Friday 3 May 2019

Hype Sexy Killers: Di Mana Posisi Nuklir?


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor, PTKRN BATAN)

Film dokumenter Sexy Killers menjadi pembicaraan hangat ditengah kisruh Pilpres. Film yang dibuat oleh Watchdoc, sebuah think tank isu lingkungan, ini mengungkap borok dalam industri batubara nasional. Bahwasanya, praktik dalam mata rantai industri batubara penuh dengan masalah, entah itu sosio-kultural maupun lingkungan.

Diungkapkan pula bahwa kedua capres yang diusung dalam Pilpres kali ini sama-sama memiliki hubungan erat dengan industri batubara. Hal ini diduga, setidaknya oleh Watchdoc, menjadi alasan mengapa tidak ada satupun capres yang membahas isu tersebut dalam debat Pilpres.

Film Sexy Killers sempat ditengarai oleh sebagian pihak sebagai seruan untuk golput. Khususnya mengingat bahwa film ini dilepas ke pasaran pada hari tenang kampanye Pilpres. Tuduhan itu ditolak oleh Watchdoc, tentu saja.

Tanggapan di media sosial pun beragam. Ada yang mempertanyakan motivasi dibalik film tersebut, mengingat toh Indonesia mendapatkan sumber listriknya mayoritas dari batubara, dan karena itulah rakyat bisa menikmati penggunaan perangkat elektronik. Ada juga yang menyatakan bahwa masalah terdapat pada pelaksanaan penambangannya, bukan dari tambangnya sendiri, sembari menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa barang tambang.

Di sisi berlawanan, sebagian kalangan menganggap film tersebut sebagai bukti bagaimana kuatnya oligarki batubara di kalangan penguasa. Sexy Killers diopinikan sebagai pembuka mata masyarakat akan betapa buruknya industri batubara Indonesia. Mereka pun berharap ada solusi lain yang bisa dilakukan, sebagai solusi dari batubara yang dianggap telah merusak tatanan kemasyarakatan dan alam.

Terlepas dari semua kontroversinya, menarik untuk melihat bagaimana alternatif yang diharapkan dapat menanggulangi persoalan yang diangkat dalam Sexy Killers. Sebagaimana proyek-proyek lain yang diangkat menggunakan isu lingkungan, alternatif yang ditawarkan lagi-lagi, tidak lain dan tidak bukan, adalah energi terbarukan. Panel surya dan turbin angin, yang seolah-olah menjadi Messiah yang dapat menyelamatkan bumi dari kehancuran akibat energi fosil.

Promosi energi terbarukan dalam film bukan hal baru. Film dokumenter Earth yang dirilis tahun 2007 mengungkapkan fakta-fakta terkait environmental change, yang kemudian ditutup dengan pesan promosi terhadap energi terbarukan. Demikian pula film The Fourth Revolution: Energy yang dirilis tahun 2010. Menarik bahwa film ini dibuat di Jerman, yang terkenal dengan proyek revolusi energi terbarukan mereka, Energiewende, dan dirilis setahun setelah proyek tersebut dimulai. Tidak tanggung-tanggung, film ini menggambarkan visi untuk mendapatkan energi 100% dari energi terbarukan!

Tentu saja alternatif ini memikat banyak orang. Lagipula, tren back to nature memang sedang ramai. Penggunaan kembali “energi alam”, yakni sinar matahari dan embusan angin, dianggap sebagai representasi energi yang lebih bersih dan harmonis dengan lingkungan.

Lantas, di mana posisi nuklir dalam film Sexy Killers?

Jangankan didiskusikan, disebut saja tidak.

Bagi yang mengamati sepak terjang aktivis dan LSM lingkungan, seharusnya hal ini tidak mengejutkan. Penentangan mereka terhadap energi nuklir sama kuatnya dengan penentangan terhadap energi fosil. Faktanya, film Sexy Killers mendapat dukungan kuat dari Greenpeace, LSM lingkungan anti-nuklir nomor satu di bumi. Bahkan produser film tersebut adalah seorang aktivis Greenpeace. Dukungan Greenpeace menjadi isyarat mutlak bahwa nuklir tidak memiliki tempat dalam isu lingkungan, setidaknya bagi kalangan mereka.

Tentu saja penolakan LSM lingkungan terhadap nuklir merupakan penolakan bersifat ideologis, bukan teknis. Karena jika kita bicara teknis, sulit untuk tidak memasukkan nuklir dalam isu energi dan lingkungan. Sebab faktanya, nuklir adalah alternatif terbaik bagi energi fosil.

Mari kita lihat. Energi nuklir dan energi fosil sama-sama dapat membangkitkan listrik secara kontinu. Terus menerus, tidak terganggu kondisi cuaca maupun siang-malam. Keunggulan nuklir adalah energi ini tidak melepaskan emisi gas rumah kaca dan polusi ke lingkungan. Energi nuklir sangat bersih; Intergovernmental Panel on Climate Change, panel PBB terkait isu perubahan iklim, merilis data bahwa energi nuklir memiliki emisi CO2 spesifik paling rendah dibandingkan moda energi lainnya, termasuk energi bayu dan energi surya!

Jika penambangan batubara diprotes karena dampak pengrusakan lingkungannya yang dahsyat, maka tidak demikian dengan nuklir. Tambang uranium relatif bersih, khususnya tipe in situ leaching, dan tidak begitu sulit direklamasi. Misalnya bekas tambang uranium di Bellezane, Prancis dan Saskatchewan, Kanada, yang sudah dihijaukan dengan sukses. Untuk membangkitkan daya yang sama, kebutuhan uranium jauh lebih sedikit daripada batubara. Sehingga, tambang uranium jauh lebih ramah lingkungan.

Bagaimana dengan limbah? Tidak seperti industri batubara, limbah industri nuklir tersimpan dan teregulasi dengan baik. Sampai saat ini, tidak pernah ada kejadian kecelakaan atau kerusakan lingkungan yang melibatkan limbah bahan bakar nuklir. Jika dikatakan bahwa limbah nuklir berbahaya selama ribuan tahun, maka sebenarnya itu berita bagus. Karena arsenik, merkuri, selenium, kadmium dan unsur-unsur beracun lain yang dilepaskan oleh PLTU batubara, semua berbahaya selamanya. Kadar bahayanya tidak pernah berkurang, sementara volumenya jauh lebih besar.

Energi nuklir pun memiliki keandalan tinggi. Menurut World Nuclear Association, PLTN memiliki rerata faktor kapasitas 81%. Dengan kata lain, PLTN mampu beroperasi selama 81% waktu dalam setahun. Faktor kapasitas PLTN tertinggi tercatat di Amerika Serikat, di mana PLTN mereka mampu mencapai faktor kapasitas 92-99%!

Sebagai perbandingan, panel surya dan turbin angin masing-masing hanya memiliki faktor kapasitas antara 10-20% dan 15-30%. Wajar, mengingat bahwa keduanya sangat tergantung pada cuaca. Ketika tidak ada sinar matahari dan angin tidak berembus, bagaimana listrik bisa dihasilkan? Jika LSM lingkungan mengatakan “baterai”, maka realitanya penambangan litium dan kobalt, bahan baku utama baterai, dipenuhi dengan pengrusakan lingkungan yang tidak kalah buruk dari batubara!

Patut diakui bahwa batubara telah “berjasa” dalam menyuplai energi untuk menerangi Indonesia. Namun, tidak layak juga atas alasan tersebut lantas kemudian kita menutup mata atas kerusakan lingkungan dan konflik sosio-kultural yang disebabkannya. Sexy Killers mungkin memang mampu membuka mata terhadap persoalan tersebut. Akan tetapi, patut disayangkan bahwa solusi yang ditawarkan tidaklah layak disebut solusi. Karena energi terbarukan tidak akan mampu menjadi tulang punggung energi abad 21.

Jikalau diperlukan alternatif terhadap batubara, dan memang nyatanya perlu, maka tidak bisa tidak nuklir adalah opsi paling baik. Mengabaikan nuklir dalam pembahasan isu lingkungan hanya akan mempersulit penyelesaian masalah. Ingatlah bahwa Prancis dapat “membersihkan” jaringan listrik mereka karena 75% listrik mereka berasal dari nuklir. Sementara, Jerman menghabiskan USD 580 milyar untuk energi terbarukan, tetapi bahkan untuk mencapai target reduksi emisi tahun 2020 saja mereka mengakui tidak mampu. []

0 comments:

Post a Comment