Monday, 16 July 2018

Moral Case for Nuclear Power: Perubahan Iklim

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)

Revolusi Industri menjadi pedang bermata dua dalam perkembangan sains dan teknologi dunia. Pada sisi positif, revolusi industri berhasil mengakselerasi perkembangan saintek pada level yang tidak terbayangkan sebelumnya. Namun, sisi negatifnya, eksploitasi besar-besaran energi fosil telah mengakselerasi kerusakan lingkungan, mulai dari polusi hingga isu lingkungan paling krusial pada abad 21: perubahan iklim.

Pada abad 19, kimiawan Swedia, Svante Arrhenius, telah memprediksi bahwa kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer akan memberikan umpan balik positif efek rumah kaca, sehingga suhu permukaan bumi akan meningkat. Hal itu kemudian kita kenal sebagai pemanasan global/global warming. Prediksi Arrhenius kemudian terbukti berdasarkan pengamatan NASA selama puluhan tahun. Namun, global warming awareness baru didengungkan pada tahun 1988 oleh Dr. James Hansen, atmospheric scientist NASA. Istilah global warming kemudian diperluas menjadi perubahan iklim/climate change.

Sains iklim adalah sains yang kompleks. Sangat sulit untuk memprediksi dampak lokal dari perubahan iklim di masa depan. Namun, secara global, perubahan iklim diyakini dapat membawa bencana iklim yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan manusia dan berpotensi menyebabkan chaos, khususnya akibat perebutan sumber daya alam.

Tidak banyak waktu yang tersisa untuk menanggulangi bencana iklim. Interngovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menekankan agar kenaikan suhu permukaan bumi ditahan supaya kurang dari 2°C. Walau begitu, Hansen menganggap bahwa batas 2°C adalah “recipe for disaster” dan mengajukan angka yang lebih rendah lagi, yakni 1,5°C. Mengingat planet Bumi hanya memiliki waktu hingga beberapa dekade ke depan, menekan kenaikan suhu bumi hingga dibawah 1,5°C membutuhkan usaha sangat keras.

Komitmen Iklim
Indonesia menandatangani Perjanjian Iklim Paris pada tahun 2015, sebagai bentuk komitmen terhadap usaha mitigasi perubahan iklim. Salah satu perwujudannya adalah menargetkan bauran 23% energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050, sebagaimana ditargetkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Namun, ada dua hal yang mengganjal terkait bauran energi dalam kaitannya dengan komitmen iklim. Yang pertama, terlalu rendahnya target bauran EBT. Kedua, diabaikannya nuklir dalam bauran EBT.

Tidak ada keraguan bahwa nuklir memegang peranan penting dalam usaha mitigasi perubahan iklim. Para pakar iklim dan energi sepakat soal itu. Tapi kenapa nuklir masih dianggap sebagai opsi terakhir?

Mengapa Harus Nuklir?
Seandainya orang-orang mau jujur, sesungguhnya nuklir yang secara konsisten dipinggirkan ini merupakan opsi terbaik untuk memitigasi perubahan iklim. Hal ini dilandasi beberapa alasan. Pertama, secara historis, nuklir terbukti mampu melakukan dekarbonisasi energi paling cepat dibandingkan moda EBT lainnya.

Contoh terbaik adalah Prancis dan Swedia. Dalam rentang waktu 10 tahun, pada periode ekspansi energi nuklir, Swedia mampu memproduksi listrik dari nuklir hingga 640 kWh per kapita-tahun. Sementara, Prancis mampu menambah hingga sekitar 450 kWh per kapita-tahun dalam rentang waktu yang sama. Kedua angka ini jauh lebih mengesankan daripada Jerman dengan program Energiewende-nya. Jerman hanya mampu menambah produksi listrik dari energi surya sekitar 50 kWh per kapita-tahun dan dari energi bayu sekitar 90 kWh per kapita-tahun.

Kedua, ekspansi energi nuklir adalah yang paling murah. Dengan standar biaya Amerika Serikat sekalipun, nuklir masih membutuhkan biaya total lebih rendah daripada menggunakan EBT seperti energi bayu dan surya. Antara tahun 2007 hingga 2016, menurut Bloomberg New Energy Finance, dunia telah menginvestasikan USD 2 trilyun lebih untuk ekspansi energi bayu dan surya. Tapi nyatanya, pada tahun 2016, energi bayu dan surya hanya menyumbangkan masing-masing 3,9% dan 1,3% bauran listrik dunia.

Asumsikan pembangkit nuklir di belahan dunia lain memang semahal di Amerika Serikat. Maka, nilai investasi di atas cukup untuk meningkatkan bauran energi nuklir dunia hingga 12,2%. Jika ditambah dengan bauran nuklir dunia saat ini, yakni 10%, maka bauran nuklir total dapat mencapai 22,2%. Jauh lebih murah dan efektif. Apalagi nyatanya, pembangunan pembangkit nuklir di Indonesia pasti lebih murah daripada di Amerika Serikat.

Ketiga, nuklir membutuhkan material paling sedikit untuk membangkitkan daya dengan jumlah yang sama dengan EBT lainnya. Nuklir merupakan sumber energi yang paling energy-dense. Dengan kata lain, membutuhkan sedikit sekali bahan mentah untuk membangkitkan daya sangat besar. Benar bahwa pembangkit nuklir membutuhkan cukup banyak komponen, tapi kepadatan energi yang sangat besar dan kehandalan tinggi mengompensasi kebutuhan material tersebut. Hal ini tidak bisa disaingi oleh energi bayu dan surya, yang notabene bersifat energy-diffuse dan kurang handal, sehingga kebutuhan material per satuan energi menjadi lebih besar.

Case for Nuclear Power
Sudah banyak sikap skeptis bahwa Indonesia mampu mencapai bauran 23% EBT pada tahun 2025. Skeptisisme ini wajar, karena sifat EBT, dalam hal ini energi bayu dan surya, yang mahal dan kehandalannya kurang. Jerman adalah contoh terbaik betapa buruknya energi bayu dan surya untuk memenuhi komitmen iklim. Jerman gagal menurunkan emisi GRK secara signifikan. Bahkan, Jerman dipastikan gagal memenuhi target reduksi emisi pada tahun 2020.

Hal itu merupakan imbas dari program Jerman untuk menghentikan pemanfaatan nuklir sama sekali dan mengandalkan energi bayu dan surya semata. Padahal, mereka sudah menginvestasikan dana yang sangat besar dan subsidi sangat tinggi untuk menjalankan program Energiewende. Hanya kekuatan ekonomi Jerman yang mencegah mereka kolaps setelah pengeluaran luar biasa besar tersebut.

Jika sejak awal nuklir menjadi opsi utama alih-alih opsi terakhir, target tercapainya bauran 23% EBT pada tahun 2025 bukan hanya mungkin diraih, tapi besar kemungkinan dapat terlampaui. Karena selain sebagai energi bersih, nuklir pun mampu menjadi pemikul beban utama yang notabene merupakan fungsi dari energi fosil seperti batubara dan gas alam.

Sayang sekali bahwa nuklir secara konsisten diabaikan dalam perencanaan energi baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Maka wajar jika akhirnya Indonesia menemui komitmen untuk memenuhi target EBT 2025, dan kemungkinan besar memang akan gagal. Keengganan menerapkan teknologi energi nuklir dalam bauran energi nasional juga membuat keseriusan Indonesia dalam memenuhi komitmen dalam Perjanjian Iklim Paris dipertanyakan.

Sudah terlambat bagi nuklir untuk mengisi gap target EBT pada tahun 2025. Seharusnya program nuklir sudah dimulai sejak 10 tahun yang lalu dan berkelanjutan. Namun, belum terlambat untuk mengubah haluan demi mencapai target 2050. Menjadikan nuklir sebagai opsi utama bauran EBT dan keseriusan dalam menjalankan program pemanfaatan serta ekspansinya, bukan hanya menegaskan komitmen Indonesia terhadap mitigasi perubahan iklim, tapi juga dapat menjadi role model terkait kesuksesan mereduksi emisi GRK.

Keseriusan menjalankan program nuklir adalah kunci untuk menyelamatkan Bumi dari bencana iklim. Ketidakseriusan terhadap program nuklir berarti tidak sungguh-sungguh dalam berusaha menyelamatkan Bumi dari dampak katastropik perubahan iklim. Kalau sudah begini, dunia seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita?

0 comments:

Post a Comment