Oleh: Dessy Maulidina
Nuklir bukanlah sebuah kata yang asing bagi
umat manusia. Energi nuklir telah dimanfaatkan di alam raya selama
bermilyar-milyar tahun semenjak kelahirannya. Sebagai contoh, reaksi fusi
nuklir yang membuat matahari serta bintang-bintang di jagat raya bercahaya.
Sayangnya, sejarah energi nuklir dimulai dari sisi kelam untuk menciptakan
senjata nuklir pemusnah masal. Kita tentu mengingat dengan sangat baik
bagaimana Amerika Serikat menggunakan energi nuklir pada perang dunia II untuk
mengembangkan bom berdasarkan reaksi fisi. Hasilnya, Jepang menyerah tanpa
syarat akibat dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada era perang
dingin, perlombaan senjata nuklir semakin gencar, terutama antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara super power dunia pada saat itu.
Nuklir tak ubahnya seperti benda lainnya yang
memiliki khasiat (sifat dan ciri khas). Misalnya, api diciptakan dengan khasiat
membakar, sedangkan pada kayu terdapat khasiat terbakar. Pada pisau terdapat
khasiat memotong dan lain sebagainya. Allah swt. telah menjadikan
khasiat-khasiat tersebut bersifat baku sesuai dengan nidzamul wujud (sunnatullah, peraturan alam yang ditetapkan Allah)
yang tidak bisa dilanggar lagi. Khasiat pada benda, baik pada nuklir maupun
benda lain memiliki qabiliyah
(potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan maupun untuk
berbuat kejahatan. Jadi, baik ataupun buruknya penggunaan nuklir sesungguhnya
tergantung kepada manusia yang menggunakannya. Karena nuklir memiliki khasiat
yang dapat membawa kebaikan pada manusia dan begitupula sebaliknya.
Jika dimanfaatkan untuk kebaikan, energi nuklir
memiliki peran yang sangat penting bagi kesejahteraan manusia, terutama untuk
mengatasi tantangan pemenuhan kebutuhan pokok manusia akan sumber energi yang
bersih akibat adanya pemanasan global. Pemanasan global yang semakin meningkat
setiap tahunnya mengakibatkan naiknya temperatur bumi karena terjadinya efek
rumah kaca akibat bertambahnya emisi gas karbondioksida (CO2),
sulfurdioksida (SO2), metana (CH4), nitro-oksida (NOx),
dan CFC di atas permukaan bumi. Penyebab pemanasan global ini tak lain adalah
karena penggunaan energi tidak ramah lingkungan yang digunakan dalam berbagai
sektor industri maupun transportasi.
Ketergantungan pada penyediaan tenaga listrik
berbasis energi fosil, menempatkan batubara menjadi pemasok energi terbesar
untuk memenuhi kebutuhan ini. Penggunaan listrik dari pembangkit listrik
berbahan batubara melepaskan sejumlah besar emisi karbon dioksida ke atmosfer. Berdasarkan
hasil proyeksi kebutuhan listrik dari tahun 2003 s.d. 2020 yang dilakukan Dinas
Perencanaan Sistem PT PLN (Persero) dan Tim Energi BPPT, diketahui bahwa selama
kurun waktu tersebut rata-rata kebutuhan listrik di Indonesia tumbuh sebesar
6,5% per tahun dengan pertumbuhan listrik di sektor komersial yang tertinggi,
yaitu sekitar 7,3% per tahun dan disusul sektor rumah tangga dengan pertumbuhan
kebutuhan listrik sebesar 6,9% per tahun. Dengan meningkatnya kebutuhan pasokan
listrik di Indonesia setiap tahunnya, maka hal ini akan berdampak pada semakin
banyaknya penggunaan batubara untuk menyediakan kebutuhan tersebut dan pada
akhirnya akan mengakibatkan semakin meningkatnya emisi gas karbon dioksida di
atas permukaan bumi.
Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil memberikan dampak pada polusi
gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil.
Pemakaian energi nuklir sebagai sumber bahan bakar sesungguhnya mampu
mengurangi polutan CO2 sampai 8 %. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangkit listrik tenaga nuklir dipersepsikan sebagai sumber energi ramah
lingkungan karena energi nuklir tidak melepaskan debu yang mengandung logam
berat dan gas buangan ke lingkungan. Penggunaan energi nuklir sebagai bahan
bakar pembangkit listrik saat ini telah menyumbang 16% dari kebutuhan listrik
dunia dengan didukung beroperasinya 439 PLTN dengan kapasitas total sekitar
360.064 Gwe.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bekerja tidak ubahnya seperti
prinsip kerja dari sebuah pembangkit listrik tenaga uap yang memanfaatkan
pembakaran minyak, gas alam atau batubara untuk memanaskan air menjadi uap.
Perbedaan utama antara PLTN dengan pembangkit listrik konvensional adalah
terletak pada penggunaan bahan bakar yang akan menghasilkan panas. Kebanyakan
PLTN saat ini menggunakan uranium sebagai bahan bakar dan menghasilkan panas
sebagai akibat reaksi fisi berantai. Sedangkan pembakaran bahan bakar fosil
dilakukan melalui reaksi kimia. Energi yang dihasilkan dari pembakaran batubara
dapat dituliskan sebagai berikut:
C + O2 --> CO2 + 2 eV
Energi yang dilepas adalah 2 eV dalam bentuk energi kinetik CO2 yang relatif kecil dibandingkan
hasil reaksi fisi. Sebagai perbandingan, dalam 1 gram U-235 terdapat 25,6 × 1020
atom. Setiap atom dalam reaksi fisi melepaskan energi sebesar 200 MeV,
sehingga 1 gram 235U dapat melepas energi sebesar 51,2 × 1022 MeV
atau 81,92 × 10 9 Joule (1 MeV = 1,6 × 10-13 J). Secara
teoritis energi panas yang dikeluarkan dari reaksi pembelahan 1 kg U-235 setara
dengan energi pembakaran 2400 ton batubara. Selain itu dalam pengoperasiannya, pembangkit
listrik berbahan bakar fosil menghasilkan polutan dan gas CO2, SO2
atau NOx yang dapat menimbulkan hujan asam dan peningkatan pemanasan
global. Sedangkan PLTN dianggap ramah lingkungan karena tidak membebaskan asap
atau debu yang mengandung logam berat yang dibuang ke lingkungan.
Pemanasan global yang kian parah dari tahun ke
tahun sudah sewajarnya menjadikan nuklir sebagai salah satu energi terbarukan
yang dapat dipergunakan semaksimal mungkin potensinya demi kesejahteraan manusia,
khususnya sebagai sumber energi listrik ramah lingkungan karena efektivitas dan
efisiensi energi yang dihasilkan. Pemanfaatan energi nuklir dengan cara
pengoperasian dan pengelolaan yang baik tentu akan membuahkan hasil yang
maksimal bagi persediaan sumber energi listrik dan dapat meminimalisir
kesalahan-kesalahan yang tidak diinginkan.
0 comments:
Post a Comment