Thursday, 4 October 2018

Enam Keunggulan PLTN Terapung Untuk Indonesia


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)

Aslinya saya tidak begitu tertarik dengan prospek PLTN terapung, karena saya pikir, "Kalau masih bisa bangun PLTN di darat, kenapa harus bangun di atas kapal?"

Lalu, pasca kejadian gempa berulang yang terjadi belakangan ini, juga setelah mempertimbangkan lebih detail soal geografi Indonesia, saya pikir konsep PLTN terapung jadi terlihat lebih menarik.

Sebenarnya PLTN terapung itu ada beberapa jenis. Namun, yang saya sorot di sini adalah offshore nuclear power plant (ONPP). PLTN terapung jenis ini memiliki reaktor nuklir (tunggal, ganda, empat unit, terserah desainernya) dan turbin-generator pembangkit listrik yang dipasang di dalam kapal. Listrik yang dibangkitkan oleh PLTN ini dapat digunakan untuk menggerakkan kapal dari dan menuju ke tempat tujuan penggunaan dan, tentu saja, mengalirkan listrik ke jaringan listrik di tempat tujuan.

PLTN yang dipasang di kapal sebenarnya bukan konsep baru. Rusia sudah sejak lama menggunakan reaktor nuklir untuk propulsi kapal pemecah es. Namun, ide ini kemudian berkembang untuk menyuplai listrik ke jaringan listrik darat menggunakan reaktor nuklir yang terpasang di kapal.

Ada beberapa keunggulan dari penggunaan PLTN terapung untuk wilayah Indonesia. Pertama, karena dipasang di atas kapal, maka kendala-kendala tentang pembebasan lahan praktis tidak ada. Cuma butuh sambungan ke jaringan listrik saja. Isu fault tektonik yang menjadi perhatian dalam pembangunan PLTN pun secara otomatis lenyap. Gempa tidak lagi menjadi persoalan.

Kedua, PLTN terapung bisa menjangkau kawasan-kawasan kepulauan kecil dan wilayah yang sulit dijangkau melalui darat seperti beberapa kawasan di Papua. Karena PLTN terapung sudah dibangun dan terpasang di kapal sejak sebelum pemberangkatan, tidak ada pembangunan yang perlu dilakukan di kepulauan kecil dan wilayah yang sulit terjangkau tersebut selain fasilitas sambungan jaringan listrik. Jauh lebih memudahkan daripada harus membangun pembangkit di lokasi.

Tidak hanya itu, kebutuhan bahan bakar nuklir sedikit dan siklus operasinya panjang, sekitar 24-36 bulan. Jadi, bahan bakar untuk 10-20 tahun operasi dapat dimuat di dalam kapal. Atau, untuk alasan keamanan, baru dikirim ke lokasi menjelang akhir siklus bahan bakarnya. Sehingga, suplai bahan bakar sama sekali bukan masalah bagi PLTN terapung, tidak seperti PLTU atau PLTG.

Ketiga, PLTN terapung umumnya memiliki daya kecil, antara 40-120 MWe. Itu cukup untuk daerah-daerah luar Jawa yang notabene kebutuhan listriknya tidak sebanyak di Jawa. Membangun PLTN darat dengan daya lebih dari 250 MWe jelas sebuah pemborosan yang tidak perlu, jadi PLTN terapung memiliki skala rentang daya lebih pas.

Keempat, lebih selamat dari tsunami. Sifat gelombang tsunami adalah baru mulai meninggi ketika mencapai air dangkal, tapi di air yang lebih dalam nyaris tidak terasa. Karena panjang gelombang tsunami di permukaan laut dalam sangat panjang, amplitudonya jadi kecil. Sehingga, PLTN terapung yang doknya berada di permukaan laut dalam tidak akan terpengaruh oleh gelombang tsunami.

Saya bukan pakar dalam kegempaan, tapi barangkali eksistensi PLTN terapung bisa membantu dalam peringatan dini tsunami. Sistem instrumentasi pendeteksi dini tsunami bisa dipasang di PLTN terapung. Karena tidak ada masyarakat yang bisa begitu saja naik ke atas kapal pengangkut PLTN ini, vandalisme dan pencurian terhadap komponen sistem peringatan dini tsunami bisa dikatakan tidak akan terjadi. Tapi ini butuh konfirmasi dari pakar di bidangnya.

Kelima, PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air laut. Hal ini penting untuk wilayah-wilayah yang sering kekurangan air bersih. Selain membangkitkan listrik, panas buangan dari PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air laut, menghasilkan air bersih yang layak digunakan untuk keperluan sehari-hari masyarakat.

Ke depannya, selain desalinasi air laut, PLTN terapung berpotensi juga memproduksi bahan bakar sintetis. Jadi, PLTN terapung digunakan untuk hidrolisis air dan memisahkan CO2 dari air laut. Hidrogen dan CO2 yang dihasilkan kemudian disintetis untuk menghasilkan bahan bakar mirip bensin untuk keperluan transportasi. Keunggulan dari bahan bakar sintetis ini adalah netral emisi CO2 dan tidak ada kontamintasi pengotor.

Keenam, level keselamatan tinggi. Kontras dengan asumsi sebagian orang ketika pertama mendengar PLTN terapung, tingkat keselamatannya tidak berkurang, malah mungkin lebih baik. Setidaknya, dari segi termohidrolik. Karena posisinya berada di atas permukaan laut, PLTN terapung memiliki akses pendingin yang secara praktis tidak terbatas. Air laut menjadi heat sink alami bagi reaktor nuklirnya. Ketika misalnya terjadi overheating, pendinginan reaktor dapat dilakukan tanpa harus khawatir kekurangan suplai pendingin eksternal.

Bagaimana kalau terjadi sebuah skenario tidak diinginkan yang menyebabkan kapalnya tenggelam? Bahan bakar nuklir akan tetap tersegel di dalam reaktor. Lalu, air laut secara otomatis akan mendinginkan reaktor sehingga pelelehan bahan bakar dapat dicegah (kecuali reaktor nuklir yang bahan bakarnya berbentuk lelehan, maka bahan bakarnya akan memadat, yang juga berita bagus). Ketiadaan pelelehan menyebabkan pelepasan radioaktivitas akan sangat minim, kalau bukan tidak ada. Air laut tidak akan terkontaminasi material radioaktif dari reaktor nuklir yang tenggelam.

Rusia dan Cina tengah mengembangkan PLTN terapung tipe ONPP. Akademik Lomonosov, kapal bertenaga nuklir desain Rusia, diproyeksikan menjadi PLTN terapung pertama di dunia. Saat ini, Akademik Lomonosov telah melakukan pemuatan bahan bakar di dalam unit reaktor nuklir gandanya, siap diberangkatkan akhir tahun ini atau awal tahun depan ke Pevek, kota paling utara di Rusia.

Namanya teknologi, pasti ada saja kekurangannya. Karena tidak ada perimeter seperti di PLTN darat, sistem proteksi fisik PLTN terapung harus lebih diperhatikan. Masalah proteksi fisik sebaiknya juga dikoordinasikan dengan TNI. Perawatan pun mengharuskan si kapal dibawa kembali ke pabrikannya, walau memang jadwal perawatannya tidak sering. Masalah keselamatan radiasi juga mesti disosialisasikan dengan baik pada nelayan-nelayan yang melaut di sekitar sana, jika ada. Tujuannya supaya resistensi masyarakat sekitar terhadap PLTN terapung bisa diminimalisir dan tidak mudah diprovokasi oleh kalangan anti-nuklir.

Keunggulan-keunggulan di atas menunjukkan bahwa PLTN terapung sangat potensial untuk menyediakan listrik yang murah, bersih, selamat dan handal bagi penduduk Indonesia khususnya di luar Jawa, di daerah-daerah kepulauan dan wilayah yang sulit dijangkau lewat darat. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama, kita bisa mengembangkannya sendiri menggunakan teknologi reaktor nuklir termutakhir, sehingga pemanfaatannya jadi lebih optimal untuk berbagai keperluan.

Bahan bacaan:
  1. John Morgan. Zero emission synfuel from seawater. URL: (https://bravenewclimate.com/2013/01/16/zero-emission-synfuel-from-seawater/)
  2. Kang Heon Lee. 2015. Recent Advances in Ocean Nuclear Power Plants. Energies 8: 11470-11492.
  3. Muhammad Rizki Oktavian, Diana Febrita, Mansur Maturidi Arief. 2018. Cogeneration Power-Desalination in Small Modular Reactors (SMRs) for Load Following in Indonesia. Unpublished.
  4. S. Banoori, M.H. Subkti, F. Reitsma. 2016. Advances in Small Modular Reactor Technology Developments. Vienna: IAEA.
  5. World Nuclear News. Russia loads fuel into floating power plant. URL: (http://www.world-nuclear-news.org/Articles/Russia-loads-fuel-into-floating-power-plant)




0 comments:

Post a Comment