Thursday 26 September 2019

Thorium, Bahan Bakar Nuklir Masa Depan?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)
Thorium adalah unsur logam dalam deret aktinida dengan nomor atom 90 dan nomor massa 232. Sebagaimana unsur-unsur di atas aktinium, thorium bersifat radioaktif, dengan waktu paruh 14 milyar tahun (lebih panjang dari usia bumi). Unsur ini ditemukan oleh kimiawan Swedia, Jons Jakob Berzelius, pada tahun 1828.
Thorium merupakan bahan bakar nuklir bersifat fertil, dengan tampang lintang tangkapan netron 4x lebih tinggi dari isotop fertil uranium-238 pada spektrum netron termal. Namun, thorium tidak memiliki isotop fisil seperti uranium. Ketiadaan isotop fisil membuat thorium tidak bisa digunakan sendirian dalam reaktor nuklir. Harus ada isotop fisil untuk memicu reaksi tangkapan netron pada thorium, yang kemudian mengonversi thorium menjadi isotop fisil uranium-233. Isotop inilah yang sebenarnya berguna di reaktor nuklir untuk membangkitkan energi.
Konversi thorium menjadi uranium-233 berlangsung melalui persamaan berikut.
Mengingat thorium memiliki tampang lintang tangkapan netron lebih tinggi dari uranium-238, artinya lebih banyak isotop fertil yang dapat dikonversi menjadi isotop fisil uranium-233. Artinya, secara teoretis, reaktor nuklir yang menggunakan bahan bakar thorium dapat beroperasi lebih lama daripada reaktor dengan bahan bakar uranium.
Selain itu, uranium-233 merupakan bahan bakar fisil yang bekerja paling baik dalam spektrum termal. Nilai η dan ν uranium-233 merupakan yang paling tinggi, yang berarti netron yang dihasilkan dari reaksi fisi per netron yang diserap oleh bahan bakar lebih banyak dibandingkan isotop fisil lain seperti uranium-235 dan plutonium-239. Di spektrum termal, angkanya bisa mencapai lebih dari 2,1. Hal ini disebabkan tampang lintang tangkapan netron uranium-233 pada spektrum termal (48 barn) lebih rendah daripada uranium-235 (101 barn) dan plutonium-239 (274 barn). Pemanfaatan bahan bakar jadi lebih efisien, bahkan dimungkinkan untuk breeding/pembiakan. Hanya thorium yang memiliki kemampuan breeding dalam spektrum termal.
Gambar 1. Nilai eta (η) berbagai isotop fisil (sumber: IntechOpen)

Tabel 1. Data termal berbagai isotop fisil (sumber: Lamarsh)

Keunggulan thorium dan uranium-233 di spektrum termal menjadi hal menarik karena sebagian besar reaktor nuklir yang digunakan di dunia adalah reaktor termal, dan ada kecenderungan (walau tidak selalu) bahwa reaktor termal lebih diminati daripada reaktor cepat (mungkin soal kendali reaktivitas lebih mudah dan keterbuktian teknologi). Selain itu, kelimpahan thorium di bumi kira-kira 3–4x lebih besar daripada uranium, membuat ketahanan bahan bakar thorium diekspektasikan lebih panjang dari uranium. Tidak begitu akurat, sebenarnya, karena uranium terlarut di laut dan penambangan uranium dari laut secara praktis membuat ketahanan uranium jauh lebih tinggi dari thorium.
Walau demikian, efisiensi bahan bakar lebih tinggi dan produksi elemen transuranik sangat sedikit tentu saja menjadi poin menarik bagi thorium, baik secara teknologi maupun politis. Di Indonesia, thorium banyak terkandung dalam pasir monasit sisa penambangan timah. Sehingga, konversi thorium menjadi energi dalam reaktor nuklir sangat mendukung program waste-to-energy.
Kemampuan breeding thorium paling optimal dieksploitasi dalam molten salt reactor (MSR). Alasannya, MSR menggunakan bahan bakar cair, yang mudah dikeluarkan dari teras reaktor ketika reaktor beroperasi, alias reprosesing bahan bakar online, untuk mendapatkan uranium-233 murni dan kemudian disuplai ulang dalam teras reaktor sebagai bahan bakar fisil.
Apakah ada kekurangan? Tentu saja. Protaktinium-233, prekursor dari uranium-233, memiliki waktu paruh panjang, sekitar 27,2 hari (lihat persamaan di atas). Bandingkan dengan prekursor plutonium-239, neptunium-239, yang memiliki waktu paruh hanya 2,3 hari. Artinya, butuh waktu sedikit lebih lama untuk transmutasi thorium menjadi uranium-233. Protaktinium-233 merupakan penyerap netron cukup kuat, dan kalau dia menyerap netron, akan bertransmutasi menjadi uranium-234, yang eksistensinya bisa dikatakan tidak berguna dalam reaktor. Jadi, sebagian thorium mungkin hilang menjadi uranium-234 dalam prosesnya. Namun, mengingat performa uranium-233 masih jauh lebih baik dari plutonium-239, hal ini mungkin tidak terlalu signifikan.
Isu kedua ada pada fraksi beta efektif (βeff) uranium-233 yang lebih rendah dari uranium-235. Nilai β uranium-233 sebesar 0,0026, dibandingkan nilai β uranium-235 yang sebesar 0,0065. Fraksi βeff merupakan aspek penting dalam pengendalian reaktor nuklir, dan bisa jadi sedikit lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai β tiap nuklida. Semakin tinggi nilai βeff, semakin mudah reaktor dikendalikan, dan sebaliknya. Mengingat hal ini, kendali reaktor dengan bahan bakar uranium-233 dan thorium mungkin membutuhkan perlakuan berbeda.
Isu ketiga adalah koefisien reaktivitas temperatur yang sedikit lebih positif dibandingkan uranium. Berdasarkan pengamatan saya selama riset tentang fisika reaktor dari thorium, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi tampang lintang tangkapan netron, semakin positif koefisien reaktivitas temperaturnya. Pelebaran Doppler akibat kenaikan temperatur lebih berimbas dampaknya pada thorium, yang menyebabkan tangkapan netron di resonansi berkurang ketika temperatur naik. Akibatnya, relatif dibandingkan uranium-238, lebih banyak netron yang berfisi dan berimbas pada koefisien reaktivitas temperatur total lebih positif.
Gambar 2. Tampang lintang serapan netron uranium-238 dan thorium (sumber: ResearchGate)

Koefisien reaktivitas temperatur terkait dengan keselamatan melekat pada sebuah reaktor nuklir. Reaktivitas negatif berarti ketika somehow daya reaktor naik, reaksi fisi akan berkurang, sehingga daya kembali ke level semula secara otomatis. Semakin negatif semakin bagus. Sementara, jika kurang negatif, margin keselamatannya agak kurang, meski tentu saja masih inherently safe. Secara umum, koefisien reaktivitas temperatur lebih positif pada thorium membuat sistem kendali reaktivitas reaktor harus didesain lebih baik. Bukan berarti thorium itu auto unsafe, sih, cuma butuh sedikit modifikasi saja supaya margin keselamatannya tetap baik.
Isu keempat adalah keberadaan uranium-232. Isotop ini dihasilkan dari reaksi (n,2n) yang melibatkan thorium pada energi netron tinggi, di atas 6 MeV.
Uranium-232 sebenarnya merupakan fitur anti-proliferasi efektif bagi siklus bahan bakar thorium. Isotop ini akan meluruh dengan cepat menjadi thallium-208, yang merupakan pemancar gamma kuat 2,6 MeV. Kontaminasi beberapa ratus uranium-232 pada uranium-233 cukup untuk mempersulit hidup siapapun yang berusaha menyimpangkan uranium-233 menjadi senjata nuklir. Paparan radiasi kuatnya membuat pihak-pihak tidak bertanggungjawab akan sangat luar biasa kesulitan untuk mencuri/menyimpangkan uranium-232 sebagai bahan baku senjata nuklir. Butuh peralatan khusus nan canggih untuk bisa menanganinya dengan selamat.
Namun, hal ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi hal ini menjadi senjata anti-proliferasi ampuh, di sisi lain pengelolaan uranium-233, termasuk olah ulang/reprosesing bahan bakar, membutuhkan perangkat dengan perisai radiasi tebal juga. Jadi agak relatif merepotkan bagi pengguna.
Isu-isu seperti ini bukan tidak bisa diatasi. Karena itulah fungsi nuclear engineering, supaya pemanfaatan teknologi nuklir bisa dilakukan dengan baik dan benar, termasuk thorium.
Baik thorium maupun uranium ada poin plus minusnya. Bagi penulis, thorium lebih menarik daripada uranium di spektrum termal, tetapi kurang menarik di spektrum cepat. Penulis sangat mendukung pemanfaatan thorium untuk reaktor nuklir termal, dengan alasan benefit yang didapatkan lebih banyak daripada loss-nya. Mengingat, benefit thorium merupakan aspek fisika nuklir yang tidak bisa diubah-ubah, sementara loss thorium masih bisa direkayasa dengan nuclear engineering.
Tantangan utama untuk siklus bahan bakar thorium adalah mencari isotop fisil yang tepat untuk mengonversi thorium menjadi uranium-233. Mengingat, uranium-233 tidak tersedia di alam akibat waktu paruhnya jauh lebih pendek dari uranium-235. Opsi yang tersedia adalah uranium-235 berpengayaan rendah (low-enriched uranium/LEU) dan plutonium. Tidak semua negara memiliki akses ke plutonium akibat isu non-proliferasi, jadi kemungkinan LEU yang paling feasible. Hanya saja, penggunaan LEU dalam MSR thorium juga memiliki tantangan dengan terjadinya pembentukan elemen transuranik yang mengganggu kesetimbangan pendingin garam. Opsi-opsi transisi menuju siklus thorium masih diteliti, termasuk menggunakan reaktor cepat untuk breeding uranium-233.
Apakah thorium akan menjadi masa depan energi? Lebih tepat jika dikatakan bahwa thorium dapat menjadi pendamping uranium sebagai bahan bakar nuklir. Sekarang thorium belum dimanfaatkan secara luas, tidak jadi soal. Yang penting kembangkan terus risetnya, sehingga dalam waktu dekat, thorium sudah mulai bisa dipakai secara optimal dan saling melengkapi dengan uranium. Jangan sampai pengembangan thorium dihambat-hambat dengan alasan "belum siap," "belum terbukti," "belum komersial," dan alasan-alasan irasional lainnya. Karena kalau begitu terus alih-alih disiapkan, sampai bencana iklim menghantam bumi akibat reduksi CO2 tidak berhasil dilakukan pun thorium tidak akan termanfaatkan.
Daftar Pustaka
  1. Cui D.Y., Li X.X., Xia S.P., Zhao X.C., Yu C.G., Chen J.G., et al. Possible scenarios for the transition to thorium fuel cycle in molten salt reactor by using enriched uranium. Prog. Nucl. Energy. 2018. 104:75–84.
  2. Hargraves, R. Thorium Energy Cheaper Than Coal. 2012.
  3. Serp J., Allibert M., Beneš O., Delpech S., Feynberg O., Ghetta V., et al. The molten salt reactor (MSR) in generation IV: Overview and perspectives. Prog. Nucl. Energy. 2014. 77:308–19.
  4. Kang J., von Hippel F.N. U‐232 and the proliferation‐resistance of U‐233 in spent fuel. Sci. Glob. Secur. 2001. 9(1):1–32.
  5. Lamarsh, J.R. Introduction to Nuclear Reactor Theory. 1966.
  6. Li X.X., Cai X.Z., Jiang D.Z., Ma Y.W., Huang J.F., Zou C.Y., et al. Analysis of thorium and uranium based nuclear fuel options in Fluoride salt-cooled High-temperature Reactor. Prog. Nucl. Energy. 2015. 78:285–90.
  7. Liem P.H., Sembiring T.M., Tran H. Evaluation on fuel cycle and loading scheme of the Indonesian experimental power reactor (RDE) design. Nucl. Eng. Des. 2018. 340:245–59.
  8. Mirvakili S.M., Kavafshary M.A., Joze Vaziri A. Comparison of neutronic behavior of UO2, (Th-233U)O2and (Th-235U)O2fuels in a typical heavy water reactor. Nucl. Eng. Technol. 2015. 47(3):315–22.
  9. Moir R.W. Recommendations for a restart of molten salt reactor development. Energy Convers. Manag. 2008. 49:1849–58.
  10. Rubbia C. A Future for Thorium Power? in: Thorium Energy for the World. 2016. pp. 9–25.
  11. Wojciechowski A. The U-232 production in thorium cycle. Prog. Nucl. Energy. 2018. 106(March):204–14.
  12. Zou C., Zhu G., Yu C., Zou Y., Chen J. Preliminary study on TRUs utilization in a small modular Th-based molten salt reactor (smTMSR). Nucl. Eng. Des. 2018. 339:75–82.

0 comments:

Post a Comment