sumber: Generation Atomic |
Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.
(Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)
Terkait rencana pemanfaatan
PLTN di Kalimantan, Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), LSM lingkungan
nasional, mengirimkan pernyataan ke kantor berita Antara. Seperti tipikal LSM
lingkungan, Walhi tentu saja mengkritik rencana pemanfaatan PLTN. Kemudian keluarlah
klaim-klaim dengan kualitas
argumentasi selevel buzzer.
Saya sudah membaca argumen Walhi, jadi anda tidak perlu repot-repot membacanya.
Kalau dirangkum, pernyataan mereka berkisar pada masalah harga (PLTN tidak
murah), limbah radioaktif, dan keselamatan nuklir. Tidak ada yang baru, Walhi
hanya mengulang-ulang buzzword basi tentang energi nuklir. Buzzword yang
tidak lebih dari pseudoscience at best, dan hoax at worst.
Pertama, masalah biaya. Walhi mengklaim bahwa banyak biaya dalam PLTN
yang tidak diperhitungkan ketika mengklaim PLTN itu murah. Mereka menyebutkan
soal biaya pengayaan, penyimpanan limbah, dan dekomisioning reaktor. Apakah
benar klaim ini? Bagi mereka yang paham sistem energi nuklir bekerja, klaim ini
mungkin hanya akan ditertawakan saja.
Teknologi reaktor nuklir saat ini masih Generasi III. Belum ada PLTN
Generasi IV dengan kapabilitas pembiakan bahan bakar (breeding) yang
sudah beroperasi. Artinya, semua PLTN masih beroperasi menggunakan bahan bakar
uranium pengayaan rendah, kecuali PLTN tipe pressurised heavy water reactor (PHWR)
yang menggunakan uranium alam.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin biaya pengayaan bahan bakar tidak
dimasukkan dalam perhitungan harga listrik PLTN sementara bahan bakar yang
digunakan memang menggunakan uranium diperkaya? Uranium yang sudah
melalui proses pengayaan terlebih dahulu? Atau bagaimana mungkin PLTN tipe PHWR
dianggap tidak memasukkan biaya pengayaan, sementara memang PLTN ini tidak
menggunakan uranium diperkaya?
Logika aneh seperti ini tidak perlu dibahas lebih lanjut. Terlalu
mengada-ada.
Terkait biaya penyimpanan limbah maupun dekomisioning, maka patut
dipahami bahwa kedua komponen itu sudah dimasukkan by default ke dalam
biaya listrik PLTN. Besarannya kira-kira USD 0,1 sen/kWh. Di Prancis,
besarannya sekitar USD 0,16 sen/kWh. Kenapa rendah? Karena nilai ini sudah
mencukupi. Energi nuklir memiliki EROEI sebesar 75, berkat faktor ketersediaan
dan keandalan yang tinggi. Maka dana yang dikumpulkan sepanjang usia pakai PLTN
(40-80 tahun), walau dengan biaya limbah dan dekomisioning rendah, cukup untuk membiayai
semuanya.
Dirasa terlalu rendah? Naikkan jadi USD 0,5 sen/kWh dan PLTN akan tetap
jadi murah. Tidak perlu dinaikkan lebih tinggi karena angka tersebut sudah sangat
mencukupi.
Industri nuklir adalah satu-satunya industri energi yang
mempertimbangkan pengelolaan limbah dan dekomisioning fasilitas pada biaya
pembangkitan listriknya. Hal ini tidak pernah diikuti oleh industri lain
seperti industri batubara, industri panel surya, maupun industri turbin angin,
walaupun limbah mereka jauh lebih banyak dan lebih sulit dikelola daripada
limbah nuklir! Jelas bahwa industri nuklir jauh lebih maju daripada industri-industri
tersebut.
Saya sudah bahas masalah biaya PLTN di sini.
Kedua, terkait limbah. Di sini, saya satu suara dengan Michael Shellenberger,
pendiri Environmental Progress, LSM lingkungan berbasis di California yang
merupakan anomali; Environmental Progress pro-nuklir. Satu suara soal apa? Bahwa
limbah nuklir adalah limbah terbaik. Kenapa disebut limbah terbaik? Karena (1)
Volumenya kecil, (2) Teknologi pengelolaannya sudah ada dan terbukti, dan (3) Sebagian
besar bisa digunakan kembali.
Keunggulan utama energi nuklir adalah kandungan energinya yang sangat
tinggi. Tiap kg uranium mengandung energi potensial sebesar 80 juta megajoule. Jutaan
kali lebih tinggi daripada batubara (20-35 MJ/kg) dan gas alam (37 MJ/m3).
Artinya, per satuan energi dibangkitkan, limbah yang dihasilkan sangat sedikit.
Jika seseorang memenuhi kebutuhan energi seumur hidup hanya dengan nuklir, maka
limbah nuklir yang dihasilkan hanya setara dengan sekaleng minuman bersoda!
Seandainya, hypothetically, Indonesia memanfaatkan energi nuklir
untuk seluruh kebutuhan listrik dengan standar tahun 2050, mengasumsikan teknologi
reaktor nuklir Generasi III, pada tahun 2100, volume limbahnya hanya memakan 9%
lahan Kawasan Puspiptek Serpong. Dengan volume sekecil itu, apakah sulit
mencari lahan seluas Kawasan Puspiptek untuk digali dan digunakan untuk
mengubur limbah radioaktif?
Jika dikatakan bahwa limbah radioaktif itu lebih berbahaya daripada limbah
biasa, maka ketahuilah bahwa limbah radioaktif hanya berpotensi bahaya selagi
kadar radioaktivitasnya di atas radioaktivitas alam, maksimal mungkin 300 ribu
tahun. Limbah industri lain? Limbah batubara? Limbah panel surya? Berbahaya selamanya.
Let that sink for a moment.
Teknologi pengelolaan limbah pun sudah ada dan cukup memadai. Bahkan alam
sudah menunjukkan caranya dengan sangat baik melalui reaktor alam di Oklo, Gabon.
Ratusan juta tahun lalu, terbentuk sebuah reaktor nuklir alami di Oklo,
sebagai hasil dari adanya uranium alam dan aliran air. Uranium mengalami reaksi
fisi sebagaimana reaktor nuklir pada umumnya, dan tentu saja menghasilkan
limbah radioaktif. Jutaan tahun kemudian, reaksi fisi nuklir tersebut berhenti,
menyisakan produk fisi dan deret aktinida termasuk elemen transuranium. Tidak terjamah
oleh makhluk hidup sama sekali.
Ke mana limbahnya?
Tidak kemana-mana. Limbahnya hanya bergeser kurang lebih tiga meter dari
posisi aslinya. Padahal itu di permukaan bumi. Apalagi di bawah tanah, yang
lingkungannya jauh lebih statis daripada permukaan.
Siapapun yang mengatakan tidak ada cara untuk mengelola limbah nuklir,
maka hakikatnya dia tidak tahu apa-apa.
Limbah nuklir yang sering disebut-sebut itu sebenarnya adalah bahan
bakar bekas, yang mana sekalipun disebut bekas, tetapi 95% isinya masih bisa
dimanfaatkan di masa depan. Saat ini, Indonesia memang masih menggunakan siklus
daur bahan bakar terbuka. Tetapi jika teknologi reaktor pembiak sudah
komersial, siklus daur bahan bakar tertutup bisa diaplikasikan dan 95% bahan
bakar sisa tersebut bisa dibakar sampai habis. Volume limbah nuklir pun berkurang
drastis, dari 30 ton per GW-tahun menjadi 1 ton per GW-tahun. Dengan asumsi
sama seperti sebelumnya, Indonesia hanya perlu menyiapkan lahan kurang dari Gedung
Istora Senayan untuk menyimpan limbahnya.
Kurang hebat apa lagi limbah nuklir ini?
Pembahasan tentang pengelolaan limbah radioaktif bisa dilihat di sini.
Ketiga, buzzwords soal keselamatan reaktor nuklir. Tidak jauh-jauh
dari Chernobyl dan Fukushima, walau faktanya tidak ada negara selain bekas Uni
Soviet yang menggunakan reaktor daya tipe RBMK dan kecelakaan PLTN Fukushima
Daiichi tidak membunuh seorangpun manusia dan tidak akan selama 100 tahun ke
depan dan seterusnya.
Masih juga bicara soal bencana nuklir, walau tidak jelas bencana seperti
apa yang akan terjadi. Apakah terjadi lepasan radioaktif besar? Sampai-sampai lingkungan
terkontaminasi material radioaktif seperti di Chernobyl dan Pripyat? Tidak ada skenario
kecelakaan yang mungkin bisa menyebabkan kecelakaan setara dengan kecelakaan Chernobyl
apalagi lebih parah. Khususnya mengingat mayoritas PLTN di dunia ini adalah light
water reactor (LWR) yang memiliki karakteristik fisika reaktor dan sistem sangat
berbeda dengan RBMK. Menyamakan PLTN umum dengan RBMK adalah bukti nyata bahwa
Walhi tidak punya pemahaman teknis memadai.
Menggunakan buzzwords Chernobyl dan Fukushima tidak menunjukkan
Walhi itu peduli akan lingkungan. Penggunaannya justru menunjukkan Walhi tidak
cukup peduli lingkungan untuk benar-benar meneliti fakta-fakta di dalamnya.
Pernyataan tentang risiko keselamatan tinggi pun tidak lebih dari retorika
tanpa isi. Salah satu penyakit di negeri ini adalah menggunakan terminologi
kualitatif pada perkara yang harus dinilai secara kuantitatif. Jika dikatakan
risiko keselamatan PLTN tinggi, bagaimana analisisnya? Pakai metode apa? Kategorisasinya
bagaimana? Untuk tipe reaktor apa dengan desain teknis seperti apa? Kalau
memang serius, sebaiknya buat saja penelitian secara komprehensif, publikasikan
di jurnal. Biar kalangan ilmiah bisa menilai apakah argumentasi Walhi memiliki
landasan ilmiah atau hanya retorika hampa belaka.
Sebagai perspektif, energi nuklir memiliki tingkat kematian per TWh
sebesar 0,04 kematian per TWh. Angka ini paling rendah dibandingkan energi lain
seperti batubara (161 kematian per TWh), gas alam (4 kematian per TWh), bahkan energi
surya (0,44 kematian per TWh). Dengan segala propaganda busuk yang menimpanya,
energi nuklir tetap menjadi yang paling selamat.
Isu keselamatan nuklir sudah saya bahas di sini.
Terkait bencana longsor dan banjir, adalah sebuah kenaifan tingkat tinggi
jika masalah itu tidak akan dipertimbangkan. Perumusan Laporan Analisis Keselamatan
(LAK) dalam pembangunan PLTN selalu mempertimbangkan potensi kebencanaan yang
ada di calon lokasi tapak. Technically speaking, daerah berpotensi
longsor kemungkinan besar tidak akan dipilih sebagai lokasi tapak dan potensi
banjir selalu bisa dirancang sistem proteksinya. Lagipula, aspek kegempaan
lebih berpotensi mengganggu aspek keselamatan reaktor daripada banjir dan
longsor, wajar lebih banyak disorot.
Jelas bahwa klaim-klaim Walhi tidak memiliki pondasi kokoh, tidak
berdasarkan argumentasi ilmiah. Tidak ada yang tampak selain “jualan ketakutan”
sebagaimana kaum anti nuklir pada umumnya. Sama halnya, tidak ada yang baru
dari argumen Walhi selain fearmongering kadaluarsa yang diulang-ulang
seperti radio rusak.
Masyarakat Indonesia harusnya dicerdaskan dengan argumen-argumen ilmiah
berkualitas. Bukan retorika pseudosains bahkan hoax. Sayangnya, kualitas
klaim Walhi soal PLTN tidak lebih dari kedua hal tersebut.
0 comments:
Post a Comment