Thursday 19 April 2018

Apa Benar Nuklir Mahal? (Tanggapan Untuk Arcandra Tahar)


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)

Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, mengungkapkan bahwa listrik dari energi nuklir itu mahal. Sebagaimana dilansir dari Viva.co.id (19/4), Pak Arcandra menggugat klaim bahwa listrik itu murah.

“Banyak yang mengatakan, ‚mari nuklir, mana yang lebih murah, nuklir atau EBT lain‘. Banyak yang mengatakan nuklir itu USD 5-6 sen per kWh, tapi nuklir itu USD 14 sen per kWh, saya cek lapangan.“ Katanya.

Beliau melanjutkan bahwa dirinya telah meninjau harga listrik dari Rosatom. Yang mana, Rosatom mematok harga USD 12 sen per kWh [1]. Sebelumnya, pada tahun 2017, Pak Arcandra juga mempersoalkan tentang mahalnya harga listrik dari nuklir di kolom di Selasar.com [2].

Walau pernyataan beliau tidak sepenuhnya salah, tetapi ada beberapa kesalahan berpikir yang dilakukannya. Sehingga, kesimpulannya jadi keliru.

Pertama, nuklir mahal itu di mana? Di Eropa dan Amerika Serikat. World Nuclear Association membuat analisis berapa estimasi rentang biaya pembangunan PLTN di berbagai belahan dunia. Hasilnya, biaya pembangunan di Asia lebih rendah daripada di Eropa dan Amerika Serikat [3], sebagaimana ditunjukkan dalam grafik berikut.

Gambar 1. Rentang biaya pembangunan PLTN di berbaagi wilayah di dunia (sumber: WNA)

Jika di Amerika Serikat dan Eropa, overnight cost PLTN mencapai USD 4000-5000 per kW, maka di Asia (selain Timur Tengah) hanya berkisar USD 2000-3000 per kW. Sebagai contoh, PLTN Shin Kori unit 3 dan 4 di Korea Selatan membutuhkan biaya USD 5 milyar untuk daya 2700 MWe, atau overnight cost sebesar USD 1850 per kW [3].

Berdasarkan kalkulasi peneliti BATAN [4], overnight cost dari PLTN tipe PWR OPR-1000 diestimasikan sebesar USD 2000/kW. Dengan laju diskonto 10%, angka ini diterjemahkan menjadi USD 5,363 sen per kWh. Jadi, angkanya memang berkisar segitu.

Uni Emirat Arab membangun empat unit PLTN dengan daya total 5600 MWe. Kontrak pembangunannya sebesar USD 20,4 milyar, atau USD 3643 per kW [3]. Jika laju diskonto sama-sama 10%, maka biaya pokok pembangkitan (BPP) listriknya berkisar USD 6,5 sen per kWh. Tidak sampai USD 10 sen per kWh. Padahal itu di Timur Tengah, yang notabene lebih mahal dari wilayah Asia lain karena tantangan geografis.

Mengapa di Eropa dan Amerika Serikat mahal? Masalah pertama tentu saja soal ongkos buruh yang lebih tinggi. Masalah kedua adalah sesuatu yang disebut Prof. Bernard Cohen sebagai regulatory ratcheting [5]. Regulasi nuklir yang terus menerus mengetat dan tidak pernah melonggar, padahal pengetatan regulasi itu tidak terbukti meningkatkan level keselamatan reaktor. Dengan kata lain, regulasi nuklir yang tidak rasional.

Indonesia belum memiliki PLTN dan tidak sedang membangun PLTN. Maka, masih ada waktu untuk membuat regulasinya lebih rasional daripada di Amerika Utara dan Eropa.

Yang jelas, menyamakan kondisi antara Amerika Utara dan Eropa dengan Asia itu tidak tepat.

Kedua, Pak Arcandra salah tanya. Rosatom bukan tempat yang tepat untuk menanyakan BPP listrik dari energi nuklir. Seluruh ekspor PLTN Rosatom sejauh ini menggunakan mekanisme build-own-operate (BOO). Yang terbaru diresmikan adalah proyek PLTN Akkuyu di Turki [6]. Rosatom menanggung sebagian besar bahkan seluruh biaya pembangunan, dengan konsekuensi mereka yang memiliki PLTN selama jangka waktu tertentu dan berhak menjual listrik dengan harga yang ditetapkannya.

Jadi, harga yang diberikan Rosatom bukan BPP listrik, tapi tarif yang dipatok. Sama saja dengan power purchase agreement (PPA), yang nilainya tentu di atas BPP listrik. Sebagai perbandingan, PLTN Novovoronezh di Rusia menghabiskan biaya USD 5 milyar untuk daya 2136 MWe atau USD 2341 per kW [7]. Diterjemahkan menjadi BPP listrik sekitar USD 6 sen per kWh.

Ketiga, penyedia teknologinya keliru. Diantara persoalan mahalnya biaya pembangunan PLTN di negara-negara Barat adalah inkompetensi vendor PLTN itu sendiri. Dalam hal ini adalah Westinghouse, General Electric dan AREVA (sekarang ORANO). Vakumnya pembangunan PLTN selama puluhan tahun di negara-negara Barat membuat mereka kehilangan pengalaman pembangunan yang dimiliki selama ini.

Sehingga, ketika vendor PLTN tersebut akhirnya mendapat proyek konstruksi PLTN lagi, minimnya pengalaman yang tersisa menimbulkan berbagai kesulitan, yang akhirnya membuat pembangunan PLTN mengalami cost overrun dan delay yang relatif lama. Contohnya PLTN VC Summer di Amerika Serikat (menggunakan teknologi AP1000 milik Westinghouse) dan PLTN Olkiluoto di Finlandia (menggunakan teknologi EPR milik ORANO) [8].

Berbeda kasusnya dengan Korea Selatan, yang dalam hal ini diwakili oleh BUMN nuklir mereka, Korean Electric Power Corporation (KEPCO). Alih-alih terputus, KEPCO terus membangun pengalaman pembangunan PLTN mereka selama puluhan tahun dengan desain yang terstandardisasi. Pengalaman pembangunan dan standardisasi desain ini mampu membuat KEPCO membangun PLTN secara lebih efektif [8]. Sehingga, Korea Selatan mampu membangun PLTN dengan biaya lebih rendah dibandingkan kompetitornya. Berdasarkan estimasi World Nuclear Association, BPP listrik dari energi nuklir di Korea Selatan berkisar USD 4,2-4,8 sen per kWh, dengan laju diskonto 10% [3].

Jika Indonesia akan menggunakan PLTN, maka kemungkinan besar teknologi pertama akan impor. Pertanyaannya, impor dari mana? Di sinilah yang kemudian akan menentukan apakah harga listrik dari PLTN akan mahal atau murah. Kalau mengikuti skema Rusia, jelas akan mahal. Begitu pula kalau menggunakan teknologi Westinghouse atau ORANO. Bukan tanpa alasan Uni Emirat Arab memilih teknologi KEPCO untuk dibangun di negaranya; Korea Selatan memang mampu membuat listrik dari nuklir menjadi murah berdasarkan pengalaman pembangunannya.

Keempat, tidak memerhatikan teknologi reaktor maju. Mungkin pendapat ini kurang populer, tapi sebaiknya, ketika Indonesia menyatakan untuk go nuclear, lompati saja PLTN Generasi III. Sebaiknya langsung masuk ke Generasi IV, atau biasa disebut reaktor maju. Apa pasal? Fitur-fitur yang dimiliki oleh teknologi reaktor maju dimaksudkan untuk mereduksi biaya pembangunan PLTN, sekaligus meningkatkan level keselamatannya tanpa harus terjerat regulatory ratcheting/regulasi tidak rasional yang mungkin menghajar reaktor Generasi III.

Energy Innovation Reform Project (EIRP) mengeluarkan laporan hasil studi nilai keekonomian berbagai jenis teknologi reaktor maju (walau diantaranya ada teknologi Generasi III+ alih-alih Generasi IV) [9]. Laporan itu mengungkapkan bahwa estimasi BPP listrik dari berbagai teknologi reaktor maju berkisar antara USD 30-90 per MWh, atau USD 3-9 sen per kWh. Jauh dibawah angka USD 12 sen per kWh yang diungkapkan Pak Arcandra. Self-assessment ThorCon terhadap teknologinya sendiri [10] mengungkapkan bahwa teknologi reaktor maju mereka mampu membangkitkan listrik dengan biaya USD 3 sen per kWh, lebih murah dari batubara, sekalipun dengan laju diskonto tinggi.

Tentu saja klaim-klaim di atas membutuhkan bukti riil. Tetapi kalau dianalisis dari teknologi yang digunakan, mengapa tidak? Sangat dimungkinkan teknologi reaktor maju lebih murah daripada PLTN Generasi III, yang sebenarnya juga tidak mahal seandainya paham konteks persoalan.

Akhirnya, dari keempat poin di atas, poin penting yang ingin penulis sampaikan adalah memahami persoalan secara komprehensif. Hanya karena Rosatom memberi angka USD 12 sen per kWh, hanya karena di Amerika Serikat terjadi cost overrun pada pembangunan PLTN, bukan berarti di sini akan mengalami hal serupa. Kecuali kalau pemerintah Indonesia mengikuti kebodohan yang dilakukan di sana.

Murah atau mahalnya energi nuklir lebih banyak ditentukan faktor-faktor non-teknis ketimbang teknis. Nuklir sudah merupakan energi paling selamat dengan tingkat kematian per TWh paling rendah [11,12]. Maka, pengetatan regulasi keselamatan, yang berimbas pada lebih mahalnya biaya pembangunan, sama sekali tidak diperlukan.

Gambar 2. Tingkat kematian per TWh energi. Tampak bahwa nuklir adalah yang paling rendah. (diolah dari nextbigfuture.com)


Pemilihan vendor bisa dilakukan dengan cermat, sehingga jangan sampai membeli teknologi yang malah jatuhnya mahal karena inkompetensi vendor tersebut. Skema pembangunan pun dapat menentukan mahal murahnya energi listrik. Penulis sama sekali tidak mendukung ide PLTN dibangun dan dimiliki oleh swasta. Karena swasta mengandalkan utang untuk modal, dan jika mengandalkan utang berbunga, jelas saja harga listriknya jadi lebih mahal. Belum lagi fakta bahwa swasta selalu meminta PPA yang nilainya jauh lebih tinggi daripada BPP listriknya.

Terlalu gegabah kalau mengatakan energi nuklir itu mahal hanya karena melihat satu aspek. Itupun aspek yang tidak cocok diterapkan di negeri ini. Lebih buruk lagi kalau mengatakan nuklir mahal sembari dibandingkan dengan so-called "energi terbarukan“ yang diklaim lebih murah. Karena energi nuklir selalu tersedia 24 jam dalam seminggu, sementara "energi terbarukan“ hanya beroperasi ketika matahari bersinar dan angin berembus. Perbandingan yang tidak adil.

Referensi
  1. Arcandra Tahar Tegaskan Listrik Tenaga Nuklir Tidak Murah. Diakses dari https://bit.ly/2K0C3on
  2. Negara-negara maju menggunakan energi nuklir untuk listrik, mengapa Indonesia belum melakukannya? Diakses dari https://bit.ly/2vvCvb8
  3. World Nuclear Association. The Economics of Nuclear Power. Diakses dari http://bit.ly/2jhcwJ6
  4. Mochammad Nasrullah, Nuryanti. 2013. Studi Perbandingan Biaya Pembangkitan Listrik Teraras Pada Pembangkit Energi Terbarukan Dan PLTN.Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN. Bandung, 4 Juli 2013.
  5. Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
  6. Akkuyu construction formally starts. Diakses dari https://bit.ly/2j0T7i1
  7. Construction stars at second Novovoronezh-II unit. Diakses dari https://bit.ly/2HQw7Op
  8. Michael Shellenberger. Nuclear Industri Must Change – Or Die. Diakses dari https://bit.ly/2K0jRvg
  9. Energy Innovation Reform Project. 2017. What Will Advanced Nuclear Reactor Cost? A Standardized Cost Analysis of Advanced Nuclear Technologies in Commercial Development. Arlington: EON.
  10. Jack Devanney, dkk. 2015. ThorConTM The Do-Able Molten Salt Reactor: Executive Summary. Tavernier: Martingale.
  11. Anil Markandya, Paul Wilkinson. 2007. Electricity generation and health. Lancet 370: 979-990.
  12. Brian Wang. Deaths per TWh for all energy sources, Diakses dari https://bit.ly/2J9QOUK


0 comments:

Post a Comment