Friday 11 May 2018

Moral Case for Nuclear Power: Tanggapan Untuk DEN dan METI


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)

Berita terbaru yang dimuat dalam kolom berita rmol.co (4/5) cukup menggelitik. Dalam berita itu, Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN), Saleh Abdurrahman, mengatakan bahwa PLTN tidak akan dibangun hingga tahun 2050. Menurutnya, berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), PLTN hanya boleh dibangun jika tidak ada lagi sumber energi di Indonesia.

Selain itu, dinyatakan pula bahwa biaya pembangunan PLTN terlalu tinggi dan harga listriknya per kWh terlalu mahal. Termasuk jika ditambah dengan risiko kecelakaan.

Namun, pernyataan paling mengganggu datang dari Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Herman Darnel Ibrahim. Menurutnya, risiko pembangunan PLTN sangat besar, dan jika kecelakaan PLTN terjadi, akan membahayakan manusia dan menyebabkan kelumpuhan ekonomi dan “kebangkrutan negara”.  Selain itu, Herman juga mengatakan bahwa biaya investasi 5.000 MWe PLTN itu sebesar Rp 500 trilyun, cukup untuk 20.000 MWe PLTU atau 30.000 MWe PLTGU.

Kedua pernyataan ini cukup menunjukkan betapa piciknya pandangan DEN terkait climate change dan energy security. Pandangan terhadap energi nuklir pun tidak kalah piciknya. Tidak mengejutkan, tentu saja, mengingat sepak terjang DEN selama ini. Namun, pandangan picik seperti ini perlu dikoreksi, agar tidak menimbulkan sesat pikir di kalangan masyarakat. Apalagi jika sesat pikir ini justru diharapkan demi memuluskan kepentingan politiknya.

Setidaknya ada beberapa sesat pikir dalam pernyataan-pernyataan di atas. Pertama, mengeksploitasi energi hingga habis (kemungkinan besar yang dimaksud adalah energi fosil) sangat membahayakan ketahanan energi negara. Data dari BP Statistical Review of World Energy edisi Juni 2017 mengungkapkan bahwa cadangan terbukti gas alam Indonesia sebesar 2,9 trilyun m3 dan batubara sebesar 25,573 milyar ton. Dengan rasio reserve to production (R/P) seperti saat ini, cadangan gas alam hanya mampu bertahan 41 tahun ke depan dan batubara selama 59 tahun ke depan.

Tapi itu jika rasio R/P sama seperti sekarang, yang mustahil seperti itu kasusnya. Mengingat konsumsi akan terus meningkat seiring dengan target kenaikan suplai energi. Maka, ketahanan yang sebenarnya bisa jadi kurang dari itu.

Nyatanya, Outlook Energi Indonesia keluaran Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengestimasikan bahwa Indonesia akan menjadi net importir gas alam pada tahun 2025 pada skenario dasar dan 2024 pada skenario tinggi. Batubara sendiri, berdasarkan proyeksi BPPT, baru akan habis pada tahun 2050. Tapi itu tidak terlalu relevan, mengingat jauh sebelum 2050, gas alam Indonesia sudah harus impor.

Indonesia telah menjadi net importir minyak bumi sejak tahun 2004. Maka, setelah tahun 2025, Indonesia turut menjadi net importir gas alam. Sementara, berdasarkan skenario RUEN, 24% energi Indonesia pada tahun 2050 disuplai oleh gas alam. Sehingga, Indonesia harus mengimpor sekitar 40% energinya hingga tahun 2050 dan selewat 2050 hampir 70% energinya impor.

Pertanyaannya, ketahanan energi macam apa yang ingin diwujudkan dari impor energi sebesar ini?

Jika dikatakan bahwa Jepang dan Korea Selatan saja impor energi, maka pertanyaannya, memangnya Indonesia punya bargaining position apa di dunia? Kedua negara itu merupakan negara industri yang jauh lebih maju dari negara ini, dan mereka senantiasai tunduk patuh pada negara adidaya, Amerika Serikat. Indonesia punya apa?

Menggantungkan diri pada belas kasih negara adidaya yang memiliki sumber daya energi lebih banyak sama sekali bukan langkah bijak. Mereka akan dengan mudah mengendalikan kebijakan-kebijakan dalam negeri sebagai imbalan suplai energi. Sudah berapa banyak Undang-Undang di negeri yang merupakan pesanan asing? Apa mau diperparah lagi?

Kedua, pernyataan di atas merupakan kejahatan terhadap planet ini. Menggantungkan hampir 70% kebutuhan energi nasional pada energi fosil sama saja turut berkontribusi dalam mengakselerasi perubahan iklim serta pengasaman lautan, yang kemudian dapat berimbas pada bencana iklim pada paling lambat akhir abad ini (bisa jadi lebih cepat).

Tidak perlu banyak beretorika soal “energi terbarukan” (baca: energi bayu dan surya), karena toh di RUEN pun baurannya hanya 31% (sudah termasuk hidro, geotermal dan biomassa). Dengan skenario RUEN, emisi CO2 ekivalen yang dipancarkan pembangkitan energi di Indonesia tetap akan naik menjadi 1.950 juta ton CO2 ekivalen. Kalkulasi penulis menunjukkan hasil lebih tinggi lagi, mencapai 2.234 juta ton CO2 ekivalen, baru memerhitungkan energi fosil saja, belum termasuk EBT.

Manapun yang benar, hasilnya tidak akan jauh dari itu: emisi CO2 naik lebih dari 3 kali lipat level 2015 alih-alih menurun. Ya bagaimana tidak naik, batubara masih menjadi opsi dominan!

Komitmen untuk mereduksi emisi dari skenario business as usual menjadi skenario RUEN tidak cukup untuk menunjukkan keseriusan mencegah dampak katastropik perubahan iklim dan pengasaman lautan. Untuk menunjukkan keseriusan, maka emisi CO2 harus direduksi minimal 80% dari seluruh sektor. Artinya, perlu dilakukan dekarbonisasi total pada seluruh sektor energi!

Opsinya bukanlah energi nuklir atau “energi terbarukan”, tapi energi nuklir atau energi fosil. Karena “energi terbarukan” tidak mungkin bsai memenuhi kebutuhan energi Indonesia secara memadai, karena limitasi alam dan hokum Fisika. Mengintegrasikan energi surya dan energi bayu dalam bauran besar dalam jaringan listrik akan mengacaukan sistem kelistrikan, membuat harga listrik lebih mahal karena nilai ekonomi yang turun drastis.

Tidak ada ekspansi energi surya dan energi bayu yang tidak dibarengi penambahan pembakaran batubara dan gas alam, karena sifat inheren dari kedua moda energi itu sendiri yang diffuse dan tidak reliabel. Cukuplah Jerman dan California menjadi bukti kenaikan konsumsi energi fosil seiring bertambahnya bauran energi bayu dan surya dalam jaringan listrik mereka. Bahkan Prancis pun terpaksa menambah pembakaran gas alam impor dari Rusia untuk mengompensasi integrasi turbin angin dalam jaringan listriknya.

Tidak pernah ada pula negara yang sukses melakukan dekarbonisasi jaringan listriknya dengan beralih pada “energi terbarukan”. Swedia, Prancis dan Swiss “membersihkan” jaringan listriknya menggunakan kombinasi energi nuklir dan hidro. Begitu pula Provinsi Ontario di Kanada. Lebih dari USD 2 trilyun telah dihabiskan untuk “energi terbarukan” antara tahun 2007-2016. Hasilnya?

Bauran energi bayu dan surya hanya 3,9% dan 1,3% bauran listrik dunia pada tahun 2016. Dengan kata lain, gagal total.

Jika seluruh dana itu diinvestasikan pada energi nuklir, dengan standar biaya pembangunan di Amerika Serikat, akan didapatkan PLTN senilai 400 GWe, setara dengan 2.980 TWh (asumsi faktor kapasitas 85%). Pembangkitan listrik di seluruh dunia pada tahun 2016 sebesar 24.353 TWh. Maka, dengan investasi yang sama, energi nuklir mampu menambah suplai energi bersih hingga 12,2%. Ditambah 10% dari kapasitas eksisting, total nuklir mampu menyumbang hingga 22% bauran pembangkitan listrik dunia. Kira-kira 4,2x lebih banyak daripada yang bisa disumbangkan energi bayu dan surya hingga saat ini.

Jelas sekali bahwa energi nuklir jauh lebih efektif dan efisien dalam melakukan dekarbonisasi energi. Investasi pada energi bayu dan surya adalah sebuah kekeliruan luar biasa.

Prancis tidak pernah berniat memitigasi pemanasan global (dan perubahan iklim yang menyertainya) ketika beranjak ke energi nuklir pada dekade 1970-an. Mereka hanya ingin ketahanan energi yang lebih baik. Tapi konsekuensinya, Prancis menjadi salah satu negara dengan emisi CO2 paling rendah pada sektor kelistrikan di Eropa dan dunia. Mereka melakukannya dengan cepat, murah dan sukses.

Bandingkan dengan Jerman yang banyak koar-koar dengan proyek "energi terbarukan" mereka, tapi hingga saat ini tidak pernah berhasil. Jerman hanya membuang uang milyaran USD, tapi emisi CO2 tidak juga turun, ketergantungan terhadap batubara tidak berkurang, dan harga listrik malah tambah mahal. Itulah hasil dari mengabaikan nuklir dan percaya pada ilusi "energi terbarukan".

Ketiga, dari mana angka Rp 500 trilyun untuk 5.000 MWe? Angka tersebut setara dengan overnight cost energi nuklir sebesar USD 7.142/kW (asumsi kurs Rupiah ke Dollar 14.000). Mohon maaf, memangnya di Indonesia ini logis bangun PLTN dengan biaya setara PLTN Hinkley Point C di Inggris Raya? Ngarang dari mana?

Estimasi yang paling logis adalah estimasi overnight cost pembangunan PLTN di Indonesia berkisar 2.000-3.000/kW, mungkin kurang. Anggap saja overnight cost konservatif sekitar USD 2.500/kW, walau riilnya bisa lebih rendah, maka bisa didapatkan 14.000 MWe PLTN. Bukan 5.000 MWe seperti klaim Pak Herman.

Jangan tertipu dengan nameplate capacity. Angka 14.000 MWe dan 30.000 MWe itu daya maksimal yang mampu dibangkitkan secara teoretis. Nyatanya, tidak ada pembangkit yang beroperasi 100% waktu. Pasti ada waktu kosong untuk perawatan, inspeksi dan penggantian bahan bakar. Ada faktor kapasitas yang harus dipertimbangkan.

Selain itu, PLTN memiliki usia pakai yang lebih panjang daripada PLTU dan PLTGU. Jika kedua pembangkit terakhir paling mentok usia pakainya hanya 40 tahun, maka PLTN bisa beroperasi hingga 80 bahkan 100 tahun, jauh melebihi desain standarnya! Beberapa PLTN di Amerika Serikat sedang mengajukan perpanjangan lisensi untuk kedua kalinya, memperpanjang usia pakai menjadi 80 tahun. Padahal teknologinya adalah teknologi tahun 1970-an!

Jika angka 14.000 MWe PLTN, 20.000 MWe PLTU dan 30.000 PLTGU dibandingkan, belum tentu selama lifetime-nya, PLTN membangkitkan listrik lebih sedikit. Dengan faktor kapasitas PLTN 85%, PLTU dan PLTGU 60%, serta usia pakai seperti di paragraph sebelumnya, maka sepanjang lifetime, PLTN mampu membangkitkan 8.339 TWh listrik. Sementara, PLTU dan PLTGU masing-masing hanya 4.205 dan 6.307 TWh listrik.

Jadi, mana yang lebih unggul?

Keempat, komentar-komentar (maaf) dungu soal keselamatan energi nuklir ini melelahkan. Karena tidak pernah ada buktinya dan selalu hanya digunakan dalam politics of unreasonable fear. Pernyataan-pernyataan tanpa landasan yang cuma mengamplifikasi ketakutan public dengan menyebarkan kebohongan-kebohongan dan pembingkaian informasi dengan jahat.

Kapan kecelakaan PLTN pernah membahayakan manusia? Hanya di kecelakaan PLTN Chernobyl Unit 4. Itupun terjadi karena cacat alamiah pada desain reaktornya dan kedunguan operator PLTN yang mengabaikan peringatan dari sistem keselamatan reaktor. Korban jiwa yang disebabkan pun hanya 31 orang (orang tewas di jalanan Indonesia tiap hari lebih dari dua kali lipat angka itu!). UNSCEAR melaporkan bahwa tidak ada dampak genetik, leukemia dan insidensi kanker lainnya pada populasi umum karena kecelakaan Chernobyl. Sekitar 4.000 orang yang terdiagnosis menderita kanker tiroid pada awal terjadi kecelakaan bisa disembuhkan dengan mudah, dan hanya sedikit sekali yang tidak selamat.

Padahal, kecelakaan Chernobyl adalah kecelakaan terparah yang mungkin terjadi pada sebuah PLTN.

Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi lebih baik lagi, karena tidak ada seorangpun yang tewas karenanya. Dampak lingkungan yang disebabkannya pun sangat minimal. Tidak ada alasan mengapa kawasan di dekat PLTN Fukushima Daiichi (serta kota Chernobyl dan Pripyat) tidak boleh ditinggali lagi; kawasan-kawasan itu tidak pernah berada dalam kondisi berbahaya sejak beberapa hari pasca kecelakaan!

Nyatanya, energi nuklir adalah energi paling selamat. Tingkat kematian per TWh energi yang dibangkitkan adalah yang paling rendah dibandingkan moda energi lain, bahkan dibandingkan energi surya dan bayu sekalipun.


Peluang terjadinya kecelakaan PLTN pun sangat kecil. Menurut Dr. Alexander Agung, Ketua Prodi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, dari pengalaman operasional sekitar 580 reaktor sejak tahun 1954-2011, didapatkan nilai core damage frequency (CDF) sebesar 7,6x10-4/reaktor-tahun dan large release frequency (LRF) sekitar 10-6/reaktor-tahun. Di Swedia, untuk PLTN Ringhals di selatan Gothenburg, sebagai contoh, CDF-nya sebesar 10-6 dan LRF sebesar 10-7, yang artinya probabilitas pelepasan radioaktif dari 1 unit PLTN Ringhals adalah 1 kejadian dalam 10 juta tahun! Padahal masa operasinya “hanya” sampai tahun 2040-an.

Kegagalan berpikir kalangan anti nuklir adalah, mereka menyatakan sebuah peluang yang mungkin terjadi, tapi tidak menjelaskan sama sekali seberapa mungkin peluang itu dapat terjadi. Kecelakaan nuklir parah barangkali memang dapat menyebabkan dampak buruk pada lingkungan, tapi seberapa mungkin hal itu terjadi? Sangat kecil! Ini yang tidak pernah dibahas, entah karena ketidaktahuan atau memang disengaja.

George Monbiot, kolumnis The Guardian yang berubah dari anti-nuklir menjadi pro-nuklir pasca kecelakaan Fukushima Daiichi, mengungkapkan, "While nuclear causes calamities when it goes wrong, coal causes calamities when it goes right, and coal goes right a lot more often than nuclear goes wrong." Bahkan "calamities" yang disebabkan nuklir pun sebenarnya criminally overrated. Mayoritas masalah seputar kecelakaan nuklir terjadi bukan karena radiasi nuklir, tapi karena orang-orang panik.

Batubara, yang ironisnya tidak dipersoalkan oleh Pak Herman, adalah sumber kematian terbesar dari berbagai jenis pembangkitan energi. Tapi seberapa besar dampak kematian (serta dampak kesehatan) ini pernah disorot oleh kalangan anti nuklir? Jarang sekali, kalau bukan tidak pernah. Sungguh sebuah kegagalan berpikir yang luar biasa.

Jadi jelas, argumen dari Pak Saleh dan Pak Herman itu keliru dan berbahaya bagi keberlangsungan energi negeri ini secara khusus dan keselamatan planet ini secara umum. Keengganan untuk menggunakan energi nuklir secara masih sejak dari sekarang akan mencederai iklim lebih jauh darn mengganggu ketahanan energi negara. Sementara, lagu lama soal keselamatan nuklir itu seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang, tapi tidak pernah ada buktinya di dunia nyata.

Hadapilah, politik energi DEN adalah politik energi dungu, sama seperti Jerman. Kalau serius peduli terhadap perubahan iklim dan ketahanan energi nasional, maka yang seharusnya menjadi tulang punggung energi negara adalah nuklir, bukan energi fosil!

Daftar Bacaan
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2017. Outlook Energi Indonesia 2017. Jakarta: BPPT.
Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
British Petroleum. 2017. BP Statistical Review of World Energy June 2017. London: BP.
George Erickson. 2013. Unintended Consequences, The Lie That Killed Millions and Accelerated Climate Change. Minnesota: Tundra Cub.
R. Andika Putra Dwijayanto. Redefinisi Bahaya Limbah dan Radiasi Nuklir.
United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation. 2011. Sources and Effects of Ionizing Radiation Volume II Annex D. New York: UNSCEAR.
Zbigniew Jaworowski. 2009. The Chernobyl Disaster and How It Has Been Understood. London: WNA.

0 comments:

Post a Comment