Tuesday, 19 February 2019

Feel-Good Movement Dalam Isu Limbah Plastik


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (pengamat energi dan lingkungan)
Isu plastik kembali menggejala di sebagian kalangan. Dampak limbah sedotan plastik terhadap biota laut seolah menjadi pelatuk yang membuat seruan-seruan untuk mengurangi penggunaan plastik. Bahkan beberapa restoran cepat saji pun sudah tidak lagi menyediakan sedotan untuk minuman. LSM-LSM lingkungan kembali mempropagandakan bahaya-bahaya limbah plastik terhadap lingkungan, sembari menawarkan alternatif lain yang lebih “hijau”. Misalnya menggunakan kantong belanja kain atau botol minum tidak sekali pakai.
Propaganda-propaganda itu diiringi dengan mantra-mantra memikat seperti “tidak ada yang sia-sia”, “no act is too small”, “dimulai dari yang kecil-kecil” dan sejenisnya. Ajakan pada masyarakat untuk memulai dari diri mereka sendiri, lalu berharap propaganda itu akan menyebar ke lebih banyak orang. Sejenis MLM opini. Mirip dengan yang terjadi pada momen Earth Hour.
Tidak ada yang salah dengan mengurangi konsumsi plastik. Hanya saja, ada dua persoalan utama dari gerakan-gerakan seperti ini. Pertama, seruan mengurangi konsumsi plastik tidak lebih dari feel-good movement. Mantra apapun yang dilontarkan para aktivis lingkungan, realitanya adalah seperti yang dinyatakan oleh mendiang Prof. David MacKay, “usaha yang kecil hanya akan menghasilkan sesuatu yang kecil pula”.
Tidak ada ceritanya usaha yang kecil akan pernah menghasilkan dampak yang besar. Berharap tindakan-tindakan kecil dapat menginspirasi masyarakat luas untuk bertindak serupa dan menghasilkan dampak signifikan sama logisnya dengan berharap bisa menguras danau dengan sendok. Mengedukasi dan menginspirasi publik pada akhirnya akan terhambat pada penerapan dalam skala besar.
Mengapa? Terganjal sistem.
Sulit, kalau bukan mustahil, membuat perubahan besar dalam pengelolaan plastik hanya berdasarkan inspirasi masyarakat belaka tanpa ditopang regulasi yang memadai dan sistem yang mendukung. Ketika masyarakat diedukasi untuk memisahkan jenis-jenis sampah, misalnya, tetapi ketika tong sampah tidak dipisahkan, lalu tidak ada payung regulasi jelas tentang pengelolaan limbah plastik, akhirnya semuanya kembali ke kebiasaan lama.
Ujung-ujungnya, propaganda mengurangi konsumsi plastik hanya akan berakhir menjadi feel-good movement. Merasa diri kita sudah berbuat sesuatu padahal dampaknya sangat minuskul. Sama saja dengan Earth Hour.
Kedua, pandangan terhadap produk plastik yang masih sangat parsial. Seringkali, orang melihat dari sisi hulu tapi lupa bahwa mata rantai industri itu sampai hilir, dan itulah yang terjadi dalam feel-good movement plastik ini. LSM dan aktivis lingkungan selalu menyorot plastik dari hulu. Realitanya, plastik hanyalah produk hilir dari mata rantai industri minyak bumi.
Jadi, apa masalah sebenarnya dari persoalan limbah plastik?
Bahwa biaya yang dibebankan kepada konsumen belum mencakup biaya dampak lingkungan.
Jadi, ketika industri menghitung biaya produksi dan kemudian harga jual, mereka tidak mempertimbangkan bahwa di akhir mata rantai industri akan dihasilkan sesuatu bernama limbah. Dan limbah ini seharusnya dikelola dengan baik dan benar, bukan dibuang begitu saja ke lingkungan. Entah itu limbah dalam proses produksi maupun setelah digunakan konsumen. Sayangnya, tidak ada biaya yang dibebankan baik pada industri itu sendiri maupun kepada konsumen barang industri, sehingga akhirnya pengelolaan limbah pun menjadi tidak jelas.
Sebesar apapun dampak lingkungannya, sebanyak apapun penggunaannya, seandainya pengelolaan limbahnya baik dan benar, maka produk industri tersebut seharusnya tidak menjadi persoalan. Demikian pula plastik. Jadi percuma fokus di hulu industri plastik tapi hilir diabaikan, karena justru di hilir lah titik krusialnya!
Konsumsi plastik memang tidak masalah untuk dikurangi, karena harga yang murah dan praktis membuat orang memiliki kecenderungan penggunaan yang boros. Tapi bagaimana mengurangi penggunaan plastik? Menyerahkan pada kesadaran masing-masing? Sosialisasi-edukasi? Seperti telah disebutkan sebelumnya, cara itu tidak akan efektif. Dimulai dari diri masing-masing hanya berlaku untuk skala kecil, utopia untuk skala besar. Berkhayal saja feel-good movement bisa benar-benar membuat perubahan masif.
Menilik kedua persoalan di atas, maka satu-satunya cara yang efektif dalam mengatasi masalah limbah plastik adalah melalui peraturan perundang-undangan. Dengan cara apa? Memberi beban biaya dampak lingkungan, yang kita sebut saja sebagai penalti dampak lingkungan, pada biaya produksi barang industri, termasuk plastik.
Penalti dampak lingkungan dibebankan baik pada industri maupun konsumen. Tujuannya, dana yang dikumpulkan dari penalti ini dapat digunakan untuk membangun fasilitas pengolahan limbah dan menutup biaya operasionalnya ketika sudah beroperasi. Hasil daur ulang limbah dapat digunakan ulang untuk berbagai keperluan bergantung pada bentuknya, misalkan sebagai feedstock bahan industri.
Hasil pengolahan limbah yang tidak bisa dimanfaatkan dan masih berbahaya harus dikubur di lokasi pembuangan limbah akhir. Penyiapan lokasi tersebut juga dibiayai oleh penalti dampak lingkungan. Sementara, jika tidak berbahaya, bisa langsung dibuang ke lingkungan.
Penanggungjawab pengelolaan limbah industri bisa saja negara atau industri itu sendiri. Namun, untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan, lebih baik jika negara yang mengelolanya.
Seperti apa teknis pelaksanaannya? Itu bisa dibahas dalam perancangan perundang-undangan. Mereka yang mengaku peduli terhadap lingkungan harus mengawalnya dengan baik, sampai masalah-masalah teknis yang diundang-undangkan benar-benar mampu menjadi solusi dalam menanggulangi dampak lingkungan. Tidak boleh ada yang membawa kepentingan pribadi atau kelompok dalam perancangan perundang-undangan ini.
"Tapi berarti harga plastik dan sedotan naik, dong?"
Ya tentu saja. Itu risiko yang harus ditanggung kalau mau menyelamatkan lingkungan. Kita selama ini terlalu dimanjakan produk industri fosil yang murah, sampai-sampai dampak lingkungan jadi sama sekali tidak diperhatikan. Sekarang manusia harus menanggung beban yang mereka sebabkan sendiri.
Perubahan besar membutuhkan usaha besar. Mencukupkan diri dengan feel-good movement tidak akan pernah menjadi solusi. Alih-alih solusi, feel-good movement malah bisa menjadi bagian dari masalah, mencegah masalah sebenarnya teridentifikasi dan diatasi.

0 comments:

Post a Comment