Saturday 4 August 2018

Seberapa Besar SDA Energi Yang Kita Konsumsi Seumur Hidup?


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)

Energi merupakan kebutuhan pokok manusia. Tanpa energi, manusia tidak bisa melaksanakan aktivitasnya. Pada abad 21, kebutuhan energi ini meluas bentuknya. Dari yang hanya energi kimia dalam bentuk makanan dan biomassa, kini ditambah energi kimia untuk transportasi, energi termal dan energi listrik. Peradaban manusia tidak bisa bergerak tanpa adanya listrik dan bahan bakar transportasi.

Mengingat sangat krusialnya kebutuhan energi, pengerukan besar-besaran sumber daya energi (SDA energi) dalam bentuk energi fosil pun menjadi tidak terelakkan. Namun, hal ini mengundang masalah. SDA energi fosil dikeruk dalam laju yang tidak berkelanjutan. SDA energi fosil dikeruk dengan begitu cepat sehingga akan habis dalam kira-kira seabad ke depan.

Sebelum memikirkan dampak perubahan iklim dari pembakaran SDA energi fosil, laju konsumsi yang tidak berkelanjutan ini pun sudah menjadi masalah.

Apa ada yang pernah terpikirkan, seberapa besar SDA energi yang dikonsumsi seumur hidup kita?

Saya kira cukup penting untuk mengetahui seberapa besar SDA energi yang kita konsumsi. Setidaknya, kita bisa mempertimbangkan opsi-opsi SDA energi yang konsumsinya tidak begitu besar. Lebih bagus lagi kalau bisa murah juga.

Di sini, saya coba menghitung seberapa besar SDA energi yang kita konsumsi sepanjang usia hidup kita. Untuk mempermudah perhitungan, saya buat beberapa asumsi dan simplifikasi. Pertama, yang disebut “seumur hidup” di sini saya asumsikan adalah 69,3 tahun. Angka ini merupakan ekspektasi usia hidup penduduk Indonesia berdasarkan data WHO. Kedua, saya tidak membedakan antara konsumsi energi ketika masih bayi dengan ketika dewasa dan tua, walau sebenarnya pasti beda. Pokoknya dianggap sama semua.

Ketiga, konsumsi energi yang dihitung adalah konsumsi energi final. Berarti konsumsi energi listrik, energi transportasi dan kalor sudah termasuk semuanya. Keempat, SDA energi yang diperhitungkan adalah minyak bumi, batubara, gas alam dan bahan bakar nuklir. So-called “energi terbarukan” tidak dimasukkan dalam perhitungan karena (1) Mereka tidak butuh bahan bakar, dan (2) Mereka tidak berguna dalam menjalankan peradaban manusia abad 21. Kelima, perhitungan dilakukan pada tiap jenis SDA energi. Jadi dianggap bahwa seluruh energi yang dikonsumsi oleh seseorang bersumber hanya dari satu jenis SDA energi saja.

Konsumsi energi yang menjadi patokan adalah konsumsi energi Indonesia pada tahun 2017, yakni sekitar 7900 kWh/kapita. Sebagai komparasi, dihitung juga konsumsi SDA energi jika menggunakan standar konsumsi energi di Malaysia dan Jepang, masing-masing sekitar 37000 kWh/kapita dan 42000 kWh/kapita. Data konsumsi energi diolah dari BP Statistical Review of World Energy edisi 2018.

Sebagai bonus, dihitung juga berapa biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan energi tersebut.

Pertama adalah minyak bumi. Karena banyaknya produk olahan minyak bumi, maka yang digunakan sebagai basis perhitungan adalah minyak mentah (crude oil). Minyak mentah memiliki densitas energi sekitar 42 MJ/kg. Dalam prosesnya, pembakaran minyak bumi tidak bisa 100% efisien. Pasti kurang dari itu. Di sini, diasumsikan efisiensi proses pembakarannya 40%, baik itu untuk listrik atau bahan bakar dan lainnya.

Maka, kebutuhan minyak bumi seumur hidup berdasarkan standar Indonesia adalah sebagai berikut.

([69.3*7900*40%]/[{42/3600}*1000]/1000] = 117,32 ton minyak mentah = 859,92 barrel minyak mentah

Jadi, berdasarkan standar konsumsi energi Indonesia, tiap-tiap penduduk negeri ini mengonsumsi sekitar 860 barrel minyak mentah sepanjang hidupnya.

Kalau menggunakan standar Malaysia dan Jepang, maka tiap-tiap penduduk Indonesia mengonsumsi 549,45 ton/4027,47 barrel minyak mentah dan 623,7 ton/4571,72 barrel minyak mentah. Bukan jumlah yang sedikit.

Berapa biaya yang harus dikeluarkan? Harga minyak bumi rerata tahun 2017 kira-kira dibulatkan menjadi USD 55/barrel. Jika angka ini yang menjadi patokan, maka sepanjang usianya, tiap orang Indonesia mengeluarkan biaya hingga USD 47.295,54/orang. Jika kurs IDR ke USD sebesar 14000, maka itu setara dengan IDR 685.785.362,63/orang. Kira-kira IDR 9,9 juta per tahun.

Kalau pakai standar Malaysia dan Jepang, pengeluaran selama usia hidup jadi USD 221.510/orang dan USD 251.444/orang. Setara dengan IDR 3,21 milyar/orang dan IDR 3,65 milyar/orang.

Lumayan. Lumayan mahal dan boros, maksudnya. Beruntung kita tidak mendapatkan seluruh energi kita dari minyak bumi.

Berikutnya batubara. Ada dua jenis batubara yang dipertimbangkan di sini, yaitu bituminous dan lignite. Keduanya beda dari segi densitas energi dan harga.

Pertama adalah batubara bituminous. Batubara ini memiliki densitas energi sekitar 29 MJ/kg, rata-rata. Sisanya pakai asumsi sama dengan minyak bumi.

Maka, konsumsi batubara bituminous berdasarkan standar Indonesia adalah,

([69.3*7900*40%]/[{29/3600}*1000]/1000] = 169,9 ton batubara

Konsumsi SDA energinya lebih banyak daripada minyak bumi. Wajar, densitas energinya saja lebih rendah.

Sementara, kalau menggunakan standar Malaysia dan Jepang, maka konsumsi SDA energinya masing-masing sebesar 795,76 ton/orang dan 903,29 ton/orang.

Ya, besar sekali. Bayangkan limbah dan polusi yang dihasilkannya.

Tapi apakah biaya yang perlu dikeluarkan juga lebih besar dari minyak bumi?

Karena kualitasnya tinggi, harga batubara bituminous juga relatif mahal. Mungkin sekitar USD 70/ton, kalau menilik harga domestic market obligation batubara. Nah, kalau menggunakan batubara, biaya energi yang mesti kita keluarkan seumur hidup berdasarkan standar Indonesia adalah USD 11.893/orang atau setara dengan IDR 172,4 juta/orang.

Ternyata jauh lebih murah daripada minyak bumi.

Sementara, menggunakan standar Malaysia dan Jepang, biaya yang mesti dikeluarkan adalah USD 55.702/orang dan USD 63.230/orang, atau setara dengan IDR 807,7 juta dan IDR 916,8 juta.

Lebih murah dari minyak bumi, tapi ya lumayan besar juga.

Kedua adalah batubara lignite. Densitas energinya rendah, mungkin sekitar 18 MJ/kg, rerata. Tapi harganya juga lebih murah, sekitar USD 45/ton. Barangkali. Susah nyari harga lignite di internet.

Tapi apa lebih hemat dari bituminous? Belum tentu.

([69.3*7900*40%]/[{18/3600}*1000]/1000] = 273,74 ton batubara

Dari segi konsumsi, jelas pakai lignite lebih boros. Menggunakan standar Malaysia dan Jepang, konsumsinya jadi berkisar 1.282 ton/orang dan 1.455,3 ton/orang. Bayangkan limbahnya.

Lalu berapa biayanya?

Pakai standar konsumsi Indonesia, biaya energinya sekitar USD 12.318/orang atau sekitar IDR 178,6 juta/orang. Sementara, pakai standar Malaysia dan Jepang, biayanya sekitar USD 57.692/orang dan USD 65.488/orang. Kira-kira setara dengan IDR 836,5 juta/orang dan IDR 949,6 juta/orang.

Sedikit lebih mahal dari bituminous. Tapi sekali lagi, saya kurang tahu harga lignite, jadi bisa saja perhitungan di atas hasilnya keliru. Walaupun beda, kemungkinan besar tidak jauh, lah. Jadi masih sekitaran segitu.

Kemudian adalah gas alam. Densitas energi gas alam sebesar 37 MJ/m3. Menggunakan asumsi lain yang sama, maka konsumsi gas alam untuk standar konsumsi Indonesia adalah

([69.3*7900*40%]/[{37/3600}*1000]] = 133.168 m3 = 4.711 MBTU

Agak sulit menyetarakan dengan batubara karena gas alam menggunakan satuan volume, bukan massa. Tapi kalau melihat angkanya, yah… cukup besar juga.

Apalagi kalau pakai standar Malaysia dan Jepang. Konsumsinya jadi sebesar 623.700 m3/orang atau 22.067 MBTU/orang dan 707.983 m3/orang atau 25.409 MBTU/orang.

Berapa mahal kalau diterjemahkan ke biaya? Harga gas alam dunia saat ini kira-kira USD 3/MBTU, jadi untuk biaya standar Indonesia jadi sebesar USD 14.134/orang atau IDR 205 juta/orang. Lebih mahal daripada batubara, padahal harga gas alam segitu sudah yang paling rendah selama belasan tahun terakhir.

Kalau pakai standar Malaysia dan Jepang, maka biaya yang dikeluarkan sebesar USD 66.201/orang atau IDR 960 juta/orang dan USD 75.147/orang atau IDR 1,089 milyar/orang.

Mahal juga.

Nyatanya, harga gas alam di Indonesia lebih dari USD 3/MBTU. Jadi bisa dibayangkan sendiri betapa mahalnya kalau pakai gas alam.

Baiklah, kita beranjak ke bahan bakar nuklir. Ada dua bahan bakar nuklir yang bisa dipakai, tapi di sini difokuskan ke uranium saja. Mengingat, thorium belum komersial sehingga belum tahu persis harganya berapa. Tapi karena sama-sama nuklir, saya kira sih 11-12, ya.

Harga uranium sekarang sedang rendah, sekitar USD 60/kg. Asumsinya, uranium ini akan digunakan di reaktor nuklir Generasi IV bertipe pembiak, untuk memanfaatkan seluruh potensi uranium. Ditambah dengan prosesing dan fabrikasi bahan bakarnya, kira-kira anggap saja harga uranium jadi USD 200/kg, siap pakai.

Dibandingkan bahan bakar fosil, uranium memiliki densitas energi sangat tinggi. Bila digunakan di reaktor nuklir Generasi IV, uranium memiliki densitas energi hingga 80.620.000 MJ/kg. Anggaplah parameter lainnya sama, maka konsumsi uranium menggunakan standar Indonesia adalah

([69.3*7900*40%]/[{80.620.000/3600}*1000]] = 61.12 g

Jadi konsumsinya cuma 61 g.

61 g.

Okay. Itu lebih sedikit daripada air mineral gelas.

Kalau menggunakan standar Malaysia dan Jepang? Masing-masing jadi 286,24 g dan 324,92 g.

Okay. Itu masih muat di gelas air mineral bekas. Karena patut diperhatikan bahwa uranium merupakan logam dengan kepadatan tertinggi di kerak bumi, 19x lipat lebih padat daripada air.

Berarti biayanya lebih murah dong?

Pakai standar Indonesia, biaya yang dibutuhkan selama usia hidup sebesar USD 11,22/orang atau IDR 177.238/orang. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan energi seumur hidup, cukup keluar uang tidak lebih dari 200 ribu.

Pakai standar Malaysia dan Jepang? Masing-masing sebesar USD 57,25/orang atau IDR 830.104/orang dan USD 64,98/orang atau sekitar IDR 942.280/orang.

Jadi, dengan standar tinggi sekalipun, tiap orang mesti keluar uang kurang dari 1 jt. Seumur hidup.

Okay.

Jadi, ya. Jelas sekali bahwa bahan bakar nuklir adalah yang konsumsi SDA energinya paling sedikit dan biaya yang perlu dikeluarkan orang-orang paling rendah. Dari nilai densitas energinya yang luar biasa tinggi saja sudah ketahuan, kok. Sekalipun harga uranium per satuan massa lebih mahal daripada energi fosil, tapi itu jadi tidak relevan mengingat tingginya densitas energi uranium.

Berdasarkan hitung-hitungan di atas, untuk menjaga keberlanjutan penggunaan SDA energi, energi nuklir adalah opsi yang jauh lebih baik daripada energi fosil. Konsumsi SDA energinya sangat sedikit, sehingga konservasi bahan bakarnya lebih berkelanjutan. Biaya yang perlu dikeluarkan orang-orang untuk mendapatkan energi pun luar biasa rendha. Dan tentu saja, limbah yang dihasilkan serta dampak lingkungannya adalah yang paling kecil.

Menjaga keberlanjutan energi merupakan tanggungjawab kita untuk generasi masa depan. Kalau terus mengonsumsi energi fosil dengan laju seperti sekarang, maka kita akan segera kehabisan bahan bakar dengan biaya yang tinggi. Mensubstitusikan energi fosil dengan energi nuklir akan menjaga keberlanjutan energi dengan sangat baik (bisa bertahan hingga jutaan tahun ke depan) dan biaya yang mesti dikeluarkan sangat murah.

Maka, wajar jika dikatakan bahwa memanfaatkan energi nuklir secara masif untuk menggantikan energi fosil adalah bentuk pertanggungjawaban kita terkait SDA energi pada generasi masa depan. Sehingga, mereka masih bisa memanfaatkan SDA energi yang kita nikmati saat ini, walau mungkin bukan lagi untuk dibakar demi membangkitkan energi.


0 comments:

Post a Comment