Selasa 25
September, saya menghadiri International
Conference on Energy Science (ICES) yang diadakan di ITB, Bandung. Salah
satu keynote speaker yang dihadirkan
adalah Pak Tumiran, mantan dekan Fakultas Teknik UGM sekaligus anggota Dewan
Energi Nasional (DEN). Berdasarkan pengamatan dan diskusi sejak zaman masih
kuliah, saya tahu bahwa DEN itu bisa dikatakan anti-nuklir. Jadi saya penasaran
dengan apa yang disampaikan beliau ini.
Namun,
presentasinya ternyata agak normatif, walaupun memang lebih banyak membahas
soal renewable daripada nuklir.
Karena itu, di sesi tanya jawab, saya melontarkan tiga pertanyaan, yang intinya
kurang lebih sebagai berikut.
1. Bagaimana ide untuk mengakali
sifat renewable yang intermiten?
Mengingat matahari tidak selalu bersinar dan angin tidak selalu berembus.
2. Jika bauran renewable sudah cukup tinggi, bagaimana
caranya mengatasi duck curve sebagaimana
yang terjadi di California?
3. Bagaimana mekanismenya renewable bisa menurunkan emisi karbon?
Mengingat Jerman meninggalkan nuklir dan beralih ke renewable tapi mereka dipastikan gagal memenuhi target reduksi
emisi pada tahun 2020?
Sebagaimana bisa
diduga, Pak Tumiran tidak menjawab sebagaimana yang diharapkan. Jawabannya
bersifat normatif dan, menurut teman saya, ‘menghindari debat kusir’. Bisa
dipahami, mengingat forum seperti ini memang tidak cocok untuk menjadi tempat
perdebatan. Namun, dari jawaban-jawaban beliau, saya mencatat beberapa hal yang
cukup krusial.
Pertama, salah
satu masalah dari lambannya penerapan energi nuklir di Indonesia ada pada
dukungan di pemerintahan yang minim. Jarang ada yang mau bersuara untuk nuklir,
sehingga akhirnya yang dipilih adalah batubara, yang notabene tersedia dalam
jumlah cukup besar dan industrinya sudah established.
Saya sejak lama
berpikir bahwa dukungan terhadap nuklir, bagi kalangan pemerintahan, merupakan
sikap yang tidak populer. Bisa saja sikap itu membuat mereka kehilangan
dukungan publik, yang dalam sistem demokrasi periodik lima tahun sekali, akan
mengancam peluang mereka untuk bertahan dalam jabatannya. Hal ini mesti menjadi
sorotan tersendiri, tentu saja.
Kedua, kebijakan
energi Indonesia tidak menaruh perhatian serius pada persoalan perubahan iklim.
Alasannya klasik: Indonesia butuh energi. Tahun 2050, diharapkan konsumsi
energi Indonesia mencapai 1000 MTOE dan konsumsi listrik per kapita mencapai
7000 kWh. Sebagai perbandingan, saat ini konsumsi listrik Indonesia berkisar
1000 kWh per kapita.
Kenapa Indonesia
butuh energi? Karena Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi. Tujuannya? Untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sumber energi yang paling mudah diakses?
Batubara.
Jadi, bahasa
kasarnya, persetan dengan masalah iklim. Yang penting pembangkitan energi di
Indonesia memenuhi target dulu. Jadi, menggunakan bahasa Pak Tumiran, tidak
apa-apa membakar batubara dulu. Polusi, ya itu risiko. Emisi CO2
juga. Nanti kalau sudah maju, barulah pelan-pelan diturunkan emisinya.
Kenapa logika
seperti ini yang dipakai? Mungkin karena anggapannya negara-negara maju lain,
seperti Inggris Raya dan Amerika Serikat, juga melakukan hal yang sama. Namun,
dalam konteks kekinian, logika seperti ini bermasalah, dan termasuk yang agak
saya khawatirkan.
Dulu, ketika
negara-negara maju mulai membakar batubara untuk membangun industri, kesadaran
tentang perubahan iklim belum begitu kentara, kalau bukan nyaris tidak ada sama
sekali. Meskipun Svante Arrhenius sudah memprediksinya sejak akhir abad 19,
suaranya nyaris tidak bergaung sama sekali. Global
warming awareness baru mulai terdengar pada tahun 1988, ketika Dr. James
Hansen, atmospheric scientist NASA,
mengungkapkannya pada pertemuan dengan Senat Amerika Serikat. Barulah sejak
saat itu, orang-orang mulai sadar akan bahaya pemanasan global dan perubahan
iklim.
Jadi, kesadaran
akan potensi bahaya perubahan iklim baru muncul jauh setelah negara-negara
Barat merevolusi industrinya menggunakan energi fosil.
Sekarang,
kesadaran tentang urgensitas mitigasi perubahan iklim sudah terbentuk. Potensi
bahaya perubahan iklim sudah diketahui. Dampaknya pun sudah mulai terasa.
Pertanyaannya, setelah semua ini, apakah etis kalau kita masih menggunakan
logika yang sama dengan yang dilakukan negara-negara Barat dahulu? Bukankah
merupakan sebuah keegoisan, mengorbankan seisi planet hanya demi kepentingan
nasional?
Masalah
perubahan iklim adalah masalah global. Tidak selayaknya masalah ini dibiarkan
berlarut-larut hanya karena egoisme negara-bangsa. Karena kita hidup di bawah atmosfer yang sama, di atas permukaan bumi
yang sama.
Kalau mau,
contohlah Prancis. Ketika mereka beralih ke nuklir pada tahun 1970-an, mereka
tidak berpikir soal perubahan iklim. Mereka hanya peduli soal keamanan energi.
Tapi, keputusan ini justru menjadikan Prancis sebagai salah satu negara dengan
emisi karbon paling rendah di sektor kelistrikan!
Batubara bukan
satu-satunya opsi untuk meningkatkan taraf ekonomi. Nuklir adalah pilihan yang
lebih baik. Tidak bisa kita berkata “tidak apa-apa membakar batubara terlebih
dahulu” kalau itu artinya mengorbankan planet ini!
Ketiga, dalam
menanggapi pertanyaan saya soal sifat
intermiten renewables, Pak Tumiran
jelas menyiratkan bahwa renewables butuh
backup berupa pembangkit listrik
lain, entah batubara atau gas alam. Artinya apa? Bahwa pihak DEN sendiri (atau
setidaknya, Pak Tumiran) memang menyadari limitasi renewables, sehingga tidak bisa difungsikan sebagai pengganti
energi fosil. Saya tidak yakin beliau mengatakan sesuatu tentang energy storage atau tidak, yang jelas
disebutkan hanya soal pembangkit lain sebagai backup.
Setidaknya, itu
mengonfirmasi pemikiran saya sejak lama. Renewables
can’t do things by itself. Sifatnya yang diffuse dan intermiten membuatnya menjadi alternatif yang buruk
untuk energi fosil dan hanya cocok untuk daerah pedalaman yang tidak tersambung
dengan jaringan listrik. Hal ini membuat saya mempertanyakan apa esensinya
membangun pembangkit listrik energi bayu dan surya dalam skala besar, misalnya
PLTB Sidrap dan rencana PLTS Citara, karena toh keduanya tidak akan bisa
membangkitkan listrik secara reliabel tanpa di-backup dengan pembangkit lain.
Yang keempat ini
agak menarik, karena mirip dengan apa yang pernah saya dengar dari mendiang
Prof. David MacKay ketika menyampaikan bukunya di MIT. Soal kultur “mengatakan
tidak pada semuanya”. Pakai ini tidak mau, pakai itu tidak mau. Misalnya
begini. Pakai batubara, tidak mau polusi. Pakai nuklir, tidak mau risiko
kecelakaan dan limbah. Pakai energi surya dan bayu, tidak mau listrik putus-putus.
Pakai Diesel dan gas alam, tidak mau listrik mahal. Lantas kalau sudah begini,
maunya pakai apa?
Artinya,
masyarakat tidak boleh terus menerus mengatakan “tidak” pada semua hal.
Masyarakat harus memilih salah satu. Mau yang jelas-jelas melepaskan polusi dan
menyebabkan perubahan iklim atau yang bahayanya cuma isu saja? Mau yang suplai
listriknya putus-putus atau yang kontinu?
Logika sehat
manapun pasti mau pembangkit listrik yang bersih dan suplainya selalu ada tiap
saat. Dan moda energi yang bisa memenuhinya adalah nuklir. Maka, bukankah sudah
seharusnya masyarakat mengatakan “YA” pada nuklir?
Kelima, Pak
Tumiran mengakui bahwa renewables yang
bisa digunakan untuk menggantikan energi fosil hanya energi hidro dan energi
panas bumi. Energi hidro berkurang kapasitasnya ketika musim kemarau, tapi
setidaknya bisa diprediksi. Energi panas bumi sendiri eksploitasinya sering
mendapatkan halangan dari masyarakat setempat. Saya sendiri tidak memungkiri
bahwa sebagian potensi panas bumi memang tidak seharusnya dieksploitasi,
misalnya di Gunung Slamet. Itu belum soal fakta bahwa potensi energi hidro dan
panas bumi terbatas.
Artinya, potensi
renewables untuk menggantikan energi
fosil memang sangat terbatas. Mengingat, implikasi dari pernyataan ini, energi surya
dan bayu memang tidak bisa menggantikan energi fosil.
Terakhir, belum
memadainya kesadaran dan dukungan terhadap energi nuklir di kalangan masyarakat
dan pemerintahan seharusnya membuat kalangan nuklir untuk lebih vokal menyerukan
betapa urgennya energi nuklir. Jangan menggunakan metode komunikasi yang memberi
angin segar bagi kaum anti nuklir untuk semakin menekan nuklir. Tunjukkan berbagai
keunggulan nuklir dan luruskan kesalahpahaman serta mitos tentang nuklir yang
beredar di tengah masyarakat. Raih dukungan masyarakat dan pemegang kebijakan.
Dengan demikian,
integrasi energi nuklir dalam jaringan listrik nasional dapat dipercepat dan
syukur-syukur lebih besar daripada yang telah direncanakan selama ini. Karena sejujurnya,
Indonesia membutuhkan energi nuklir jauh lebih banyak daripada yang telah
direncanakan pemerintah maupun berbagai outlook
energi.
Isu krisis
energi, ketahanan energi dan perubahan iklim merupakan hal-hal yang wajib
diperhatikan ketika merancang kebijakan jangka panjang. Kita tidak bisa lagi mengorbankan
ketahanan energi dan perubahan iklim dengan alasan “pertumbuhan ekonomi” dan
pemenuhan proyeksi kebutuhan energi dengan terus membakar batubara dan gas
alam. Kita bisa mendapatkan keduanya menggunakan nuklir, lantas apa lagi alasan
untuk tetap membakar energi fosil?
Plus, jangan menutup
mata dari fakta bahwa renewables tidak
bisa menggantikan energi fosil, sebagaimana tersirat dari pernyataan Pak Tumiran.
Jangan biarkan hype tentang renewables mengalahkan logika sains dan engineering, bahwa menggunakan energi
surya dan bayu hanya akan membawa peradaban manusia ke 100 tahun yang lalu.
0 comments:
Post a Comment