/MBTU.
Gas alam memiliki densitas energi 37 MJ/m3. Kompor gas
biasanya memiliki efisiensi 50%.
Maka, harga yang mesti dibayar rumah tangga per kWh gas alam yang dipakai
adalah
(6/[37*{1/3600}*1000*28.263682])/50% = USD 4,13
sen/kWh = Rp 558/kWh
Bagaimana dengan LPG? Tabung gas 3 kg
sekarang harganya sekitar Rp. 20 ribu. Dibulatkan harganya jadi Rp. 7000/kg, mengingat gas 3 kg itu
pakai harga subsidi. Densitas energi LPG sebesar 46,4 MJ/kg, sementara efisiensi kompor sama, 50%. Dari sini, harga yang harus dibayar rumah tangga per kWh LPG
adalah
(7000/[46,4*{1/3600}*1000)/50% = Rp 1086/kWh
Jadi, benar bahwa penggunaan gas alam bisa
menurunkan pengeluaran rumah tangga, di sini hampir setengahnya. Bahkan,
sekalipun pemerintah menjual gas alam dengan harga keterlaluan, misalnya USD 9/MBTU, harga yang mesti dibayar per
kWh-nya masih lebih rendah dari LPG subsidi, yakni Rp 836/kWh. Tanpa subsidi, gas alam mampu menyediakan opsi yang
lebih terjangkau bagi masyarakat.
Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa
konversi ini tidak dilakukan dari dulu? Kenapa masih bergantung pada LPG impor
yang jelas-jelas mahal, sementara gas alam dalam negeri dijual murah ke luar
negeri? Kenapa tidak pernah ada niat dari dulu untuk membangun infrastruktur
gas alam untuk keperluan perumahan, baik jaringan pipa maupun LNG?
Ah, kalau melihat siapa saja yang memiliki
dan mengelola ladang gas Indonesia, sepertinya pertanyaan itu sudah terjawab.
Btw, bukankah penjualan ladang gas domestik
pada asing, apalagi swasta, itu melanggar Pancasila dan UUD 1945? Kok, tidak
ditindak?
Tulisannya mencerahkan..
ReplyDelete