Friday 29 September 2017

Soal Baterai Mobil Listrik dan Lithium Yang Menyebalkan Itu...

Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Saya bukan penggemar khusus mobil listrik. Keterbatasan suplai lithium dan kobalt serta harga yang kurang terjangkau agak menjadi ganjalan bagi mobil listrik untuk bisa sepenuhnya menggantikan kendaraan IFC berbasis BBM fosil. Kalau soal emisi, okelah, masih lebih baik dari menggunakan energi fosil, bahkan sekalipun menggunakan listrik sekarang yang jauh dari bersih. Cuma ya soal dua hal di atas itu yang jadi persoalan. Oh, soal limbah baterainya juga. Limbah toksik yang tidak lebih mudah ditangani ketimbang limbah nuklir.

Terkait keterbatasan suplai lithium, saya lihat postingan bang Ricky Elson nangkring lagi di beranda. Beliau curhat soal susahnya impor baterai lithium untuk proyek mobil SELO-nya. Lalu kemudian saya berselancar di om google, dan menemukan berita bahwa Indonesia berharap populasi mobil listrik mencapai 20% dari populasi mobil nasional. Tapi tentu saja, mobil listrik itu didapatkan bukan dengan memberdayakan bang Ricky, tapi IMPOR. Ah, memang dasar rezim amatiran pemalas. Maunya tinggal impor dan impor doang.

Lagian target 20% itu lumayan ngayal juga. Macam bisa dipenuhi saja. Utamanya soal kebutuhan lithium yang luar biasa tinggi.

Tahun 2015 kemarin, populasi mobil penumpang di Indonesia ada sekitar 13,5 juta unit. Menilik dari pola penambahan unit yang sekitar 1 juta mobil per tahun (berdasarkan data BPS yang cuma diperbarui sampai 2013), maka kira-kira adalah tahun 2025 itu populasi mobil penumpang sekitar 23,5 juta unit. Kalau 20% dari ini mobil listrik, berarti itu sama dengan 4,3 juta unit mobil listrik. Untuk catatan, populasi mobil listrik dunia saat ini cuma 2 juta unit, termasuk mobil hibrida. Jadi mesti ada kenaikan produksi mobil listrik yang substansial.

Kembali ke topik lithium. Kalau mau bisa mencapai 4,3 juta unit tahun 2025, anggaplah mulai dihitung dari 2018 (bentar lagi 2017 beres, soalnya), artinya butuh sekitar 615 ribu mobil listrik/tahun. Sekitar sepertiga populasi mobil listrik dunia saat ini, per tahun.

Katakanlah seluruh mobil listrik yang diharapkan beredar di jalanan negeri ini punya baterai pak 40 kWh. Untuk menampung listrik, estimasi kebutuhan lithium di baterai antara 200-400 g/kWh. Masalahnya, pabrikan lithium tidak memberitahu komposisi pasti lithium dalam baterai mereka (biasalah, rahasia perusahaan). Ambil konservatifnya saja, 250 g/kWh. Dengan kebutuhan untuk 615 ribu mobil per tahun, maka jumlah lithium yang dibutuhkan sebesar 6.150 ton. Produksi lithium dunia sekitar 35 ribu ton pada tahun 2016. Sekitar 17,6% produksi lithium dunia untuk keperluan mobil listrik Indonesia saja. Itupun kalau pak baterainya cuma 40 kWh. Kalau lebih?

Hmmm...

Yakin dah, tidak mungkin sampai 20% itu. Paling banter jauh di bawahnya. Bisa 5%, 10% (ngarep), bisa jadi kurang. Tak tahulah.

Tidak, saya tidak mau menyalahkan mereka yang riset mobil listrik. Biar bagaimanapun, itu, kan, usaha buat mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor transportasi. Ada peran yang bisa diambil mobil listrik. Cuma ya saya tidak yakin saja itu bisa jadi solusi tuntas. There's no silver bullet for everything.

Terlepas dari segala urusan keterbatasan lithium, kelakuan pemerintah yang tahunya cuma impor dan impor itu memang menjengkelkan. Bukannya memberdayakan orang lokal, malah tinggal seenak jidat saja impor. Penguasa amatiran. Ruwaibidhah.

0 comments:

Post a Comment