Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi
keselamatan reaktor)
Aslinya saya tidak begitu tertarik dengan prospek PLTN
terapung, karena saya pikir, "Kalau masih bisa bangun PLTN di darat,
kenapa harus bangun di atas kapal?"
Lalu, pasca kejadian gempa berulang yang terjadi belakangan
ini, juga setelah mempertimbangkan lebih detail soal geografi Indonesia, saya
pikir konsep PLTN terapung jadi terlihat lebih menarik.
Sebenarnya PLTN terapung itu ada beberapa jenis. Namun, yang
saya sorot di sini adalah offshore
nuclear power plant (ONPP). PLTN terapung jenis ini memiliki reaktor nuklir
(tunggal, ganda, empat unit, terserah desainernya) dan turbin-generator
pembangkit listrik yang dipasang di dalam kapal. Listrik yang dibangkitkan oleh
PLTN ini dapat digunakan untuk menggerakkan kapal dari dan menuju ke tempat
tujuan penggunaan dan, tentu saja, mengalirkan listrik ke jaringan listrik di
tempat tujuan.
PLTN yang dipasang di kapal sebenarnya bukan konsep baru. Rusia
sudah sejak lama menggunakan reaktor nuklir untuk propulsi kapal pemecah es. Namun,
ide ini kemudian berkembang untuk menyuplai listrik ke jaringan listrik darat menggunakan
reaktor nuklir yang terpasang di kapal.
Ada beberapa keunggulan dari penggunaan PLTN terapung untuk
wilayah Indonesia. Pertama, karena dipasang di atas kapal, maka kendala-kendala
tentang pembebasan lahan praktis tidak ada. Cuma butuh sambungan ke jaringan
listrik saja. Isu fault tektonik yang
menjadi perhatian dalam pembangunan PLTN pun secara otomatis lenyap. Gempa tidak
lagi menjadi persoalan.
Kedua, PLTN terapung bisa menjangkau kawasan-kawasan kepulauan
kecil dan wilayah yang sulit dijangkau melalui darat seperti beberapa kawasan
di Papua. Karena PLTN terapung sudah dibangun dan terpasang di kapal sejak sebelum
pemberangkatan, tidak ada pembangunan yang perlu dilakukan di kepulauan kecil
dan wilayah yang sulit terjangkau tersebut selain fasilitas sambungan jaringan
listrik. Jauh lebih memudahkan daripada harus membangun pembangkit di lokasi.
Tidak hanya itu, kebutuhan bahan bakar nuklir sedikit dan siklus operasinya panjang, sekitar 24-36 bulan. Jadi, bahan bakar untuk 10-20 tahun operasi dapat dimuat di dalam kapal. Atau, untuk alasan keamanan, baru dikirim ke lokasi menjelang akhir siklus bahan bakarnya. Sehingga, suplai bahan bakar sama sekali bukan masalah bagi PLTN terapung, tidak seperti PLTU atau PLTG.
Tidak hanya itu, kebutuhan bahan bakar nuklir sedikit dan siklus operasinya panjang, sekitar 24-36 bulan. Jadi, bahan bakar untuk 10-20 tahun operasi dapat dimuat di dalam kapal. Atau, untuk alasan keamanan, baru dikirim ke lokasi menjelang akhir siklus bahan bakarnya. Sehingga, suplai bahan bakar sama sekali bukan masalah bagi PLTN terapung, tidak seperti PLTU atau PLTG.
Ketiga, PLTN terapung umumnya memiliki daya kecil, antara
40-120 MWe. Itu cukup untuk daerah-daerah luar Jawa yang notabene kebutuhan
listriknya tidak sebanyak di Jawa. Membangun PLTN darat dengan daya lebih dari
250 MWe jelas sebuah pemborosan yang tidak perlu, jadi PLTN terapung memiliki skala
rentang daya lebih pas.
Keempat, lebih selamat dari tsunami. Sifat gelombang tsunami
adalah baru mulai meninggi ketika mencapai air dangkal, tapi di air yang lebih
dalam nyaris tidak terasa. Karena panjang gelombang tsunami di permukaan laut
dalam sangat panjang, amplitudonya jadi kecil. Sehingga, PLTN terapung yang doknya
berada di permukaan laut dalam tidak akan terpengaruh oleh gelombang tsunami.
Saya bukan pakar dalam kegempaan, tapi barangkali eksistensi
PLTN terapung bisa membantu dalam peringatan dini tsunami. Sistem instrumentasi
pendeteksi dini tsunami bisa dipasang di PLTN terapung. Karena tidak ada
masyarakat yang bisa begitu saja naik ke atas kapal pengangkut PLTN ini,
vandalisme dan pencurian terhadap komponen sistem peringatan dini tsunami bisa
dikatakan tidak akan terjadi. Tapi ini butuh konfirmasi dari pakar di
bidangnya.
Kelima, PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air
laut. Hal ini penting untuk wilayah-wilayah yang sering kekurangan air bersih. Selain
membangkitkan listrik, panas buangan dari PLTN terapung bisa digunakan untuk
desalinasi air laut, menghasilkan air bersih yang layak digunakan untuk
keperluan sehari-hari masyarakat.
Ke depannya, selain desalinasi air laut, PLTN terapung
berpotensi juga memproduksi bahan bakar sintetis. Jadi, PLTN terapung digunakan
untuk hidrolisis air dan memisahkan CO2 dari air laut. Hidrogen dan
CO2 yang dihasilkan kemudian disintetis untuk menghasilkan bahan
bakar mirip bensin untuk keperluan transportasi. Keunggulan dari bahan bakar sintetis
ini adalah netral emisi CO2 dan tidak ada kontamintasi pengotor.
Keenam, level keselamatan tinggi. Kontras dengan asumsi
sebagian orang ketika pertama mendengar PLTN terapung, tingkat keselamatannya tidak
berkurang, malah mungkin lebih baik. Setidaknya, dari segi termohidrolik. Karena
posisinya berada di atas permukaan laut, PLTN terapung memiliki akses pendingin
yang secara praktis tidak terbatas. Air laut menjadi heat sink alami bagi reaktor nuklirnya. Ketika misalnya terjadi overheating, pendinginan reaktor dapat
dilakukan tanpa harus khawatir kekurangan suplai pendingin eksternal.
Bagaimana kalau terjadi sebuah skenario tidak diinginkan
yang menyebabkan kapalnya tenggelam? Bahan bakar nuklir akan tetap tersegel di
dalam reaktor. Lalu, air laut secara otomatis akan mendinginkan reaktor
sehingga pelelehan bahan bakar dapat dicegah (kecuali reaktor nuklir yang bahan
bakarnya berbentuk lelehan, maka bahan bakarnya akan memadat, yang juga berita
bagus). Ketiadaan pelelehan menyebabkan pelepasan radioaktivitas akan sangat
minim, kalau bukan tidak ada. Air laut tidak akan terkontaminasi material
radioaktif dari reaktor nuklir yang tenggelam.
Rusia dan Cina tengah mengembangkan PLTN terapung tipe ONPP.
Akademik Lomonosov, kapal bertenaga nuklir desain Rusia, diproyeksikan menjadi
PLTN terapung pertama di dunia. Saat ini, Akademik Lomonosov telah melakukan
pemuatan bahan bakar di dalam unit reaktor nuklir gandanya, siap diberangkatkan
akhir tahun ini atau awal tahun depan ke Pevek, kota paling utara di Rusia.
Namanya teknologi, pasti ada saja kekurangannya. Karena
tidak ada perimeter seperti di PLTN darat, sistem proteksi fisik PLTN terapung harus
lebih diperhatikan. Masalah proteksi fisik sebaiknya juga dikoordinasikan dengan
TNI. Perawatan pun mengharuskan si kapal dibawa kembali ke pabrikannya, walau
memang jadwal perawatannya tidak sering. Masalah keselamatan radiasi juga mesti
disosialisasikan dengan baik pada nelayan-nelayan yang melaut di sekitar sana,
jika ada. Tujuannya supaya resistensi masyarakat sekitar terhadap PLTN terapung
bisa diminimalisir dan tidak mudah diprovokasi oleh kalangan anti-nuklir.
Keunggulan-keunggulan di atas menunjukkan bahwa PLTN
terapung sangat potensial untuk menyediakan listrik yang murah, bersih, selamat
dan handal bagi penduduk Indonesia khususnya di luar Jawa, di daerah-daerah kepulauan
dan wilayah yang sulit dijangkau lewat darat. Semoga dalam waktu tidak terlalu
lama, kita bisa mengembangkannya sendiri menggunakan teknologi reaktor nuklir
termutakhir, sehingga pemanfaatannya jadi lebih optimal untuk berbagai
keperluan.
Bahan bacaan:
- John Morgan. Zero emission synfuel from seawater. URL: (https://bravenewclimate.com/2013/01/16/zero-emission-synfuel-from-seawater/)
- Kang Heon Lee. 2015. Recent Advances in Ocean Nuclear Power Plants. Energies 8: 11470-11492.
- Muhammad Rizki Oktavian, Diana Febrita, Mansur Maturidi Arief. 2018. Cogeneration Power-Desalination in Small Modular Reactors (SMRs) for Load Following in Indonesia. Unpublished.
- S. Banoori, M.H. Subkti, F. Reitsma. 2016. Advances in Small Modular Reactor Technology Developments. Vienna: IAEA.
- World Nuclear News. Russia loads fuel into floating power plant. URL: (http://www.world-nuclear-news.org/Articles/Russia-loads-fuel-into-floating-power-plant)
0 comments:
Post a Comment