Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.
(peneliti teknologi keselamatan reaktor)
Berita terbaru yang dimuat dalam kolom
berita rmol.co (4/5) cukup menggelitik. Dalam berita itu, Sekjen Dewan Energi
Nasional (DEN), Saleh Abdurrahman, mengatakan bahwa PLTN tidak akan dibangun
hingga tahun 2050. Menurutnya, berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN),
PLTN hanya boleh dibangun jika tidak ada lagi sumber energi di Indonesia.
Selain itu, dinyatakan pula bahwa biaya
pembangunan PLTN terlalu tinggi dan harga listriknya per kWh terlalu mahal.
Termasuk jika ditambah dengan risiko kecelakaan.
Namun, pernyataan paling mengganggu datang
dari Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Herman
Darnel Ibrahim. Menurutnya, risiko pembangunan PLTN sangat besar, dan jika
kecelakaan PLTN terjadi, akan membahayakan manusia dan menyebabkan kelumpuhan
ekonomi dan “kebangkrutan negara”.
Selain itu, Herman juga mengatakan bahwa biaya investasi 5.000 MWe PLTN itu
sebesar Rp 500 trilyun, cukup untuk 20.000 MWe PLTU atau 30.000 MWe PLTGU.
Kedua pernyataan ini cukup menunjukkan
betapa piciknya pandangan DEN terkait climate
change dan energy security.
Pandangan terhadap energi nuklir pun tidak kalah piciknya. Tidak mengejutkan,
tentu saja, mengingat sepak terjang DEN selama ini. Namun, pandangan picik
seperti ini perlu dikoreksi, agar tidak menimbulkan sesat pikir di kalangan
masyarakat. Apalagi jika sesat pikir ini justru diharapkan demi memuluskan
kepentingan politiknya.
Setidaknya ada beberapa sesat pikir dalam
pernyataan-pernyataan di atas. Pertama, mengeksploitasi energi hingga habis
(kemungkinan besar yang dimaksud adalah energi fosil) sangat membahayakan
ketahanan energi negara. Data dari BP Statistical Review of World Energy edisi
Juni 2017 mengungkapkan bahwa cadangan terbukti gas alam Indonesia sebesar 2,9
trilyun m3 dan batubara sebesar 25,573 milyar ton. Dengan rasio reserve to production (R/P) seperti saat
ini, cadangan gas alam hanya mampu bertahan 41 tahun ke depan dan batubara
selama 59 tahun ke depan.
Tapi itu jika rasio R/P sama seperti
sekarang, yang mustahil seperti itu kasusnya. Mengingat konsumsi akan terus
meningkat seiring dengan target kenaikan suplai energi. Maka, ketahanan yang
sebenarnya bisa jadi kurang dari itu.
Nyatanya, Outlook Energi Indonesia keluaran Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) mengestimasikan bahwa Indonesia akan menjadi net importir gas
alam pada tahun 2025 pada skenario dasar dan 2024 pada skenario tinggi. Batubara
sendiri, berdasarkan proyeksi BPPT, baru akan habis pada tahun 2050. Tapi itu
tidak terlalu relevan, mengingat jauh sebelum 2050, gas alam Indonesia sudah
harus impor.
Indonesia telah menjadi net importir minyak
bumi sejak tahun 2004. Maka, setelah tahun 2025, Indonesia turut menjadi net
importir gas alam. Sementara, berdasarkan skenario RUEN, 24% energi Indonesia
pada tahun 2050 disuplai oleh gas alam. Sehingga, Indonesia harus mengimpor
sekitar 40% energinya hingga tahun 2050 dan selewat 2050 hampir 70% energinya
impor.
Pertanyaannya, ketahanan energi macam apa
yang ingin diwujudkan dari impor energi sebesar ini?
Jika dikatakan bahwa Jepang dan Korea
Selatan saja impor energi, maka pertanyaannya, memangnya Indonesia punya bargaining position apa di dunia? Kedua
negara itu merupakan negara industri yang jauh lebih maju dari negara ini, dan
mereka senantiasai tunduk patuh pada negara adidaya, Amerika Serikat. Indonesia
punya apa?
Menggantungkan diri pada belas kasih negara
adidaya yang memiliki sumber daya energi lebih banyak sama sekali bukan langkah
bijak. Mereka akan dengan mudah mengendalikan kebijakan-kebijakan dalam negeri
sebagai imbalan suplai energi. Sudah berapa banyak Undang-Undang di negeri yang
merupakan pesanan asing? Apa mau diperparah lagi?
Kedua, pernyataan di atas merupakan kejahatan
terhadap planet ini. Menggantungkan hampir 70% kebutuhan energi nasional pada
energi fosil sama saja turut berkontribusi dalam mengakselerasi perubahan iklim
serta pengasaman lautan, yang kemudian dapat berimbas pada bencana iklim pada
paling lambat akhir abad ini (bisa jadi lebih cepat).
Tidak perlu banyak beretorika soal “energi
terbarukan” (baca: energi bayu dan surya), karena toh di RUEN pun baurannya
hanya 31% (sudah termasuk hidro, geotermal dan biomassa). Dengan skenario RUEN,
emisi CO2 ekivalen yang dipancarkan pembangkitan energi di Indonesia
tetap akan naik menjadi 1.950 juta ton CO2 ekivalen. Kalkulasi
penulis menunjukkan hasil lebih tinggi lagi, mencapai 2.234 juta ton CO2
ekivalen, baru memerhitungkan energi fosil saja, belum termasuk EBT.
Manapun yang benar, hasilnya tidak akan jauh
dari itu: emisi CO2 naik lebih dari 3 kali lipat level 2015
alih-alih menurun. Ya bagaimana tidak naik, batubara masih menjadi opsi
dominan!
Komitmen untuk mereduksi emisi dari skenario
business as usual menjadi skenario
RUEN tidak cukup untuk menunjukkan keseriusan mencegah dampak katastropik
perubahan iklim dan pengasaman lautan. Untuk menunjukkan keseriusan, maka emisi
CO2 harus direduksi minimal 80% dari seluruh sektor. Artinya, perlu
dilakukan dekarbonisasi total pada seluruh sektor energi!
Opsinya bukanlah energi nuklir atau “energi
terbarukan”, tapi energi nuklir atau energi fosil. Karena “energi terbarukan”
tidak mungkin bsai memenuhi kebutuhan energi Indonesia secara memadai, karena
limitasi alam dan hokum Fisika. Mengintegrasikan energi surya dan energi bayu
dalam bauran besar dalam jaringan listrik akan mengacaukan sistem kelistrikan,
membuat harga listrik lebih mahal karena nilai ekonomi yang turun drastis.
Tidak ada ekspansi energi surya dan energi
bayu yang tidak dibarengi penambahan pembakaran batubara dan gas alam, karena
sifat inheren dari kedua moda energi itu sendiri yang diffuse dan tidak reliabel. Cukuplah Jerman dan California menjadi
bukti kenaikan konsumsi energi fosil seiring bertambahnya bauran energi bayu
dan surya dalam jaringan listrik mereka. Bahkan Prancis pun terpaksa menambah
pembakaran gas alam impor dari Rusia untuk mengompensasi integrasi turbin angin
dalam jaringan listriknya.
Tidak pernah ada pula negara yang sukses
melakukan dekarbonisasi jaringan listriknya dengan beralih pada “energi
terbarukan”. Swedia, Prancis dan Swiss “membersihkan” jaringan listriknya
menggunakan kombinasi energi nuklir dan hidro. Begitu pula Provinsi Ontario di
Kanada. Lebih dari USD 2 trilyun telah dihabiskan untuk “energi terbarukan”
antara tahun 2007-2016. Hasilnya?
Bauran energi bayu dan surya hanya 3,9% dan
1,3% bauran listrik dunia pada tahun 2016. Dengan kata lain, gagal total.
Jika seluruh dana itu diinvestasikan pada
energi nuklir, dengan standar biaya pembangunan di Amerika Serikat, akan
didapatkan PLTN senilai 400 GWe, setara dengan 2.980 TWh (asumsi faktor
kapasitas 85%). Pembangkitan listrik di seluruh dunia pada tahun 2016 sebesar
24.353 TWh. Maka, dengan investasi yang sama, energi nuklir mampu menambah
suplai energi bersih hingga 12,2%. Ditambah 10% dari kapasitas eksisting, total
nuklir mampu menyumbang hingga 22% bauran pembangkitan listrik dunia. Kira-kira
4,2x lebih banyak daripada yang bisa disumbangkan energi bayu dan surya hingga
saat ini.
Jelas sekali bahwa energi nuklir jauh lebih
efektif dan efisien dalam melakukan dekarbonisasi energi. Investasi pada energi
bayu dan surya adalah sebuah kekeliruan luar biasa.
Prancis tidak pernah berniat memitigasi pemanasan
global (dan perubahan iklim yang menyertainya) ketika beranjak ke energi nuklir
pada dekade 1970-an. Mereka hanya ingin ketahanan energi yang lebih baik. Tapi konsekuensinya,
Prancis menjadi salah satu negara dengan emisi CO2 paling rendah pada
sektor kelistrikan di Eropa dan dunia. Mereka melakukannya dengan cepat, murah dan
sukses.
Bandingkan dengan Jerman yang banyak koar-koar
dengan proyek "energi terbarukan" mereka, tapi hingga saat ini tidak pernah
berhasil. Jerman hanya membuang uang milyaran USD, tapi emisi CO2 tidak juga turun,
ketergantungan terhadap batubara tidak berkurang, dan harga listrik malah tambah
mahal. Itulah hasil dari mengabaikan nuklir dan percaya pada ilusi "energi
terbarukan".
Ketiga, dari mana angka Rp 500 trilyun untuk
5.000 MWe? Angka tersebut setara dengan overnight
cost energi nuklir sebesar USD 7.142/kW (asumsi kurs Rupiah ke Dollar
14.000). Mohon maaf, memangnya di Indonesia ini logis bangun PLTN dengan biaya
setara PLTN Hinkley Point C di Inggris Raya? Ngarang dari mana?
Estimasi yang paling logis adalah estimasi overnight cost pembangunan PLTN di
Indonesia berkisar 2.000-3.000/kW, mungkin kurang. Anggap saja overnight cost konservatif sekitar USD
2.500/kW, walau riilnya bisa lebih rendah, maka bisa didapatkan 14.000 MWe
PLTN. Bukan 5.000 MWe seperti klaim Pak Herman.
Jangan tertipu dengan nameplate capacity. Angka 14.000 MWe dan 30.000 MWe itu daya
maksimal yang mampu dibangkitkan secara teoretis. Nyatanya, tidak ada
pembangkit yang beroperasi 100% waktu. Pasti ada waktu kosong untuk perawatan,
inspeksi dan penggantian bahan bakar. Ada faktor
kapasitas yang harus dipertimbangkan.
Selain itu, PLTN memiliki usia pakai yang
lebih panjang daripada PLTU dan PLTGU. Jika kedua pembangkit terakhir paling
mentok usia pakainya hanya 40 tahun, maka PLTN bisa beroperasi hingga 80 bahkan
100 tahun, jauh melebihi desain standarnya! Beberapa PLTN di Amerika Serikat
sedang mengajukan perpanjangan lisensi untuk kedua kalinya, memperpanjang usia
pakai menjadi 80 tahun. Padahal teknologinya adalah teknologi tahun 1970-an!
Jika angka 14.000 MWe PLTN, 20.000 MWe PLTU
dan 30.000 PLTGU dibandingkan, belum tentu selama lifetime-nya, PLTN membangkitkan listrik lebih sedikit. Dengan faktor
kapasitas PLTN 85%, PLTU dan PLTGU 60%, serta usia pakai seperti di paragraph sebelumnya,
maka sepanjang lifetime, PLTN mampu
membangkitkan 8.339 TWh listrik. Sementara,
PLTU dan PLTGU masing-masing hanya 4.205
dan 6.307 TWh listrik.
Jadi, mana yang lebih unggul?
Keempat, komentar-komentar (maaf) dungu soal
keselamatan energi nuklir ini melelahkan. Karena tidak pernah ada buktinya dan
selalu hanya digunakan dalam politics of
unreasonable fear. Pernyataan-pernyataan tanpa landasan yang cuma
mengamplifikasi ketakutan public dengan menyebarkan kebohongan-kebohongan dan
pembingkaian informasi dengan jahat.
Kapan kecelakaan PLTN pernah membahayakan
manusia? Hanya di kecelakaan PLTN Chernobyl Unit 4. Itupun terjadi karena cacat
alamiah pada desain reaktornya dan kedunguan operator PLTN yang mengabaikan
peringatan dari sistem keselamatan reaktor. Korban jiwa yang disebabkan pun
hanya 31 orang (orang tewas di jalanan Indonesia tiap hari lebih dari dua kali lipat
angka itu!). UNSCEAR melaporkan bahwa tidak ada dampak genetik, leukemia dan
insidensi kanker lainnya pada populasi umum karena kecelakaan Chernobyl. Sekitar
4.000 orang yang terdiagnosis menderita kanker tiroid pada awal terjadi
kecelakaan bisa disembuhkan dengan mudah, dan hanya sedikit sekali yang tidak
selamat.
Padahal, kecelakaan Chernobyl adalah
kecelakaan terparah yang mungkin terjadi pada sebuah PLTN.
Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi lebih baik
lagi, karena tidak ada seorangpun yang tewas karenanya. Dampak lingkungan yang
disebabkannya pun sangat minimal. Tidak ada alasan mengapa kawasan di dekat
PLTN Fukushima Daiichi (serta kota Chernobyl dan Pripyat) tidak boleh
ditinggali lagi; kawasan-kawasan itu tidak pernah berada dalam kondisi
berbahaya sejak beberapa hari pasca kecelakaan!
Nyatanya, energi nuklir adalah energi paling
selamat. Tingkat kematian per TWh energi yang dibangkitkan adalah yang paling
rendah dibandingkan moda energi lain, bahkan dibandingkan energi surya dan bayu
sekalipun.
Peluang terjadinya kecelakaan PLTN pun sangat
kecil. Menurut Dr. Alexander Agung, Ketua Prodi Teknik Nuklir Universitas
Gadjah Mada, dari pengalaman operasional sekitar 580 reaktor sejak tahun
1954-2011, didapatkan nilai core damage
frequency (CDF) sebesar 7,6x10-4/reaktor-tahun dan large release frequency (LRF) sekitar 10-6/reaktor-tahun.
Di Swedia, untuk PLTN Ringhals di selatan Gothenburg, sebagai contoh, CDF-nya
sebesar 10-6 dan LRF sebesar 10-7, yang artinya
probabilitas pelepasan radioaktif dari 1 unit PLTN Ringhals adalah 1 kejadian
dalam 10 juta tahun! Padahal masa operasinya “hanya” sampai tahun 2040-an.
Kegagalan berpikir kalangan anti nuklir
adalah, mereka menyatakan sebuah peluang yang mungkin terjadi, tapi tidak
menjelaskan sama sekali seberapa mungkin peluang itu dapat terjadi. Kecelakaan nuklir
parah barangkali memang dapat menyebabkan dampak buruk pada lingkungan, tapi
seberapa mungkin hal itu terjadi? Sangat kecil! Ini yang tidak pernah dibahas,
entah karena ketidaktahuan atau memang disengaja.
George Monbiot, kolumnis The Guardian yang
berubah dari anti-nuklir menjadi pro-nuklir pasca kecelakaan Fukushima Daiichi,
mengungkapkan, "While nuclear causes calamities when it goes wrong,
coal causes calamities when it goes right, and coal goes right a lot more often
than nuclear goes wrong." Bahkan "calamities" yang
disebabkan nuklir pun sebenarnya criminally overrated. Mayoritas
masalah seputar kecelakaan nuklir terjadi bukan karena radiasi nuklir, tapi
karena orang-orang panik.
Batubara, yang ironisnya tidak dipersoalkan
oleh Pak Herman, adalah sumber kematian terbesar dari berbagai jenis
pembangkitan energi. Tapi seberapa besar dampak kematian (serta dampak
kesehatan) ini pernah disorot oleh kalangan anti nuklir? Jarang sekali, kalau
bukan tidak pernah. Sungguh sebuah kegagalan berpikir yang luar biasa.
Jadi jelas, argumen dari Pak Saleh dan Pak
Herman itu keliru dan berbahaya bagi keberlangsungan energi negeri ini secara
khusus dan keselamatan planet ini secara umum. Keengganan untuk menggunakan
energi nuklir secara masih sejak dari sekarang akan mencederai iklim lebih jauh
darn mengganggu ketahanan energi negara. Sementara, lagu lama soal keselamatan nuklir
itu seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang, tapi tidak pernah ada
buktinya di dunia nyata.
Hadapilah, politik energi DEN adalah politik
energi dungu, sama seperti Jerman. Kalau serius peduli terhadap perubahan iklim
dan ketahanan energi nasional, maka yang seharusnya menjadi tulang punggung energi
negara adalah nuklir, bukan energi fosil!
Daftar
Bacaan
Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2017. Outlook
Energi Indonesia 2017. Jakarta: BPPT.
Bernard L.
Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option.
Pittsburgh: Plenum Press.
British
Petroleum. 2017. BP Statistical Review of
World Energy June 2017. London: BP.
George
Erickson. 2013. Unintended Consequences,
The Lie That Killed Millions and Accelerated Climate Change. Minnesota:
Tundra Cub.
Michael
Shellenberger. We
Don’t Need Solar and Wind to Save the Climate – And It’s A Good Thing Too.
Michael
Shellenberger. Yes,
Solar and Wind Really Do Increase Electricity Prices – And For Inherently
Physical Reasons.
R.
Andika Putra Dwijayanto. Apa Benar Listrik Dari
Nuklir Mahal? Tanggapan Untuk Arcandra Tahar.
R. Andika
Putra Dwijayanto. Melenyapkan
Ketakutan Terhadap Kecelakaan Nuklir.
R. Andika
Putra Dwijayanto. Redefinisi
Bahaya Limbah dan Radiasi Nuklir.
United Nations
Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation. 2011. Sources and Effects of Ionizing Radiation
Volume II Annex D. New York: UNSCEAR.
Zbigniew
Jaworowski. 2009. The Chernobyl Disaster
and How It Has Been Understood. London: WNA.
0 comments:
Post a Comment