Histeria terhadap kecelakaan
nuklir di PLTN Fukushima Daiichi tidak terlalu terasa gaungnya dua tahun
belakangan. Namun, setiap kali ada pembahasan tentang penerapan teknologi
nuklir, kejadian tidak diharapkan ini seringkali, kalau bukan selalu, dibawa
sebagai argumen melawan nuklir. Seolah kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi
membawa bencana besar pada bumi atau apalah.
Bagi sebagian kalangan,
kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi dianggap sebagai bukti bahwa nuklir itu
berbahaya. Argumennya tidak jauh-jauh dari aspek paling “misterius” dalam
fisika nuklir, yakni radiasi. “Kebocoran PLTN” (walau tidak pernah jelas
kebocoran seperti apa yang dimaksud) seolah menjadi momok mengerikan pada aspek
keselamatan reaktor.
Namun, bisakah pandangan seperti
itu dijustifikasi? Realitanya, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi justru
menunjukkan bahwa energi nuklir itu selamat, bukan berbahaya!
PLTN Fukushima Daiichi
menggunakan teknologi boiling water
reactor (BWR) tahun 1960-an, didesain oleh General Electric-Hitachi. Tokyo Electric Power Company (TEPCO)
selaku operator sering mendapat masukan terkait tata letak pembangkit,
diantaranya terkait lokasi generator Diesel cadangan yang rawan kebanjiran dan
dinding laut (seawall) yang kurang
tinggi. Namun, TEPCO mengabaikan masukan-masukan tersebut.
Ketika gempa Tohoku menghantam
pantai timur Jepang, unit-unit reaktor yang sedang beroperasi (unit 1-3) secara
otomatis mengalami shutdown.
Magnitudo gempa Tohoku (9 M) sebenarnya lebih tinggi daripada desain ketahanan
gempa PLTN Fukushima Daiichi (8,2 M). Tapi luar biasanya, struktur bangunan
masih tetap kokoh, tidak ada kerusakan berarti. Patut diakui kemampuan para
insinyur Jepang dalam mendesain bangunan sekokoh ini di kawasan rawan gempa.
Terputusnya jaringan listrik
membuat generator Diesel menyala, menyuplai daya untuk pendinginan reaktor.
Nahas, tsunami menerobos seawall dan
merendam generator Diesel, memutus suplai listrik sama sekali. Pendinginan
reaktor lenyap, dan hal tersebut memicu rangkaian even dalam reaktor sehingga
terjadi ledakan hidrogen dan pelelehan parsial bahan bakar. Imbasnya, sejumlah produk
fisi volatil seperti iodin-131, cesium-137 dan tritium terlepas ke lingkungan.
Terlepasnya material radioaktif
ini seolah menjadi kulminasi ketakutan masyarakat dunia pada nuklir. Pemerintah
Jepang bertindak panik dengan mengevakuasi belasan ribu penduduk Prefektur
Fukushima. Seluruh PLTN di Jepang, bahkan di daerah yang sama sekali tidak
terdampak, di-shutdown sementara. Di
Eropa, kecelakaan ini menjadi pelatuk bagi pemerintah Jerman untuk mengeksekusi
bagian utama dari Energiewende: menutup semua PLTN di Jerman paling lambat
tahun 2022.
Penolakan-penolakan terhadap
energi nuklir kembali nyaring. Sementara, industri dan regulator nuklir pun
tidak kalah panik dengan menunda seluruh pembangunan PLTN untuk dilakukan
evaluasi desain keselamatan. Regulasi keselamatan diperketat, berbagai
perangkat tambahan dipasang walau tidak signifikan pengaruhnya terhadap
keselamatan reaktor.
Demikianlah berbagai kejadian
tidak lama setelah terjadinya kecelakaan. Delapan tahun berlalu, setelah
debu-debu tidak lagi beterbangan, sudah seharusnya kita mengevaluasi kembali
semua kekacauan ini. Apakah kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi benar-benar
menyebabkan bencana besar bagi umat manusia?
Dilihat dari sudut pandang
manapun, jawabannya adalah tidak.
Korban jiwa yang bisa dikaitkan
dengan kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi sama sekali tidak ada. UNSCEAR, komite
ilmiah PBB yang bertanggungjawab dalam analisis dampak radiasi, menyatakan
dengan tegas bahwa tidak ada potensi kanker di masyarakat umum yang mungkin
ditimbulkan dari pelepasan material radioaktif. Kompensasi yang diberikan
pemerintah Jepang pada seorang pekerja Fukushima yang meninggal karena kanker
paru-paru sama sekali tidak ada landasannya secara ilmiah; itu hanya keputusan
politis.
Dampak lingkungan pun minimal. Boleh
jadi ada pelepasan material radioaktif ke lautan Pasifik, tapi kadarnya terlalu
kecil untuk meracuni laut sebagaimana klaim kaum anti-nuklir. Air laut
mengandung kalium-40 dan uranium, keduanya unsur radioaktif, dalam jumlah ratusan
ribu kali lebih banyak daripada yang dilepaskan PLTN Fukushima Daiichi ke
lautan.
PLTN Fukushima Daiichi masih
menyimpan 400 ribu ton air terkontaminasi tritium. Namun, kandungan tritium
itupun sangat rendah, hanya setara dua gelas air! Tidak ada alasan apapun yang
bisa menjustifikasi pelarangan pembuangan air tersebut ke laut. Bahkan, ujicoba
senjata nuklir di lautan Pasifik melepaskan lebih banyak material radioaktif ke
lautan daripada kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi.
Ikan-ikan yang ditangkap di
lautan Fukushima telah diteliti kontaminasi radiasinya. Hasilnya,
radioaktivitas ikan laut Fukushima lebih rendah daripada radioaktivitas pisang,
yang notabene mengandung kalium-40. Terlepas dari apa yang diperintahkan
pemerintah Jepang, topsoil prefektur
Fukushima sama sekali tidak perlu dikeruk dan dibuang. Karena kontaminasinya
terlalu rendah!
Coba pikirkan sejenak. Reaktor
nuklir dengan teknologi tahun 1960-an, mengalami kecelakaan parah (INES Level 5
dan 7), tetapi tidak ada satupun korban jiwa, tidak ada kenaikan insidensi
kanker, tidak pula meracuni lautan maupun daratan, Prefektur Fukushima tetap
selamat untuk ditinggali.
Apakah seperti itu yang dikatakan
sebagai bencana? Apa bukan justru sebaliknya, bahwa salah satu kecelakaan PLTN
terparah sekalipun tidak menyebabkan korban jiwa, masalah lingkungan maupun
dampak jangka panjang?
Bukan berarti keselamatan reaktor
itu tidak penting. Keselamatan reaktor wajib menjadi prioritas dalam desain dan
operasional reaktor nuklir. Kelalaian TEPCO dalam aspek-aspek pembangunan PLTN
Fukushima Daiichi pun tidak boleh diulangi.
Di sisi lain, berlebihan dalam
menyikapi kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi justru membawa lebih banyak masalah
daripada manfaat. Evakuasi terhadap penduduk Fukushima malah menyebabkan 1600
kematian akibat kondisi hidup yang buruk. Diturunkannya standar batas
radioaktivitas karena alasan politis pada makanan dan minuman membuat
produk-produk pertanian dan pertanian banyak terbuang sia-sia. Padahal, makanan
dan minuman itu masih sangat layak dikonsumsi!
Keselamatan nuklir menjadi overregulated. Berbagai perangkat
keselamatan tambahan harus dipasang walau tidak berdampak signifikan pada
keselamatan reaktor. Biaya pembangunan PLTN melonjak dan waktu pembangunan
molor. Bahkan sebagian operator PLTN Jepang yang idle memilih untuk tidak melanjutkan operasi karena tidak sanggup
menanggung beban biaya instalasi sistem keselamatan baru, akibat reformasi
regulasi yang tidak kentara manfaatnya.
Akhirnya, Jepang harus menanggung
konsekuensinya. Ditutupnya PLTN membuat impor batubara dan gas alam membengkak.
Pengeluaran negara membengkak, pertumbuhan ekonomi pun terhambat.
Sikap panik dan terburu-buru
tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Penyikapan seperti itu telah membuat
kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi terkesan sebagai bencana. Bahwa energi nuklir
itu sangat berbahaya. Padahal, jika dipahami secara jernih, justru kecelakaan
PLTN Fukushima Daiichi menunjukkan bahwa energi nuklir itu sangat selamat! Reaktor
tua yang mengalami kecelakaan parah, tetapi dampaknya terhadap manusia dan
lingkungan sangat minimal. Apa lagi yang bisa diharapkan?
0 comments:
Post a Comment