Oleh:
R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)
Revolusi Industri menjadi pedang bermata dua dalam
perkembangan sains dan teknologi dunia. Pada sisi positif, revolusi industri
berhasil mengakselerasi perkembangan saintek pada level yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Namun, sisi negatifnya, eksploitasi besar-besaran energi fosil
telah mengakselerasi kerusakan lingkungan, mulai dari polusi hingga isu
lingkungan paling krusial pada abad 21: perubahan iklim.
Pada abad 19, kimiawan Swedia, Svante Arrhenius,
telah memprediksi bahwa kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer akan
memberikan umpan balik positif efek rumah kaca, sehingga suhu permukaan bumi
akan meningkat. Hal itu kemudian kita kenal sebagai pemanasan global/global warming. Prediksi Arrhenius
kemudian terbukti berdasarkan pengamatan NASA selama puluhan tahun. Namun, global warming awareness baru
didengungkan pada tahun 1988 oleh Dr. James Hansen, atmospheric scientist NASA. Istilah global warming kemudian diperluas menjadi perubahan iklim/climate change.
Sains iklim adalah sains yang kompleks. Sangat sulit
untuk memprediksi dampak lokal dari perubahan iklim di masa depan. Namun,
secara global, perubahan iklim diyakini dapat membawa bencana iklim yang dapat
mengancam keberlangsungan kehidupan manusia dan berpotensi menyebabkan chaos, khususnya akibat perebutan sumber
daya alam.
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk menanggulangi
bencana iklim. Interngovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) menekankan agar kenaikan suhu permukaan bumi
ditahan supaya kurang dari 2°C. Walau begitu, Hansen menganggap bahwa batas 2°C
adalah “recipe for disaster” dan
mengajukan angka yang lebih rendah lagi, yakni 1,5°C. Mengingat planet Bumi
hanya memiliki waktu hingga beberapa dekade ke depan, menekan kenaikan suhu
bumi hingga dibawah 1,5°C membutuhkan usaha sangat keras.
Komitmen Iklim
Indonesia menandatangani Perjanjian Iklim Paris pada
tahun 2015, sebagai bentuk komitmen terhadap usaha mitigasi perubahan iklim.
Salah satu perwujudannya adalah menargetkan bauran 23% energi baru dan
terbarukan (EBT) pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050, sebagaimana ditargetkan
dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Namun, ada dua hal yang mengganjal
terkait bauran energi dalam kaitannya dengan komitmen iklim. Yang pertama,
terlalu rendahnya target bauran EBT. Kedua, diabaikannya nuklir dalam bauran
EBT.
Tidak ada keraguan bahwa nuklir memegang peranan
penting dalam usaha mitigasi perubahan iklim. Para pakar iklim dan energi
sepakat soal itu. Tapi kenapa nuklir masih dianggap sebagai opsi terakhir?
Mengapa Harus
Nuklir?
Seandainya orang-orang mau jujur, sesungguhnya
nuklir yang secara konsisten dipinggirkan ini merupakan opsi terbaik untuk
memitigasi perubahan iklim. Hal ini dilandasi beberapa alasan. Pertama, secara
historis, nuklir terbukti mampu melakukan dekarbonisasi energi paling cepat
dibandingkan moda EBT lainnya.
Contoh terbaik adalah Prancis dan Swedia. Dalam
rentang waktu 10 tahun, pada periode ekspansi energi nuklir, Swedia mampu memproduksi
listrik dari nuklir hingga 640 kWh per kapita-tahun. Sementara, Prancis mampu
menambah hingga sekitar 450 kWh per kapita-tahun dalam rentang waktu yang sama.
Kedua angka ini jauh lebih mengesankan daripada Jerman dengan program Energiewende-nya. Jerman hanya mampu
menambah produksi listrik dari energi surya sekitar 50 kWh per kapita-tahun dan
dari energi bayu sekitar 90 kWh per kapita-tahun.
Kedua, ekspansi energi nuklir adalah yang paling
murah. Dengan standar biaya Amerika Serikat sekalipun, nuklir masih membutuhkan
biaya total lebih rendah daripada menggunakan EBT seperti energi bayu dan
surya. Antara tahun 2007 hingga 2016, menurut Bloomberg New Energy Finance, dunia telah menginvestasikan USD 2
trilyun lebih untuk ekspansi energi bayu dan surya. Tapi nyatanya, pada tahun
2016, energi bayu dan surya hanya menyumbangkan masing-masing 3,9% dan 1,3%
bauran listrik dunia.
Asumsikan pembangkit nuklir di belahan dunia lain
memang semahal di Amerika Serikat. Maka, nilai investasi di atas cukup untuk meningkatkan
bauran energi nuklir dunia hingga 12,2%. Jika ditambah dengan bauran nuklir
dunia saat ini, yakni 10%, maka bauran nuklir total dapat mencapai 22,2%. Jauh
lebih murah dan efektif. Apalagi nyatanya, pembangunan pembangkit nuklir di
Indonesia pasti lebih murah daripada
di Amerika Serikat.
Ketiga, nuklir membutuhkan material paling sedikit
untuk membangkitkan daya dengan jumlah yang sama dengan EBT lainnya. Nuklir
merupakan sumber energi yang paling energy-dense.
Dengan kata lain, membutuhkan sedikit sekali bahan mentah untuk membangkitkan
daya sangat besar. Benar bahwa pembangkit nuklir membutuhkan cukup banyak
komponen, tapi kepadatan energi yang sangat besar dan kehandalan tinggi
mengompensasi kebutuhan material tersebut. Hal ini tidak bisa disaingi oleh
energi bayu dan surya, yang notabene bersifat energy-diffuse dan kurang handal, sehingga kebutuhan material per
satuan energi menjadi lebih besar.
Case for Nuclear Power
Sudah banyak sikap skeptis bahwa Indonesia mampu
mencapai bauran 23% EBT pada tahun 2025. Skeptisisme ini wajar, karena sifat
EBT, dalam hal ini energi bayu dan surya, yang mahal dan kehandalannya kurang.
Jerman adalah contoh terbaik betapa buruknya energi bayu dan surya untuk
memenuhi komitmen iklim. Jerman gagal menurunkan emisi GRK secara signifikan.
Bahkan, Jerman dipastikan gagal memenuhi target reduksi emisi pada tahun 2020.
Hal itu merupakan imbas dari program Jerman untuk
menghentikan pemanfaatan nuklir sama sekali dan mengandalkan energi bayu dan
surya semata. Padahal, mereka sudah menginvestasikan dana yang sangat besar dan
subsidi sangat tinggi untuk menjalankan program Energiewende. Hanya kekuatan ekonomi Jerman yang mencegah mereka kolaps
setelah pengeluaran luar biasa besar tersebut.
Jika sejak awal nuklir menjadi opsi utama alih-alih opsi
terakhir, target tercapainya bauran 23% EBT pada tahun 2025 bukan hanya mungkin
diraih, tapi besar kemungkinan dapat terlampaui. Karena selain sebagai energi
bersih, nuklir pun mampu menjadi pemikul beban utama yang notabene merupakan
fungsi dari energi fosil seperti batubara dan gas alam.
Sayang sekali bahwa nuklir secara konsisten
diabaikan dalam perencanaan energi baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Maka wajar jika akhirnya Indonesia menemui komitmen
untuk memenuhi target EBT 2025, dan kemungkinan besar memang akan gagal. Keengganan
menerapkan teknologi energi nuklir dalam bauran energi nasional juga membuat
keseriusan Indonesia dalam memenuhi komitmen dalam Perjanjian Iklim Paris
dipertanyakan.
Sudah terlambat bagi nuklir untuk mengisi gap target EBT pada tahun 2025.
Seharusnya program nuklir sudah dimulai sejak 10 tahun yang lalu dan
berkelanjutan. Namun, belum terlambat untuk mengubah haluan demi mencapai
target 2050. Menjadikan nuklir sebagai opsi utama bauran EBT dan keseriusan
dalam menjalankan program pemanfaatan serta ekspansinya, bukan hanya menegaskan
komitmen Indonesia terhadap mitigasi perubahan iklim, tapi juga dapat menjadi role model terkait kesuksesan mereduksi
emisi GRK.
Keseriusan menjalankan program nuklir adalah
kunci untuk menyelamatkan Bumi dari bencana iklim. Ketidakseriusan terhadap
program nuklir berarti tidak sungguh-sungguh dalam berusaha menyelamatkan Bumi
dari dampak katastropik perubahan iklim. Kalau sudah begini, dunia seperti apa
yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita?
0 comments:
Post a Comment