Monday 6 August 2018

Aktivis Dakwah Anti Sains?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto (konseptor, bukan aktivis dakwah)

Ini cuma perasaan saya, atau memang sebagian yang mengaku “aktivis dakwah” itu anti sains?

Sejauh yang saya amati, ini bukan peristiwa yang hadir di satu-dua kelompok saja. Di banyak kelompok, bahkan yang enggak punya afiliasi sekalipun. Ketika masuk ke dunia keislaman, mulai mengkaji Islam dan mengemban dakwah Islam, pemikirannya di bidang sains dan teknologi entah kenapa ada saja yang bukannya maju, malah mundur jauh.

Contoh paling gampang dan umum itu mengenai vaksinasi dan GMO. Dengan alasan yang bisa disederhanakan dalam dua kata: tidak alami.

Kata ‘alami’ seolah-olah menjadi mantera sapu jagad yang menjadi hukum absolut tentang baik-buruk pemanfaatan sesuatu. Seolah-olah semua yang alami itu baik dan yang tidak alami (baca: sintetis) itu buruk. Menganggap semua ‘bahan kimia’ itu berbahaya, padahal seluruh makanan dan minuman yang dikonsumsinya, termasuk udara yang dihirup, adalah bahan kimia.

Isu vaksinasi mungkin yang paling sensitif. Saya sudah beberapa kali ribut dengan kalangan aktivis yang menolak vaksinasi, semua dengan alasan yang tidak bisa diterima secara rasional maupun ilmiah. Pernah saya buat status facebook yang membantah logical fallacy kaum antivaksin, dengan level bahasa yang biasa saja. Sangat argumentatif dan menantang siapa saja yang tidak setuju untuk membantah argumen saya secara ilmiah. Hasilnya? Respon-respon yang muncul adalah respon emosional, bahkan menuduh saya kasar, tidak beradab dan sebagainya. Padahal saya cuma mengungkapkan fakta apa adanya.

Bingung? Sama.

Saya enggak tahu bagaimana sikap anti vaksin ini bermula di kalangan aktivis dakwah, tapi sejauh yang saya pahami, sama sekali tidak ada dalil atau fiqih apapun yang menyuruh orang kembali ke ‘pengobatan ala Nabi’. Dalil soal cara Nabi berobat memang ada. Masalahnya, dalil itu seolah-olah ditafsirkan bahwa metode ‘pengobatan ala Nabi’ adalah metode pengobatan terbaik yang secara otomatis menegasikan perkembangan teknologi pengobatan sesuai perubahan zaman. Di era Nabi, yang ada memang baru pengobatan seperti bekam atau kay, barangkali dengan herbal yang tersedia. Makanya yang dipakai itu-itu juga. Entah kalau misalnya metode operasi dan vaksinasi sudah ada kala itu, barangkali Rasul juga pakai.

Soal sistem hidup, memang kita harus ittiba’ pada Rasul. Itu enggak ada pengecualian lagi. Urusannya bisa soal akidah. Tapi saintek enggak begitu, karena Rasul pun enggak menutup diri dari produk saintek luar. Sains itu berkembang sesuai zaman, dan Rasul sendiri terang-terangan berkata, “Kamu lebih tahu urusan duniamu.” Tapi sepertinya sebagian aktivis dakwah agak-agak keliru dengan menganggap semuanya plek mesti ittiba’ Rasul.

Oke, balik lagi ke vaksin, mereka yang menolak vaksinasi ini alasannya macam-macam. Yang enggak sepenuhnya menolak barangkali beranggapan, “Anak saya tidak divaksin tapi sehat-sehat saja!” Kalau pakai argumen itu, maka saya juga bisa bilang, “Saya pakai motor jarang pakai helm, tapi tidak pernah kecelakaan.” Tapi apakah itu menegasikan keharusan penggunaan helm untuk menjaga keselamatan?

(catatan, soal saya jarang pakai helm kalau bawa motor itu contoh buruk. Jangan ditiru!)

Ada juga yang beranggapan bahwa vaksin itu produk sintetis, penuh bahan-bahan kimia berbahaya, dan seperti saya bilang di awal, tidak alami.  Seolah-olah semua bahan yang tidak alami itu pasti akan berbahaya bagi tubuh saja. Saya divaksinasi dan Alhamdulillah sehat-sehat saja sampai sekarang. Jarang sekali sakit. Kesannya mereka-mereka yang enggak punya basis pendidikan terkait ini merasa lebih paham soal risk and benefit vaksin daripada mereka yang puluhan tahun berkutat di bidangnya. Lulusan fakultas hukum tapi bicara seolah-olah merasa dirinya professor di bidang kimia dan biologi sekaligus.

Ah, sepertinya kompleks juga kalau saya bahas semua soal antivaksin ini. Yang pasti intinya seperti itu. Mereka menolak vaksin karena dianggap tidak alami, penuh “bahan kimia”, dan kecenderungan untuk “kembali ke yang alami” dengan dalih “mengikuti contoh Rasul”. Padahal enggak ada dalil yang menyuruh orang-orang untuk “kembali ke yang alami”, dan contoh apa yang memangnya pernah ditunjukkan Rasul soal pengobatan?

Terhadap obat-obat sintetis pun apriorinya minta ampun. Saya pernah nemu orang yang menganggap, “lebih baik menderita (karena sakit yang dideritanya) daripada tubuh ini dimasuki racun-racun (maksudnya obat sintetis).” Kalau enggak salah, orang ini memilih pakai metode herbal yang sifatnya lamban dan enggak spesifik penyakit. Warbyasa... ngawurnya. Padahal semua substansi bisa menjadi racun kalau dosisnya salah. Kalau dosisnya tepat, ya mustahil.

Saya enggak mau berpura-pura pakar dalam dunia farmasi dan pengobatan. Jelas bukan bidang saya. Hanya saja, yang saya pahami dari penjelasan orang-orang di bidangnya, urusan pengobatan ini sama sekali enggak perlu dipertentangkan. Semua bisa melengkapi satu sama lain. Ada yang bisa dilakukan pengobatan modern (seperti vaksinasi) dan ada yang enggak. Begitu pula, ada yang bisa dilakukan pengobatan herbal (saya enggak mau bilang ini pengobatan Nabi, soalnya masih agak tanda tanya) dan ada yang enggak.

Sepanjang sejarah Islam, enggak pernah ada ceritanya para ilmuwan mencukupkan diri dengan pengobatan herbal. Para pakar kesehatan mulai dari Ibnu Sina sampai Abul Qasim Az Zahrawi terus mengembangkan metode pengobatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang ada di tengah umat. Bahkan sejarah vaksinasi itu kemungkinan berawal dari Khilafah Utsmaniyah, walau yang benar-benar mengisolasi dan mengembangkannya dengan serius dimulai di era Edward Jenner.

Yang kedua adalah GMO. Genetically-modified organism, atau organisme dengan genetik termodifikasi. Istilah sederhananya itu rekayasa genetik. Tanaman atau hewan diubah genetiknya dengan metode bervariasi untuk menghasilkan organisme turunan yang dianggap lebih unggul dibanding organisme aslinya.

Enggak ada yang salah dengan modifikasi genetik. Kita sudah melakukannya sejak berabad-abad yang lalu. Kawin silang, stek tanaman, itu rekayasa genetik. Nyaris semua bahan pangan yang kita makan saat ini merupakan hasil rekayasa genetik. Enggak ada yang benar-benar murni. Beras unggul, itu rekayasa genetik. Tanaman-tanaman berlabel “unggul”, itu rekayasa genetik semua. Dan itu kita makan sehari-hari, tapi sepertinya enggak ada yang komplain.

Giliran ada pelabelan khusus, misalnya ‘Kedelai GMO’ atau ‘Beras GMO’ dan sebagainya, langsung ramai-ramai menolak. Menganggap itu enggak alami dan mutlak pasti enggak sehat bagi manusia. Sampai akhirnya muncul label-label tandingan, ‘Kedelai organik’, ‘beras organik’ sampai ‘ayam organik’. Mengklaim semuanya bukan GMO dan dijamin lebih sehat, lebih aman bagi tubuh danhalalan thayyiban.

Padahal sama sekali enggak ada bukti bahwa produk GMO membahayakan kesehatan. Itu cuma propaganda kosong kelompok pseudosains anti teknologi semacam Greenpeace. Yang ada, banyak sekali orang yang tertolong dengan adanya GMO, yang produksi pangannya relatif lebih berlimpah dan kualitasnya jauh lebih baik. Sayangnya, aktivis dakwah anti-sains ini enggak mau tahu, dan ketika dikasih tahu yang benar, malah ngotot dengan pendapat sesatnya, sambil balik marah-marah ke yang menjelaskan. Duh...

Kalau nanti negeri ini memutuskan membangun PLTN, mungkin saja ada dari mereka yang menolaknya dengan merujuk pada “bahaya” yang tidak pernah ada, sambil mengklaim lebih baik menggunakan energi “alami” seperti energi angin dan matahari, sembari melupakan bahwa uranium yang merupakan bahan bakar nuklir itu asalnya dari alam juga. Atau mungkin menggugat pengawetan dengan iradiasi gamma karena menganggap itu membahayakan, sambil menggembargemborkan metode ‘pengawetan alami’ (kalau ada).

Yah, siapa yang tahu seberapa jauh kebodohan manusia bisa berkembang? Einstein saja enggak yakin kebodohan manusia ada batasnya.

Yang levelnya sudah lebih akut, mungkin akan menganggap bahwa vaksinasi dan GMO itu konspirasi Barat untuk melemahkan umat Islam. Jadi mereka menganggap bahwa yang berasal dari Barat itu busuk semua, enggak ada yang baik. Ini kesalahan berpikir. Ideologi kapitalisme memang mesti ditolak karena merupakan ideologi kufur dan rusak, tapi menganggap semua orang yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang busuk yang enggak peduli apapun selain uang? Keterlaluan sekali. Memangnya mereka juga enggak direpotkan dengan masalah kesehatan dan kelaparan, eh?

Satu hal lagi yang lumayan bikin gondok adalah ketika mereka-mereka ini merasa telah memperoleh kemenangan jika program vaksinasi dan (kemungkinan besar) GMO dihentikan baik sementara maupun permanen. Sepertinya mereka ini bahagia sekali ketika produk sains teknologi yang terbukti mampu memberikan manfaat besar bagi manusia dihentikan penggunaannya. Mirip kaum Neo-Malthusian dari segi menolak kemajuan teknologi dan berpemikiran mundur seribu tahun ke belakang.

Dan jangan bikin saya mulai bicara soal para pemuja bumi datar yang mengaku "ideologis". Makin enek saya kalau sudah menghadapi cebong-cebong ideologis semacam itu.

Hal ini menjadi masalah bukan semata-mata karena vaksin atau GMO-nya sendiri. Atau soal fakta bahwa bumi itu bulat, bukan datar. Tapi sikap menggugat otoritas sains dengan segala keterbatasan dan kedunguan mereka. Ini berbahaya, karena bisa merusak kultur keilmuan yang SEHARUSNYA dimiliki oleh umat Islam. Mana bisa umat Islam ini maju kalau otoritas ilmu pengetahuan justru ditabrak oleh mereka-mereka yang mengaku taat syariah? Padahal jelas sekali bahwa Islam enggak mengajarkan seperti itu.

Bodoh sekali kalau menganggap semakin taat syariah itu adalah dengan semakin menolak established science, mentang-mentang yang sedang maju sains teknologinya itu peradaban Barat. Itu bukan pemikiran Islam mabda'i, itu tafsir Islam level cebong. Sains teknologi adalah ilmu objektif, kita bisa mengambilnya dari manapun dan siapapun, muslim atau bukan.

Saya enggak menemukan sikap anti-sains itu sebagai sikap yang Islami. Jauh banget. Ini lebih cenderung ke sikap naturalisme, yang sama sekali enggak terkait dengan Islam. Belum terlalu parah saja levelnya, sebab kalau sudah parah, bisa jadi bakalan menyerukan untuk mengurangi habis-habisan konsumsi energi kita. Juga cocok disebut sebagai sikap konspirasionis, yang sama-sama bukan sikap Islami. Islam enggak menolak teknologi. Islam juga enggak menyuruh untuk kembali ke yang “serba alami”. Enggak ada dalilnya.

Kalau dianggap bahwa vaksinasi dan GMO itu enggak halalan thayyiban karena sifat sintetisnya, maka ini juga ngaco. Sintetis atau enggak bukan penentu sesuatu itu halalan thayyiban atau enggak. Yang menentukan adalah kandungan dari sesuatu itu, dan enggak ada ceritanya yang sintetis otomatis kandungannya lebih buruk daripada yang alami. Ngawur itu. Apalagi, terminologi halalan thayyiban lebih sering dikorupsi oleh aktivis dakwah pengikut naturalisme itu sehingga menyimpang dari pemaknaan sebenarnya. Seolah-olah “halalan” dan “thayyiban” itu variabel independen satu sama lain, padahal enggak demikian fiqihnya.

Pemikiran anti-sains ini, sadar atau enggak, mirip dengan era kemunduran berpikir kaum muslimin sebelum runtuhnya Khilafah. Kebingungan dengan kemajuan teknologi di Eropa, akhirnya ditolak karena dianggap “tidak Islami”. Bisa gawat kalau pemikiran seperti ini dipelihara. Bukan kemajuan yang bisa kita raih, malah balik ke era kemunduran lagi.

Menggugat otoritas ilmu pengetahuan dengan dalil agama adalah hal yang sama persis dengan yang dilakukan gereja Eropa pada Abad Pertengahan. Dan semua orang tahu, karena sikap seperti itu, Eropa tenggelam dalam kegelapan peradaban. Sementara di waktu yang sama, Islam menjadi peradaban paling maju ketika Khilafah Islamiyyah benar-benar memajukan sains dan teknologi, karena Islam bukan antitesis dari sains.

Khilafah Islam, biar bagaimanapun, enggak akan mungkin terlepas dari saintek. Reputasi Khilafah edisi pertama adalah “kemajuan jauh melampaui zamannya”. Sains dan teknologi dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat. Apalagi di era seperti ini, penguasaan terhadap rekayasa sains dan teknologi itu wajib dimiliki oleh Khilafah Islam. Masalahnya, kalau aktivis dakwah, khususnya yang menyerukan penegakkan kembali Khilafah, sampai ada yang punya pemikiran anti-sains, negara macam apa yang mau dibentuk mereka nanti? Bisa-bisa kalau Khalifah nanti mewajibkan vaksinasi, Khalifah ini akan dituduh “antek Yahudi” dan dilaporkan ke Mahkamah Madzhalim.

Pemikiran anti-sains itu berbahaya. Bukan saja karena menentang sunnatullah bahwa ilmu pengetahuan dan rekayasanya akan selalu berkembang, tapi juga karena ini merupakan pemikiran yang sangat mundur dan sama sekali enggak Islami. Aktivis dakwah yang menyeru kepada Islam seharusnya jauh-jauh dari pemikiran macam ini.

Ayo, belajar untuk memahami hakikat sains dan teknologi dengan lebih baik. Sadar dirilah kalau memang merasa bukan pakar, lebih baik dengarkan dan ikuti kata mereka yang lebih paham. Bersikap anti-sains, anti-vaksinasi, anti-GMO dan sebagainya itu bukan pemikiran mustanir. Itu pemikiran dangkal. Dari Level 0-7, pemikiran itu ada di Level 0. Enggak layak, lah, aktivis dakwah punya level berpikir serendah itu. Yang ada malah jadi bahan tertawaan para pakar, yang kemudian malah menurunkan kredibilitas para aktivis itu sendiri.

Menjadi tugas juga bagi para aktivis yang berkecimpung di bidang masing-masing produk sains teknologi untuk terus menyosialisasikan informasi yang sahih terkait saintek tersebut. Jangan sampai informasi sesat lebih mendominasi pemikiran para aktivis dakwah Islam daripada informasi yang lurus, karena itu bisa jadi senjata kaum kafir harbi untuk menyerang kaum muslimin.

0 comments:

Post a Comment