Saya pernah membaca beberapa makalah tentang penggunaan
bahan bakar uranium multi-cycle. Kalau
soal reprosesing standar sudah sering dengar, yaitu plutonium di bahan bakar
bekas diolah lagi untuk dipakai ulang sebagai bahan bakar baru. Tapi yang ini
beda, yakni memanfaatkan uranium bahan bakar bekas dari PWR untuk digunakan di
PHWR. Saya pikir ini menarik, karena sedikit banyak mekanisme ini bisa
mengurangi konsumsi uranium alam.
Lalu, saya pikir, kenapa tidak diteruskan saja? Jadi
tidak berhenti di PHWR? Kemudian saya sedikit corat-coret, bagaimana
memanfaatkan uranium alam di PLTN secara lebih optimal dengan tiga siklus
berkesinambungan. Istilah yang saya karang sendiri, “Three-Cycle Uranium Utilisation”. Ini secara teoretis bisa diterapkan
jika negeri ini ngotot mau membangun PLTN tipe LWR terlebih dahulu (halo
ESDM?). Karena LWR lemah dalam pemanfaatan bahan bakar, mesti ada keberlanjutan
dari siklus bahan bakar nuklir ini.
Karena namanya “Three-Cycle”,
maka ada tiga siklus sekuensial dalam pemanfaatan bahan bakar ini. Masing-masing
menggunakan tiga tipe reaktor nuklir berbeda.
Siklus pertama adalah Light Water Reactor (LWR). PLTN tipe ini merupakan yang paling umum
digunakan di dunia. Opsinya bisa Pressurised
Water Reactor (PWR) atau Boiling
Water Reactor (BWR), tapi kemungkinan besar yang akan dipilih itu PWR. Satu-satunya
keunggulan tipe PLTN ini adalah teknologinya sudah matang dan industrinya sudah
established.
Gambar 1. Skema PWR
Tiap tahun, dibutuhkan ± 200 ton uranium alam
tiap tahun untuk daya 1000 MWe. Uranium alam ini dikonversi menjadi ± 30 ton
uranium diperkaya rendah (low enriched
uranium/LEU) dengan pengayaan antara 3-5%. Derajat bakar yang bisa diraih
di PWR berkisar antara 33-55 GWd/tU, kemudian menjadi bahan bakar bekas.
Siklus kedua adalah Pressurised Heavy Water Reactor (PHWR). Tipe reaktor ini tidak
terlalu terkenal, tapi sebenarnya menarik. Dengan nilai ekonomi netron lebih
bagus karena menggunakan air berat (D2O) alih-alih air ringan (H2O),
PHWR butuh uranium dengan pengayaan lebih rendah dari LWR bahkan uranium alam
(0,7% U235) pun memadai. Bahan bakar bekas LWR memiliki konten bahan bakar
fisil ± 1,3-1,4%, cukup untuk dipakai di PHWR. Produk fisi bisa dibersihkan
sedikit (DUPIC) atau seluruhnya (CCPC), lalu dipakai di PHWR. Derajat bakar antara
12-27 GWd/tU, tergantung yang dipakai itu DUPIC atau CCPC. Nilai derajat bakar paling
besar jelas saja menggunakan CCPC.
Gambar 2. Skema PHWR
Siklus ketiga adalah Molten Salt Fast Reactor (MSFR). Reaktor ini merupakan reaktor
nuklir maju (Generasi IV), subtipe dari Molten
Salt Reactor (MSR). MSFR beroperasi pada spektrum netron cepat dan mampu
melakukan reprosesing bahan bakar secara online.
Reaktor cepat dapat memanfaatkan uranium secara optimal, tidak seperti reaktor
termal.
Bahan bakar bekas dari PHWR sebelumnya mungkin hanya
memiliki konten bahan bakar fisil antara 0,5-0,8%. Tapi barangkali bisa saja
dipakai di MSFR, walau mungkin harus menggunakan geometri baru, dan ini mesti
diteliti terlebih dahulu. Ada opsi lain, tentu saja, yang akan dijelaskan
belakangan.
Gambar 3. Skema MSFR desain TerraPower
Di MSFR, produk fisi harus dibersihkan sampai habis,
jadi murni hanya bahan bakar fisil dan fertil saja. Mengingat MSFR dapat melakukan
reprosesing bahan bakar secara online,
sisa uranium dapat dimanfaatkan sampai benar-benar habis. Derajat bakar bisa
mencapai ± 900 GWd/tU.
Uranium alam di atas cukup untuk PWR 1000 MWe selama kira-kira
18 bulan. Lalu, digunakan ulang di PHWR 600 MWe selama kira-kira setahun. Maka,
dalam 30 bulan, dapat dibangkitkan 16,55 TWh listrik. Untuk level konsumsi
listrik Indonesia, cukup untuk kira-kira 10,8 juta orang selama 30 bulan.
Sisa uranium (kira-kira
28-29 ton) bisa dipakai di MSFR. Dalam hal ini, ada dua opsi. Pertama,
menggunakannya sebagai bahan bakar untuk startup
MSFR. Opsi ini mengharuskan penyesuaian geometri pada teras MSFR. Artinya,
perlu penelitian ulang mulai dari segi netronik sampai termohidroliknya. Lalu,
meski secara prinsip memungkinkan, hasil penelitiannya belum tentu memuaskan. Dan
masih banyak faktor lainnya.
Opsi kedua, bahan bakar bekas digunakan sebagai bahan
bakar tambahan MSFR. Jadi MSFR sudah beroperasi terlebih dahulu, tetapi tiap
tahun butuh tambahan bahan bakar. Nah, bahan bakar bekas PHWR dipakai sebagai
tambahan bahan bakar MSFR. Opsi ini lebih logis, karena di LWR dan PHWR pun asumsinya
reaktor sudah beroperasi duluan.
Karena MSFR merupakan reaktor cepat bertipe pembiak,
maka kebutuhan bahan bakar tambahannya sangat sedikit, hanya 1 ton per GWe-tahun.
Dengan demikian, sisa bahan bakar dari PHWR cukup untuk 28-29 tahun. MSFR 1000
MWe dapat menyuplai 7,7 juta penduduk Indonesia selama ± 29 tahun.
Kalau dibandingkan, dengan asumsi performa ketika tipe
PLTN sama, maka skenario 3-Cycle lebih baik daripada memanfaatkan MSFR saja,
walau bedanya tipis sekali. Tapi kalau diasumsikan MSFR memiliki performa lebih
baik, maka MSFR 30 tahun sedikit lebih baik daripada skenario Three-Cycle. Akhirnya
semua kembali ke asumsi perhitungan.
Saya lebih senang kalau Indonesia langsung lompat saja
ke Generasi IV daripada berkutat di Generasi III macam LWR. Tapi kalau melihat
kondisi industri nuklir saat ini, plus petinggi-petinggi pemerintahan,
kemungkinan akan tetap ke PWR dulu. Kalaupun begitu, dengan skenario Three-Cycle
Uranium Utilisation, setidaknya uranium yang dibeli untuk PWR tidak akan
tersia-siakan begitu saja setelah dipakai selama 18 bulan di dalam reaktor.
Pertanyaan paling penting, bisakah skenario ini diterapkan
di dunia nyata? Itu bukan domain saya untuk menjawab.
Bahan
bacaan
- Dirjen Ketenagalistrikan ESDM. Statistik Ketenagalistrikan 2017.
- L. Özdemir E. Çağlak, A. Tezbaşaran, O. H. Zabunoğlu. “Burnup analysis, natural U requirement and nuclear resource utilization in a combined PWR-CANDU system: Complete coprocessing and DUPIC scenarios”. Progress in Nuclear Energy, vol 91, pp. 140-146, 2016.
- N. M. A. Mohamed, A. Badawi, “Effect of DUPIC Cycle on CANDU Reactor Safety Parameters”, Nuclear Engineering and Technology, vol 48, issue 5, pp. 1109-1119, 2016.
0 comments:
Post a Comment