Sunday 10 September 2017

Perkembangan Teknologi Reaktor Maju, Sudah Sampai Mana?

Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T. *

1. Pendahuluan
Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan masalah yang menuntut penyelesaian yang tepat dan segera. Bencana iklim, yang dapat menimpa planet ini pada akhir abad 21 seandainya usaha yang dilakukan tidak berhasil, akan berdampak besar bagi kondisi sosio-politik dunia. Selain tentu saja dampaknya pada lingkungan di permukaan bumi yang tidak ringan.

Persoalan terbesar dalam penanganan pemanasan global ada pada sektor energi. Mengingat, sekitar 80℅ emisi gas rumah kaca antropogenik disumbangkan dari sektor energi. Baik itu listrik, transportasi, maupun industri. Mengingat porsinya yang besar, penanggulangan pemanasan global yang paling utama harus dilakukan pada sektor energi. Dengan cara apa? Mengeliminasi penggunaan energi fosil dan beralih menuju energi bersih.

Di berbagai forum, mulai dari tingkat mahasiswa hingga tingkat dunia, strategi konversi dari energi fosil menuju energi bersih sudah sering dibahas. Hanya ada dua opsi energi alternatif, yakni energi nuklir dan energi terbarukan. Yang kemudian menjadi persoalan, opsi pertama seringkali dianaktirikan dalam diskusi-diskusi energi bersih. Bahkan Conference of Parties tahun 2016 di Maroko sama sekali tidak menyinggung energi nuklir. Padahal, dilihat secara teknis, teknologi energi nuklir. Realitanya, energi nuklir justru merupakan opsi terbaik untuk mencegah dampak katastropik pemanasan global.

Kalau benar-benar serius ingin melawan pemanasan global, maka seharusnya energi nuklir mendapat porsi lebih dalam bauran energi dunia, bukan malah diabaikan. Khususnya teknologi energi nuklir generasi terbaru, atau Generasi IV (GenIV). Ekspansi reaktor nuklir GenIV akan mampu mengeliminasi penggunaan energi fosil dengan cepat

Dengan potensinya ini, seberapa jauh perkembangan reaktor GenIV hingga sekarang?

2. Reaktor Nuklir GenIV
Sebelum beranjak lebih jauh, pertanyaan yang mesti muncul adalah, kenapa GenIV? Ada apa dengan generasi sebelumnya?

Secara umum, sebenarnya reaktor nuklir Generasi II dan III itu baik-baik saja. Tidak ada masalah berarti secara saintifik maupun engineering yang menghalanginya untuk dibangun dan dioperasikan secara lebih masif dari ada yang sekarang. Kecuali mungkin tipe Light Water Graphite Reactor (LWGR), yang memiliki cacat desain alamiah karena kombinasi moderator dan pendinginnya yang cukup mengundang masalah. Namun, mengingat LWGR tidak lagi diproduksi, seharusnya yang ini tidak perlu diperhatikan.

Hanya saja, teknologi selalu menuntut penyempurnaan. Apalagi reaktor nuklir Generasi II dan III masih memiliki beberapa kekurangan yang masih bisa diperbaiki. Walau itu artinya harus merancang desain yang berbeda secara radikal.

Apa saja kekurangan yang mesti disempurnakan dari generasi II dan III? Diantaranya adalah pemanfaatan bahan bakar yang masih sangat minim, sistem keselamatan yang bisa dibuat pasif, produksi unit yang bisa dibuat modular, suhu operasi terlalu rendah, serta biaya pembangunan bisa dibuat lebih rendah.

Karena itulah, pada tahun 2001, Generation IV Forum (GIF) memasukkan enam desain reaktor nuklir sebagai reaktor GenIV, atau sering disebut juga reaktor maju. Keenamnya berbeda cukup signifikan dengan Generasi III, masing-masing dengan kelebihan sendiri untuk menyempurnakan aspek-aspek pada reaktor nuklir konvensional. Keenam desain itu adalah Molten Salt Reactor (MSR), Very High Temperature Reactor (VHTR), Supercritical Water Reactor (SCWR), Lead-cooled Fast Reactor (LFR), Sodium-cooled Fast Reactor (SFR) dan Gas-cooled Fast Reactor (GFR).

Dari keenam desain ini, apa saja fiturnya? Lalu, sudah sejauh mana perkembangannya?

2.1. MSR

MSR adalah desain reaktor nuklir yang menggunakan moderator grafit dan bahan bakar sekaligus pendingin berupa senyawa garam dalam bentuk cair. Berbeda dengan reaktor nuklir konvensional yang menggunakan bahan bakar padat. MSR sebenarnya konsep lama, diajukan oleh Oak Ridge National Laboratory pada tahun 1960-an. Namun, risetnya terhenti karena politik Perang Dingin Amerika Serikat pada tahun 1976, dan baru mencuat lagi pada awal abad 21.


MSR umumnya menggunakan garam fluorida sebagai pelarut, walau versi lain dengan spektrum netron cepat ada yang menggunakan garam klorida. Bahan bakar dalam bentuk senyawa garam, seperti UF4 dan ThF4, dicampur dalam garam pelarut, misalnya LiF dan BeF2. Karena menggunakan garam cair, MSR beroperasi pada suhu tinggi, antara 700-1100 C. Efeknya, MSR memiliki efisiensi termal tinggi, antara 44-56%. MSR sendiri fleksibel bahan bakar, bisa menggunakan uranium, thorium maupun plutonium. Yang menarik, MSR memiliki kemampuan pembiakan/breeding[1].

Saat ini, ada beberapa perusahaan yang mendesain MSR, seperti Flibe Energy, Martingale Inc., Terrestrial Energy, Transatomic Power, Moltex Energy dan Seaborg Technologies. Selain itu, Cina dan Uni Eropa pun serius dalam mengembangkan MSR. Cina melakukan riset TMSR yang dilakukan di SINAP, sementara negara-negara seperti Prancis, Swiss, Belanda, Jerman, Swedia, dan Inggris terlibat dalam proyek SAMOFAR.

Dari sekian banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan MSR, baru Martingale Inc. dan Terrestrial Energy yang sudah benar-benar serius dalam melisensi desainnya. Martingale Inc. merencanakan untuk membangun MSR mereka, ThorCon, di Indonesia pada awal dekade 2020. Sementara, Terrestrial Energy mengajukan lisensi di Amerika Serikat, untuk bisa mulai beroperasi juga pada awal 2020-an.

2.1. VHTR
VHTR adalah reaktor GenIV yang menggunakan moderator grafit dan pendingin gas, umumnya gas helium. Seperti MSR, VHTR bukan desain yang benar-benar baru. Komersialisasinya tertunda karena teknologi LWR pada generasi II dan III sudah lebih dulu matang di pasaran.

Bahan bakar VHTR menggunakan bentuk tri-isotropic (TRISO). Partikel uranium dalam bentuk UO2 berukuran 0,9 mm dibungkus dalam tiga lapisan karbida, yang berfungsi sebagai moderator netron sekaligus pengungkung produk fisi. Ada dua opsi fabrikasi bahan bakar TRISO dalam VHTR, yaitu dimasukkan entah dalam blok prismatik ataupun bola-bola grafit (pebble bed). Satu pebble bed seukuran bola golf dapat berisi ribuan partikel TRISO. Dalam VHTR yang menggunakan pebble bed, satu unit reaktor membutuhkan hingga ratusan ribu pebble. 


Sesuai namanya, VHTR beroperasi dengan suhu tinggi, mencapai 900-1000 C. Efeknya, VHTR mampu meraih efisiensi termal jauh lebih tinggi dari LWR (hingga 50% bahkan lebih) dan bisa digunakan untuk memproduksi hidrogen melalui radiolisis suhu tinggi. VHTR fleksibel dalam menggunakan bahan bakar, dapat menggunakan uranium, plutonium maupun thorium. Hanya saja, struktur bahan bakar VHTR sangat sulit untuk dilakukan reprosesing, sehingga kemungknan besar VHTR tidak mampu breeding, tetapi high conversion.

Beberapa prototip VHTR dengan suhu operasi lebih rendah telah beroperasi, misalnya HTR-10 di Tsinghua University, Cina, dan HTTR di Jepang. Tahun 1970-an, Jerman pernah mengoperasikan HTR berbahan bakar thorium selama 10 tahun. Saat ini, Cina sedang membangun 6 unit VHTR komersial untuk tahap awal. Reaktor Daya Eksperimental yang diajukan BATAN untuk dibangun juga menggunakan teknologi VHTR. Diperkirakan, medio 2020-an VHTR sudah bisa dikomersialkan.

2.3. SCWR
SCWR secara struktur mirip dengan reaktor generasi II dan III, yakni LWR dan CANDU. SCWR menggunakan bahan bakar padat (biasanya dalam bentuk oksida) dan pendingin air, baik air berat maupun air ringan. Namun, bejana SCWR memiliki tekanan jauh lebih tinggi dari PWR, yakni 247 atm, dengan suhu operasi mencapai 550 C. Ini di atas titik kritis termodinamik air pada suhu 374 C dan tekanan 217 atm. Artinya, pendingin SCWR berada pada kondisi superkritis.

Apa maksudnya? Pada kondisi superkritis, air memiliki dua fasa, yakni cair dan gas sekaligus. Artinya, air berada dalam kondisi air dan uap air dalam waktu bersamaan serta memiliki sifat keduanya sekaligus. Dampaknya, siklus uap SCWR menggunakan siklus uap langsung. Air superkritis dialirkan langsung ke turbin tanpa harus melalui steam generator dan menghasilkan efisiensi termal lebih tinggi dari Light Water Reactor (LWR) dan Pressurised Heavy Water Reactor (PHWR). 


Opsi bahan bakar SCWR fleksibel antara uranium dan plutonium, serta bisa digunakan dalam spektrum netron cepat maupun termal. Jepang, Kanada dan Eropa merancang desain SCWR dan kemungkinan prototipnya akan dibangun medio 2020-an.

2.4. SFR
SFR adalah desain reaktor maju yang paling banyak mendapat dukungan riset di berbagai negara. SFR menggunakan bahan bakar padat (dalam bentuk oksida atau metal) dan pendingin berupa logam natrium cair. Karena didesain untuk beroperasi pada spektrum netron cepat, SFR tidak menggunakan moderator. Konsekuensinya, bahan bakar fisil yang diperlukan agar mampu mencapai kekritisan lebih banyak. Mengingat, tampang lintang fisi di spektrum netron cepat jauh lebih kecil ketimbang di spektrum termal. SFR difokuskan untuk menggunakan bahan bakar uranium dan plutonium, walau ada juga yang mengajukan untuk menggunakan thorium (misalnya India).


Penggunaan natrium cair pada suhu operasi 510 C meniscayakan SFR beroperasi dengan tekanan atmosfer, sehingga tidak butuh bejana bertekanan tinggi seperti LWR. Kombinasi spektrum netron cepat dan siklus uranium meniscayakan SFR memiliki kemampuan pembiakan.

Dua unit SFR, yakni BN-600 dan BN-800, telah beroperasi dengan sukses di Rusia. Sementara satu unit prototip SFR di India hampir selesai dibangun. Cina memesan dua unit SFR pada Rusia. Travelling Wave Reactor (TWR), salah satu varian SFR yang didesain oleh TerraPower, diproyeksikan untuk dibangun prototipnya di Cina pada tahun 2020.

2.5. LFR
LFR mirip dengan SFR, yaitu sama-sama beroperasi dengan spektrum netron cepat. Bedanya, LFR menggunakan pendingin timbal atau timbal-bismuth cair alih-alih natrium cair. Karena menggunakan timbal, secara teoretis LFR bisa beroperasi dengan suhu lebih tinggi dari SFR, yakni mencapai 800 C. Efeknya, LFR berpotensi untuk digunakan memproduksi hidrogen. Hanya saja, masalah korosi pada suhu tinggi masih menjadi ganjalan. Sementara, suhu operasi konservatif 550 C sudah bisa dicapai.


LFR bisa menggunakan uranium maupun thorium untuk bahan bakar, serta memiliki kemampuan pembiakan. Karena timbal cair tidak mendidih pada suhu tinggi, operasi LFR pun pada tekanan rendah, hampir tekanan atmosfer. Hanya saja, harga timbal lebih mahal daripada natrium.

Riset LFR telah dilakukan di Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Eropa. Rusia sendiri relatif unggul dalam riset LFR, dengan pengalaman lebih dahulu tentang LFR untuk propulsi kapal selam militer. Rencana operasional LFR adalah mulai 2025 untuk LFR dengan suhu operasi lebih rendah dan 2040 untuk LFR suhu tinggi.

Karena sama-sama menggunakan pendingin logam cair, SFR dan LFR dapat dimasukkan dalam kategori lebih umum yaitu Liquid Metal Fast Breeder Reactor (LMFBR).

2.6. GFR
Terakhir adalah GFR. Prinsip GFR hampir mirip dengan VHTR, menggunakan bahan bakar padat dan pendingin gas. Hanya saja, bahan bakarnya dalam bentuk keramik, sementara moderatornya dihilangkan. Jadi, GFR beroperasi dengan spektrum netron cepat.

Suhu operasi GFR mampu mencapai 850 C, sehingga layak digunakan untuk produksi hidrogen. GFR mampu membiakkan bahan bakar. Karena menggunakan spektrum cepat, GFR lebih optimal menggunakan siklus uranium-plutonium.


Dibandingkan lima desain lainnya, GFR adalah satu-satunya desain reaktor GenIV yang belum pernah dibangun prototipnya. Diperkirakan, prototip GFR baru akan beroperasi lewat dari tahun 2022. Walau begitu, Euratom berencana membangun prototip GFR pada tahun 2018. Prancis, Euratom, Jepang dan Swiss bekerjasama dalam riset GFR.

3. Keunggulan Reaktor GenIV
Keenam desain reaktor maju yang dijelaskan di atas memiliki fitur-fitur yang menyempurnakan kekurangan yang ada pada reaktor nuklir Generasi III. Suhu operasi tinggi meniscayakan efisiensi termal lebih tinggi sehingga lebih hemat bahan bakar dan sebagian bisa digunakan untuk produksi hidrogen. Di masa depan, hidrogen sangat esensial untuk substitusi bahan bakar minyak, baik dipakai langsung dalam hydrogen fuel cell maupun digunakan dalam produksi bahan bakar sintetis.

Kemampuan pembiakan bahan bakar meniscayakan pemanfaatan bahan bakar jauh lebih tinggi dan efisien, sehingga meningkatkan sustainabilitas hingga 60-100 kali lebih lama. Karena pemanfaatan bahan bakar lebih baik, limbah yang dihasilkan pun lebih sedikit dan lebih mudah dikelola. Menggunakan reaktor GenIV, cadangan uranium dan thorium terbukti dunia saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dunia hingga ribuan tahun ke depan.

Sistem keselamatannya lebih baik lagi, sebagian dengan menggunakan tekanan operasi rendah, sebagian lain dengan mekanisme pendinginan alami tanpa perlu bantuan mesin. Secara keamanan, peluang bahan bakarnya disalahgunakan menjadi senjata nuklir turut berkurang juga. Sementara secara biaya, desain yang lebih sederhana dan pemanfaatan bahan bakar yang sangat baik mampu mengurangi biaya konstruksi. Ini bisa mengurangi beban modal PLTN yang memang relatif lebih mahal daripada pembangkit listrik lainnya.

4. Penutup
Tentu saja tiap-tiap desain ini masih memiliki tantangan sendiri untuk diatasi sebelum bisa dioperasikan komersial. Itu alasannya kenapa kemungkinan besar sampai medio 2020-2030 reaktor Generasi III/III+ masih akan mendominasi pembangunan PLTN. Biar begitu, beberapa reaktor maju seperti MSR dan TWR sudah bisa segera dikomersialkan pada awal 2020-an, dengan penekanan pada biaya konstruksi lebih murah dan sistem keselamatan lebih baik.

Namun, dengan teknologi Generasi III sekalipun, energi nuklir masih merupakan opsi terbaik untuk menjadi substitusi energi fosil. Kelak kemudian, sebelum pertengahan abad ini, reaktor maju akan menjaga sustainabilitas energi dalam rentang waktu sangat lama dan mampu mensubstitusi energi fosil sepenuhnya dengan cepat, demi mencegah dampak katastropik perubahan iklim.

Referensi
Andang Widi Harto, Kusnanto. Advanced Reactor Technology. Yogyakarta, Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada, 2013.
Energy Process Development, Ltd. MSR Review: Feasibility of Developing a Pilot Scale Molten Salt Reactor in the UK. London, EPD, 2015.

* Penulis adalah alumni program studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada dan anggota Komunitas Muda Nuklir Nasional. Kini menjadi asisten penelitian Mini Thorium Reactor Project.
* Materi disampaikan pada Talkshow Nuklir Online Komunitas Muda Nuklir Nasional, Sabtu 8 Juli 2017

Catatan kaki:
[1] Kapabilitas reaktor nuklir untuk menghasilkan bahan bakar sendiri dalam reaktor, seringkali lebih banyak dari yang dikonsumsinya. Bahan bakar dihasilkan dari reaksi transmutasi material fertil menjadi material fisil.

0 comments:

Post a Comment