Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.
(pengamat energi dan lingkungan)
Isu plastik kembali
menggejala di sebagian kalangan. Dampak limbah sedotan plastik terhadap biota
laut seolah menjadi pelatuk yang membuat seruan-seruan untuk mengurangi
penggunaan plastik. Bahkan beberapa restoran cepat saji pun sudah tidak lagi
menyediakan sedotan untuk minuman. LSM-LSM lingkungan kembali mempropagandakan
bahaya-bahaya limbah plastik terhadap lingkungan, sembari menawarkan alternatif
lain yang lebih “hijau”. Misalnya menggunakan kantong belanja kain atau botol
minum tidak sekali pakai.
Propaganda-propaganda
itu diiringi dengan mantra-mantra memikat seperti “tidak ada yang sia-sia”, “no act is too small”, “dimulai dari yang
kecil-kecil” dan sejenisnya. Ajakan pada masyarakat untuk memulai dari diri
mereka sendiri, lalu berharap propaganda itu akan menyebar ke lebih banyak
orang. Sejenis MLM opini. Mirip dengan yang terjadi pada momen Earth Hour.
Tidak ada yang salah
dengan mengurangi konsumsi plastik. Hanya saja, ada dua persoalan utama dari
gerakan-gerakan seperti ini. Pertama, seruan mengurangi konsumsi plastik tidak
lebih dari feel-good movement. Mantra
apapun yang dilontarkan para aktivis lingkungan, realitanya adalah seperti yang
dinyatakan oleh mendiang Prof. David MacKay, “usaha yang kecil hanya akan menghasilkan sesuatu yang kecil pula”.
Tidak ada ceritanya
usaha yang kecil akan pernah menghasilkan dampak yang besar. Berharap
tindakan-tindakan kecil dapat menginspirasi masyarakat luas untuk bertindak
serupa dan menghasilkan dampak signifikan sama logisnya dengan berharap bisa
menguras danau dengan sendok. Mengedukasi dan menginspirasi publik pada
akhirnya akan terhambat pada penerapan dalam skala besar.
Mengapa? Terganjal
sistem.
Sulit, kalau bukan
mustahil, membuat perubahan besar dalam pengelolaan plastik hanya berdasarkan
inspirasi masyarakat belaka tanpa ditopang regulasi yang memadai dan sistem
yang mendukung. Ketika masyarakat diedukasi untuk memisahkan jenis-jenis
sampah, misalnya, tetapi ketika tong sampah tidak dipisahkan, lalu tidak ada
payung regulasi jelas tentang pengelolaan limbah plastik, akhirnya semuanya
kembali ke kebiasaan lama.
Ujung-ujungnya,
propaganda mengurangi konsumsi plastik hanya akan berakhir menjadi feel-good movement. Merasa diri kita
sudah berbuat sesuatu padahal dampaknya sangat minuskul. Sama saja dengan Earth
Hour.
Kedua, pandangan
terhadap produk plastik yang masih sangat parsial. Seringkali, orang melihat
dari sisi hulu tapi lupa bahwa mata rantai industri itu sampai hilir, dan
itulah yang terjadi dalam feel-good
movement plastik ini. LSM dan aktivis lingkungan selalu menyorot plastik
dari hulu. Realitanya, plastik hanyalah produk hilir dari mata rantai industri
minyak bumi.
Jadi, apa masalah
sebenarnya dari persoalan limbah plastik?
Bahwa biaya yang
dibebankan kepada konsumen belum mencakup biaya dampak lingkungan.
Jadi, ketika
industri menghitung biaya produksi dan kemudian harga jual, mereka tidak
mempertimbangkan bahwa di akhir mata rantai industri akan dihasilkan sesuatu
bernama limbah. Dan limbah ini seharusnya dikelola dengan baik dan benar, bukan
dibuang begitu saja ke lingkungan. Entah itu limbah dalam proses produksi
maupun setelah digunakan konsumen. Sayangnya, tidak ada biaya yang dibebankan
baik pada industri itu sendiri maupun kepada konsumen barang industri, sehingga
akhirnya pengelolaan limbah pun menjadi tidak jelas.
Sebesar apapun
dampak lingkungannya, sebanyak apapun penggunaannya, seandainya pengelolaan
limbahnya baik dan benar, maka produk industri tersebut seharusnya tidak
menjadi persoalan. Demikian pula plastik. Jadi percuma fokus di hulu industri
plastik tapi hilir diabaikan, karena justru di hilir lah titik krusialnya!
Konsumsi plastik
memang tidak masalah untuk dikurangi, karena harga yang murah dan praktis
membuat orang memiliki kecenderungan penggunaan yang boros. Tapi bagaimana
mengurangi penggunaan plastik? Menyerahkan pada kesadaran masing-masing?
Sosialisasi-edukasi? Seperti telah disebutkan sebelumnya, cara itu tidak akan
efektif. Dimulai dari diri masing-masing hanya berlaku untuk skala kecil,
utopia untuk skala besar. Berkhayal saja feel-good
movement bisa benar-benar membuat perubahan masif.
Menilik kedua
persoalan di atas, maka satu-satunya cara yang efektif dalam mengatasi masalah
limbah plastik adalah melalui peraturan perundang-undangan. Dengan cara apa?
Memberi beban biaya dampak lingkungan, yang kita sebut saja sebagai penalti
dampak lingkungan, pada biaya produksi barang industri, termasuk
plastik.
Penalti dampak
lingkungan dibebankan baik pada industri maupun konsumen. Tujuannya, dana yang
dikumpulkan dari penalti ini dapat digunakan untuk membangun fasilitas
pengolahan limbah dan menutup biaya operasionalnya ketika sudah beroperasi.
Hasil daur ulang limbah dapat digunakan ulang untuk berbagai keperluan
bergantung pada bentuknya, misalkan sebagai feedstock bahan industri.
Hasil pengolahan
limbah yang tidak bisa dimanfaatkan dan masih berbahaya harus dikubur di lokasi
pembuangan limbah akhir. Penyiapan lokasi tersebut juga dibiayai oleh penalti
dampak lingkungan. Sementara, jika tidak berbahaya, bisa langsung dibuang ke
lingkungan.
Penanggungjawab
pengelolaan limbah industri bisa saja negara atau industri itu sendiri. Namun,
untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan, lebih baik jika negara yang
mengelolanya.
Seperti apa teknis
pelaksanaannya? Itu bisa dibahas dalam perancangan perundang-undangan. Mereka
yang mengaku peduli terhadap lingkungan harus mengawalnya dengan baik, sampai
masalah-masalah teknis yang diundang-undangkan benar-benar mampu menjadi solusi
dalam menanggulangi dampak lingkungan. Tidak boleh ada yang membawa kepentingan
pribadi atau kelompok dalam perancangan perundang-undangan ini.
"Tapi berarti
harga plastik dan sedotan naik, dong?"
Ya tentu saja. Itu
risiko yang harus ditanggung kalau mau menyelamatkan lingkungan. Kita selama
ini terlalu dimanjakan produk industri fosil yang murah, sampai-sampai dampak
lingkungan jadi sama sekali tidak diperhatikan. Sekarang manusia harus
menanggung beban yang mereka sebabkan sendiri.
Perubahan besar
membutuhkan usaha besar. Mencukupkan diri dengan feel-good movement tidak akan pernah menjadi solusi. Alih-alih
solusi, feel-good movement malah bisa
menjadi bagian dari masalah, mencegah masalah sebenarnya teridentifikasi dan
diatasi.
0 comments:
Post a Comment