Oleh: R. Andika Putra
Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor, PTKRN BATAN)
Film dokumenter Sexy Killers
menjadi pembicaraan hangat ditengah kisruh Pilpres. Film yang dibuat oleh
Watchdoc, sebuah think tank isu
lingkungan, ini mengungkap borok dalam industri batubara nasional. Bahwasanya,
praktik dalam mata rantai industri batubara penuh dengan masalah, entah itu
sosio-kultural maupun lingkungan.
Diungkapkan pula bahwa kedua capres yang diusung dalam Pilpres kali ini
sama-sama memiliki hubungan erat dengan industri batubara. Hal ini diduga,
setidaknya oleh Watchdoc, menjadi alasan mengapa tidak ada satupun capres yang
membahas isu tersebut dalam debat Pilpres.
Film Sexy Killers sempat
ditengarai oleh sebagian pihak sebagai seruan untuk golput. Khususnya mengingat
bahwa film ini dilepas ke pasaran pada hari tenang kampanye Pilpres. Tuduhan
itu ditolak oleh Watchdoc, tentu saja.
Tanggapan di media sosial pun beragam. Ada yang mempertanyakan motivasi
dibalik film tersebut, mengingat toh Indonesia mendapatkan sumber listriknya
mayoritas dari batubara, dan karena itulah rakyat bisa menikmati penggunaan
perangkat elektronik. Ada juga yang menyatakan bahwa masalah terdapat pada
pelaksanaan penambangannya, bukan dari tambangnya sendiri, sembari menegaskan
bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa barang tambang.
Di sisi berlawanan, sebagian kalangan menganggap film tersebut sebagai
bukti bagaimana kuatnya oligarki batubara di kalangan penguasa. Sexy Killers diopinikan sebagai pembuka
mata masyarakat akan betapa buruknya industri batubara Indonesia. Mereka pun
berharap ada solusi lain yang bisa dilakukan, sebagai solusi dari batubara yang
dianggap telah merusak tatanan kemasyarakatan dan alam.
Terlepas dari semua kontroversinya, menarik untuk melihat bagaimana
alternatif yang diharapkan dapat menanggulangi persoalan yang diangkat dalam Sexy Killers. Sebagaimana proyek-proyek
lain yang diangkat menggunakan isu lingkungan, alternatif yang ditawarkan
lagi-lagi, tidak lain dan tidak bukan, adalah energi terbarukan. Panel surya
dan turbin angin, yang seolah-olah menjadi Messiah yang dapat menyelamatkan
bumi dari kehancuran akibat energi fosil.
Promosi energi terbarukan dalam film bukan hal baru. Film dokumenter Earth yang dirilis tahun 2007 mengungkapkan
fakta-fakta terkait environmental change,
yang kemudian ditutup dengan pesan promosi terhadap energi terbarukan. Demikian
pula film The Fourth Revolution: Energy yang
dirilis tahun 2010. Menarik bahwa film ini dibuat di Jerman, yang terkenal
dengan proyek revolusi energi terbarukan mereka, Energiewende, dan dirilis setahun setelah proyek tersebut dimulai.
Tidak tanggung-tanggung, film ini menggambarkan visi untuk mendapatkan energi
100% dari energi terbarukan!
Tentu saja alternatif ini memikat banyak orang. Lagipula, tren back to nature
memang sedang ramai. Penggunaan kembali “energi alam”, yakni sinar matahari dan
embusan angin, dianggap sebagai representasi energi yang lebih bersih dan
harmonis dengan lingkungan.
Lantas, di mana
posisi nuklir dalam film Sexy Killers?
Jangankan
didiskusikan, disebut saja tidak.
Bagi yang
mengamati sepak terjang aktivis dan LSM lingkungan, seharusnya hal ini tidak
mengejutkan. Penentangan mereka terhadap energi nuklir sama kuatnya dengan
penentangan terhadap energi fosil. Faktanya, film Sexy Killers mendapat dukungan kuat dari Greenpeace, LSM lingkungan anti-nuklir nomor satu di bumi. Bahkan
produser film tersebut adalah seorang aktivis Greenpeace. Dukungan Greenpeace
menjadi isyarat mutlak bahwa nuklir tidak memiliki tempat dalam isu lingkungan,
setidaknya bagi kalangan mereka.
Tentu saja penolakan LSM lingkungan terhadap nuklir merupakan penolakan
bersifat ideologis, bukan teknis. Karena jika kita bicara teknis, sulit untuk
tidak memasukkan nuklir dalam isu energi dan lingkungan. Sebab faktanya, nuklir
adalah alternatif terbaik bagi energi fosil.
Mari kita lihat. Energi nuklir dan energi fosil sama-sama dapat
membangkitkan listrik secara kontinu. Terus menerus, tidak terganggu kondisi
cuaca maupun siang-malam. Keunggulan nuklir adalah energi ini tidak melepaskan
emisi gas rumah kaca dan polusi ke lingkungan. Energi nuklir sangat bersih; Intergovernmental Panel on Climate Change,
panel PBB terkait isu perubahan iklim, merilis data bahwa energi nuklir
memiliki emisi CO2 spesifik paling rendah dibandingkan moda energi
lainnya, termasuk energi bayu dan energi surya!
Jika penambangan batubara diprotes karena dampak pengrusakan
lingkungannya yang dahsyat, maka tidak demikian dengan nuklir. Tambang uranium
relatif bersih, khususnya tipe in situ
leaching, dan tidak begitu sulit direklamasi. Misalnya bekas tambang
uranium di Bellezane, Prancis dan Saskatchewan, Kanada, yang sudah dihijaukan
dengan sukses. Untuk membangkitkan daya yang sama, kebutuhan uranium jauh lebih
sedikit daripada batubara. Sehingga, tambang uranium jauh lebih ramah
lingkungan.
Bagaimana dengan limbah? Tidak seperti industri batubara, limbah
industri nuklir tersimpan dan teregulasi dengan baik. Sampai saat ini, tidak
pernah ada kejadian kecelakaan atau kerusakan lingkungan yang melibatkan limbah
bahan bakar nuklir. Jika dikatakan bahwa limbah nuklir berbahaya selama ribuan
tahun, maka sebenarnya itu berita bagus. Karena arsenik, merkuri, selenium, kadmium
dan unsur-unsur beracun lain yang dilepaskan oleh PLTU batubara, semua
berbahaya selamanya. Kadar bahayanya tidak pernah berkurang, sementara
volumenya jauh lebih besar.
Energi nuklir pun memiliki keandalan tinggi. Menurut World Nuclear Association, PLTN memiliki
rerata faktor kapasitas 81%. Dengan kata lain, PLTN mampu beroperasi selama 81%
waktu dalam setahun. Faktor kapasitas PLTN tertinggi tercatat di Amerika
Serikat, di mana PLTN mereka mampu mencapai faktor kapasitas 92-99%!
Sebagai perbandingan, panel surya dan turbin angin masing-masing hanya
memiliki faktor kapasitas antara 10-20% dan 15-30%. Wajar, mengingat bahwa
keduanya sangat tergantung pada cuaca. Ketika tidak ada sinar matahari dan
angin tidak berembus, bagaimana listrik bisa dihasilkan? Jika LSM lingkungan
mengatakan “baterai”, maka realitanya penambangan litium dan kobalt, bahan baku
utama baterai, dipenuhi dengan pengrusakan lingkungan yang tidak kalah buruk
dari batubara!
Patut diakui bahwa batubara telah “berjasa” dalam menyuplai energi untuk
menerangi Indonesia. Namun, tidak layak juga atas alasan tersebut lantas
kemudian kita menutup mata atas kerusakan lingkungan dan konflik sosio-kultural
yang disebabkannya. Sexy Killers
mungkin memang mampu membuka mata terhadap persoalan tersebut. Akan tetapi,
patut disayangkan bahwa solusi yang ditawarkan tidaklah layak disebut solusi.
Karena energi terbarukan tidak akan mampu menjadi tulang punggung energi abad
21.
Jikalau diperlukan alternatif terhadap batubara, dan memang nyatanya perlu,
maka tidak bisa tidak nuklir adalah opsi paling baik. Mengabaikan nuklir dalam pembahasan
isu lingkungan hanya akan mempersulit penyelesaian masalah. Ingatlah bahwa
Prancis dapat “membersihkan” jaringan listrik mereka karena 75% listrik mereka
berasal dari nuklir. Sementara, Jerman menghabiskan USD 580 milyar untuk energi
terbarukan, tetapi bahkan untuk mencapai target reduksi emisi tahun 2020 saja
mereka mengakui tidak mampu. []
0 comments:
Post a Comment