Tuesday, 2 October 2018

Catatan Terkait Renewables dan Nuklir Dari ICES 2018


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)

Selasa 25 September, saya menghadiri International Conference on Energy Science (ICES) yang diadakan di ITB, Bandung. Salah satu keynote speaker yang dihadirkan adalah Pak Tumiran, mantan dekan Fakultas Teknik UGM sekaligus anggota Dewan Energi Nasional (DEN). Berdasarkan pengamatan dan diskusi sejak zaman masih kuliah, saya tahu bahwa DEN itu bisa dikatakan anti-nuklir. Jadi saya penasaran dengan apa yang disampaikan beliau ini.

Namun, presentasinya ternyata agak normatif, walaupun memang lebih banyak membahas soal renewable daripada nuklir. Karena itu, di sesi tanya jawab, saya melontarkan tiga pertanyaan, yang intinya kurang lebih sebagai berikut.

1. Bagaimana ide untuk mengakali sifat renewable yang intermiten? Mengingat matahari tidak selalu bersinar dan angin tidak selalu berembus.
2. Jika bauran renewable sudah cukup tinggi, bagaimana caranya mengatasi duck curve sebagaimana yang terjadi di California?
3. Bagaimana mekanismenya renewable bisa menurunkan emisi karbon? Mengingat Jerman meninggalkan nuklir dan beralih ke renewable tapi mereka dipastikan gagal memenuhi target reduksi emisi pada tahun 2020?

Sebagaimana bisa diduga, Pak Tumiran tidak menjawab sebagaimana yang diharapkan. Jawabannya bersifat normatif dan, menurut teman saya, ‘menghindari debat kusir’. Bisa dipahami, mengingat forum seperti ini memang tidak cocok untuk menjadi tempat perdebatan. Namun, dari jawaban-jawaban beliau, saya mencatat beberapa hal yang cukup krusial.

Pertama, salah satu masalah dari lambannya penerapan energi nuklir di Indonesia ada pada dukungan di pemerintahan yang minim. Jarang ada yang mau bersuara untuk nuklir, sehingga akhirnya yang dipilih adalah batubara, yang notabene tersedia dalam jumlah cukup besar dan industrinya sudah established.

Saya sejak lama berpikir bahwa dukungan terhadap nuklir, bagi kalangan pemerintahan, merupakan sikap yang tidak populer. Bisa saja sikap itu membuat mereka kehilangan dukungan publik, yang dalam sistem demokrasi periodik lima tahun sekali, akan mengancam peluang mereka untuk bertahan dalam jabatannya. Hal ini mesti menjadi sorotan tersendiri, tentu saja.

Kedua, kebijakan energi Indonesia tidak menaruh perhatian serius pada persoalan perubahan iklim. Alasannya klasik: Indonesia butuh energi. Tahun 2050, diharapkan konsumsi energi Indonesia mencapai 1000 MTOE dan konsumsi listrik per kapita mencapai 7000 kWh. Sebagai perbandingan, saat ini konsumsi listrik Indonesia berkisar 1000 kWh per kapita.

Kenapa Indonesia butuh energi? Karena Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi. Tujuannya? Untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sumber energi yang paling mudah diakses? Batubara.

Jadi, bahasa kasarnya, persetan dengan masalah iklim. Yang penting pembangkitan energi di Indonesia memenuhi target dulu. Jadi, menggunakan bahasa Pak Tumiran, tidak apa-apa membakar batubara dulu. Polusi, ya itu risiko. Emisi CO2 juga. Nanti kalau sudah maju, barulah pelan-pelan diturunkan emisinya.

Kenapa logika seperti ini yang dipakai? Mungkin karena anggapannya negara-negara maju lain, seperti Inggris Raya dan Amerika Serikat, juga melakukan hal yang sama. Namun, dalam konteks kekinian, logika seperti ini bermasalah, dan termasuk yang agak saya khawatirkan.

Dulu, ketika negara-negara maju mulai membakar batubara untuk membangun industri, kesadaran tentang perubahan iklim belum begitu kentara, kalau bukan nyaris tidak ada sama sekali. Meskipun Svante Arrhenius sudah memprediksinya sejak akhir abad 19, suaranya nyaris tidak bergaung sama sekali. Global warming awareness baru mulai terdengar pada tahun 1988, ketika Dr. James Hansen, atmospheric scientist NASA, mengungkapkannya pada pertemuan dengan Senat Amerika Serikat. Barulah sejak saat itu, orang-orang mulai sadar akan bahaya pemanasan global dan perubahan iklim.

Jadi, kesadaran akan potensi bahaya perubahan iklim baru muncul jauh setelah negara-negara Barat merevolusi industrinya menggunakan energi fosil.

Sekarang, kesadaran tentang urgensitas mitigasi perubahan iklim sudah terbentuk. Potensi bahaya perubahan iklim sudah diketahui. Dampaknya pun sudah mulai terasa. Pertanyaannya, setelah semua ini, apakah etis kalau kita masih menggunakan logika yang sama dengan yang dilakukan negara-negara Barat dahulu? Bukankah merupakan sebuah keegoisan, mengorbankan seisi planet hanya demi kepentingan nasional?

Masalah perubahan iklim adalah masalah global. Tidak selayaknya masalah ini dibiarkan berlarut-larut hanya karena egoisme negara-bangsa. Karena kita hidup di bawah atmosfer yang sama, di atas permukaan bumi yang sama.

Kalau mau, contohlah Prancis. Ketika mereka beralih ke nuklir pada tahun 1970-an, mereka tidak berpikir soal perubahan iklim. Mereka hanya peduli soal keamanan energi. Tapi, keputusan ini justru menjadikan Prancis sebagai salah satu negara dengan emisi karbon paling rendah di sektor kelistrikan!

Batubara bukan satu-satunya opsi untuk meningkatkan taraf ekonomi. Nuklir adalah pilihan yang lebih baik. Tidak bisa kita berkata “tidak apa-apa membakar batubara terlebih dahulu” kalau itu artinya mengorbankan planet ini!

Ketiga, dalam menanggapi pertanyaan saya soal sifat intermiten renewables, Pak Tumiran jelas menyiratkan bahwa renewables butuh backup berupa pembangkit listrik lain, entah batubara atau gas alam. Artinya apa? Bahwa pihak DEN sendiri (atau setidaknya, Pak Tumiran) memang menyadari limitasi renewables, sehingga tidak bisa difungsikan sebagai pengganti energi fosil. Saya tidak yakin beliau mengatakan sesuatu tentang energy storage atau tidak, yang jelas disebutkan hanya soal pembangkit lain sebagai backup.

Setidaknya, itu mengonfirmasi pemikiran saya sejak lama. Renewables can’t do things by itself. Sifatnya yang diffuse dan intermiten membuatnya menjadi alternatif yang buruk untuk energi fosil dan hanya cocok untuk daerah pedalaman yang tidak tersambung dengan jaringan listrik. Hal ini membuat saya mempertanyakan apa esensinya membangun pembangkit listrik energi bayu dan surya dalam skala besar, misalnya PLTB Sidrap dan rencana PLTS Citara, karena toh keduanya tidak akan bisa membangkitkan listrik secara reliabel tanpa di-backup dengan pembangkit lain.

Yang keempat ini agak menarik, karena mirip dengan apa yang pernah saya dengar dari mendiang Prof. David MacKay ketika menyampaikan bukunya di MIT. Soal kultur “mengatakan tidak pada semuanya”. Pakai ini tidak mau, pakai itu tidak mau. Misalnya begini. Pakai batubara, tidak mau polusi. Pakai nuklir, tidak mau risiko kecelakaan dan limbah. Pakai energi surya dan bayu, tidak mau listrik putus-putus. Pakai Diesel dan gas alam, tidak mau listrik mahal. Lantas kalau sudah begini, maunya pakai apa?

Artinya, masyarakat tidak boleh terus menerus mengatakan “tidak” pada semua hal. Masyarakat harus memilih salah satu. Mau yang jelas-jelas melepaskan polusi dan menyebabkan perubahan iklim atau yang bahayanya cuma isu saja? Mau yang suplai listriknya putus-putus atau yang kontinu?

Logika sehat manapun pasti mau pembangkit listrik yang bersih dan suplainya selalu ada tiap saat. Dan moda energi yang bisa memenuhinya adalah nuklir. Maka, bukankah sudah seharusnya masyarakat mengatakan “YA” pada nuklir?

Kelima, Pak Tumiran mengakui bahwa renewables yang bisa digunakan untuk menggantikan energi fosil hanya energi hidro dan energi panas bumi. Energi hidro berkurang kapasitasnya ketika musim kemarau, tapi setidaknya bisa diprediksi. Energi panas bumi sendiri eksploitasinya sering mendapatkan halangan dari masyarakat setempat. Saya sendiri tidak memungkiri bahwa sebagian potensi panas bumi memang tidak seharusnya dieksploitasi, misalnya di Gunung Slamet. Itu belum soal fakta bahwa potensi energi hidro dan panas bumi terbatas.

Artinya, potensi renewables untuk menggantikan energi fosil memang sangat terbatas. Mengingat, implikasi dari pernyataan ini, energi surya dan bayu memang tidak bisa menggantikan energi fosil.

Terakhir, belum memadainya kesadaran dan dukungan terhadap energi nuklir di kalangan masyarakat dan pemerintahan seharusnya membuat kalangan nuklir untuk lebih vokal menyerukan betapa urgennya energi nuklir. Jangan menggunakan metode komunikasi yang memberi angin segar bagi kaum anti nuklir untuk semakin menekan nuklir. Tunjukkan berbagai keunggulan nuklir dan luruskan kesalahpahaman serta mitos tentang nuklir yang beredar di tengah masyarakat. Raih dukungan masyarakat dan pemegang kebijakan.

Dengan demikian, integrasi energi nuklir dalam jaringan listrik nasional dapat dipercepat dan syukur-syukur lebih besar daripada yang telah direncanakan selama ini. Karena sejujurnya, Indonesia membutuhkan energi nuklir jauh lebih banyak daripada yang telah direncanakan pemerintah maupun berbagai outlook energi.

Isu krisis energi, ketahanan energi dan perubahan iklim merupakan hal-hal yang wajib diperhatikan ketika merancang kebijakan jangka panjang. Kita tidak bisa lagi mengorbankan ketahanan energi dan perubahan iklim dengan alasan “pertumbuhan ekonomi” dan pemenuhan proyeksi kebutuhan energi dengan terus membakar batubara dan gas alam. Kita bisa mendapatkan keduanya menggunakan nuklir, lantas apa lagi alasan untuk tetap membakar energi fosil?

Plus, jangan menutup mata dari fakta bahwa renewables tidak bisa menggantikan energi fosil, sebagaimana tersirat dari pernyataan Pak Tumiran. Jangan biarkan hype tentang renewables mengalahkan logika sains dan engineering, bahwa menggunakan energi surya dan bayu hanya akan membawa peradaban manusia ke 100 tahun yang lalu.

0 comments:

Post a Comment