Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer, sudah kenyang makan pertanyaan soal keselamatan reaktor nuklir)
Masalah yang
muncul dalam penerimaan atau penolakan sebuah produk saintek itu mayoritas
bukan soal tingkat keselamatan produk itu sendiri, tapi soal cara berpikir
masyarakat tentang keselamatan sebuah produk saintek. Kenapa? Masyarakat umum/awam
biasanya meminta sebuah produk saintek itu 100% selamat, tidak ada risiko sama
sekali.
Apa itu
mungkin? Absolutely impossible. Semua hal di dunia ini memiliki risiko, dan kemungkinan
besar satu atau lebih dari deretan risiko tersebut dapat terwujud. Orang bernapas
saja berisiko kematian, misalnya ketika bernapas di dekat jalan raya. Begitu
pula naik kendaraan bermotor, makan di McDonald, menelepon pakai ponsel, membakar
api unggun, sampai membangun PLTN. Semua memiliki risiko.
Maka
pertanyaannya bukan “apakah produk saintek ini bebas risiko?”, melainkan “seberapa
besar risiko yang dapat disebabkan
oleh produk saintek ini?”. Penilaian risiko WAJIB bersifat kuantitatif, bukan
kualitatif. Pakai angka, bukan retorika. Cuma karena tidak terlihat oleh mata,
bukan berarti tidak ada. Cuma karena ada di depan mata, bukan berarti di semua
tempat sama. Berpikirnya harus integral-holistik. Secara keseluruhan dan terkait
satu sama lain.
In a
nutshell, risiko itu dampak x
probabilitas. Seberapa besar kemungkinan sesuatu itu akan terjadi, dan
seberapa besar dampaknya jika sesuatu itu benar-benar terjadi. Risiko bukan sesuatu
yang berdiri sendiri.
Jika suatu
produk saintek terbukti memiliki nilai risiko yang rendah, sementara manfaatnya
bagi masyarakat sangat besar, maka apa alasan untuk menolak pemakaiannya? Benefit outweigh risk, itu kunci
pemanfaatan produk saintek. Dan itulah yang membuat perkembangan teknologi dan
pemanfaatannya bisa semaju sekarang dan membantu kehidupan manusia menjadi lebih
baik.
Lucunya,
masyarakat seringkali tidak adil dalam menilai risiko. Berkendara di jalan raya
tanpa helm itu memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan, tapi masih banyak
yang tidak peduli. Padahal, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia
tiap hari mencapai lebih dari 100 orang. Tapi ketika disodori vaksin sebagai
metode perlindungan terhadap wabah, langsung teriak-teriak soal vaksin bahaya
dan KIPI dan sebagainya, padahal risikonya jauh lebih rendah daripada menggunakan
kendaraan bermotor!
Bingung? Sama.
Kadang-kadang orang menerapkan standar ganda tanpa dia sadari.
Pemanfaatan
produk saintek harus diawasi? Betul, tapi siapa yang berhak mengawasi? Orang awam?
Jelas bukan. Apa kapabilitas dan kredibilitas mereka untuk mengawasi
pemanfaatan produk saintek? Tidak ada. Maka tidak perlu seluruh masyarakat
untuk mengawasi pemanfaatannya. Cukup mereka-mereka yang memiliki kapabilitas saja
yang menjadi pengawas. Jadi biar tidak jadi rusuh di tengah masyarakat.
Syaikh
Taqiyuddin An Nabhani pernah menulis bahwa manusia itu bangkit atau runtuh
bergantung pada persepsi/pemahamannya. Nah, kalau pemahaman masyaarkat terhadap
penilaian risiko masih salah, sehingga salah dalam menyikapi sebuah produk saintek,
ya wassalam. Berarti memang mentalitas masyarakatnya masih terbelakang. Dan ini
yang harus diperbaiki.
Maka, kunci
agar penerapan/pemanfaatan produk saintek di tengah masyarakat bisa berlangsung
dengan baik adalah dengan memperbaiki
pemikiran masyarakat. Memperbaiki cara mereka melakukan penilaian risiko
keselamatan, sehingga resistensi bisa ditekan ke titik minimum dan jika sesuatu
terjadi mereka tidak panikan.
Menyikapi terjadinya
risiko dengan kepanikan tidak pernah berimbas baik. Penanganan kecelakaan PLTN
Fukushima Daiichi, misalnya. Kalau pemerintah dan masyarakat Jepang tidak
panikan, tidak akan ada ceritanya resistensi terhadap nuklir dan 1600 korban meninggal
akibat evakuasi yang tidak semestinya dilakukan. Termasuk juga terhadap isu adanya
KIPI. Kalau ditanggapi dengan panikan, program vaksinasi tidak akan berjalan lancar,
sehingga sangat menghambat pengentasan wabah.
0 comments:
Post a Comment