Oleh: R.
Andika Putra Dwijayanto
Normalnya,
manusia memang senang dengan suasana sejuk. Apalagi di negara-negara tropis dan
gurun. Udara yang adem itu rasanya sangat nyaman, setidaknya dibandingkan terik
panas matahari di tengah hari bulan Juni. Udara panas itu bikin tubuh terasa
sama sekali tidak nyaman dan bawaannya bikin emosi.
Perilaku ini
tampaknya menular juga ke persoalan ceramah keagamaan. Kalau urusan ceramah,
banyak orang yang lebih senang ceramah yang menyejukkan, menenteramkan. Tidak terlalu
banyak yang senang dengan ceramah-ceramah yang, menurut istilah penikmat ‘ceramah
menyejukkan’, bersifat ‘provokatif’, ‘tidak menyejukkan’ dan sebangsanya. Belakangan
ini, ketidaksenangan itu diejawantahkan dalam bentuk yang lebih buruk daripada
pernyataan biasa: persekusi.
Saya tidak
tahu apakah pernyataan soal penolakan Ust. Bachtiar Nasir di Garut itu benar
adanya atau tidak. Yang menjadi persoalan, ini bukan pertama kalinya ormas nganu melakukan persekusi terhadap
asatidz dari kelompok lain. Walau bungkusnya macam-macam, tapi konten alasannya
relatif sama, yaitu dianggap ‘tidak menyejukkan’.
Kenapa kok dianggap
‘tidak menyejukkan’? Karena para asatidz yang dicekal dan dipersekusi itu
mengungkapkan fakta-fakta masalah umat Islam saat ini. Karena mereka
menginginkan umat sadar akan masalah yang ada dan bangkit mengatasinya. Ini yang
dianggap ‘tidak menyejukkan’. Para kyai dan asatidz ormas nganu, termasuk
barisan pemudanya yang rada-rada bengkok itu, maunya ceramah itu yang ‘menyejukkan’
saja. Yang adem-adem, tidak usah bikin panas, katanya.
Ya, ceramah
yang menyejukkan itu barangkali memang tidak membuat telinga panas. Tema-tema
seperti shalat, puasa, akhlak, serta macam-macam ibadah nafilah lainnya memang
bikin adem telinga sampai seringkali orang tidur pas pengajiannya. Persoalannya?
Ceramah-ceramah seperti itu sifatnya anestetik.
Apa maksudnya?
Ceramah-ceramah
yang selalu berkutat pada akhlak dan ibadah mahdhah seperti yang sering diadakan
oleh kalangan yang berafiliasi ke ormas nganu itu sifatnya anestetik. Dengan kata
lain, melenakan. Barangkali bisa memberi efek tenang dan adem, tapi tidak menyelesaikan masalah umat secara global.
Begini. Umat
Islam sekarang dalam kondisi sakit. Umat ini berada dalam titik nadir
peradaban. Wahn merajalela di
sana-sini, sebagaimana diperingatkan oleh Rasulullah ﷺ. Kaum muslimin jadi
rebutan orang-orang kafir dari segala penjuru. Sumber daya alam dijarah. Sumber
daya manusia dihancurkan potensinya. Akidah Islam diobok-obok oleh liberalis
dan misionaris. Syariat Islam dikriminalisasi oleh negara imperialis. Dan semua ini fakta.
Umat Islam
sedang sakit dan perlu diobati. Tapi banyak yang tidak sadar kalau mereka
sedang sakit. Jadi, umat Islam perlu disadarkan bahwa mereka sakit dan supaya
mereka meminum obat untuk menyembuhkan sakit itu. Sayangnya, sebagian orang
tidak mau meminum obat itu, dan memilih untuk menerima injeksi anestetik.
Yang namanya
anestetik itu sama sekali tidak ditujukan untuk menyembuhkan orang dari
penyakit. Anestetik hanya untuk mencegah rasa sakit dirasakan oleh sistem
saraf. Penyakitnya masih ada dan menyerang tubuh, hanya saja otak tidak bisa
memroses rasa sakit itu karena transmisi sinyal melalui saraf dihambat. Untuk
sementara waktu, barangkali anestetik akan mencegah penggunanya dari rasa
sakit. Namun, karena tidak bisa merasakan sakit itu, penyakitnya malah bisa
tambah parah, komplikasi dan pada akhirnya membahayakan nyawa orang tersebut.
Ceramah-ceramah
yang ‘menyejukkan’ sifatnya sama dengan anestesi. Barangkali membuat umat lupa
dari masalah yang mendera mereka. Tapi kalau perlakuannya dibatasi hanya dengan
ceramah anestesi saja, umat tidak akan sadar dari masalah besar yang siap
menghancurkan kaum muslimin. Kelak, yang kena dampak bukan cuma satu-dua
kelompok saja, melainkan seluruh kaum muslimin.
Untuk
mengobati umat Islam, yang dibutuhkan bukanlah anestesi, tetapi obat. Barangkali
obat ini rasanya tidak enak dan memiliki adverse
effect berupa meningkatnya rasa sakit, tapi itu hanya efek sementara saja. Dalam
jangka (tidak terlalu) panjang, penyakit yang diderita umat dapat sembuh.
Bagaimana bentuk
obat itu? Ceramah-ceramah yang menurut ormas nganu ‘tidak menyejukkan’. Ceramah-ceramah
yang memberitahu umat akan masalah-masalah yang diderita kaum muslimin. Ceramah-ceramah
yang menggugah kesadaran umat untuk bangkit dengan dan hanya dengan Islam. Ceramah-ceramah
yang membuat panas, geram, marah.
Salahkah model
ceramah seperti itu?
Dalam perjalanan
dakwahnya, Rasulullah ﷺ tidak memfokuskan diri pada hal-hal yang ‘menyejukkan’
saja. Beliau melihat bahwa tatanan masyarakat Makkah dan jazirah Arab secara
umum penuh dengan masalah. Beliau tidak menyampaikan hal-hal yang berbau
anestesi, tetapi menawarkan obat. Seandainya Rasulullah ﷺ hanya memberikan
anestesi saja, untuk apa Bani Abu Jahal repot-repot menentang dan memusuhi
dakwah beliau? Toh itu tidak mengganggu tatanan kehidupan Makkah yang sedang
berlangsung.
Nyatanya,
Rasulullah ﷺ tahu bahwa masyarakat Makkah sedang rusak. Beliau mencela
praktik-praktik penyembahan berhala penduduk Makkah. Beliau mencela kecurangan
di pasar-pasar. Beliau menyerang praktik riba di kalangan masyarakat. Semua itu
tidak ada yang ‘menyejukkan’. Menurut istilah ormas nganu, yang dilakukan
Rasulullah ﷺ adalah ‘provokasi’. Dan semua itu beliau lakukan bukan karena hawa
nafsu beliau, melainkan atas petunjuk dari Tuhan yang mengutusnya, Allah SWT.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur’an/As Sunnah) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(QS An Najm: 3-4)
Betul,
Rasulullah ﷺ mengajarkan kesabaran. Beliau mengajarkan ibadah-ibadah mahdhah dan memiliki akhlak mulia. Tapi dakwah
beliau tidak hanya pada hal-hal anestesik demikian belaka. Rasulullah ﷺ dan
para shahabat mendakwahkan Islam sebagai sebuah tatanan kehidupan utuh, yang
notabene mendobrak tradisi-tradisi yang berlaku di kalangan Arab jahiliyyah kala
itu. Dakwah Islam sebagai tatanan kehidupan utuh berperan sebagai obat yang
menyembuhkan manusia dari penyakit-penyakit kemanusiaan yang mereka derita.
Demi proses
penyembuhan itu, Rasulullah ﷺ menerima berbagai perlakuan menyakitkan. Diboikot
oleh kabilah-kabilah di Makkah. Diusir dari Thaif. Ditolak berbagai kabilah di
jazirah Arab. Demikian pula para shahabat Rasul, mereka mendapat perlakuan
mengerikan dari orang-orang Arab kafir.
Tapi itu
tidak berlangsung selamanya. Pada akhirnya, suku Aus dan Khazraj di Yatsrib
bersedia menjadi penolong bagi Rasulullah ﷺ. Saat itulah obat yang
dibawa Rasul menunjukkan khasiatnya. Masyarakat Arab dan sekitarnya disembuhkan
dari penyakit kemanusiaan. Obat ini kemudian dibawakan oleh para Khalifah
beliau hingga akhirnya mencapai separuh dunia kala itu.
Seandainya dakwah
Rasulullah ﷺ hanya berkutat pada dakwah anestetik saja, sudah barang tentu
Islam tidak akan sampai ke Nusantara.
Kembali ke linimasa
abad 21. Jadi, apa ada yang salah dengan ceramah yang ‘tidak menyejukkan’?
Jawabannya,
tergantung. Bagi yang pemikirannya lurus, tentu tidak ada masalah. Kalau orang
sadar dia sakit dan perlu minum obat supaya sembuh, sekalipun obatnya pahit dan
memberi efek samping temporer yang tidak menyenangkan, pasti dia telan juga. Yang
penting sembuh. Namun, bagi yang pemikirannya sudah terkooptasi dengan hal-hal
duniawi (baca: terkena penyakit wahn),
ceramah ‘tidak menyejukkan’ ini tentu saja mengganggu mereka. Sudah
nyaman-nyaman dengan anestesi yang diinjeksikan terus menerus, kok tiba-tiba
ada yang ‘mengganggu’ dengan menawarkan obat yang pahit dan punya efek samping
tidak mengenakkan.
Diganggu dari
zona nyaman memang tidak mengenakkan. Sama seperti kaum kafir Makkah yang
merasa zona nyamannya terganggu oleh dakwah Rasulullah ﷺ.
Yang lebih
jadi persoalan adalah ketika para penikmat anestesi kemudian mencekal hingga mempersekusi
para da’I dan ulama yang menawarkan obat. Ide tidak dilawan dengan ide. Pemikiran
tidak dilawan dengan pemikiran. Yang ada, otak dilawan dengan otot.
Tindakan irasional
seperti itu merupakan tanda-tanda kecanduan anestesi. Kecanduan yang menyebabkan
tindakan yang diambil pun tidak masuk akal. Karena ini bukan lagi soal
perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan.
Ceramah anestesi
dalam bentuknya sendiri bukan sebuah masalah. Akan menjadi masalah ketika
kemudian ceramah yang dibolehkan dibatasi hanya pada ceramah anestesi saja. Sementara,
ceramah-ceramah obat justru ditolak mati-matian. Kalau seperti itu ceritanya,
insya Allah, sampai kiamat pun umat Islam akan selalu menjadi umat yang bodoh
dan terbelakang.
Penghilang rasa
sakit mungkin akan memberi rasa nyaman. Tapi kesembuhan selalu berasal dari obat
yang pahit. Itupun seandainya mau rendah hati mengakui kalau sedang sakit.
Tjakep
ReplyDeleteLembut khas Rasulullah
Tidak teriak teriak