Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)
Energi merupakan kebutuhan pokok
manusia. Tanpa energi, manusia tidak bisa melaksanakan aktivitasnya. Pada abad
21, kebutuhan energi ini meluas bentuknya. Dari yang hanya energi kimia dalam
bentuk makanan dan biomassa, kini ditambah energi kimia untuk transportasi,
energi termal dan energi listrik. Peradaban manusia tidak bisa bergerak tanpa
adanya listrik dan bahan bakar transportasi.
Mengingat sangat krusialnya
kebutuhan energi, pengerukan besar-besaran sumber daya energi (SDA energi) dalam
bentuk energi fosil pun menjadi tidak terelakkan. Namun, hal ini mengundang
masalah. SDA energi fosil dikeruk dalam laju yang tidak berkelanjutan. SDA
energi fosil dikeruk dengan begitu cepat sehingga akan habis dalam kira-kira
seabad ke depan.
Sebelum memikirkan dampak
perubahan iklim dari pembakaran SDA energi fosil, laju konsumsi yang tidak
berkelanjutan ini pun sudah menjadi masalah.
Apa ada yang pernah terpikirkan,
seberapa besar SDA energi yang dikonsumsi seumur hidup kita?
Saya kira cukup penting untuk
mengetahui seberapa besar SDA energi yang kita konsumsi. Setidaknya, kita bisa
mempertimbangkan opsi-opsi SDA energi yang konsumsinya tidak begitu besar.
Lebih bagus lagi kalau bisa murah juga.
Di sini, saya coba menghitung seberapa
besar SDA energi yang kita konsumsi sepanjang usia hidup kita. Untuk mempermudah
perhitungan, saya buat beberapa asumsi dan simplifikasi. Pertama, yang disebut “seumur
hidup” di sini saya asumsikan adalah 69,3
tahun. Angka ini merupakan ekspektasi usia hidup penduduk Indonesia berdasarkan
data WHO. Kedua, saya tidak membedakan antara konsumsi energi ketika masih bayi
dengan ketika dewasa dan tua, walau sebenarnya pasti beda. Pokoknya dianggap
sama semua.
Ketiga, konsumsi energi yang
dihitung adalah konsumsi energi final. Berarti konsumsi energi listrik, energi
transportasi dan kalor sudah termasuk semuanya. Keempat, SDA energi yang
diperhitungkan adalah minyak bumi, batubara, gas alam dan bahan bakar nuklir. So-called “energi terbarukan” tidak
dimasukkan dalam perhitungan karena (1) Mereka tidak butuh bahan bakar, dan (2)
Mereka tidak berguna dalam menjalankan peradaban manusia abad 21. Kelima, perhitungan
dilakukan pada tiap jenis SDA energi. Jadi dianggap bahwa seluruh energi yang
dikonsumsi oleh seseorang bersumber hanya dari satu jenis SDA energi saja.
Konsumsi energi yang menjadi
patokan adalah konsumsi energi Indonesia pada tahun 2017, yakni sekitar 7900 kWh/kapita. Sebagai komparasi,
dihitung juga konsumsi SDA energi jika menggunakan standar konsumsi energi di
Malaysia dan Jepang, masing-masing sekitar 37000
kWh/kapita dan 42000 kWh/kapita.
Data konsumsi energi diolah dari BP
Statistical Review of World Energy edisi 2018.
Sebagai bonus, dihitung juga
berapa biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan energi tersebut.
Pertama adalah minyak bumi. Karena
banyaknya produk olahan minyak bumi, maka yang digunakan sebagai basis
perhitungan adalah minyak mentah (crude
oil). Minyak mentah memiliki densitas energi sekitar 42 MJ/kg. Dalam prosesnya, pembakaran minyak bumi tidak bisa 100%
efisien. Pasti kurang dari itu. Di sini, diasumsikan efisiensi proses
pembakarannya 40%, baik itu untuk
listrik atau bahan bakar dan lainnya.
Maka, kebutuhan minyak bumi seumur
hidup berdasarkan standar Indonesia adalah sebagai berikut.
([69.3*7900*40%]/[{42/3600}*1000]/1000] = 117,32 ton minyak mentah =
859,92 barrel minyak mentah
Jadi, berdasarkan standar
konsumsi energi Indonesia, tiap-tiap penduduk negeri ini mengonsumsi sekitar
860 barrel minyak mentah sepanjang hidupnya.
Kalau menggunakan standar
Malaysia dan Jepang, maka tiap-tiap penduduk Indonesia mengonsumsi 549,45 ton/4027,47 barrel minyak mentah
dan 623,7 ton/4571,72 barrel minyak
mentah. Bukan jumlah yang sedikit.
Berapa biaya yang harus
dikeluarkan? Harga minyak bumi rerata tahun 2017 kira-kira dibulatkan menjadi
USD 55/barrel. Jika angka ini yang menjadi patokan, maka sepanjang usianya,
tiap orang Indonesia mengeluarkan biaya hingga USD 47.295,54/orang. Jika kurs IDR ke USD sebesar 14000, maka itu
setara dengan IDR 685.785.362,63/orang. Kira-kira
IDR 9,9 juta per tahun.
Kalau pakai standar Malaysia dan
Jepang, pengeluaran selama usia hidup jadi USD
221.510/orang dan USD 251.444/orang.
Setara dengan IDR 3,21 milyar/orang dan
IDR 3,65 milyar/orang.
Lumayan. Lumayan mahal dan boros,
maksudnya. Beruntung kita tidak mendapatkan seluruh energi kita dari minyak
bumi.
Berikutnya batubara. Ada dua
jenis batubara yang dipertimbangkan di sini, yaitu bituminous dan lignite. Keduanya
beda dari segi densitas energi dan harga.
Pertama adalah batubara bituminous. Batubara ini memiliki
densitas energi sekitar 29 MJ/kg, rata-rata.
Sisanya pakai asumsi sama dengan minyak bumi.
Maka, konsumsi batubara bituminous berdasarkan standar Indonesia
adalah,
([69.3*7900*40%]/[{29/3600}*1000]/1000] = 169,9 ton batubara
Konsumsi SDA energinya lebih
banyak daripada minyak bumi. Wajar, densitas energinya saja lebih rendah.
Sementara, kalau menggunakan
standar Malaysia dan Jepang, maka konsumsi SDA energinya masing-masing sebesar 795,76 ton/orang dan 903,29 ton/orang.
Ya, besar sekali. Bayangkan limbah
dan polusi yang dihasilkannya.
Tapi apakah biaya yang perlu
dikeluarkan juga lebih besar dari minyak bumi?
Karena kualitasnya tinggi, harga
batubara bituminous juga relatif
mahal. Mungkin sekitar USD 70/ton,
kalau menilik harga domestic market
obligation batubara. Nah, kalau menggunakan batubara, biaya energi yang
mesti kita keluarkan seumur hidup berdasarkan standar Indonesia adalah USD 11.893/orang atau setara dengan IDR 172,4 juta/orang.
Ternyata jauh lebih murah
daripada minyak bumi.
Sementara, menggunakan standar
Malaysia dan Jepang, biaya yang mesti dikeluarkan adalah USD 55.702/orang dan USD
63.230/orang, atau setara dengan IDR
807,7 juta dan IDR 916,8 juta.
Lebih murah dari minyak bumi, tapi
ya lumayan besar juga.
Kedua adalah batubara lignite. Densitas energinya rendah,
mungkin sekitar 18 MJ/kg, rerata. Tapi
harganya juga lebih murah, sekitar USD
45/ton. Barangkali. Susah nyari harga lignite
di internet.
Tapi apa lebih hemat dari bituminous? Belum tentu.
([69.3*7900*40%]/[{18/3600}*1000]/1000] = 273,74 ton batubara
Dari segi konsumsi, jelas pakai lignite lebih boros. Menggunakan standar
Malaysia dan Jepang, konsumsinya jadi berkisar 1.282 ton/orang dan 1.455,3
ton/orang. Bayangkan limbahnya.
Lalu berapa biayanya?
Pakai standar konsumsi Indonesia,
biaya energinya sekitar USD 12.318/orang
atau sekitar IDR 178,6 juta/orang.
Sementara, pakai standar Malaysia dan Jepang, biayanya sekitar USD 57.692/orang dan USD 65.488/orang. Kira-kira setara
dengan IDR 836,5 juta/orang dan IDR 949,6 juta/orang.
Sedikit lebih mahal dari bituminous. Tapi sekali lagi, saya
kurang tahu harga lignite, jadi bisa
saja perhitungan di atas hasilnya keliru. Walaupun beda, kemungkinan besar
tidak jauh, lah. Jadi masih sekitaran segitu.
Kemudian adalah gas alam. Densitas
energi gas alam sebesar 37 MJ/m3.
Menggunakan asumsi lain yang sama, maka konsumsi gas alam untuk standar
konsumsi Indonesia adalah
([69.3*7900*40%]/[{37/3600}*1000]] = 133.168 m3 = 4.711 MBTU
Agak sulit menyetarakan dengan
batubara karena gas alam menggunakan satuan volume, bukan massa. Tapi kalau
melihat angkanya, yah… cukup besar juga.
Apalagi kalau pakai standar
Malaysia dan Jepang. Konsumsinya jadi sebesar 623.700 m3/orang atau 22.067 MBTU/orang dan 707.983
m3/orang atau 25.409
MBTU/orang.
Berapa mahal kalau diterjemahkan
ke biaya? Harga gas alam dunia saat ini kira-kira USD 3/MBTU, jadi untuk biaya standar Indonesia jadi sebesar USD 14.134/orang atau IDR 205 juta/orang. Lebih mahal
daripada batubara, padahal harga gas alam segitu sudah yang paling rendah
selama belasan tahun terakhir.
Kalau pakai standar Malaysia dan
Jepang, maka biaya yang dikeluarkan sebesar USD 66.201/orang atau IDR
960 juta/orang dan USD 75.147/orang atau
IDR 1,089 milyar/orang.
Mahal juga.
Nyatanya, harga gas alam di Indonesia lebih dari USD 3/MBTU. Jadi bisa dibayangkan sendiri betapa mahalnya kalau pakai gas alam.
Baiklah, kita beranjak ke bahan
bakar nuklir. Ada dua bahan bakar nuklir yang bisa dipakai, tapi di sini
difokuskan ke uranium saja. Mengingat, thorium belum komersial sehingga belum
tahu persis harganya berapa. Tapi karena sama-sama nuklir, saya kira sih 11-12,
ya.
Harga uranium sekarang sedang
rendah, sekitar USD 60/kg. Asumsinya,
uranium ini akan digunakan di reaktor nuklir Generasi IV bertipe pembiak, untuk
memanfaatkan seluruh potensi uranium. Ditambah dengan prosesing dan fabrikasi
bahan bakarnya, kira-kira anggap saja harga uranium jadi USD 200/kg, siap pakai.
Dibandingkan bahan bakar fosil,
uranium memiliki densitas energi sangat tinggi. Bila digunakan di reaktor
nuklir Generasi IV, uranium memiliki densitas energi hingga 80.620.000 MJ/kg. Anggaplah parameter
lainnya sama, maka konsumsi uranium menggunakan standar Indonesia adalah
([69.3*7900*40%]/[{80.620.000/3600}*1000]] = 61.12 g
Jadi konsumsinya cuma 61 g.
61 g.
Okay. Itu lebih sedikit daripada
air mineral gelas.
Kalau menggunakan standar
Malaysia dan Jepang? Masing-masing jadi 286,24
g dan 324,92 g.
Okay. Itu masih muat di gelas air
mineral bekas. Karena patut diperhatikan bahwa uranium merupakan logam dengan
kepadatan tertinggi di kerak bumi, 19x lipat lebih padat daripada air.
Berarti biayanya lebih murah
dong?
Pakai standar Indonesia, biaya
yang dibutuhkan selama usia hidup sebesar USD
11,22/orang atau IDR 177.238/orang. Jadi,
untuk memenuhi kebutuhan energi seumur hidup, cukup keluar uang tidak lebih
dari 200 ribu.
Pakai standar Malaysia dan
Jepang? Masing-masing sebesar USD
57,25/orang atau IDR 830.104/orang dan
USD 64,98/orang atau sekitar IDR 942.280/orang.
Jadi, dengan standar tinggi
sekalipun, tiap orang mesti keluar uang kurang dari 1 jt. Seumur hidup.
Okay.
Jadi, ya. Jelas sekali bahwa bahan
bakar nuklir adalah yang konsumsi SDA energinya paling sedikit dan biaya yang perlu
dikeluarkan orang-orang paling rendah. Dari nilai densitas energinya yang luar
biasa tinggi saja sudah ketahuan, kok. Sekalipun harga uranium per satuan massa
lebih mahal daripada energi fosil, tapi itu jadi tidak relevan mengingat
tingginya densitas energi uranium.
Berdasarkan hitung-hitungan di
atas, untuk menjaga keberlanjutan penggunaan SDA energi, energi nuklir adalah
opsi yang jauh lebih baik daripada energi fosil. Konsumsi SDA energinya sangat
sedikit, sehingga konservasi bahan bakarnya lebih berkelanjutan. Biaya yang
perlu dikeluarkan orang-orang untuk mendapatkan energi pun luar biasa rendha. Dan
tentu saja, limbah yang dihasilkan serta dampak lingkungannya adalah yang
paling kecil.
Menjaga keberlanjutan energi
merupakan tanggungjawab kita untuk generasi masa depan. Kalau terus mengonsumsi
energi fosil dengan laju seperti sekarang, maka kita akan segera kehabisan
bahan bakar dengan biaya yang tinggi. Mensubstitusikan energi fosil dengan
energi nuklir akan menjaga keberlanjutan energi dengan sangat baik (bisa
bertahan hingga jutaan tahun ke depan) dan biaya yang mesti dikeluarkan sangat
murah.
Maka, wajar jika dikatakan bahwa
memanfaatkan energi nuklir secara masif untuk menggantikan energi fosil adalah
bentuk pertanggungjawaban kita terkait SDA energi pada generasi masa depan. Sehingga,
mereka masih bisa memanfaatkan SDA energi yang kita nikmati saat ini, walau
mungkin bukan lagi untuk dibakar demi membangkitkan energi.
0 comments:
Post a Comment