Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear
engineer)
Jadi saya kebetulan ketemu berita soal GESITS.
Ceritanya itu motor listrik rancangan anak negeri pertama, didesain di ITS.
Menurut berita yang beredar, rencananya mau mulai diproduksi tahun depan.
Sekilas saya baca, fiturnya lumayan menarik.
Pakai mesin berdaya 5 kW, baterai kapasitas 5 kWh, kecepatan maksimum 100 km/jam. Harganya tidak jauh-jauh dari 15-20 jutaan. Daya tempuhnya sendiri bisa
antara 85-100 km, bergantung pola berkendara. Cuma waktu catu dayanya agak
lama, 3-4 jam dari kondisi nol sampai penuh. Tapi masih wajar lah.
Tiap baca soal kendaraan listrik, pikiran
selalu melayang ke dua hal. Pertama, apa konsumsi bahan bakarnya lebih hemat?
Kedua, apa emisinya memang lebih rendah ketimbang kendaraan internal fuel
combustion (IFC)?
Ya sudah, hitung saja lagi.
Dari data di atas, baterai berkapasitas penuh 5
kWh bisa dipakai hingga 85-100 km. Ambil saja nilai tengahnya, 90
km. Artinya, 1 kWh dapat menempuh 18 km, atau 0,056 kWh/km.
Harga listrik non subsidi sebesar Rp 1467,28/kWh. Berarti, biaya bahan
bakar spesifik untuk GESITS adalah (1467,28/18) = Rp 81,52/km.
Untuk komparasi, coba bandingkan dengan motor
IFC. Di sini saya ambil Honda Supra X 125 model baru yang konsumsi bensinnya mencapai 1
liter untuk 51 km atau 0,0196 liter/km. Kenapa Supra X 125? Karena GESITS dianggap setara dengan motor IFC 125 cc. Harga Pertamax (biar adil
harus sama-sama non-subsidi) sekarang Rp 8250/liter. Berarti, biaya
bahan bakar spesifik untuk Supra X adalah (8250/51) = Rp 161,76/km.
Motor listrik GESITS masih lebih hemat bahan
bakar ketimbang motor IFC Revo. Tapi itu belum termasuk baterai.
Soal baterainya, siklus pakai baterai lithium
sendiri lumayan panjang, setidaknya bisa 1000-1200 siklus. Tesla Powerwall
mengklaim bisa 5000 siklus, tapi saya ragu bahwa (1) Klaim Tesla itu benar; (2)
Kalaupun benar, baterai GESITS kemampuannya masih jauh dari Tesla. Kalau memang
cuma bisa 1000 siklus, maka daya tempuh maksimum sebelum mesti ganti baterai
adalah (1000*90) = 90 ribu km. Kalau tiap hari orang bepergian 40 km,
itu berarti baterai baru diganti setelah (90000/40) = 2250 hari = 6,16 tahun.
Harga baterai lithium sekarang rerata sekitar USD
250/kWh. Baterai 5 kWh berarti harganya (250*5) = USD 1250 = Rp 16,875
juta (asumsi USD 1 = Rp 13500). Kemahalan? Ya, kalau menilik estimasi harga
GESITS. Berarti baterai yang digunakan memiliki harga lebih murah, barangkali
sekitar USD 150/kWh. Kalau diterjemahkan, jadi USD 750 = Rp 10,125
juta. Sedikit lebih rasional. Barangkali.
Untuk catatan, baterai Viar Q1 harganya Rp 5 juta untuk kapasitas 2 kWh. Kalau ini dijadikan standar, maka baterai GESITS
jadi Rp 12,5 juta. Tapi anggap saja angka di atas yang jadi patokan, bukan yang
ini.
Kalau menginternalisasikan harga baterai, maka
biaya baterai spesifiknya menjadi (10125000/90000) = Rp 112,5/km.
Ditotal dengan biaya listrik spesifik, jadinya Rp 194/km.
Menginternalisasikan harga baterai membuat
biaya spesifik dari motor listrik lebih mahal dari motor IFC.
Karena memang itulah masalah dari kendaraan
listrik. Baterainya. Hal yang bikin saya dari dulu skeptis kendaraan listrik
bisa menggantikan kendaraan IFC sepenuhnya, bahkan setengahnya sekalipun.
Lalu bagaimana soal emisinya? Bukankah listrik
di negeri ini lebih banyak pakai energi fosil?
Diolah dari data Dirjen Ketenagalistrikan
Kementerian ESDM Tahun 2016 dan standar emisi dari Annex III
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), didapatkan emisi spesifik
listrik Indonesia 810 g CO2 ekivalen/kWh. Ini baru listrik
PLN, belum listrik swasta. Tapi kelihatannya tidak beda jauh, mengingat
dominannya sama-sama energi fosil.
Maka, emisi spesifik motor listrik GESITS
setara dengan (810*0,056) = 45 g CO2 ekivalen/km.
Masih menurut Annex III IPCC, emisi bensin
sebesar 2,8 kg CO2/liter. Maka, emisi spesifik motor IFC Supra X setara dengan (2,8*1000*0,0196) = 54,9 g CO2 ekivalen/km.
Jadi, GESITS memiliki emisi spesifik lebih
rendah dari Supra X, walau bedanya tipis. Kalau cuma 80 km, maka emisi spesifiknya naik jadi 50,6 g
CO2 ekivalen/km. Masih lebih rendah, tapi tidak beda jauh.
Sehingga, sejatinya penurunan emisi dari motor
listrik tidak signifikan. Relatif sama saja dengan motor IFC.
Dengan kondisi kelistrikan Indonesia yang
masih didominasi energi fosil, mengatakan motor listrik lebih ramah lingkungan
itu sama saja greenwash. Karena beda emisinya tipis sekali,
bahkan boleh jadi malah sedikit lebih polutif. Kecuali kalau bisa dipastikan
bahwa listrik yang digunakan berasal dari energi hidro atau panas bumi,
misalnya. Sudah barang tentu emisinya jauh lebih rendah. Atau energi nuklir
sudah digunakan sepenuhnya sebagai pemikul beban dasar kelistrikan, barulah
emisi kendaraan listrik bisa lebih rendah dari kendaraan IFC.
Kesimpulannya, pada aspek bahan bakar, GESITS sedikit lebih mahal, sementara soal emisi, GESITS sedikit lebih rendah. Dalam skala makro, ya relatif sama saja dengan motor IFC...
Ah, tidak. Saya tidak berniat menjatuhkan atau
menjelek-jelekkan usaha tim GESITS untuk berkarya. Saya juga tidak anti
kendaraan listrik. Saya cuma mau memberi perbandingan riil, “Supaya tidak
ada greenwash di antara kita”.
Kalau ada yang mengatakan bahwa GESITS lebih ramah
lingkungan, maka itu adalah greenwash. Kalau sebagai sebuah karya teknologi
yang bisa dikomersialkan oleh tenaga lokal, GESITS itu sudah sangat luar biasa. Semoga bisa sukses dan performa ke depannya bisa lebih baik, ditunjang
dengan listrik yang lebih rendah karbon*.
*Jangan terlalu berharap soal listrik rendah karbon dalam kondisi seperti sekarang. Negeri ini banyak mafia batubara dan gas alam.
0 comments:
Post a Comment